Sabar Nerimo (Reportase GS Bagian 2)

Reportase Gambang Syafaat 25 Juni 2015

Jam menunjukkan pukul 23.23 WIB saat Cak Nun beserta Habib Anis, Mustofa W. Hasyim dan Eko Tunas hadir di tengah pengajian Gambang Syafaat (25/6/2015) yang bertempat di Masjid Baiturahman, Semarang. Jamaah menyambut dengan berselawat.

Sebelum merespon berbagai pertanyaan, Cak Nun menyampaikan kegembiraannya menyaksikan antusiasme jamaah, serta kesungguhan dan niat mereka mencari ilmu. Cak Nun kemudian secara paralel menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh jamaah sebelumnya perihal ibadah dan puasa. Seperti pertanyaan dari Ari tentang “puasa untuk Allah dan ibadah lain untuk kita”, lalu pertanyaan Zainal dari Tanjung Mas yang menanyakan tentang mengapa “kutiba” bisa diartikan “diwajibkan“, juga Ibu Lina yang bertanya tentang hukum puasa bagi orang yang bekerja berat seperti para buruh bangunan, ada juga jamaah yang tahun depan berencana ke Selandia Baru — yang waktu siangnya 23 jam dan waktu malamnya hanya satu jam — apakah disana ia tetap berpuasa selama 23 jam atau menyesuaikan waktu Arab Saudi? Lain hal dengan Pak Sooegiono, tukang becak dari Demak, malam itu ia menggugat peryataan Kang Ali tentang kegembiraan orang berpuasa, “Lho hanya puasa kok bisa bertemu Tuhan, sedang Nabi saja harus Isra Mikraj untuk bisa bertemu dengan Allah.”

Malam itu Cak Nun mengenakan kemeja lengan panjang berwarna putih, celana putih, dan penutup kepala berwarna putih pula. Beliau mengawali, “Kegembiraanku dalam puasa ya saat berpuasa itu. Jika orang urusannya hanya makan dan kenyang ini masih tingkatan binatang, karena binatang itu ya ngelih mangan ngono tok. Kalau tingkatan manusia, urusan makan dan minum bukan lagi urusan primer, urusan primernya adalah mencari Allah. Namun juga jangan dibuat garis batas; yang mencari Allah tidak dapat makan dan yang mencari makan tidak ketemu Allah. Justru karena mencari Allah rizkinya menjadi gampang.”

Orang yang sabar dan menerima, tidak minta saja akan diberi oleh Allah.
Emha Ainun Nadjib

Cak Nun mengajak untuk berpikir kualitatif, misal saat kita mendapat uang satu juta, jadikanlah itu sebuah kualitas. Bukan berapa uangnya tetapi untuk apa uang itu, “untuk apa” adalah kualitas. Dalam bahasa Maiyah: rohanikan uangmu. Kenapa harus dirohanikan? Karena yang abadi itu rohani. Yang abadi itu menolong orang, membeli buku untuk koleksi perpustakaan itu abadi, karena makanan yang kita makan hanyalah akan menjadi bangkai. Orang harus berpikir tentang apa yang akan kita tinggalkan di muka bumi. Badan kita tidak memiliki kemampuan untuk abadi, yang abadi adalah amal perbuatan kita. Apakah Nabi Muhammad saat ini masih hidup? Nabi masih hidup tetapi bukan badannya yang hidup namun rohnya, roh itu abadi. Yang hidup syafaatnya, kerinduan kita, cinta kita kepadanya.

Kalau kita bertemu dengan Sunan Kalijaga, misalnya, atau Mbah Mangli, Mbah Ud, mereka tidak hadir secara fisik tetapi mereka hadir berupa konsep dan pengalaman hidup kita. Cak Nun memberi contoh lain, hantu hadir sesuai konsep kita tentang hantu, maka di Jawa hantunya beda dengan di Barat. Orang yang berpikir kualitatif kegembiran saat Ramadan adalah saat berpuasa itu. Meski ya ndak papa kegembiraan puasa saat berbuka. Berkenaan dengan pertemuan dengan Tuhan, Cak Nun berseloroh. “Yo ojo dianggep nek ketemu Tuhan itu, mengko Gusti Allah sorbanan njur nekani kowe, itu kan ruhaniah…

Cak Nun juga menjelaskan bahwa hidup itu antara pelampisan versus pengendalian, antara ngegas atau ngerem. Minimal antara ngegas dan ngerem itu 50–50 , artinya saat kita harus ngegas maka ngegaslah, saat kita harus menginjak rem, injaklah. Dan yang tahu kapan kita harus menginjak gas dan mengerem adalah diri kita masing-masing.

Menjawab pertanyaan tentang bagaimana puasa di Selandia Baru yang waktu siangnya panjang sekali sampai 23 jam, sekaligus perihal beratnya puasa bagi orang dengan profesi tertentu, Cak Nun menjawab, “Hidup itu jangan disusah-susahkan tetapi juga jangan dimudah-mudahkan. Dan itu yang tahu diri kita sendiri. Tentang hal ini tidak usah bertanya dengan ulama karena yang bisa mengukur kekuatan kita adalah diri kita sendiri. Kalau dijawab ulama, ya kalau harus 22 jam, modar kowe. Yang kedua, Allah tidak akan membebani kamu sesuatu yang tidak mampu kamu lakukan. Kamu sahur jam berapa kemudian berbuka sekuat-kuatmu. Administrasi itu penting tetapi jangan disembah. Opo kowe madhep Kabah nek solat berarti nyembah Kabah, itu kan urusan admininstrasi, atimu kan tetep nyembah Gusti Allah.

Selanjutnya Cak Nun menjawab pertanyaan tentang kenapa “kutiba” diartikan “diwajibkan” dan kenapa yang diwajibkan orang yang beriman, “Ya memang yang diwajibkan orang beriman, sing ora beriman wis mesti mlebu neroko. Ini logika ayat ini. Yang beriman diberi bahan untuk berjuang. Kepada yang tidak beriman, puasa itu tidak ada gunanya, untuk apa puasa? Puasa itu untuk-Ku, (Allah) untuk apa puasamu kalau kamu tidak percaya kepada-Ku (Allah).”

Kutiba arti kamusnya adalah dituliskan. Atas kesepakatan para ulama selama berabad-abad artinya adalah diwajibkan. Ada beberapa kata yang artinya tidak sama dengan arti kamusnya. Misalnya kafir yang arti sesungguhnya sebelum dikenal tauhid adalah petani. Petani adalah pekerjaannya menanam tumbuhan di tanah yang menghalangi sinar langsung ke tanah. Kemudian “menutupi” diambil untuk konteks lain yaitu iman, kafir menjadi tertutup cahaya kebenaran. “Sekarang diambil dalam bahasa Inggris menjadi covered, menutupi kasur.” Habib Anis menambahkan bahwa kutiba itu artinya diundangkan.

Hidup itu jangan disusah-susahkan tetapi juga jangan dimudah-mudahkan.
Emha Ainun Nadjib

Termin selanjutnya, Zainul Ikon menanyakan tentang puasa itu adalah upaya meniru malaikat. Malaikat adalah makhluk Allah paling taat, yang melaksanakan perintah persis sama dengan yang diperintahkan. Malaikat tidak makan tidak minum, tidak seksual. Manusia meniru dan hanya 30 hari itu pun hanya siang hari. Ia menanyakan pendapat Cak Nun tentang hal tersebut.

Pertanyaan berikutnya oleh jamaah dari Situbondo tentang ibadah puasa itu wasilah atau goyah. Dan bagaimana memposisikan puasa itu sendiri? Pertanyaan ketiga disampaikan oleh jamaah bernama Bobi: “Cak Nun, puasa itu kan seperti dasa darma ke sepuluh; suci dalam pikiran, perkataan dan perbuatan. Kalau perkataan dan perbuatan insya Allah bisa dikontrol tetapi dalam pikiran susah. Misalnya di jalan melihat wedok sing rodok mlenos iku pikirane tekan endi-endi. Bagaimana Cak Nun cara mengatasinya?”

Menjawab pertanyaan yang pertama tentang puasa meniru malaikat (urip malekatan) Cak Nun membebaskan apakah setuju atau tidak, “Tidak masalah itu, yang tidak boleh adalah tidak puasa. Tafsir tentang puasa semakin banyak semakin baik yang penting memberi manfaat dan mendekatkan diri anda kepada Allah.”

Menjawab pertanyaan kedua, Cak Nun merespon sambil berkelakar, “Masuk kamar mandi, buka, slentik. Wis.” Menjawab pertanyaan ketiga tentang puasa itu wasilah atau goyah, Menurut Cak Nun bahwa antara wasilah dan goyah itu dinamis. Cak Nun mencontohkan kehadirannya di Majlis Gambang Syafaat kali ini dengan tujuan saat berangkat dari Yogya, tapi kan juga sekaligus jalan untuk mendapatkan berkah Allah. Maka puasa bisa wasilah bisa goyah. Wasilah atau goyah silahkan dinikmati saja. Cak nun menjelaskan bahwa antara wasilah (jalan) dan goyah (tujuan) itu dialektis.

Tarawih bersama itu lahir karena ketidakpercayaan ulama kepada umatnya apakah akan melaksanakan tarawih sendiri di rumah atau alasan kedua adalah untuk pendidikan anak-anak.
Emha Ainun Nadjib

Pukul 01.00 WIB, pengajian disela dengan pembacaan puisi oleh Mustofa W. Hasyim. Beliau membacakan puisi tentang sabda batu, kemudian monolog oleh Pak Eko Tunas tentang “begal tidak berdasi”, kemudian disambung dengan pembacaan puisi oleh Mas Tamim, jamaah dari Demak yang kuliah di Universitas Wahid Hasyim (UWH) tentang cinta di atas gunung. Habib Anis lalu menjelaskan tentang Rasulullah yang mengurangi aktivitas saat bulan puasa dan sedekahnya seperti angin, banyak dan cepat.

Kang Haryanto malam itu ikut urun rembuk membicarakan tentang perilaku saat berpuasa. “Kita sebenarnya selama sebelas bulan di luar Ramadan ini kan sebenarnya sudah puasa, sudah menahan, sudah ngempet tetapi saat bulan Ramadan ngempet kita itu atau puasa kita malah batal. Batapa tidak? Saat bulan puasa kita makan dengan jenis makanan yang berlebihan, saat berbuka meja makan penuh. Saat bulan puasa kita juga berlebihan membeli pakaian padahal di bulan lain justru tidak.” Kang Haryanto mencermati bahwa tidak semua akibat itu sebabnya di depan secara waktu, kadang justru akibatnya mendahului sebab, contohnya mahasiswa itu karena akan ujian maka dia sinau semalam suntuk.

Kang Sigit, dalang dari Rembang, di Rembang beliau bersama teman-temannya membuat forum semacam Gambang Syafaat dan diberi nama Komunitas Ketek Ogleng. Dalam kesempatan kali itu, Kang Sigit nembang berjudul Asmorodana. Lagu tersebut oleh Cak Nun terinspirasi oleh Hadist Qudsi, anjuran kepada umat untuk bangun pada malam hari dan meminta kepada Allah, karena pada malam itu Allah turun sendiri membawa rizki, ampunan, dan keselamatan. Itu bagiannya orang yang melek sabar dan menerima. Menurut Cak Nun, orang yang sabar dan menerima, tidak minta saja akan diberi oleh Allah. Pukul 02.30 WIB, setelah ditutup dengan doa yang dipimpin langsung oleh Cak Nun, pengajian diakhiri.


Catatan tambahan

Berbeda pendapat dengan Rasulullah: Berpikir berbeda dengan Rasulullah itu boleh, misalnya saja menurut Rasulullah kurma itu enak, kalau anda tidak doyan kurma apakah harus memaksakan? Berbeda pendapat dengan Rosulluah itu boleh yang tidak boleh adalah melanggar aturan Allah.

Tarawih yang baik: Sebenarnya tarawih yang baik itu yang dilakukan di rumah, tetapi karena para kyai dan ulama tidak percaya kepada kamu, maka tarawih diadakan secara berjamaah di masjid. Tarawih bersama itu lahir karena ketidak percayaan ulama kepada umatnya apakah akan melaksanakan tarawih sendiri di rumah atau alasan kedua adalah untuk pendidikan anak-anak. Supaya ada transformasi kesadaran mengenai tarawih.

Perdebatan tentang membaca Alquran menggunakan langgam Jawa: Kita harus belajar secara mendalam agar tidak sedikit-sedikit bertengkar. Melajar kata, huruf adalah belajar peradaban, metabolisme nilai. Tentang perdebatan membaca Alquran menggunakan langgam Jawa, menyebut “langgam Jawa” saja itu sudah salah karena langgam adalah salah satu jenis aliran musik di Jawa. Yang benar adalah notasi Jawa. Kalau notasi Barat adalah do re mi fa sol kalau notasi Jawa adalah 1246. Menurut Cak Nun kalau notasi Jawa (pelok dan slendro) bisa digunakan untuk ngaji. Tentang kekhawatiran banyak pihak akan terlanggarnya tajwid saat menggunakan notasi Jawa, Cak Nun berpendapat “Orang yang bisa mengaji tidak akan melanggar tajwid. Yang memperdebatkan berarti tidak bisa ngaji.”

Islam ya Islam saja: Cak Nun menanggapi perihal adanya berbagai isu yang mengkotak-kotakan Islam termasuk gerakan Islam Nusantara, Islam ya Islam saja. Jangan karena ada sedikit perbedaan langsung membuat nama, membuat baju, membuat ideologi. Yang membuat rusak itu ya namanya. Sekarang ini terpecah-pecah ada Islam radikal, Islam pribumi, Islam moderat, Islam konservatif, Islam liberal. Di dalam hidup bahkan di dalam tubuh kita membutuhkan sikap radikal, moderat. Misalnya saja tulang kita adalah radikal, tetapi daging kita moderat. Di dalam sikap kita kadang membutuhkan sikap radikal misal istriku-istriku dan istrimu istrimu, tidak bisa ditukar-tukar. Untuk kasus yang lain kita bisa moderat. Membagi-bagi Islam seperti radikal, liberal, dan lain-lain itu adalah proyek. Sama dengan Islam Nusantara itu proyek, pengkafiran-pengkafiran itu juga proyek.

Tentang sertifikat halal itu absurd: Kok berani-beraninya memberi serifikat halal pada sebuah warung, yang dicek hanya satu mangkok bakso dan satu waktu, apakah bisa menjamin penjualnya tidak berbohong di kemudian hari dengan menganti bahan? Sertifikat halal itu bagus kalau di setiap warung ada petugas MUI dan itu dicek setiap hari. Di negara yang mayoritas muslim sebenarnya yang diperlukan adalah sertifikat haram. Logikanya karena moyoritas muslim makanan yang dijual adalah makanan halal, maka jika ada warung yang menjual masakan haram maka dia harus memberi label haram agar orang muslim tidak memakannya.

Lima jenis orang: Di dunia ini ada lima jenis orang yaitu orang kaya, orang berkuasa, orang pinter, orang kuat, orang bijak. Pada masa lalu orang yang paling dihormati orang adalah orang bijak. (syekh, brahmana, pandita, begawan, resi), baru kemudian orang pintar, kemudian orang sakti, bawahnya lagi orang kuasa, dan terakhir orang kaya. Sekarang dibalik, yang paling dihormati orang-orang adalah orang kaya, orang berkuasa melakukan lobi-lobi untuk bisa menjadi kaya, orang pintar melakukan persekongkolan untuk bisa menjadi kaya, orang kuat atau orang sakti sama saja, dan orang bijak juga demikian. Sumua bermuara kepada kaya. Lah sekarang tambah lagi orang terkenal, orang dimodifikasi supaya terkenal , terkenal hebat, terkenal berhasil dan seterusnya, untuk tujuan tertentu.

(teks: Muhajir Arrosyid)

Komentar