Mukadimah: SUNDA MENGASUH _____

RIUNGAN SUNDA MENGASUH copy
Mukadimah Jamparing Asih Desember 2015

Buku-buku bacaan keilmuan dan beragam literatur akademik yang kita baca tidak serta-merta hadir ke dunia dalam sekedipan mata. Dapat dengan mudah kita lihat buku-buku literatur itu berdebu di dalam rak-rak maupun berjejer di perpustakaan tanpa ada yang peduli sama sekali. Tulisan demi tulisan yang diciptakan sang penulis bukanlah sebatas hasil permenungan atau penulisan sesaat. Pembaca terkadang hanya terfokus kepada hasil yang ia dapatkan di tangan saja, namun sedikit mengesampingkan proses penciptaan dari sebuah karya. Beragam teori dan karya yang dihasilkan tidak muncul begitu saja. Hasil kepenulisan itu terlahir dari pengalaman, pengamalan, bahkan proses kehidupan yang panjang.

Secara umum, proses kependidikan formal biasanya dimulai dengan kemampuan calistung. Proses menulis terutamanya diajarkan dengan penguasaan menulis menggunakan tangan — bukan dengan alat bantu teknologi. Sebelum peserta didik menaiki tingkat untuk dapat melakukan kepengarangan, mereka terlebih dahulu diajari kemampuan untuk membuat kalimat sederhana. Setidaknya pelajarannya beranjak dari penelaahan struktur kalimat sederhana dengan pengidentifikasian subyek, predikat, dan obyek. Anak hasil kependidikan formal terbiasa menggunakan kata yang menjadi personifikasi manusia untuk menempati posisi subyek atau pelaku dalam penulisan kalimat. Sehingga terkadang memiliki persepsi bahwa “saya, aku, dia, mereka..” atau beragam personifikasi yang tampak aktif memiliki tingkat kemampuan lebih tinggi untuk melakukan sesuatu atas suatu obyek yang pasif. Sang subyek yang pada umumnya merupakan personifikasi kemakhlukan akan cenderung bersifat patriarki dan otoritatif terhadap sang obyek.

Beberapa dekade terakhir, di tatar Pasundan, terutamanya di kota Bandung, kian giat didengungkan ajakan “Hayu, urang ngamumule budaya Sunda!” Kata ganti orang pertama yang dijadikan subyek adalah “urang” atau “kita” sebagai pelaku yang didawuhi untuk mau memuliakan budaya Sunda. Adanya slogan berupa ajakan untuk memuliakan ataupun melestarikan mengimplikasikan adanya penyadaran kembali terhadap keagungan kebudayaan sunda. Slogan tersebut seolah menunjukkan bahwa “kita” sebagai subyek harus diingatkan kembali untuk memuliakan budaya Sunda. Harapannya, semoga saja slogan itu dapat terpatri di benak dan tidak terlupa untuk menjadikan kebudayaan Sunda bagian dari laku hidup.

Pendekonstruksian cara pandang dapat dilakukan sebagai upaya dari pembangunan kesadaran. Cara pandang yang didapat akan berbeda apabila mereposisi subyek dengan kebudayaan Sunda sebagai subyek atau pelaku. Reposisi struktur kalimat menjadi “Budaya Sunda ngamumule urang” dapat menjadi paradigma berpikir lain untuk memahamkan diri kita sebagai obyek bahwa nilai-nilai kebudayaan Sunda lah yang sebenarnya memuliakan kita sebagai manusia nusantara yang utuh.

Dalam budaya Sunda ada sebuah adagium “silih asah, silih asih, silih asuh”. Ini semacam panduan dalam hidup, khususnya kehidupan bermasyarakat/berjamaah. Silih Asih artinya saling cinta, saling menyayangi dan mengasihi. Cinta dijadikan landasan atau kdua-kuda utama dalam hidup untuk Saling Asuh. Salah satu nilai Asih adalah kesetaraan. Saling Asuh bertujuan sebagai kontrol. Metodenya dengan saling mengingatkan dan menasehati. Dalam Quran terdapat ayat” “..khairu ummatin ukhrijat linnasi, ta’muruna bil ma’ruf wa tanhauna anil munkar”. Sebaik-baiknya umat yang dihasilkan untuk umat manusia adalah yang “ta’muruna bil ma’ruf wa tanhauna ‘anil munkar”. Jadi sepertinya untuk sampai kepada sebaik-baik umat caranya adalah dengan saling mengajak kepada kebaikan (ma’ruf) dan saling menjaga dari kemungkaran, sebagai fungsi kontrol.

 

Silih asah adalah upaya untuk saling terus berevolusi, berinteraksi, menemukan hal yang baru menuju kesempurnaan. Falsafah silih asah bisa ditafsirkan sebagai intisari dari QS Al- Ashr ayat 3, yang berisi panggilan saling menasihati untuk kebenaran dan saling menasihati untuk kesabaran. Pengejawantahannya dapat menjadi laku hidup keseharian, dimana manusia satu sama lain saling membantu untuk tumbuh dan belajar. Tidak terbatas pada menasehati berupa omong-omong saja, melainkan saling mengasah dalam konteks bermasyarakat, kemampuan berpikir, tenologi, kependidikan, pekerjaan, kesehatan, dunia bela diri, berkesenian, dan aspek-aspek kehidupan lainnya.

Silih asah akan memperdalam silih asih sehingga akan membentuk kesadaran untuk saling asih atau silih asuh. Nilai pengasih dan kepengasuhan adalah sifat Allah yang sering diucapkan sehari-hari, yaitu ar Rahman dan ar Rahim. Tritangtu membentuk lingkaran siklikal, yang bila putarannya berlaku konstan akan menghasilkan silih wangi. Saling mewangi. Tritangtu diciptakan oleh Prabu Siliwangi, sebagai hasil dialektikanya dengan Sang Prabu yang dapat terus dikontekstualisasikan.

Kebudayaan Sunda yang diwariskan dengan pitutur, laku, maupun sastra merupakan hasil ijtihad dan proses adaptif leluhur kita. Nilai-nilai kearifan Sunda yang diturunkan memiliki banyak kebermanfaatan bagi anak cucu dan cicitnya di masa kini. Tentu kebermanfaatan yang dirasakan berbeda dengan mereka yang menjadi pelaku aktif atau dalam hal ini subyek yang menginternalisasi nilai kesundaan sebagai laku hidup dengan yang sekedar mengetahui, membaca, dan membicarakan tentang kesundaan dari literatur-literatur atau buku-buku saja. Pelaku yang memiliki kesadaran yang jujur akan melakukan pengejawantahan nilai-nilai kesundaan yang tidak semata bersifat struktural ataupun seremonial, melainkan kultural dan holistik.

Konteks peristiwa ini dapat dianalisa dengan buah pikir Cak Nun mengenai “bersepeda” dan “sepeda-sepedaan” yang diistilahkan dengan “ngepit” dan “pit-pitan”. Ada beda sangat besar antara naik sepeda dengan bareng-bareng bersepeda gembira. Sangat beda antara bekerja dengan hiburan, antara berjuang dengan iseng-iseng, antara makan beneran dengan mencicipi, antara jalan kaki sungguhan dengan jalan-jalan. Kalau pakai konsep waktu: yang satu menghayati, lainnya melompat. Yang satu mendalami, lainnya menerobos. Yang satu merenungi, lainnya memenggal. Tentu akan ada perbedaan martabat antara ia yang memposisikan langsung dirinya sebagai subyek yang merasa dapat memuliakan suatu kebudayaan dengan mereka yang terlebih dahulu memahami betul bahwa kebudayaan leluhur mereka sudah sangat luhur dan adilihung. Bagi yang memposiskan pengetahuan bahwa kebudayaannya dapat melestarikan dirinya, maka proses internalisasi dan pemuliaannya pun akan bersifat mendalam, dialektis dan resiprokatif. Maka hakikatnya, ia sedang ngepit bukan pit-pitan.

Lokalitas budaya dan cara pandang kepengasuhan Nusantara perlu dicicil kembali agar kita yang terlahir belakangan ini dapat menjaring emas-emas dan mutiara dari kebudayaan leluhur kita. Mengangkat diskusi berkenaan dengan kebudayaan Nusantara tentu tidak akan selesai hanya dengan mensedekeahkan waktu beberapa jam untuk berdiskusi dan bertatap muka. Upaya ini adalah sumbangsih kecil dari Jamparing Asih untuk ikut bersama-sama mencicil pengetahuan, laku hidup, dan memanggil kembali kearifan kebudayaan Sunda di tanah Nusantara. Atas dasar pemikiran itu, Jamparing Asih edisi Desember 2015 mengangkat tema “Sunda Mengasuh ___” untuk dapat didiskusikan bersama.

Lantas mengasuh apa? Siapa? Bagaimana?

Mari kita saling berbagi pendapat, mencari tahu, dan memperluas cakrawala berpikir. Semoga cinta kasih dapat bertaburan dan bertebaran di lingkaran pencarian kita bersama dengan pola kepengasuhan Maiyah, yaitu mendengarkan dan menampung suara hati yang hadir. Seperti ungkapan salah seorang sedulur jamaah Maiyah Suluk Pesisiran Pekalongan, “Tidak hanya orang-orang pintar saja, tapi kita butuh orang-orang yang tulus menyediakan hati dan telinganya untuk mendengarkan.” Karena apabila hidup adalah pelayanan maka alangkah indahnya bila kita dapat melayani sesama, menyayangi alam, dengan hati tulus ikhlas dan suka cita sebagai salah satu wasilah pengabdian kita kepada Allah, Sang Ghoyah pemilik sekalian alam.

Dengan segala kerendahan hati dan dialektika cinta segitiga Maiyah antara Allah, Rasulullah, dan diri kita sebagai hamba, Jamparing Asih mengundang sedulur-sedulur semua untuk bermaiyah bersama pada Riungan Jamparing Asih tanggal 19 Desember 2015. Mari belajar bersama untuk saling mengasihi, mengasah, dan mengasuh cinta kasih dan kebersamaan bersama. Semoga malam minggu kita dapat diaugerahi limpahan keberkahan sehingga walau kegelapan malam menghampiri, kita masih dianugerahi nur-Nya yang dapat menuntun penglihatan kita sebagai pelita. Karena hanya Allah yang dapat membimbing kita keluar dari kegelapan menuju cahaya. Min al-dhulumat ila al-nur… Diantos kasumpinganana, semoga diperjalankan untuk dapat bertandang!