Mukadimah OPERA SABUNG; SABUNG CAPRES – KARAPAN CAPRES

KONON KATANYA tahun 2014 ini tahun politik, dimana setiap kebijakan, aktifitas, gerak dan langkah pada tataran elit adalah bagian dari kerja politik, yang dasar utamanya adalah kalkulasi-kalkulasi bagaimana agar tidak menjadi pecundang pada perhelatan Pemilihan Umum, sang ikon utama demokrasi, yang konon bisa membawa negara ini ke arah perubahan yang lebih baik, meski belum jelas benar, baik seperti apa dan baik untuk siapa. Suka tidak suka, Pemilihan Umum 2014 sudah siap digelar, dengan agenda penting pemilihan Presiden Republik Indonesia. Pertama, kita perlu angkat topi tinggi kepada mereka yang begitu percaya diri mencalonkan diri untuk menjadi pemimpin di republik ini. Sebab hanya orang yang memiliki keberanian besar lah yang siap — setidaknya selama lima tahun rela untuk tidur tidak nyenyak karena harus rela disandera persoalan-persoalan sosial yang mendera rakyat negeri ini.Ada jutaan kepala dengan ribuan persoalan yang mau tidak mau mesti mendapat tempat di dada dan kepala seorang pemimpin bangsa ini. Menjadi pemimpin nasional di Republik Indonesia itu artinya harus rela kehilangan kenyamanan dan privilege sebagai manusia normal, karena harus menjadi pemimpin bagi rakyat yang masih tidur di kolong jembatan dan bantaran sungai, menjadi pemimpin bagi rakyat yang mengalami kesulitan untuk bayar ongkos kesehatan, menjadi pemimpin bagi rakyat yang dilayani birokrasi busuk dan aparat yang menjerat, menjadi pemimpin bagi rakyat yang tak berdaya di hadapan pasar dan para cukong, dan mereka yang terjerat segudang masalah lainnya. Itu kalau memang mau serius jadi pemimpin tentunya.

Tak bisa dipungkiri, selain memiliki peran yang penting untuk menentukan arah perjalanan bangsa, institusi kepresidenan juga memiliki kuasa untuk melakukan langkah-langkah strategis yang pihak atau institusi lain sulit untuk melakukannya. Inilah yang membuat pihak-pihak tertentu berlomba menitipkan kepentingannya kepada lembaga kepresidenan. Apalagi untuk negeri semolek Indonesia yang memiliki sumber daya dan pasar yang menggiurkan, menambatkan kepentingan dibalik nama seorang presiden adalah keniscayaan. Lembaga kepresidenan sudah menjadi semacam instrumen industri yang menjanjikan keuntungan yang lezat dan juga infrastruktur penting yang dapat memberikan rasa aman. Maka disamping pertarungan kepentingan yang seringkali dibungkus ideologi, perhelatan pemilihan presiden adalah arena pertaruhan investasi, dana besar digelontorkan untuk mendukung seorang kandidat, strategi diatur sedemikian rupa agar sang jagoan bisa berjaya.

Setuju tidak setuju, atas nama konstitusi dan kalimat sakti demokrasi, panggung Pemilihan Umum akan digelar — dengan agenda penting Pemilihan Presiden Republik Indonesia, dan mungkin hanya intervensi Tuhan yang bisa menggagalkan ritual lima tahunan ini. Lewat berbagai iklan, yang konon demi masa depan negara yang lebih baik, masyarakat diminta berperan aktif untuk menyukseskan pemilu, sebuah sistem dan model rekrutmen kepemimpinan nasional yang lebih mirip kontes popularitas, ketimbang fit and proper test untuk memilih pemimpin bangsa. Demi menjaga wibawa sebagai bangsa yang demokratis, dana dan energi bangsa dikerahkan untuk perhelatan yang katanya pesta demokrasi ini. Tak jadi soal, apakah nantinya kinerja kontestan pemenang pemilu sebanding dengan histeria yang terjadi atau tidak.

Seperti halnya kontes popularitas pada program televisi, dimana kualitas kontestan seringkali bukan alat utama untuk meraih dukungan, pun demikian dengan kontes pemilihan presiden. Yang menjadi pertimbangan utama untuk seseorang maju (dimajukan tepatnya) untuk bertarung dalam pilpres adalah sejauh mana popularitas dia di mata masyarakat, dan akan menjadi bonus jika dia menjadi kesayangan publik, dianggap sebagai figur yang langkah dan geraknya can do no wrong. Adapun soal kapabilitas dan integritas itu bisa diletakkan di urutan ke sekian. Maka strategi disusun dan taktik diatur agar seorang kandidat bisa punya nilai jual yang tinggi, kalau perlu melalui rekayasa-rekayasa tertentu dimana citra diolah sedemikian rupa agar kompatibel dengan “selera pasar”, maka yang ganas dipoles agar bisa terlihat lembut, seekor macan direkayasa agar nampak menggemaskan seperti kucing, seorang tengkulak bisa terlihat seperti pejuang, seorang rentenir bisa terlihat sebagai seorang filantrop, dan seorang makelar bisa nampak seperti seorang pahlawan. Seperti yang sudah disebutkan, selain sebagai pertarungan politik, Pilpres juga merupakan pertaruhan investasi, tentu saja pihak yang berkepentingan akan mencoba melakukan apa saja untuk mengamankan investasinya, termasuk melalui cara-cara kotor, meski tentu saja dilakukan dengan cara yang halus dan lembut, bahkan kalau perlu bertindak macam penjudi sabung ayam yang menyembelih ayam jagonya demi untuk mengamankan kepentingannya.

High-Cost Democracy yang dianut negara ini, juga sistem rekrutmen kepemimpinan nasional yang riuh dengan hadirnya pihak yang memiliki agenda tersendiri dibalik nama seorang (kandidat) presiden, pada akhirnya membuat Institusi kepresidenan menjadi sebuah lembaga yang lebih transaksional terhadap kepentingan investor dan sponsor, ketimbang urusan sebuah bangsa. Seorang kandidat terpilih nantinya seperti disandera oleh agenda para pemodal. Maka meski dalam pemilihan umum rakyat berperan sebagai pihak kedua yang menentukan langsung kemenangan seorang kandidat presiden. Tetapi saat menjabat, sangat boleh jadi rakyat hanya ditempatkan sebagai pihak ketiga. Artinya kalaupun ada kebijakan-kebijakan yang memihak kepada rakyat, itu hanya sekedar imbas dari transakasi win-win situation lembaga presiden dengan pihak kedua, yakni para investor dan sponsor. Boleh jadi, Demokrasi yang kita anut pada perkembangan mutakhirnya tidak lagi untuk menghasilkan seorang pemimpin yang baik, tetapi lebih sebagai sarana untuk menyiapkan rakyat agar bisa menerima siapapun pemimpinnya, termasuk jika itu pemimpin yang buruk.

Jakarta, 10 Maret 2014 — Dapur Kenduri Cinta