Esensi Agama dan Karakter Berketuhanan

Sudah cukup populer bagi kita semua bahwa Islam memiliki tiga aspek: Islam, Iman, dan Ihsan. Sebagaimana penjelasan Kanjeng Nabi Muhammad SAW melalui hadis yang diriwayatkan Imam Muslim: Islam ialah bersyahadah bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah Rasul Allah, mendirikan salat lima waktu, berpuasa di bulan ramadan, menunaikan zakat, dan melakukan ibadah haji ke baitullah bagi yang mampu. Iman ialah percaya Allah, malaikat, kitab-kitab suci, para rasul, hari akhirat, dan takdir baik maupun buruk. Sedangkan Ihsan ialah bahwa engkau menyembah Allah seolah-olah melihat Allah, sekalipun kau tidak melihat-Nya tetapi Dia melihatmu. Mungkin akan lebih baik menggunakan istilah dimensi dari pada aspek, sebab agama terutama dalam perspektif Islam yakni ajaran-ajaran yang dibawa oleh Kanjeng Nabi Muhammad saw mementingkan penerapan dan pelaksanaan dari pada sekedar keyakinan dan kepercayaan (al ‘ilm wa al ‘amal). Hal ini dapat dipahami dari konteks hadis nabi tadi bahwa Jibril telah datang mengajarkan agama kepada umat Nabi Muhammad SAW.

Dalam Al-Quran Allah mencela orang-orang yang hanya suka berwacana tapi tidak menerapkan dan tidak melaksanakan, bahkan mengingatkan akan kemurkaan Allah terhadap orang-orang yang banyak berwacana tentang hal-hal yang mereka tidak laksanakan. Sejarah pemikiran Islam yang cukup panjang telah berperan membentuk mindset kita dalam beragama dengan perspektif bahwa Islam, Iman, dan Ihsan sebagai aspek-aspek dan bukan dimensi-dimensi. Akibatnya, kita menerapkan ajaran-ajaran agama secara parsial dan cenderung formalistik. Kita misalnya bisa mendirikan salat lima waktu terpisah dari dimensi Iman dan Ihsan. Meskipun ada ikrar inna solati wa nusuki…dst tapi itu hanya sekedar ucapan belaka dan tidak menyentuh makna yang sesungguhnya merupakan dimensi iman dan ihsan. Bukankah salat dan ibadah bahkan hidup dan mati telah diikrarkan hanya untuk Allah semata sebanyak lima kali sehari semalam. Tapi faktanya, kita malah mempertuhankan harta, kekuasaan dan pengaruh. Kita tidak tunduk dan patuh kepada Allah dan Rasul-Nya padahal kita telah bersaksi dan berikrar untuk itu. Kita tidak melihat kehadiran Allah setiap saat padahal sedang membangun keyakinan bahwa Allah Maha Pencipta dan Maha Kuasa.

Barangkali, kita memperlihatkan kepatuhan dan kesalehan lahiriyah tapi Allah tidak memperdulikan sifat lahiriyah sebagaimana sabda Nabi dengan tegas: Sesungguhnya Allah tidak memandang kepada penampilan dan harta kalian tetapi memandang kepada hati dan amalmu. (HR. Bukhari-Muslim); sabdanya yang lain: Sesungguhnya Allah tidak memandang kepada tubuh dan penampilan kalian tetapi memandang kepada hatimu. (HR. Muslim). Keterpisahan antara dimensi-dimensi agama: islam, iman, dan ihsan adalah ketimpangan-ketimpangan dalam beragama sehingga tidak membawa efek dalam pembentukan karakter yang diharapkan. Al-Quran misalnya menjelaskan: Sesungguhnya salat mencegah perbuatan keji dan munkar. (Q.S. al Ankabut: 45), tapi fakta dalam masyarakat kita begitu banyak orang melakukan salat namun kemunkaran malah tidak berkurang. Ini karena memang dalam fiqh pengertian salat terbatas sekedar ‘perbuatan dan bacaan ritual tertentu yang dimulai dengan takbir diakhiri dengan salam’. Ini sebuah ketimpangan karena sudah jelas melepaskan ritual salat dari dimensi Iman dan Ihsan. Seharusnya ada makna tujuan salat sebagaimana petunjuk Allah dalam QS. Taha: 14, yakni: Dirikan salat untuk mengingat Allah. Kita bisa mengingat Allah dan sangat memungkinkan untuk mengingat Allah karena kita sudah pernah bertemu sewaktu kita di alam mitsaq (alastu birabbikum). Bahkan tidak hanya sampai di situ, seharusnya mendirikan salat untuk mengingat Allah agar tercegah dari perbuatan keji dan munkar.

Demikian juga pengertian zakat dalam fiqh, yakni ‘ritual dengan mengeluarkan sejumlah harta tertentu untuk kelompok tertentu’. Di sini tidak terlihat dimensi iman, yaitu bahwa Allah menanamkan kepedulian terhadap du’afa atau anak yatim sebagaimana Q.S. Al-Ma’un. Tidak juga menyentuh dimensi ihsan, bahwa seseorang ketika memberi harus menyadari bahwa sejatinya yang memberi adalah Allah. Karena itu ada rasa syukur dan tawadlu’ (rendah hati) tapi malah bersombong ria dengan sumbangannya. Akibatnya, ritual zakat tidak memberi efek pada pembentukan karakter positif. Demikianlah, apapun ritual yang diberi definisi dalam fiqh telah melepaskannya dari dimensi iman dan ihsan.

Semua ketimpangan-ketimpangan tersebut adalah akibat dari terpisahnya dimensi-dimensi keberagamaan yang seharusnya saling terpadu. Dimensi Islam terpisah dari dimensi iman dan ihsan. Tatkala orang-orang Arab mengklaim diri mereka telah beriman, Allah menegurnya sebagaimana firman-Nya: Orang-orang Arab berkata kami telah beriman, katakanlah (Muhammad) kepada mereka kalian belum beriman, tapi katakan kami sudah berislam, sedangkan iman belum masuk kedalam hati kalian… (QS. Al-Hujurat: 14).

Agama Islam adalah agama tauhid dan yang paling utama dan paling awal yang harus ditauhidkan bukanlah keyakinan dan kepercayaan akan keesaan Allah, melainkan ketiga dimensi agama, yakni Islam, Iman, dan Ihsan. Ketiganya harus bersatu padu untuk merealisasikan tauhid. Menurut syekh Abdul Halim Mahmud, mengesakan atau mentauhidkan Allah tidak bisa direalisasikan dengan hanya sekedar mengatur dalil argumentasi rasional atau bahkan dengan melakukan ritual-ritual tertentu sekalipun. Tauhid ialah merealisasikan agama dalam tiga dimensi secara bersamaan dan simultan. Setiap ibadah dan pengabdian kepada Allah misalnya haruslah dengan niat. Sabda Nabi: Setiap perbuatan ditentukan oleh niatnya… (HR. Bukhari-Muslim). Setiap niat harus melibatkan keterpaduan antara pikiran dan hati, jika niat hanya dalam pikiran dan tidak melibatkan hati maka pengabdian tidak menjadi khusyu’. Artinya tidak dilaksanakan berdasarkan kepatuhan dan sukarela. Padahal agama harus tulus kepada Allah. (Q.S. Az-Zumar: 3). Ilmu yang mengajarkan bagaimana memadukan antara pikiran dan hati; memadukan dimensi-dimensi Islam, Iman, dan Ihsan; bagaimana merealisasikan ketulusan dalam beragama hanya kepada Allah, ialah ilmu tasawuf. Ini yang dicatat oleh Mawlana Rumi “setelah bertahun-tahun melakukan telaah dalam pengajaran teologis dimana dia menjadi sangat mengenal Al-Quran, yurisprudensi, hadis nabi, dan kesusastraan Islam, Rumi menemukan bahwa pengetahuan skolastiknya tidak memenuhi kepuasan spiritualnya. Dia menyadari bahwa ada jalan lain menuju penyingkapan yang tidak kasat mata bagi kebanyakan pemikir skolastik”. Itulah jalan tasawuf.

APAKAH JALAN TASAWUF ITU?

Tasawuf ialah berakhlak ketuhanan sebagaimana hadis nabi: takhalqû bi akhlâqillâh. Orang yang berakhlak ketuhanan mempersonifikasikan asmaul husna: tulus ikhlas seperti halnya Allah mencipta dan memberi tanpa pamrih; atau seperti Allah Yang Maha Kuasa, Maha Kuat, Maha Perkasa tapi peduli terhadap anak-anak yatim dan kaum du’afa. Orang yang berkarakter ketuhanan jika memberi tidak sombong karena paham bahwa yang memberi sejatinya adalah Allah jua. Dia malah bersyukur bahwa Allah telah memilihnya menjadi perantara sampainya rejeki dari Allah kepada yang bersangkutan. Anehnya, ada saja ulama hadis yang menilai hadis ini tidak sahih. Barangkali, secara sanad dan riwayatnya iya, tapi hadis kan bukan riwayat saja tapi juga dalam kadar yang sama dirayah, yakni pemahaman yang koprehensif terhadap kandungan hadis. Bahkan mungkin lebih penting penalarannya. Seseorang tidak bisa mengingkari hadis nabi ini: Aku hanya diutus untuk kesempurnaan akhlak mulia. Hadis Sahih menurut al Albani. Tapi ini sejalan juga dengan ayat QS. Âl-‘Imrân: 159 (karena rahmat Allah jua engkau (Muhammad) bersikap lunak, dan kalau saja engkau kasar dan keras kepala niscaya mereka menjauh darimu); dan ayat QS. Al-Anbiya: 107 (tiadalah Kami mengutusmu (Muhammad) kecuali sebagai rahmat bagi semesta alam).

Seolah-olah yang dimaksudkan adalah bahwa untuk menjadi rahmat bagi semesta alam haruslah dengan akhlak mulia, dan untuk berakhlak mulia haruslah dengan bersikap lunak. Sedangkan untuk memperoleh sikap yang lunak haruslah dengan melakukan jihadunnafs dengan mengelola hati agar bisa mengeluarkan penyakit-penyakit jiwa dan mengisinya dengan Allah. Inilah yang kemudian bisa memberi pemahaman yang komprehensif terhadap QS. Âl-Imrân: 159 bahwa karena kasih sayang Allah yang tertanam dalam hati nabi maka beliau menjadi lunak dan tidak kasar.

Berbagai fenomena keseharian yang dialami Rasulullah bersama atau di tengah para sahabatnya merupakan fenomena spiritual yang dapat dinilai sebagai peristiwa-peristiwa supranatural, yang pada gilirannya hanya bisa dicapai atau didapatkan ataupun dialami oleh mereka yang berjalan tiada henti menuju kesempurnaan. Sebutlah misalnya, peristiwa awal turunnya Al-Quran. Barangkali, karena kisahnya sudah demikian populer di kalangan umat sehingga penuturannya terlewatkan begitu saja tanpa mengundang suatu perenungan. Menurut sejarawan Mesir modern, Husain Mu’nis, peristiwa turunnya wahyu kepada Muhammad merupakan peristiwa luar biasa. Sebuah mu’jizat paling dahsyat yang dicapai oleh anak manusia. Belum ada peristiwa sebelumnya maupun sesudahnya yang dapat menyamai dahsyatnya pengalaman Muhammad menerima wahyu, sebab proses tersebut sesungguhnya memperlihatkan secara rinci bagaimana seorang manusia biasa berproses menjadi nabi dan rasul, dan menerima wahyu, serta membahasakan kalamullah. Fenomena-fenomena seperti ini tidak bisa dipahami dan dimengerti kecuali dengan pendekatan tasawuf

Termasuk peristiwa perang Badr yang juga merupakan sebuah peristiwa supranatural yang berdimensi keunggulan spiritualisme. Diriwayatkan, di tengah kecamuk perang setiap kali tentara muslim patah pedangnya mereka kembali ke pos Rasulullah SAW dan beliau memberikan apa saja; tongkat, atau tangkai kayu yang tiba-tiba berubah menjadi pedang. Dalam berbagai riwayat hadis, dirinci betapa alam sekitar ikut merespon setiap kali ayat-ayat Al-Quran diturunkan. Ini juga menunjukkan peristiwa supranatural yang terlewatkan.

Kesimpulan sederhananya adalah tasawuf bukanlah hal baru dalam peradaban Islam, melainkan sudah ada dan menjadi dasar ajaran Islam sejak zaman Nabi. Pandangan Ibn Khaldun terhadap fenomena sufisme merepresentasikan apa yang oleh Abu Abd al-Rahman al-Sulami hendak ditegaskannya dalam thabaqa t al-shufiyah-nya. Menurut Ibn Khaldun fenomena sufisme merupakan kesinambungan tradisi Rasulullah SAW yang terpelihara secara turun-temurun dari generasi awal. Fenomena sufisme merupakan mainstream Islam semenjak masa awal hingga orang-orang kemudian terpengaruh oleh gemerlapnya dunia. Al-Thusi dalam al-luma’ juga menceritakan hal yang sama, bahwa sufisme berubah menjadi kaum minoritas tatkala mainstream umat Islam sudah hanyut bergelimang keduniaan.
Tasawuf bukanlah buku yang dibaca, bukan teori dan rumus-rumus yang diterapkan, bukan pula aliran pemikiran yang dapat diidentifikasi melainkan saripati hidup hamba secara totalitas dalam interaksinya dengan Tuhan.

Tasawuf bersifat individual karena merupakan pengalaman pribadi, meski pengalaman yang sama dapat terjadi pada beberapa orang yang berbeda ruang dan waktu. Memang betul, bahwa dalam tradisi keilmuan tasawuf ada aspek-aspek tertentu yang secara terpisah dibicarakan para sufi dan memberi kesan seolah terumuskan menjadi suatu teori yang mapan, terstruktur dan sistimatis. Teori yang dianggap mapan itu seperti fana, makrifat, dan mahabbah. Namun teori-teori ini sama sekali tidak merepresentasikan esensi tasawuf kecuali bahwa wacana tersebut merupakan hasil pengalaman ril seseorang; dan pengalaman tersebut melibatkan totalitas potensi yang ada dalam diri seseorang; baik potensi intelektual, potensi psikis maupun potensi spiritual.

Tampak adanya upaya para sufi merumuskan bagaimana potensi-potensi dalam diri manusia itu dipadukan dan diintegrasikan (ditauhidkan) untuk menciptakan kepribadian yang utuh. Pribadi utuh yang menjadi tujuan tasawuf adalah manusia sempurna seperti yang digambarkan dalam Al-Quran dan sunnah sebagaimana pula yang dicontohkan Rasul Terpilih, Kanjeng Muhammad SAW. Sudah barang tentu tradisi, cara dan gaya hidup yang diwariskan Nabi SAW kepada para sahabat utama tetap terpelihara hingga masa lahirnya tasawuf sebagai disiplin ilmu.

Tasawuf, sejatinya, bukan sekedar ilmu, bukan aliran pemikiran, bukan pula wacana atau teori-teori apalagi golongan-golongan. Melainkan, tasawuf adalah “perjalanan menuju Allah”. Mempelajari tasawuf tidak serta-merta menjadikan seseorang bertasawuf. Bahkan, bergabung dalam paguyuban tarekat tidak serta-merta membuat seseorang menjadi Sufi.

Sufisme memahami bahwa fungsi agama dan esensinya adalah “membangkitkan kesadaran manusia untuk kembali kepada Tuhan”. Agama diturunkan untuk menjemput manusia menuju Tuhan. Tujuannya adalah untuk menjadikan manusia sebagai khalifah, sebagai refleksi sifat-sifat Tuhan yang menjadi sumber kebaikan. Agama bukan tujuan melainkan alat atau jalan menuju Tuhan, Ketahuilah, bahwa agama hanya untuk Allah semata (QS. Az-Zumar: 3).Tujuannya adalah Tuhan semata, yang karena refleksi sifat-sifat keagungan-Nya pada diri manusia maka tersebarlah kebaikan di muka bumi, dan ini berarti merealisasikan janji Allah kepada para malaikat dan iblis bahwa sang manusia akan melakukan tugas kekhalifahannya dengan baik.

Di sinilah makna syari’at menemukan relevansi esensinya, sebagai “jalan”, sebagai “jalan melintasi samudera kehidupan”. Makna syari’at ini dipahami para ulama terdahulu hingga abad 3 H, sebagaimana diuraikan oleh at-Tahânuwî (w. 1191 H) dalam karya ensiklopedisnya kasysyâf ishthilâhâti_l funún wa_l ‘ulum. Pemahaman ini berbeda dengan pemahaman para ulama belakangan (muta_akhkhirîn) tatkala konsepsi-konsepsi pemikiran dalam Islam kemudian dilembagakan dalam bentuk aliran-aliran atau kelompok-kelompok mainstream dan non-mainstream dimana pengertian syari’ah menjadi sangat sempit sebagai kompilasi hukum-hukum praktis (fiqh). Bahkan, lebih sempit lagi bahwa pemahaman yang disebut syari’ah bagi mereka adalah “hasil penafsiran para ulama dalam mazhab. Pada saat yang menyerang pemahaman yang berbeda dengan stigma bid’ah.

Renungkan kembali, keseluruhan ajaran-ajaran Islam mulai dari rukun-rukun Islam dan Iman, Tauhid, niat dan segenap bentuk ibadah; baik yang fardlu maupun yang sunnah-sunnah: semuanya mengarah kepada pembentukan karakter berketuhanan. Yakni karakter yang merefleksikan sifat-sifat Tuhan yang menjadi media tersebarnya kebaikan di bumi. Karakter yang, misalnya “jika memberi tidak sombong” hanya terealisasi jika kita paham bahwa pada esensinya yang memberi itu adalah Tuhan, tapi melalui tangan kita. Selanjutnya karakter “jika menerima pemberian juga tidak minder dan berkecil hati” muncul dari pemahaman bahwa pada esensinya yang menerima adalah Tuhan jua. Dua karakter ini akan menjadikan manusia sebagai makhluk yang penuh apresiasi dan bersyukur.

Umat Islam masa kini tidak mampu mempersonifikasikan keunggulan ajaran Islam karena mereka telah menjadikan Islam sebagai tujuan. Ada anggapan awam saat ini yang berkembang: yang penting masuk dan bergabung kedalam paguyuban Islam kemudian menganggap dirinya selamat. Padahal tujuan berislam adalah Tuhan. Bahkan tidak hanya sekedar “sampai kepada Tuhan” tetapi sampai ke Tuhan kemudian kembali lagi kepada dunia manusia dengan membawa kesadaran mengalami pertemuan-dengan-Tuhan itu. Persis seperti kisah perjalanan Isra’-Mi’raj, dimana Nabi SAW sampai ke derajat paling tinggi, sidratul muntaha bertemu Allah langsung tapi kemudian kembali kepada dunia manusia untuk menyebarkan kebaikan. Ini yang menjadi esensi sabda beliau: Yang terbaik diantara kalian adalah mereka yang lebih bermanfaat kepada sesamanya.

Salat adalah pengganti mi’raj. Maka dalam hadis-hadis Nabi kita temukan bahwa salat di samping merupakan tiang agama (‘imâdu_d dîn) juga sebagai pendakian (mi’râj) mukmin. Dalam konteks perjalanan sebagai pengalaman keberagamaan (religious experience) tidak ada alasan untuk memilah-milah antara syari’ah versus haqîqah. Hanya mereka yang tidak mengalami perjalanan yang melakukan (atau memahami) adanya pemilahan. Sedangkan bagi sang pejalan, sâlik, syari’ah dan haqîqah menyatu padu; syari’ah adalah haqîqah adanya dan haqîqah adalah syari’ah adanya. Tanpa kebersatuan dan kepaduan ini maka setiap pengabdian yang dilakukan akan menjadi sia-sia.