Mukadimah MENEBUS NUSANTARA

Nusantara disandera? Siapa yang nekat menyandera? Kenapa bisa sampai digadaikan? Sejak kapan Nusantara diagunankan? Menebusnya ke siapa? Bagaimana caranya? Kenapa kita sampai kecolongan begini? Loh, Indonesianya kemana? Kok malah menelantarkannya. Wes wes, jangan jangan kita selama ini teledor dalam berbangsa? Atau ini hanya soal pemerintah yang tidak becus ngurus negara, Bung? Mudah mudah kita bukan bagian dari yang menggadaikan Nusantara.Banyak fakta yang menyatakan Nusantara ini sedang dibajak dan perlu menebusnya. Ya, Nusantara ini satu bangsa, yang berbahasa banyak, bahasa-bahasa nusantara, terdiri dari berbagai suku bangsa, dan dari berbagai corak budaya yang beraneka-ragam. Lantas siapa yang membajak Nusantara ini?

Sebelum menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia, geografis kawasan Nusantara dikenal sebagai Hindia Belanda, nama politis yang menunjukkan pengakuan pendudukan kolonial Belanda atas Nusantara. Itu terjadi pada era kolonialisme tradisional yang dilakukan oleh bangsa-bangsa Eropa sejak tahun 1600-an seperti halnya yang digencarkan oleh kolonialis Eropa lainya seperti Inggris, Portugis, Perancis dan Spanyol diatas Afrika, Hindustan, hingga Inca dan Maya di Amerika Lama. Kolonialisme tradisional itu awalnya bermotif ekonomi, namun selanjutnya berkembang menggunakan kekuatan militer-kerajaan untuk penguasaan atas bangsa atau negara lain. Tujuannya tidak lain pengeksploitasian sumber daya yang ada untuk kemakmuran bangsanya dengan cara pendudukan fisik.

Kesadaran sebagai satu bangsa yang kesejahteraannya sama-sama disandera oleh kolonial, dijadikan kekuatan politis bagi para pejuang untuk menggalang kekuatan pada luasan pendudukan kolonial. Dinamika politik antar kerajaan-kerajaan di Eropa maupun yang terjadi di daerah koloni-koloni, serta dinamika antara kerajaan dan pemerintahan kolonialnya, sangat berpengaruh terhadap terbentuknya simpul-simpul perjuangan kemerdekaan. Simpul-simpul inilah yang kemudian menjadi cikal-bakal terbentuknya negara-negara bangsa (Nation States) yang dipelopori oleh Amerika Serikat (United States) dengan Proklamasi kemerdekaan (Declaration Of Independent) oleh 13 koloni Inggris menjadi daerah dengan pemerintahan yang otonom pada tahun 1776, memisahkan diri dari Kerajaan Inggris.

Gajahmada bersumpah ditahun 1336: “Saya tidak akan menikmati palapa sebelum menyatukan nusantara.” Istilah nusantara yang diucapkan Gajahmada itu, memiliki makna kontekstual teritori politik diluar sentral kuasa Majapahit. Sebelum istilah nusantara muncul, terdapat satu penyebutan lagi yaitu dwipantara, yang muncul dimasa Singasari berjaya tahun 1275. Raja Singasari, Kertanegara, memakai kata dwipantara sebagai identitas politik atas teritori kekuasaannya yang membentang dalam luasan wilayah Asia bagian tenggara. Dwipantara ini kerap disebut sebagai konsorsium kerajaan-kerajaan Asia tenggara di bawah imperium Singasari

Tahun 1912, ketika Douwes Dekker membangun Indische Partij, dia gelisah dengan nama kepulauan jajahan kerajaan Nederland yang di sebut Hindia Belanda atau Nederland Indie. Dia kemudian mengajak Ki Hajar Dewantara untuk menggali kembali khasanah lama, hingga menemukan kata nusantara, lalu menafsirnya ulang. Dekker dan Ki Hajar bersepakat untuk memakai kata nusantara itu sebagai pengganti penyebutan identitas teritori Hindia Belanda. Kata itu digunakan sebagai terjemahan atas istilah bahasa Inggris, Archipelago, jajaran pulau-pulau Asia tenggara diantara Samudera Hindia dan Pasifik. Ketika Soewardi Soerjaningrat dibuang ke Belanda, ia meninggalkan kata nusantara, lalu beralih memakai istilah indonesie, untuk menyebut jajaran pulau-pulau di nusantara itu. Istilah indonesia sendiri sudah diperkenalkan sejak lama yaitu tahun 1850 oleh George Windsor Earl, seorang etnolog berkebangsaan Inggris.

Penggunaan istilah nusantara dalam makna baru ini ini makin kuat di kemudian hari. Tahun 1920, terjadi perdebatan riuh di parlemen Belanda mengenai penyebutan “Hindia Belanda” bagi daerah jajahan mereka di malaya archipelago (Indonesia kini). Nama itu dirasa kurang tepat karena berbeda dengan entitas jajahan yang lain yaitu Suriname, dan Curacao. Kenapa hanya malaya archipelago yang memakai embel-embel Belanda atau Netherland, sedangkan Suriname dana Curacao tidak menyertakannya.

Terdapat tiga nama yang beredar pada perdebatan itu. Yang pertama, tetap memakai hindia belanda, yang kedua memakai nama insulinde sebagai alih bahasa atas kata nusantara, ada yang lebih setuju memakai nama indonesia. Namun, tidak satupun pendapat mencetuskan nama dwipa-ntara. Nama itu seakan-akan sudah lenyap berganti nama nusantara dan indonesia dengan pergantian tafsirnya.

Sebenarnya ada faktor lain yang sering luput dari sejarah, perang eksistensi model negara yang terjadi antara Negara-Bangsa, Kerajaan dan Kekaisaran (kemakmuran bersama, caliphate). Padahal peperangan ini selalu terjadi sepanjang sejarah peradaban. Dan, tidak dapat dipungkiri, Proklamasi Kemerdekaan Indonesia juga terpengaruhi faktor kekalahan Kekaisaran Jepang atas Sekutu. Kekaisaran Jepang yang saat itu sedang memperjuangkan berdirinya Asia Timur Raya hancur setelah Hirosima dan Nagasaki dibom pada tahun 1945.

Kemudian muncul zaman dekolonialisasi, bermunculanlah negara-negara bangsa, negara berhak berdulat atas bangsanya. Kawasan yang sebelumnya bernama Hindia Belanda itu menjadi Indonesia, lahir sebagai negara merdeka yang memiliki cita-cita mulia untuk menyejahterakan bangsa dan rakyatnya. Namun, Indonesia tidak serta merta terbentuk begitu saja, dinamika poltik dalam dan luar negeri mempengaruhi peta wilayah negara dan model negara. Indonesia pernah berubah-ubah dari NKRI, RI dan RIS. Begitu juga dengan perubahan-perubahan yang terjadi dengan model Pemerintahannya.

Tetapi setelah hampir tujuh puluh tahun merdeka, apa yang hari ini kita temui? Negara dengan garis pantai salah satu yang terpanjang di dunia ini justru malah impor garam, kawasan dengan curah hujan yang cukup tinggi ini malah mengimpor hasil pertanian macam kedelai atau beras. Ladang-ladang minyak di negeri ini dikuasai oleh korporasi asing. Tanah-tanah pertambangan di Indonesia pun demikian, lahan-lahan perkebunan banyak yang dikuasai perusahaan asing, begitu juga dengan kepemilikan saham di sektor perbankan dan telekomunikasi. Hari ini kita mendapati negeri ini sudah tergadai kepada bangsa luar, perusahaan multinasional tepatnya. Kandungan dalam tanah kita dieksploitasi untuk memberikan kemakmuran kepada korporasi-korporasi asing. Enam puluh tahun lebih  Indonesia merdeka, tetap saja kolonialisme tetap terasa, walau hadir dalam wujud yang berbeda, Neo Kolonial.

Sampai kapan itu akan terjadi? Adakah yang salah dengan pengelolaan negeri ini? Apakah yang mesti diperbaiki dari model kepemimpinan negeri ini? Kenapa proses perampokan kekayaan alam Indonesia ini sepertinya mendapat legitimasi dari pemerintah kita sendiri? Adakah relasi dengan sistem politik kita? Inilah yang perlu kita gali dan eksplorasi untuk bisa menemukan dan menemukan kembali jawabannya. Cerita lama soal hidup menderita di negeri yang kaya sumber daya harus berakhir, formula-formula baru, regulasi, revitalisasi, pembenahan struktur atau apapun namanya harus berorientasi kepada kedaulatan Indonesia dan kemuliaan manusia-manusia yang menghuni di dalamnya.

Nusantara punya sejarah panjang. Barus, Sriwijaya dan Majapahit  pernah menikmati “hadiah dari alam” ini. Kebudayaan nusantara juga kekayaan sumber daya yang tidak kalah pentingnya, manusia-manusia adiluhung dapat lahir dari kebudayaan yang dimiliki negeri ini. Hari ini geopolitik Indonesia sangat strategis, kekayaan alam yang melimpah serta posisi geografis memiliki “peran penting” dalam interaksi global. Dan menjadi bangsa yang berdaulat adalah syarat yang tidak bisa ditawar, dan untuk menjadi seperti itu yang mesti kita lakukan adalah MENEBUS NUSANTARA yang sudah tergadai.

Jakarta, 7 Mei 2014 — Dapoer Kenduri Cinta