Budaya dan Kearifan Lokal

Sabtu, 3 Mei 2014, maiyahan digelar di parkir belakang UII Fakultas Hukum, jalan Taman Siswa. Maiyahan digelar sejak pukul 20.00 hingga 24.00 WIB. Dalam maiyahan yang bertema tentang Budaya dan Kearifan Lokal ini hadir beberapa pembicara selain Cak Nun, yaitu: Busro Muqoddas, Sabrang (Noe), Bapak Ainur Rofiq, dan Kang Puji. Beberapa catatan dikumpulkan dari diskusi berdurasi 4 jam lebih, diantaranya:

— Indikator yang bisa digunakan untuk menghindari kesalahan paradigma tentang kearifan lokal; Apakah ada kecenderungan menguasai, apakah ada dominasi, apakah ada penindasan. Penggunaan budaya asing belum tentu melanggar kearifan lokal. Bisa jadi hal itu adalah bentuk kemesraan antara lokal dengan asing.

— Mengatasi permasalahan kearifan lokal; perlu ada ketersambungan dari apa yang kita miliki dahulu sebagai suku bangsa, negara yang sekarang tercemari atau bahkan hilang oleh budaya copy paste dari budaya asing.

Memahami perilaku Tuhan dengan analogi sebuah cerita dari masa Abbasiyah, yaitu cerita Nasruddin (Abu Nawas) yang menggunakan jasa tukang pijat.

— Konsep kepemimpinan Nusantara dan kaitannya dengan kearifan lokal. Dimana disini diketahui bahwa kepemimpinan Nusantara era Hindu-Budha menganut konsep ngemong.

— Supremasi dalam hidup adalah keadilan. Bukan hukum atau kekuasaan. Keadilan harus menjadi supremasi setiap orang, sejak dalam ranah pikiran, mirip seperti ungkapannya Pramoedya Ananta Toer.

— Bahwasanya apa yang diketahui/bisa dilakukan oleh manusia/makhluk hidup adalah karena ajaran/pembelajaran yang diberikan oleh Tuhan. Contoh sederhana, mengenai bayi yang menangis ketika pertama kali menghirup udara. Dari mana sang Bayi mengetahui cara menangis? Bahwasanya menangis harus seperti yang dilakukan si bayi?

— Penjelasan tentang filosofi dari lagu Gundul-gundul Pacul yang sarat dengan pesan moral kepemimpinan Nusantara.


Busro Muqoddas lebih banyak membahas tentang korupsi, langkah pencegahan korupsi berbasis keluarga, dan beberapa modus korupsi. Busro juga menceritakan beberapa kisah penelurusan transaksi haram yang dilakukan oleh KPK, serta cerita tentang pelatihan disiplin penegak hukum KPK yang dilatih langsung oleh Kopassus.

Bapak Ainur Rofiq memberikan catatan penting: Jangan menggunakan senjata sebelum kita memiliki kearifan untuk menggunakannya. Senjata yang dimaksud disini bisa bersifat kiasan, misalnya pengetahuan, kebisaan, kekuasaan, harta, dan senjata dalam arti sebenarnya.

Cak Nun menambahkan tentang paradigma berpikir sekarang yang amburadul. Jalan dianggap tujuan, tujuan dianggap jalan. Realitas fakta; fakta media, fakta manusia, fakta alam. Fakta alam merupakan fakta yang langsung dikendalikan oleh pembuat alam. Sedangkan fakta manusia dan fakta media adalah hasil olahan manusia. Kita dianjurkan untuk berpegang pada fakta alam, sebab fakta inilah yang utama.

Sabrang lalu menyampaikan penelusurannya tentang struktur Pemerintahan di jaman Hindu-Budha (Kalingga-Majapahit, dibawah 1.000 SM) dan mencoba menemukan paradigma apa yang digunakan oleh pemimpin terdahulu hingga memunculkan struktur semacam itu. Dari penjelasan Sabrang itu, perlu juga ditelusuri adanya perubahan paradigma dalam sistem kasta atau stratifrafi di masyarakat. Karena dewasa ini kasta dianggap sebagai peninggalan Hindu-Budha, padahal hingga sekarang kita mengetahui dalam kehidupan tidak mungkin menghindarkan sistem kasta dalam masyarakat.

Cak Nun menggaris bawahi bahwa di masyarakat dewasa ini, ketika seseorang telah memilih identitasnya, maka dia telah menentukan kastanya (posisi tingkatannya dalam masyarakat). Kata “memilih” ini sangat penting digaris bawahi, karena didalam sistem Hindu, kasta diperoleh sejak lahir.


Yang terakhir, yang sebenarnya adalah penjelasan dibagian pertama adalah penjabaran singkat makna lagu Gundul-gundul Pacul.

Lirik Pertama; Gundul-gundul Pacul-cul, gembelengan. Maksudnya Gundul adalah bocah/anak-anak. Pacul adalah kiasan untuk menambah kesan anak-anak. Gundul pacul artinya anak-anak yang benar-benar masih bocah, belum bisa berpikir. Gembelengan artinya main-main. Gembelengan ini dalam bahasa ibu saya, mirip seperti gerakan be-i-gal.Gerakannya mirip memain-mainkan kepala ke kiri dan ke kanan. Maksud keseluruhan bait pertama ini; ketika masih anak-anak, tidak masalah jika seseorang masih main-main.

Lirik kedua; Nyunggi-nyunggi wakul-kul, gembelengan. Nyunggi maksudnya menjunjung di atas kepala. Wakul maksudnya adalah wakul nasi atau wakul tempat menaruh bahan makanan. Wakul ini adalah simbol kesejahteraan. Gembelengan, artinya main-main (sama seperti makna di atas). Makna keseluruhannya, saat sudah berposisi nyunggi wakul, seseorang sudah tidak boleh main-main. Untuk sampai ke posisi nyunggi wakul, seseorang tentunya telah melewati tahap kedewasaan dan bisa berpikir, oleh karena itu sudah tak boleh main-main. Apabila masih main-main, maka yang terjadi adalah:

Lirik ketiga; Wakul nggelimpang, sego ne dadi sak ratan. Artinya wakul-nya jatuh (nggelimpang), nasi (sego) jadi berantakan. Nah, kalau dalam posisi nyunggi wakul masih juga main-main, maka wakul-nya nanti jatuh dan nasinya berantakan.

Tiga bait lirik gundul-gundul pacul ini punya sarat makna bagi mereka yang ditugasi/diamanahkan memegang/mengelola kesejahteraan rakyat. Posisi nyunggi wakul itu merujuk ke pejabat Pemerintah/Negara. Wakul merupakan simbol instansi/lembaga tempat mengelola kesejahteraan dan sego merupakan simbol kesejahteraan.

Kesejahteraan disini bisa berarti sumber daya alam, laut, udara, iptek, sejarah, budaya, APBN dan sebagainya. Oleh karena itu, Orang yang berposisi nyunggi wakul (pengelola kesejahteraan) tidak boleh gembelengan (main-main). Kalau masih gembelengan (main-main) nanti wakul nggelimpang (lembaga itu akan jatuh/kacau) dan sego (kesejahteraan) akan berantakan.

Lagu ini sangat relevan untuk menggambarkan Pemerintah Indonesia di masa kini yang dianggap masih main-main dalam mengelola segala sumber daya, sehingga kesejahteraan Rakyat Indonesia sangat berantakan.

[Teks: Nurul Amin – Foto: Adien/Progress]