Mukadimah: MANUFAKTURING KAWULO GUSTI

Mukadimah Maiyah Kenduri Cinta edisi Januari 2015

Sesungguhnya, alam semesta dan isinya yang merupakan rahmat Tuhan ini sudah lebih-lebih dari cukup untuk memenuhi kebutuhan setiap makhluk hidup. Namun seiring perkembangan zaman, kebutuhan manusia menjadi semakin kompleks. Banyak kebutuhan manusia tidak dapat dipenuhi secara langsung dari alam, perlu ada rekayasa terhadap alam dan perlu kerjasama dan pembagian tugas untuk mengolahnya sehingga menjadi sebuah barang yang dibutuhan. Semakin kompleks kebutuhan suatu barang, maka akan semakin panjang rangkaian tahap-tahap dalam proses produksinya. Disinilah peran manusia dalam mendistribusikan rahmat Tuhan semesta alam.

Misalnya saja untuk membuat sepotong tempe mendoan, kelihatannya sederhana. Namun di zaman ini, jika dirunut dari bahannya saja, boleh jadi untuk sepotong mendoan dapat melibatkan negara bahkan dunia internasional. Coba saja kita telusuri dari kedelainya, pasti ada keterlibatan petani yang menanamnya. Untuk menyuburkan perlu pupuk, ini akan melibatkan pabrik pupuk. Kemudian setelah panen, kedelai dibeli tengkulak dan dijual di pasar perlu diangkut menggunakan kendaraan yang diproduksi di Jepang. Boleh jadi karena ‘kebijakan’ negara, ada kedelai impor dari Brazil yang jauh lebih murah. Dengan pertimbangan modal sekecil-kecilnya, maka kedelai impor yang dipilih untuk menjadi bahan membuat tempe itu. Itu baru dari kedelai, belum dari minyak goreng dan tepungnya. Itupun baru contoh sepotong tempe mendoan, bagaimana misalnya ponsel, komputer, dan sebagainya.

‘Peran-peran’ dalam proses pengolahan bahan baku dari alam hingga menjadi barang jadi untuk memenuhi kebutuhan itu diberikan oleh Tuhan kepada manusia. Penambahan nilai-nilai pada tiap tahap produksi dan distribusi semata-mata ditujukan sebagai penghargaan terhadap proses pengerjaan ‘peran’ yang terjadi pada tiap tahapan. Maka, jual-beli dihalalkan. Tinggal bagaimanakah kita dalam menjalankan peran-peran pada tiap tahapan itu. Apakah itu dalam usaha kita untuk mendistribusikan rahmat Tuhan, atau sebaliknya justru untuk memonopoli rahmat dari Tuhan untuk kepentingan kelompok/pribadi diri kita?

Kalau kita lihat dari sejarah, bahwa ekonomi menjadi dasar terbentuknya jalinan sosial, sepertinya sulit untuk dibantah. Ekonomi yang dimaksud bukan hanya soal pemenuhan kebutuhan materi saja, namun termasuk pemenuhan kebutuhan yang bersifat a-materi, seperti kebutuhan akan jasa, pengakuan, penghormatan, kasih sayang dan sebagainya. Dalam mengidentifikasi persoalan ini pada kehidupan sosial, muncul teoritikus-teoritikus ekonomi yang mencoba memahami dinamika masyarakat dalam usaha memenuhi kebutuhannya, dan merancang teori-teori ekonomi. Oleh para pengusungnya, teori-teori ekonomi itu diperjuangkan supaya diterapkan pada kehidupan sosial, bahkan dijadikan ideologi negara. Ada yang paham bahwa perlu adanya nasionalisme, senasib sepenanggungan. Ada sosialisme yang paham bahwa sama rasa sama rata dan peniadaan kepemilikan individu adalah solusi yang dibutuhkan masyarakat. Dan kapitalisme dengan usaha sekecil-kecilnya untuk memperoleh keuntungan sebesar-besarnya. Dan hingga sekarang, teori-teori ekonomi terus diperbaiki dan disempurnakan sebagai hasil pemikiran, sampai dengan munculnya ‘jalan ketiga’, sebagai jalan tengah antara sosialisme dan kapitalisme. Rumusan-rumusan ekonomi semakin canggih sebagai hasil pemikiran namun tidak melibatkan Tuhan sebagai pemilik tunggal saham kehidupan.

Para ‘pemilik’ usaha di zaman ini tidak lagi menganut murni salah satu teori-teori ekonomi klasik dalam menjalankan usahanya. Tidak terkecuali negara-negaranya, tidak lagi ada yang murni menjalankan ideologinya. Lembaga-lembaga usaha termasuk negara pada zaman ini memilih untuk mengambil jalan ketiga. Pada suatu masa menjadi sangat nasionalis, namun pada saat lain menjadi sangat kapitalis, bahkan tidak ragu untuk memonopoli dan merampok kekayaan alam. Sampai ketika musim mulai panas, ketika mulai nampak riak protes masyarakat, lantas berubah menjadi sangat sosialis, memunculkan wajah bersahaja Corporate Social Responsible-nya. Kemudian ketika musim mulai dingin, keadaan sosial mulai kondusif, mulai lagi ancang-ancang untuk merampok rakyat. Alhamdulillah, kita ada di negara Indonesia yang berideologi Pancasila, semestinya pemerintah dan para pengusahanya tidak melakukan hal seperti itu.

Di Indonesia yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa, roda ekonominya berjalan dengan Kemanusiaan yang adil dan beradab, demi Persatuan Indonesia para elite dengan cara Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan, dalam permusyawaratan dan perwakilan saling bekerja sama untuk mewujudkan Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia…. Amboiy, seandainya itu nyata.

Masyarakat Maiyah Kenduri Cinta melaksanakan Maiyah bulanan pada tanggal 16 Januari 2015 mulai pukul 20:00 WIB di Taman Ismail Marzuki mengambil judul Manufakturing Kawulo Gusti sebagai kabar gembira di awal tahun.

[Teks: Amin Subhan – Ilustrasi: #SEMANGART]