Memulai Putus Asa

Reportase Juguran Syafaat 10 Januari 2015

Sejak pukul 20.00 malam, para sedulur sudah mulai memadati pendopo wakil bupati Banyumas. Beberapa diantaranya mengobrol satu sama lain, membaca buletin dan ada yang ikut membantu menyiapkan acara. Tepat pukul 21.00 WIB, acara dimulai dengan dibuka oleh Kusworo sebagai moderator. Kukuh memandu membaca surat Al-Ankabut secara tartil dan terpimpin. Dilanjutkan dengan wirid Padhang Mbulan bersama-sama dipimpin oleh Rifangi.

Seusai wiridan, Kukuh meminta Al-Fatihah para sedulur untuk Gus Dur, karena malam hari ini bertepatan dengan digelarnya Haul Gus Dur di Purwokerto. Kemudian Kusworo memulai sesi perkenalan dengan para sedulur yang hadir dari sekitar Purbalingga, Majenang, Cilacap dan Banyumas. Juguran Syafaat malam ini kedatangan tamu spesial, yaitu Toto Rahardjo, sesepuh Maiyah, sahabat dekat Cak Nun, yang beberapa hari yang lalu menyediakan waktunya untuk mengisi workshop keorganisasian untuk Penggiat Juguran Syafaat. Toto Rahardjo datang bersama Harianto, yang merupakan ISIM Maiyah dan juga Sekretaris Nahdlatul Muhammadiyyin.

Sebagai pengantar, Rifangi memimpin shalawat Duh Gusti yang diiringi oleh sedulur pemusik dari Purbalingga. Juguran Syafaat kali ini adalah penyelenggaraan ke-22, dan mengambil tema Memulai Putus Asa. Acara malam hari ini adalah rangkaian terakhir dari Workshop Internal Keorganisasian Penggiat Maiyah Juguran Syafaat yang dipandu oleh Toto Rahardjo di Purbalingga. Rizky melanjutkan dengan menjelaskan sedikit pengantar tentang Maiyah, kota-kota simpul Maiyah dan juga mata air Maiyah, yaitu Cak Nun.

“Tema ini terinspirasi dari Pak Toto Rahardjo, beliau tokoh pergerakan di Indonesia yang sudah terbukti melakukan banyak hal, suatu ketika saya dengan lugunya meminta tips bagaimana untuk melakukan pergerakan merubah Indonesia, dan beliau menjawab bahwa beliau pun sudah putus asa,” awal Rizky. “Tetapi setelah mengikuti workshop kemarin selama tiga hari, ternyata definisi putus asa-nya Pak Toto ini berbeda 195 derajat dengan definisi putus asa yang kita kenal sebelumnya.” tambah Rizky.

Toto Rahardjo usai menerbitkan satu bukunya mengenai sekolah yang didirikannya di Yogyakarta, berjudul Sekolah Biasa Saja. Buku ini merupakan refleksi cara pandangnya melihat pendidikan alternatif atas carut marutnya pendidikan saat ini.

“Pendidikan saat ini yang primer bukan lagi di keluarga, tapi malah di sekolah. Salah satu bentuknya, masih kecil sudah masuk PAUD. Disadari atau tidak disadari, anak-anak mengenal dunia atau kehidupan tidak melalui lingkungan keluarga, tetapi melalui apa yang diformatkan atau diajarkan di sekolah. Dan itu saya kira belum tentu sejalan dengan nilai-nilai keluarga,” sambung Kusworo.

“Orang kadang merasa sehat, karena orang tidak pernah mendiagnosa dirinya. Hidup seperti baik-baik saja, begitu didiagnosa ternyata sama sekali tidak sehat. Barangkali apa yang kita alami sekarang menurut mainstream ini wajar-wajar saja, sistem sekolah, pendidikan dan di bidang-bidang lain. Padahal belum tentu pas untuk hidup kita sebenarnya,” tambah Kusworo.

Demas, penggiat pendidikan Banyumas, bercerita tentang pengalamannya mengajar di desa Kemawi, Banyumas. Demas menceritakan bahwa di sekolahnya hampir 50% pengajarnya mengajar mata pelajaran yang tidak sesuai dengan studinya. Murid-muridnya harus menempuh 1 jam perjalanan dengan jalan kaki untuk menuju sekolah karena tidak ada angkutan umum yang lewat. Demas memperkenalkan komunitas yang didirikannya yang berkumpul membahas alternatif-alternatif apa yang bisa dipakai sebagai media pendidikan anak-anak.

Hakikat belajar itu bukan membaca dan menulis terus-terusan. Hakikat belajar adalah setiap apapun yang teman-teman alami, itu adalah sedang belajar.

PENDIDIKAN PUTUS ASA

Toto Rahardjo merespon sharing dari yang tadi berbicara dengan sebelumnya menyapa para sedulur yang sudah hadir.

“Pendidikan sekarang ini kan seperti benang kusut. Untuk mengurainya itu seperti apa? Itu kan malah merusak saja, untuk menjahit sudah tidak bisa. Kalau gitu kan ganti saja benangnya. Saya sebenarnya sedang menelusuri sejak kapan sekolah menjadi ajang kompetisi. Padahal latar belakangnya beda, gizinya beda, fasilitasnya beda. Itu sebenarnya tugas negara. Kalau sekarang saya melihat belum ada yang kita lihat sebagai harapan,” Toto mengawali, “Saya kira kalau mau ngomong putus asa itu akarnya dari sini. Tapi putus asa bisa dimaknai yang positif. Artinya, kalau anda putus asa, berarti anda sedang gelisah dan sedang mencoba melihat, mencari kasunyatan-kasunyatan yang mungkin bisa menjadi pencerahan anda semua.

“Kalau anda melihat globalisasi itu sebenarnya sudah ada sejak orde baru, sejak presiden Soeharto menandatangani kesepakatan di dalam globalisasi. Globalisasi itu adalah pasar bebas. Ada tiga jalur menuju globalisasi, yang pertama dimana aparatus pasar bebas bekerja melalui mempengaruhi regulasi. Bagaimana supaya undang-undang diubah sesuai dengan pasar bebas. Ketika negara menandatangani kesepakatan tentang pasar bebas, implikasinya negara harus membuat undang-undang yang memperbolehkan pasar bebas, negara tidak boleh lagi memberikan subsidi. Kalau sekarang negara sudah tidak memberikan subsidi, terus apa guna negara?

“Salah satu larangan dari pasar bebas adalah negara dilarang memberikan subsidi kepada petani. Inilah yang menyebabkan harga cabai melambung tinggi. Anda pernah dengar istilah Good Government? Good Government itu adalah pemerintah yang baik yang tidak ikut mengurusi urusan dasar masyarakat, biar diurusi pasar saja. Maka salah satu yang terjadi mahalnya harga itu karena itu. Kalau di Amerika, justru mereka mensubsidi pangan. Ini kan kurang ajar! Mereka menyuruh kita tidak boleh mensubsidi pangan, tetapi mereka sendiri mensubsidi pangan.

“Selanjutnya swastanisasi, dan juga tidak adanya proteksi, perlindungan. Kalau sekarang sekolah disuruh bertanding, itu karena kita disuruh untuk tidak rukun. Kalau perlu, bayi lahir itu disuruh bertanding. Masalahnya kompetisi ini adalah kompetisi bebas. Kalau di tinju ada sistem kelas tanding, disini tidak. Benar-benar bebas bertanding. Ellyas Pical berlatih seharian disuruh bertanding dengan Mike Tyson yang tanpa latihan, sudah pasti Ellyas kalah. Sama seperti kondisi sekarang.

“Kalau ada penelitian, kenapa petani miskin, maka akan dijawab karena mereka malas. Padahal yang membuat petani tercukupi hidupnya itu adalah luas tanah. Lah, sekarang luas tanahnya saja tidak seberapa, kalau petani disuruh mencangkul dari subuh hingga subuh lagi maka tidak akan mempengaruhi apapun. Gandhi pernah mengatakan bahwa bumi ini cukup untuk semua manusia, tapi tidak cukup untuk seorang yang serakah. Berarti sekarang ini ada keserakahan, ada monopoli yang membikin kemiskinan itu terjadi.

“Nah apa harapan kita selanjutnya, kalau ada tiga jalur globalisasi masuk ke kehidupan kita, Negara, pasar dan komunitas? Ya pasti komunitas. Padahal komunitasnya sendiri, masyarakat kita sudah mengambil alih cara berfikir global. Globalisasi sekarang sudah hampir menyaingi Gusti Allah, ada tapi tidak kelihatan. Hanya bisa dirasakan. Dan kita semua mengamini. Orang kalau mandi tidak pakai sabun saja sudah di omong tetangga. Dibilang terbelakang.”

Toto Rahardjo juga menambahkan bahwa saat ini pasar bebas menghendaki semua masyarakat menjadi konsumen atas industrialisasi. Hal ini membuat kita tidak percaya diri atas produk bikinan sendiri. Setelah uraian dari Toto Rahardjo, Meta dan sedulur musisi Purbalingga mempersembahkan sebuah nomor lagu Keagungan Tuhan sebagai penyegar suasana.

Sebuah perubahan tidak akan terjadi kalau kita tidak melakukan kerja perubahan pada diri kita sendiri.

NITENI KASUNYATAN

Harianto menceritakan tentang kata dalam jawa titenono. Ada strategi bahasa yang digunakan oleh orang tua kita jaman dulu dalam menggunakan kata titenono. Kalau kepada yang muda yang sedang belajar semangatnya adalah semangat niteni.

“Saya melihat Allah selalu menekankan dalam setiap firmannya, justru untuk niteni, mengamati, selalu tidak kagetan. Karena sudah tahu sebelumnya, sudah niteni. Sama seperti petuah orang tua kita dalam idiom titenono. Kalau dalam Al-Quran ada kata Afala yang cukup mendominasi. Afala itu artinya apa kamu tidak. Ada apa kamu tidak berfikir, apa kamu tidak renungkan, apa kamu tidak melihat. Ini kan konteksnya pendidikan,” sambung Harianto. “Dalam teori sosial, kompetisi adalah tahap kedua setelah konflik. Dahulu ketika masyarakat masih tenang, kita dibikin konflik. Bangsa Barat menemukan cara supaya kita tidak konflik tanpa aturan, dibuatlah aturan main. Hadirlah kompetisi. Tapi hakikat sebanarnya tetap bertanding. Setelah masyarakat berkompetisi, berkembang menjadi masyarakat yang kooperatif. Masyarakat yang sadar peran.

“Kaya dan miskin sampai hari ini kita pahami sebagai kelas. Pintar dan bodoh, berpendidikan tinggi dan berpendidikan rendah. Padahal tidak. Kaya dan miskin itu adalah peran. Sebenarnya fungsi pendidikan adalah menyadarkan peran ini tadi. Tapi pendidikan sekarang pun dibikin kelas. SMP lebih tinggi daripada SD, dan seterusnya. Saya membayangkan, pendidikan yang paling utama itu adalah mengenalkan orang untuk menjadi orang. Bagaimana manusia menjadi manusia. Kalau dibuat urutan umur, umur 0-15 tahun itu lingkaran dalam, lingkaran dalam itu pendidikannya tentang rumah tangga dan rukun warga, karena jangkauannya ya sebatas itu. Dia belajar khusus tentang keluarga, kebutuhan rumah tangga, bagaimana akur, tercukupi kebutuhannya. Dan melebar ke rukun warga apa yang terjadi di lingkuangan sekitar. Disini anak belajar juga tentang matematika, geografi.

“Kenapa pendidikan lepas konteks dengan kehidupan? Karena sejak awal, sejak SD SMP, tidak dikenalkan tentang keluarganya, tentang rumah tangga, tentang rukun warga. Lingkaran menengah 15-2, ini usia pengembaraan, usia berburu ilmu. Anak sudah bisa menentukan apa yang mau dipelajari dan kebutuhan akan belajarnya. Misal mau belajar tentang batu akik. Anak sendiri yang menentukan ukuran berapa lama dia harus belajar, karena dia sudah pra dewasa. Lingkaran luar setelah 20 tahun, setelah mendapatkan bahan yang banyak, saatnya dia kembali ke rumah tangga dan ke rukun warga tadi. Melakukan pengabdian. Kenapa sekarang kampus tidak melakukan pengabdian, karena sewaktu kecil sudah dipisahkan dengan rumah tangga dan rukun warga.” ujar Harianto.

Harianto menjelaskan bahwa kita tidak bisa mengubah orang lain, yang bisa kita lakukan adalah mengubah diri kita sendiri. Logikanya seperti ketika kita meminta orang lain menampar kita, itu tidak bisa. Yang bisa kita lakukan adalah meludahi mereka, maka kita akan ditampar oleh mereka. Sebuah perubahan tidak akan terjadi kalau kita tidak melakukan kerja perubahan pada diri kita sendiri.

Sebelum mencapai Illahinnas, maka yang harus diupayakan adalah Malikinnas, ini adalah kekuasaan, kemandirian atau kedaulatan.

HAKIKAT BELAJAR

Meta, fasilitator Sekolah Alam Baturraden, bercerita tentang beberapa kebijakan menteri pendidikan sekarang yang tidak sesuai dengan permasalahan yang sebenarnya terjadi. Meta sharing tentang sekolahnya yang susah mendapatkan ijin karena tidak memiliki gedung sekolah.

“Hakikat belajar itu bukan membaca dan menulis terus-terusan. Hakikat belajar adalah setiap apapun yang teman-teman alami, itu adalah sedang belajar. Itu yang saya tanamkan ke anak-anak di sekolah saya,” ujar Meta.

Toto Rahardjo menambahkan dengan bercerita tentang bentuk-bentuk asuransi sosial yang berlaku pada masyarakat kita. Seperti contoh ibu hamil, dimana orang bahu membahu memperhatikan ibu hamil dalam masyarakat desa, dari 7 bulan hingga persiapan kelahirannya. Tetapi lama-lama bentuk seperti itu semakin hilang, hingga yang menanggung beban hanya ibu yang hamil itu saja. “Yang bisa kita lakukan adalah membuat tatanan kesepakatan di dalam komunitas terkecil kita. Kita merasa putus asa, berarti kita merasa gelisah melihat keadaan. Yang repot adalah, kita itu tidak tahu, tetapi kita tidak mengerti kalau kita tidak tahu,” kata Toto.

“Melihat kasus diatas, segala bentuk program yang dilakukan masyarakat adalah bentuk keputusasaan. Kita hidup bersama dengan negara atau penyelenggara kekuasaan publik, tapi fasilitas hidup tidak disediakan oleh negara. Maka bentuknya adalah membangun kemandirian komunitas, yaitu membuat kesepakatan-kesepakatan sosial. Pola seperti ini yang bisa diterapkan di komunitas dimanapun. Nah yang miris kan kalau komunitas itu berkumpul justru bukannya memproduk sesuatu tetapi mengkonsumsi sesuatu,” Rizky merespon.

Merespon Isma, dari Purwokerto, yang sebelumnya sharing tentang pengalaman susahnya mencari pekerjaan yang sesuai dengan minatnya. Toto Rahardjo mengatakan, “Sekolah sekarang diminta untuk menyediakan tenaga kerja. Ini salah. Sekolah ya sekolah, belajar hidup, supaya memahami potensi dirinya. Maka sekarang yang muncul adalah sekolah vokasi, padahal ini pun sudah gagal. Arti sekolah sesungguhnya itu adalah mengisi waktu luang. Tapi kenapa sekarang menjadi penting sekali, kan aneh ini. Tiba-tiba sekolah menjadi penentu jaman.” Toto Rahardjo lantas melanjutkan dengan bercerita saat ia di tahun 80-an, dimana dia berkenalan dengan pemikiran dari Paulo Freire, Ivan Illich yang kemudian membuat dia memutuskan untuk berhenti sekolah.

Sebagai penghangat suasana, Tri dan sedulur musisi Purbalingga mempersembahkan sebuah musik karya sendiri berjudul Koruptor Si Perut Setan.

MEMBANGUN UKURAN SENDIRI

Agus Sukoco menyambung diskusi sebelumnya dengan menceritakan tentang perubahan dalam sudut pandang Al-Quran. Ia mengangkat cerita Nabi Musa dan Nabi Harun dalam membawa nilai Islam kepada Firaun, yang akhirnya Firaun gagal diberi tahu (diubah). Sejatinya Firaun memang tidak bisa diubah, dan Nabi Musa paham itu, tapi dia hanya menjalankan perannya saja sebagai nabi.

“Kita dulu mengenal yang namanya takhayul itu ketika duduk di pintu, sehingga susah mendapat jodoh. Tapi kalau kita gali, kita akan menemukan filosofi-filosofi dari yang kita anggap takhayul. Dan ternyata itu malah bukan takhayul. Yang saya rasakan sebagai takhayul yang nyata adalah ukuran-ukuran yang sekarang berada di kehidupan kita. Bahwa yang bagus, yang modern, yang hebat itu harus yang seperti ini. Tahun 80-an orang yang cantik itu yang kriting. Tahun 2000-an itu yang cantik yang lurus. Dan kita berbondong-bondong ke salon. Kita tidak sadar bahwa selera kita dikendalikan entah oleh siapa. Nah, disitulah ketidakmerdekaan kita. Kita tidak tahu mana primer mana sekunder. Jadi kalau kita ke swalayan, ke supermarket, kita bisa niat beli odol, begitu kita kesana semua menjadi seperti penting semua. Malah odol tidak jadi dibeli.” sambung Agus.

Menanggapi perubahan yang dikemukakan oleh Harianto, Agus menceritakan pergaulannya dengan teman-teman Purbalingga dimana mereka sanggup merubah ukuran-ukuran hidupnya, tidak dipengaruhi oleh mainstream. Apabila orang lain bangga bisa makan enak, teman-teman malah malu, dan sebisa mungkin menghindar ketika ketahuan makan enak. bahkan teman-teman mengurangi tidur, ada ukuran tersendiri jika tidur terlalu cepat setiap harinya.

Harianto menjelaskan konsep kedaulatan dalam surat An-Nas yang terdapat idiom Robbinnas, Malikinnas, dan Illahinnas. Peradaban yang menyeluruh atau tata kelola sosial dalam An-Nas disebutkan dengan kata Illahinnas. Sebelum mencapai Illahinnas, maka yang harus diupayakan adalah Malikinnas, ini adalah kekuasaan, kemandirian atau kedaulatan. Dan yang sering kita lupakan adalah idiom Robbinnas sebelum Malikinnas, ini adalah pengasuhan, pengabdian, atau pelayanan. Maka jika umat Islam ingin berkuasa, yang dilakukan bukanlah merebut kekuasan, yang harus dilakukan adalah pelayanan, pengabdian. Maka jika ini sudah dilakukan, maka secara otomatis kekuasaan akan tercapai.

“Kenapa Amerika hari ini sangat menguasai dunia? Karena mereka bersungguh-sungguh melakukan pelayanan. Mereka berpikir bagaimana supaya orang tidak kerepotan dalam melakukan perjalanan jauh, melahirkan pesawat. Mereka berpikir orang membutuh komunikasi jarak jauh, mereka melahirkan telepon. Terlepas motivasinya apa, karena kita tidak bisa mengukur dan menghakimi motivasi,” tambah Harianto.

Rizky menceritakan apa saja yang didapat dalam workshop bersama Toto Rahardjo kemarin seperti agenda penggiat Maiyah yang berperan untuk niteni atau riset dalam kehidupan sehari-hari. Ini berfungsi untuk mendiagnosa permasalahan apa saja yang terjadi di sekitar lingkungan kita dengan lebih terstruktur.

BERBAGI KASUNYATAN

Syiir Tanpo Waton dipersembahkan oleh Rifangi dan sedulur musisi Purbalingga, menyambut peringatan Haul Gus Dur pada malam hari itu. Azmy dari Gusdurian Purwokerto, menyempatkan datang ke Juguran Syafaat seusai acara dari tempat lain dalam peringatan Haul Gus Dur. Azmy bercerita tentang proses perkenalannya dengan Gus Dur melalui pemikirannya terhadap kemanusiaannya. “Negara sampai sekarang belum mampu memanusiakan manusia. Terbukti sampai sekarang masih ada konflik SARA, sektarian dan lain sebagainya,“ tambah Azmy.

Toto Rahardjo menambahkan tentang ketidakadilan dalam dunia ini yang dahulu hanya masalah kelas majikan dengan buruh sekarang menyebar menjadi jenis kelamin, usia, sampai ke pengelolaan sumber daya alam.

“Ini tidak bisa dilakukan solusi kecuali melalui pendidikan kemanusiaan di usia dasar. Nah kita pikir pendidikan itu hanya di sekolah, padahal pendidikan itu ya dari rumah sampai ke negara. Kalau kita luput memahami kemanusiaan ini, maka ketidakadilan itu yang akan terjadi,“ tambah Toto.

Toto mengingatkan bahwa dalam Maiyah kita bahkan diwajibkan untuk menafsirkan sesuatu. Meskipun tafsir kita berbeda-beda karena perbedaan cara pandang, pengalaman hidup dan pendidikan masing-masing orang. Yang menjadi masalah adalah orang yang meng-klaim bahwa tafsirnya yang paling benar. Toto melihat sejarah bahwa jaman penjajahan dahulu kita dibuat sama atau seragam oleh Belanda, agar kita mudah diatur. Perlawanan terhadap keseragaman ini ditolak habis-habisan oleh Ki Hajar Dewantoro maupun Budi Oetomo.

“Kalau tadi mengatakan bahwa sekarang mobil sudah menjadi kelas sosial, yang padahal fungsi sejatinya sebagai angkutan transportasi, sekarang justru lebih ngawur lagi. Bahkan manusia modern menggunakan simbol-simbol spiritualisme sebagai ukuran-ukuran kelas sosial agar dihormati oleh orang lain,” respon Agus.

Togar dari Sokaraja, bercerita tentang kesulitannya mencari buruh tani tanam untuk sawahnya. Usia-usia buruh tani rata-rata 40 tahun ke atas. Ini menjadi ancaman tersendiri tidak adanya regenerasi buruh tani di desanya. Togar juga melihat bahwa universitas tidak bisa menyediakan orang-orang yang mumpuni di bidang pertanian, meskipun dia sarjana pertanian.

“Pendidikan saat ini mengajarkan hal yang tidak-tidak kepada peserta didik. Bukan berbasiskan kasunyatan atau kenyataan hidup. Kalau memang daerah tersebut daerah pertanian, maka seharusnya pendidikannya ada hubungannya dengan pertanian. Pendidikan malah menjauhkan manusia dengan realitas sosialnya.

“Tiba-tiba desa menjadi kelas yang paling direndahkan dalam kehidupan. Padahal kalau kita telusuri, asal kata dari desa adalah merdesa, artinya sejarhtera dan patut. Patut dalam ekonomi, sosial, politik maupun kebudayaan. Kalau kita terlusur bahasa yang lain menjadi paradesa, kalau di Inggris menjadi paradise, yang artinya surga. Dulu-dulunya desa diletakkan tinggi derajatnya. Orang jaman dahulu membayangkan surga itu ya seperti desa,” jelas Toto.

Toto menganalisis bahwa petani sekarang pun membunuh karakter petani itu sendiri dengan menyekolahkan anak-anaknya tidak di bidang pertanian, karena diam-diam mereka sendiri tidak yakin terhadap keberlangsungan hidupnya. Masalah ini sudah menjadi problem sistematis yang susah diurai.

Pendidikan saat ini mengajarkan hal yang tidak-tidak kepada peserta didik. Bukan berbasiskan kasunyatan atau kenyataan hidup. Pendidikan malah menjauhkan manusia dengan realitas sosialnya.

EPILOG

Suasana makin gayeng ketika Rifangi mempersembahkan shalawat Ya Imamar Rusli diiringi musisi Purbalingga.

Hilmy sharing tentang pengalamannya mengikuti workshop dengan Toto Rahardjo kemarin yang membukakan mata bahwa ada banyak masalah sosial yang terjadi dilingkungan terdekat kita sekalipun. Meskipun kita tidak bisa mencari solusinya, minimal kita sadar dan mampu menganalisis apa yang terjadi. Yudha dari Purwokerto bercerita tentang pengalamannya menjual beras hasil dari sawahnya sendiri. Yudha kesulitan menjual beras agar bisa sesuai dengan biaya produksi yang ada. Rifangi menambahkan bahwa hidup bertani itu sangat indah, jauh lebih indah daripada menjadi pekerja di pabrik bulu mata di Purbalingga.

Arif dari Purwokerto, membagi pengalamannya bekerja di salah satu supermarket terbesar di Purwokerto. Dalam sistem pemasaran supermarket tersebut memang sudah didesain sedemikian rupa agar kita sebisa mungkin membeli barang-barang mereka meskipun sebenarnya tidak kita butuhkan. Konspirasi pemasaran ini mulai dari penempatan iklan baliho di sudut-sudut kota yang strategis hingga penempatan barang pada etalase supermarket. Ini sebuah upaya menggiring kita menuju ke konsumerisme pada produk-produk industrialisasi.

Rizky menyambung bahwa solusi atas permasalahan yang terjadi mungkin bentuknya tidak selalu benda konkrit yang berbentuk dan mampu dilihat oleh kasat mata, tapi bisa jadi dalam bentuk nilai dan prinsip hidup.

Para sedulur yang hadir memungkasi acara dengan bersholawat Ya Nabi Salam Alaika bersama-sama dipandu oleh Rifangi. Diakhiri dengan para sedulur saling bersalaman melingkar.

[Teks: Hilmy Nugraha]