Mukadimah: KUFUR AWARD; MANIPULASI CITRA, KAPITALISASI PENCITRAAN

Mukadimah Kenduri Cinta Februari 2016

Setiap orang memiliki perannya masing-masing dalam kehidupan. Setiap gerak dalam menjalani peran-peran itu membentuk citra yang alami pada dirinya. Semakin kompleks kondisi kehidupan seseorang, semakin banyak peran yang dilakukan, secara berurutan, bersamaan, atau bergantian. Seiring bertambah usia, bayi tumbuh menjadi anak-anak, menjadi remaja, selanjutnya menjadi dewasa. Sebagai seorang ayah, dia juga berperan sebagai seorang suami, seorang menantu, sekaligus bersamaan dengan peran sebagai anak dari orang-tuanya. Bergantian, kadang berperan sebagai pemberi, kadang menjadi penerima. Kadang menyaksikan, kadang disaksikan. Peran-peran kita dalam kehidupan sosial adalah penonton sekaligus yang ditonton.

Citra muncul berdasarkan pengalaman, kesan alamiah atas suatu keadaan yang senyatanya. Citra lahir tanpa rekayasa, benar adanya, apa adanya. Setiap langkah dan peran hidup manusia akan mengakibatkan lahirnya citra. Semakin kompleks kondisi kehidupan seseorang, semakin banyak peran yang dia lakukan baik dilakukan secara bersamaan maupun berurutan atau mungkin bergantian. Begitu juga citranya, semakin baik dia melakukan perannya semakin baik pula citra yang dia dapatkan. Itu yang dikatakan kelahiran citra itu alami tanpa ada rekayasa dan manipulasi. Sebaliknya, pencitraan adalah hasil rekayasa, manipulasi keadaan yang tidak senyatanya.

Seorang yang rajin beribadah dan dalam kehidupan sehari-harinya senantiasa berkelakuan baik terhadap orang-orang disekitarnya, dengan sendirinya akan melahirkan citra baik pada dirinya. Orang itu secara alamiah diakui oleh lingkungannya sebagai seorang yang saleh, tanpa perlu pencitraan untuk dirinya, justru citra baiknya akan batal kalau orang itu mengakui dirinya sebagai seorang yang soleh di hadapan orang lain.

Pada zaman yang penuh manipulasi, pencitraan seakan menjadi hal yang dianggap lumrah. Pencitraan terjadi tidak hanya oleh individu, organisasi-organisasi, lembaga-lembaga, divisi-divisi, departemen-departemen, perusahaan-perusahaan bahkan negara-negara yang ada saat ini sedang berlomba-lomba melakukan pencitraan. Pencitraan dengan berbagai motif dan tujuan dilakukan untuk memanipulasi persepsi masyarakat, menutupi, membohongi dan menggelapkan pandangan rakyat dari keadaan yang sebenarnya sedang terjadi.

Pencitraan pun tidak melulu bertujuan untuk menjadikan suatu keadaan yang buruk menjadi nampak baik, pada tujuan lain pencitraan yang terjadi dapat dilakukan untuk mengesankan sesuatu yang baik supaya nampak buruk. Bagaikan fenomena kabut, perusahaan-perusahaan yang korup berusaha menggelapkan keuntungan perusahaan pada laporan pajaknya. Bahkan pada keadaan yang ekstrim, sebuah perusahaan sudi menyatakan pailit. Fenomena kabut mampu mengkaburkan wujud keseluruhan realita bangunan termasuk warna-warni aslinya, auditor sebagai pengamat bangunan keuangan dipaksa sedemikian rupa sehingga hanya mampu meraba detail bagian-perbagian saja, tanpa pernah diberikan pandangan yang menyeluruh atas wujud asli bangunan. Kabut itu berlapis-lapis dan tidak hanya berupa kabut yang menyelimuti akuntansi perusahaan, justru kabut tebal itu sering berupa kekuasaan politis management dalam perusahaan yang korup itu.

Contoh manipulasi radikal yang terjadi beberapa bulan lalu dan sepertinya akan segera dilupakan oleh bangsa Indonesia adalah terkait perpanjangan kontrak kerjasama antara perusahaan pertambangan terbesar dan pemerintahan negara Indonesia. Pandangan kita sedemikian rupa dibuat kabur supaya tidak mampu melihat bahwa ada orang yang sekian lama sudah menggali sumur dan menguasai airnya dari dalam rumah kita, lantas begitu gampang kita bahagia ketika orang itu berbaik hati menjual sekian persen kepemilikan saham atas sumur kepada kita yang jelas-jelas sumur itu berada di dalam rumah kita. Mungkin karena kita tidak merasa berkepentingan langsung dengan perusahaan pertambangan tersebut sehingga hal itu luput dari perhatian kita. Kita memilih untuk sibuk berpura-pura tidak takut pada ledakan bom, kita memilih bergunjing soal kemungkinan secangkir kopi dapat mematikan. Kita serentak menolak bayang-bayang Gafatar, sementara nasib Pilkada serentak telak hambar, melayang-layang dalam buaian pencitraan.

Di dalam politik pada zaman ini, pencitraan sudah menjadi kebutuhan wajib. Politik di dalam demokrasi cukup menuntut seorang calon pemimpin mendapatkan mayoritas pengakuan suara rakyat yang memilihnya. Angka 53% dari rakyat yang bersuara sudah lebih dari cukup menjadikan seseorang menjadi pemimpin. Keadaan ini menyuburkan lembaga-lembaga survey, tim-tim sukses yang dengan bayaran tak sedikit bersedia merekayasa, memanipulasi dan menjilati pantat kedudukan tuannya yang haus kekuasaan. Kapitalisasi pencitraan menghasilkan pemimpin-pemimpin karbitan yang tidak layak memimpin, terpilih dengan cara rekayasa. Kapitalisasi pencitraan memunculkan relawan-relawan yang menyembunyikan motif terselubung dalam menjaring sukarelawan, relawan-relawan yang tidak menyadari bahwa dirinya sedang dijadikan modal usaha mereka. Citra politik yang semestinya hadir sebagai pedang pelindung rakyat untuk menuju kesejahteraan malah berganti menjadi sekedar cangkul ekonomi untuk mengolah lahan pesta pora rakyat yang dimabukan oleh politik pencitraan.

Sementara pemimpin sejati hidup bersama rakyat yang terus berjuang untuk diri dan keluarganya, rakyat yang tidak tergiur dengan pesta pora politik penuh pencitraan. Rakyat yang berdaulat menyadari bahwa pemimpin mereka bukanlah mereka yang menyodorkan cangkul pencitraan, bukan mereka yang menghunuskan pedang kekuasaan dan meminta untuk dipilih menjadi pemimpin. Pemimpin sejati adalah dia yang dalam dirinya senantiasa mengedepankan kesejahteraan rakyatnya dan selalu Allah SWT sebagai pertimbangan utama dalam setiap gerak kepemimpinannya. Pemimpin sejati lahir dan tumbuh di tengah rakyat, menemani setiap suka-derita yang dirasakan rakyatnya, berbagi kebahagiaan bersama rakyat.

Kepemimpinan sejatinya adalah rahim-Nya Allah SWT berupa kekuasaan yang diberikan kepada seseorang untuk disalurkan kepada rakyat yang menerima kepemimpinannya, kekhilafahannya. Adanya lembaga, institusi dan organisasi pada prinsipnya semata-mata sebagai pendistribusi rahmat Allah SWT sehingga menjadi berkah bagi semesta alam. Usaha monopoli, manipulasi untuk menutupi kebenaran adalah bentuk kufur.

Kenduri Cinta kali ini mengangkat tema Kufur Award, Manipulasi Citra, Kapitalisasi Pencitraan. Seperti biasa bertempat di Plaza Taman Ismail Marzuki Jakarta, hari Jumat 12 Februari 2016.