Mukadimah ASONGAN AKHERAT

Siapa tak kenal pedagang asongan? Turun-naik bus kota, menjajakan aneka pernik ada. Dari makanan, minuman, tissue, majalah-majalah tahun kemarin, buku mewarnai, topeng, sandal kesehatan, jepit rambut, gunting kuku, dan aneka ragam barang-barang ajaib lainnya. Ulet menjajakan dagangan, melawan terik dan dingin malam. Berpindah dari satu kendaraan umum, ke angkutan lain. Bertaruh dengan ketidakpastian, menjajal nasib.

Pedagang asongan adalah spekulan ulung. Jika dilihat dari kacamata Ilmu ekonomi, kegiatan para pedagang asongan ini pasti mempertaruhkan pengorbanan yang sangat kecil. Orang-orang yang berangkat dari ketiadaan ekuitas mempertemukan barang dagangan dengan para pembeli, tanpa jaminan bakal terbeli. Berlari, menawarkan, gigih, capek, campur aduk jadi satu. Banyak atau sesedikit apapun laba dari hasil mengasong, itulah rejeki yang mereka bawa pulang.

Bagi mereka yang tak memiliki modal finansial memadai, mengasong barangkali menjadi pilihan tunggal untuk bisa bertahan hidup. Memberdayakan diri dengan peralatan kerja apa adanya. Menjualkan barang milik orang lain, lalu mengais selisih keuntungan rupiah dari sana. Bisa jadi, pedagang asongan adalah potret kecil tentang pola bertahan hidup manusia. Kehidupan adalah aktifitas transaksional-distributif pada ruang perniagaan multi aspek.

Masing-masing manusia berlaku sebagai pengedar rezeki yang Allah kucurkan. Memutarkan aset dari Allah, sebagai Pemilik Modal Mutlak kehidupan, demi kepentingan hidup bersama. Karena sesungguhnya manusia tidak berkuasa untuk memiliki modal apapun. Yang ada dalam manusia adalah perangkat pengolah modal. Mengartikulasikan segala yang diciptakan oleh Allah kepada bentuk dan fungsi turunan untuk senjata kehidupan. Manusia hanyalah distributor yang memiliki daya “kreatif”, setitik kemampuan olah kehidupan yang diberikan oleh “Sang Kreator”.

Perniagaan dengan dan di dalam Allah adalah sirkulasi untuk saling melengkapi. Tak peduli mau di pondok pesantren, di sekolah-sekolah, di rumah sakit, di penjara, di kantor-kantor, di warung-warung, di jalan raya, dan di mana saja, asalkan yang kita lakukan adalah mempertemukan Pemilik Seluruh Modal dengan pihak-pihak yang membutuhkannya, menjadi nafi’un li ghairihi, pada momentum itulah kita sedang menjadi pedagang asongan akhirat. Menebar tools yang Allah sediakan didunia, lewat jalur-jalur interaksi yang rahmatan lil alamin, demi meraih ridlo yang imbasnya pada kehidupan akherat.

Kalau kegiatan mengasong akhirat ini dianggap sebagai skala besaran ibadah, lantas pihak yang manakah yang sebenarnya memiliki relevansi dan akurasi untuk mengukurnya? Si penjual atau pembelinya? Apakah Allah selalu di ‘posisi’ sebagai penjual dan bukan pembeli, ataukah Dia menjual rahmat untuk mempersilahkan manusia bekerja mengasong menciptakan manfaat-manfaat dalam berbagai bentuk, menyalurkannya kepada siapapun pihak yang membutuhkan, lalu membeli sedikit prestasi itu kembali?

Bagaimana aku bisa memberi-Mu makanan, sedangkan Engkau Rabbul Alamin?

Lihat, tetanggamu ada yang lapar! Bawakan untuknya makanan! Di sana kamu bertemu dengan Aku!

Dengan ini, Kenduri Cinta tidak sedang menyuguhkan fatwa atau penafsiran yang mutlak, tetapi berkeinginan membuka wacana baru yang diharapkan bisa membantu perjalanan hidup kita semua.