ASONGAN AKHERAT

reportase kenduri cinta maret 2013

Pada Jumat kedua bulan Maret 2013, forum bulanan Kenduri Cinta terselenggara di plasa Taman Ismail Marzuki. Dua puluh tujuh menit lepas dari pukul sembilan malam, dibacakan ayat-ayat suci Al-Quran.

Rusdianto mengawali diskusi dengan menyoroti wacana perbedaan antara kreativitas dan inovasi. Yang tumbuh di masyarakat, dari kata kreatif bisa memproduksi reaktif. Produk orang-orang kreatif pasti jahil. Rata-rata hanya meniru dan mengembangkan hal-hal yang sudah ada. Kejahilan itu contohnya mewujud pada kegiatan mengubah foto dari yang tidak begitu cantik menjadi cantik. Kita justru sering lupa akan pengembangan yang inovatif. Penemuan-penemuan sudah jarang kita lakukan. Begitu pula dengan para pendakwah yang tidak pernah “maju” berinovasi dengan pemikiran-pemikiran baru.

“Kita sudah banyak ditipu. Banyak sekali ilmu-ilmu Barat yang kita kagumi, sebenarnya berasal dari kita sendiri, dari Jawa. Di perpustakaan Leiden banyak buku-buku kuno dari Jawa, diolah sedemikian rupa menjadi kata-kata baru yang seolah berasal dari sana. Ini berkaitan dengan tema kita bulan lalu, yakni tentang decoding,” kata Rusdianto, seorang penggiat Kenduri Cinta yang telah terlibat di komunitas sejak awal.

“Judul kita kali ini memang kelihatannya sederhana,” sambung Adi Pujo, pengurus lain dari komunitas Kenduri Cinta. “Tapi tafsirnya sangat sulit sekali karena memang kebiasaan kita mencari judul dulu, baru bikin tafsir. Asongan Akherat ini kalau ditafsirkan ada penafsiran positif dan penafsiran negatif. Dari sisi yang paling sederhana, sebatas yang kita tahu, pedagang asongan berjualan tanpa target. Walaupun tetap mengharapkan hasil, tapi berbeda kelasnya dengan agen atau supplier.

“Sisi positif dari menjalankan aktivitas tidak bertarget adalah kita melakukan hal-hal yang berhubungan dengan akherat, baik itu berupa ibadah mahdoh maupun muamalah, tanpa target yang muluk-muluk. Kita tidak melakukan salat atau puasa dengan harapan pahala sekian kali lipat, atau mendapat surga. Kita tak punya target kecuali untuk mencari keridoan Allah. Sisi negatifnya adalah adalah kita mengasong nilai-nilai akherat. Ini yang agak rumit ketika kita memperdagangkan nilai-nilai akherat, baik berupa ibadah ritual maupun yang lain. Kalau kita asongkan, pembelinya ini siapa? Tuhan?”


Ibrahim manambahkan uraian Adi Pujo, “Di Kenduri Cinta ini harapannya hal-hal yang berhubungan dengan tafsir bisa dikembangkan dan diwacanakan. Judul kita kali ini sangat tasawuf, karena sudah menyebut kata akherat. Filosofi asongan adalah menjajakan barang-barang yang kita butuhkan sehari-hari. Secara ekonomi kita tak pernah mengkalkulasikan rejeki secara dunia. Kalau kita ditipu, kasihan penipunya. Dalam hitungan akherat, justru kita yang diuntungkan oleh Tuhan dengan sangat banyak. Kita punya pembesaran hati dan kepercayaan atas hitungan-hitungan akherat,” tutup Ibrahim.

Pepeng, seorang seniman jalanan, ikut meramaikan diskusi malam itu, ia mengajak jamaah untuk lebih mempelajari diri sendiri, untuk mengenal realita. “Saya hidup di jalanan, tak pernah dididik agama resmi. Kadang masuk gereja, kadang masuk masjid. Ada kegelisahan kenapa kita mesti beragama. Saya cari dalam diri saya. Salah satu inovasi saya adalah saya menyembah pohon. Itu simbol saya. Bagi saya tak ada benda mati.”

Abil, seorang guru di SLB Kuntum Mekar Cengkareng, ikut membagi pengalamannya selama mengajar kepada para jamaah Maiyah malam itu, “Butuh kesabaran sangat kuat untuk mengajar di SLB. Di sana banyak gangguan atau penyakitnya. Ada yang tuna rungu, tuna wicara, tuna grahita, autis. Saya pernah mengajar di kelas yang cacatnya ganda, selalu menggeratak. Di situ diuji kesabaran kita sampai di mana. Bekal untuk ke akherat adalah ibadah. Pendidikan termasuk juga sebagai ibadah.”

“Sisi positif dari menjalankan aktivitas tidak bertarget adalah kita melakukan hal-hal yang berhubungan dengan akherat, baik itu berupa ibadah mahdoh maupun muamalah, tanpa target yang muluk-muluk.”

Adi Pudjo

Untuk me-refresh pikiran, tak lama tampil di panggung, Farid, yang membawakan lagu ayahnya, Mbah Surip. Juga tampil Es Coret, dan lalu disambung dengan Beben beserta istrinya, Inna Kamarie.

“Kemarin saya sudah pemanasan tiga hari di Java Jazz. Sekarang di Kenduri Cinta ini acara intinya,” ujar Beben. “Asongan cuma punya modal sedikit; beberapa dari mereka sukses juga. Paling tidak yang laris adalah yang paling kreatif. Kadang ada manusia yang merasa bisa melakukan macam-macam, padahal semua modal berasal dari Yang Di Atas. Di dunia musik pun seperti itu ada, yang bisa main gitar saja tanpa bisa bikin lagu. Yang paling sukses dalam musik adalah mereka yang paling sensitif. Antonio Carlos Jobim contohnya, dia lihat orang nyetem gitar, tercipta lagu One Note Samba. Melihat perempuan dari jauh, tercipta The Girl from Ipanema. Untuk sukses di dunia musik, harus sensitif, kreatif, dan berilmu. Jadikan belajar sebagai lifestyle. Semua harus belajar sampai mati.”

Malam itu pertama kalinya Inna Kamarie datang ke Kenduri Cinta dengan mengenakan kerudung. Ia menceritakan kisahnya, “Persiapannya setahun. Semoga sampai mati nanti tidak saya lepas. Saya mohon doanya ya. Semakin saya lawan, semakin saya tidak tentram. Uang tidak selamanya bikin damai kok. Saya memutuskan ini pada suatu pagi, ketika keluar dari kamar mandi. Saya minta doanya. Jujur, ini berat banget, berhubungan dengan karir juga. Sudah sebulan sejak mulai berhijab ini saya cancel semua job-job saya. Sebulan ini saya jobless. Tapi entah kenapa, saya merasa damai.”

Beben dan kawan-kawan kemudian membawakan lagu Prahara Cinta, Autumn Leaves, dan Kompor Meleduk.

102NCD9041

“Tuhan itu bukan persaingan uang. Tuhan itu yang punya uang. Cara berpikir kita selama ini salah. Disangka Tuhan itu saingannya setan, saingannya uang; lalu dikira akhirat itu saingannya dunia.”

Emha Ainun Nadjib

HATI-HATI DENGAN PIKIRANMU

Menjelang tengah malam, Cak Nun hadir menyampaikan adanya agenda acara konser berjudul Jazz Tujuh Langit di bulan April nanti, dimana Beben Jazz akan bermain diiringi seluruh personil Kiai Kanjeng.

Cak Nun menyampaikan, “Saya ucapkan selamat kepada Bu Beben atas keputusannya yang luar biasa. Ini bukan soal Islam atau tidak, melainkan penemuan atas kesejatian dan ketenteraman. Dan jangan keliru menganggap bahwa anda akan kehilangan pekerjaan. Dunia ini tidak bertentangan dengan akhirat. Dunia ini termasuk di dalam akhirat. Allah bilang: Barang siapa yang menghendaki keuntungan di akhirat akan Kami tambah keuntungan itu baginya dan barang siapa yang menghendaki keuntungan di dunia Kami berikan kepadanya sebagian dari keuntungan dunia dan tidak ada baginya suatu bagian pun di akhirat.”

Cak Nun sampaikan bahwa dengan bekerja, kita pasti dapat duit. Tapi kalau nyari duit saja, hasilnya tidak akan sebanyak mereka yang bekerja keras. Pertama, hati-hati kalau berpikir. Setiap kita melihat dan mendengar sesuatu pasti berpikir. Tidak pernah tidak berpikir. Pesan beliau: hati-hati dalam berpikir, karena mungkin dia akan menjadi ucapan. Lalu tingkatkan kehati-hatian dalam mengucapkan, karena dia bisa menjadi tindakan. Tingkatkan lagi kehati-hatian karena dia akan menjadi kebiasaan. Kebiasaan ini, berhati-hatilah terhadapnya, karena akan menjadi karakter hidupmu, karakter pribadimu. Ini sudah baku, sudah menjadi monumen. Terus tingkatkan kehati-hatian. Kritisi kembali karakter itu, karena ia akan menjadi unsur kebudayaan, dan lalu menjadi kebudayaan masyarakat. Dalam jangka waktu tertentu, ia akan menjadi peradaban. Kalau sudah menjadi peradaban. Sudah tak bisa diubah lagi.

“Begitulah Indonesia dengan kecurangannya, dengan kedengkiannya. Maka pisahkan dirimu dari Indonesia yang itu. Kamu teliti lagi benihmu, lebih berhati-hati mikirnya, karena sehat atau nggak sehat itu ditentukan oleh bener apa nggak kamu mikirnya. Kalau tidak bener ngitungnya, di otak akan menjadi susunan syaraf yang nyrimpeti hidupmu, menjadi disorganisasi struktur sel maupun urat-urat syaraf. Disorganisasi syaraf menghasilkan perintah yang tidak benar dalam tubuh. Dalam jangka panjang, akan menjadi penyakit. Anda lihat gelandangan yang 40 tahun hidup di jalanan, tidak jelas makanannya, langsung kena panas dan hujan, tapi sehat, itu karena dia beres pikirannya.

“Kita ini menyusun dua kata saja tidak bisa. Maka pasti destruktif otaknya. Kita lihat di berita-berita sekarang, banyak disebut pembunuhan mutilasi. Mutilasi itu siapa kok dibunuh? Kalau anda lihat banyak sekali hal-hal yang memecah pikiran anda, membuat pikiran anda tak tertata.

“Beliau ini (red: Inna Kamarie) mendapat keputusan berhijab yang benar, tapi belum paham mengapa dengan itu menemukan ketentraman yang lebih tinggi daripada job-job yang hilang. Itu bukan berarti job-nya hilang. Tuhan itu bukan persaingan uang. Tuhan itu yang punya uang. Cara berpikir kita selama ini salah. Disangka Tuhan itu saingannya setan, saingannya uang; lalu dikira akhirat itu saingannya dunia.”

“Jangan percaya pada pengurus Kenduri Cinta, jangan percaya pada Emha Ainun Nadjib, carilah kekhusyukanmu sendiri.”

Emha Ainun Nadjib

KEINDAHAN, KEBENARAN DAN KEBAIKAN

“Tadi ada yang ngasih tahu saya ada buku berjudul The Power of Now. Itu kan untuk orang Barat yang berpikir linier, yang cara berpikirnya tidak jazzy. Kok ada kategori begitu? Padahal segala hal begitu saya lakukan, dia menjadi masa silam. Kalau orang mengerti Jazz, dia tak punya rumusan mengenai sekarang atau besok. Seluruh yang kemarin aku sekarangkan, segala yang besok aku kinikan.

“Korupsi itu sejak di pikiranmu. Kalau tahun 2014 tidak ada perubahan apa-apa yang mendasar, maka korupsi sudah menjadi peradaban Indonesia, dan jangan bilang bahwa kamu anti korupsi. Sekarang PKS, Demokrat, semuanya bilang anti korupsi. Yang mereka tidak suka itu korupsi tapi ketahuan, dan mereka sedang membangun teknologi untuk supaya bisa lebih canggih dan lebih siluman.

“Pastikan cara berpikirmu benar. Kalau ada yang nyrimpet cepet diurai, cepet dibersihkan. Jangan mau ditipu siapapun yang menghadir-hadirkan Tuhan kepadamu, yang menghalangi hubunganmu dengan Tuhan. Jangan percaya pada pengurus Kenduri Cinta, jangan percaya pada Emha Ainun Nadjib, carilah kekhusyukanmu sendiri.”

“Khusyuk itu wilayah keindahan, bukan kebaikan maupun kebenaran. Dalam niat menjalankan salat, itulah kebaikan. Menjalankan salat sesuai dengan ketentuan-ketentuan syariat, itu kebenaran. Kalau kebaikan dan kebenaran ini sudah kita kantongi, tapi saat salat kita tidak fokus kepada Allah, apakah kira-kira Allah akan tersinggung atau tidak? Kalau belum khusyuk, apakah kita sudah benar-benar salat? Kalau tidak mencapai keindahan, kebenaran dan kebaikan sholat bisa batal.

“Mengenai ekspresi kekhusyukan, setiap orang berbeda-beda. Ada yang mengekspresikannya dengan meneriakkan ini atau itu, atau bisa juga dengan cara-cara lain. Bahwa kita punya kesepakatan sopan santun dalam komunitas jamaah kita, itu oke. Tapi perkara orang mau bagaimana mengekpresikan kekhusyukan mereka, ya monggo saja.

“Ekspresi manusia bermacam-macam. Oleh karena itu terjadi benturan-benturan yang kemudian melahirkan perjanjian-perjanjian dan kesepakatan. Anda mengikuti kesepakatan itu tanpa ikut dalam proses perjanjiannya. Ini menunjukkan bahwa yang sering anda kenal itu norma agama, bukan agama. Yang anda kenal adalah mebel, bukan pohon. Kamu harus temukan pohonnya, supaya paham bahwa pohon bisa menjadi mebel. Sekarang para ulama datang memperkenalkan mebel sebagai pohon. Allah didegradasi, dimutilasi.”

“Ada beda antara otak, pikiran, dan akal. Bahasa Indonesia ini ngawur pol. Tapi lebih ngawur lagi bahasa Inggris, yang mengajari kita untuk terbiasa tidak setia. Huruf-huruf tidak setia kepada bunyinya. Begitu berada di kata tertentu dia berbunyi begini, dan begitu berada di kata yang lain dia memiliki bunyi yang berbeda. Misalnya huruf y yang ketika berdiri sendiri dilafalkan sebagai way tapi begitu berada di kata yes dilafalkan sebagai ye. Lalu ada huruf double yu (red: W), padahal kalau ngomong huruf, kan belum ada kata. Makanya kesetiaan dan konsistensi pemerintahan tidak laku karena kebiasaan tidak setia pada suku kata.

“Kalau pikiranmu beku, kamu bakal gampang sakit, gampang turun daya tahannya. Tapi kalau fresh, bakal sehat. Meski pake hijab, makin jazzy, makin pantas suaranya, makin subur rahimnya.

Menurut Cak Nun, ada dua kata dari bahasa Arab yang bisa dipelajari, yakni siyasah (politik peperangan) dan aql (yang paling mulia dalam manusia). Ya’qiluun begitu diterjemahkan dalam bahasa Indonesia menjadi mengakali, padahal artinya adalah melihat obyek dengan sebaik-baiknya, sebuah perbuatan terbaik yang terlahir dari pengamatan terhadap sesuatu. Dalam bahasa Indonesia kata ini sudah hancur lebur. Sekarang kita tahunya mengakali itu mencurangi, ngapusi, memperdaya. Padahal akal adalah sebaik-baiknya bahan bagi manusia untuk membangun. Kalau tidak bisa menghayati Al-Quran, nikmatilah. Kalau tidak bisa menikmati, hormatilah. Kalau tidak bisa menghormati, dengarkanlah.

“Pengetahuan tidak harus berasal dari pengalaman sendiri. Kita memerlukan jumlah tertentu (critical mass) untuk bisa otomatis menjadikan kesadaran tertentu sebagai kesadaran bangsa.”

Sabrang

102NCD9044-001

FASIH DAN KESOMBONGAN INTELEKTUAL

Sebelum masuk ke sesi diskusi lebih lanjut, Beben mempersembahkan sebuah band dari Komunitas Jazz Kemayoran yang baru saja tampil di Starbucks Karawaci, Bexa and Friends, yang mempersembahkan All Of Me, Beautiful-nya Cherrybelle, dan Sik Asik.

“Dalam Jazz, setiap pengucapan tak pernah sama,” ujar Beben. “Cak Nun adalah jazzer sejati. Bahkan sesepuh Jazz manapun tak pernah ada yang berkata seperti apa yang dikatakan oleh Cak Nun, bahwa jazzer adalah pejalan tasawuf.”

“Saya punya satu keheranan kenapa orang Inggris menyebut bunyi letusan pistol dengan ungkapan Bang Bang padahal bunyi yang paling dekat adalah Dor,” ujar Erik yang mendalami typography mulai memulai jalannya diskusi. “Malam ini kita diajak oleh Cak Nun untuk kembali berpikir. Paling tidak kalau pada kata saja kita sudah tak peduli, apalagi pada definisi. Definisi apa yang tidak rusak di Indonesia? Kemiskinan, kebersihan, dan banyak hal lainnya. Kita absurd dalam urusan kebersihan. Baju putih kena getah kita anggap kotor, sementara kalau kena sablon tidak kita anggap kotor. Begitu saja kita menerima peristiwa-peristiwa yang lewat tanpa peduli dan mengakali-nya. Kita cuek terhadap apa yang menggelitik. Saya ingin merespon ini supaya baku.”

Cak Nun: “Sekarang banyak yang menulis Insya Allah dengan InshaAllah. Kalau sh adalah syin, shod-nya pakai apa? Anehnya sudah dari awal. Tsa pake th, yang juga digunakan untuk pelafalan kata the. Kalau shod pakai s, lalu apa bedanya dengan sin? Anehnya kita ngikut saja. Kata orang sana tradisi ini disebut sebagai globish, global english. Ini masuk tanpa revisi dan tanpa kita sadari.

“Saya ini bukan mau ngatur anda, tapi saya ini sebagai orang tua yang mau ngasih piweling kepada anak-anak muda. Pokoknya sin itu s. Di bahasa Indonesia ada berapa macam s? Di Arab ada 4 macam: sin, shod (gabungan s dengan h), syin (gabungan s dengan y), tsa’ (s tapi lebih dekat dengan t). Kalau anda melanggar ini, pikiranmu sakit, tubuhmu gampang kena komplikasi. Lihat saja hidupnya, lihat perutnya, dadanya, onderdil hidupnya. Di Jawa ada d dan ada dh. Bahasa Arab mengenal 3 macam: dal, dzal, dho’, dhod. Dzal sama dengan pelafalan there. Yang benar itu dzikir, bukan zikir. Dzikir itu ingat, zikir itu kelamin. Dho’ itu d sama, lebih tebal daripada dzal. Kalau dhod itu mendal.

“Kalau sekarang mau pakai globish, silakan sakit. Kamu pikir sehat masyarakat dunia? Jangan percaya rokok itu tidak sehat. Yang tidak sehat itu caramu merokok dan tidak merokok. Seperti juga syirik, yang tidak terletak pada bendanya, melainkan terletak pada konsep berpikirnya. Saya bukannya mengagung-agungkan Jawa, tapi Jawa itu medhok, fundamental. Televisi-televisi dan selebritis kerjanya mengejek orang Jawa setiap hari. Kita semua nggak percaya diri. Padahal kemuliaan adalah kesanggupan kacang untuk menjadi kacang.

“Bilal tidak fasih melafalkan azan, terutama dalam pelafalan syin dan shod. Semua sahabat marah. Nabi menjawab, kalau Bilal bilang sin itu karepe syin, kalau bilang syin maksudnya sin. Tidak sampai dengan mulut dia. Jadi, kelemahan dan keterbatasan mulut itu tidak masalah, beda halnya dengan kesombongan intelektual.

“Di antara aksara-aksara di dunia, tidak ada lagi aksara dho’ kecuali di aksara Jawa. Bahasa Arab dibungkus dengan bahasa Arab, begitu pula dengan bahasa China, Jepang, dan Korea. Kita nggak pede, bahasanya bahasa Indonesia tapi dibungkus dengan aksara Latin. Yang lebih ajur, ada ratusan huruf di nusantara yang tiba-tiba hilang. Di Sumatra Selatan terdapat banyak aksara. Ada aksara kaganga dari suku Rejang, itu sudah tua sekali dan sampai sekarang pelafalnya masih ada, tapi tidak lagi diajarkan di sekolah-sekolah.

“Sekarang, ada yang disebut bahasa daerah, dibedakan dari bahasa Indonesia. Kenapa bukan disebut Bahasa Indonesia Makassar, Bahasa Indonesia Batak, dan semacamnya? Mau tidak mau, cara anda berpikir merupakan hasil cetakan dari bahasa ibu. Ketika anda melafalkan bahasa lain pun tetap menyesuaikan dengan cetakan dasar tadi. Sekarang citranya seakan-akan bahasa daerah itu kampungan. Bahkan sekarang untuk mengucapkan Aku Cinta Indonesia pun bilangnya I Love Indonesia. Pada urusan kata-kata yang merupakan perwakilan pikiran kita saja kita sudah tidak percaya diri. Jangan-jangan yang keluar dari mulut kita tidak jujur? Tidak sinkron? Jangan-jangan yang kita pikirkan tidak sepenuhnya menjadi transformasi informasi?”

“Dalam dunia thariqat, kesejatian itu kemurnian dan keikhlasan itu dipantulkan oleh kaca sangat bening yang bernama Khidir alaihisalaam.”

Emha Ainun Nadjib

Tiga jamaah kemudian diberikan waktu untuk memberikan pendapat dan pertanyaan. Faisal dari Depok mengeluhkan kemerosotan akhlak dan menanyakan bagaimana cara berpikir dengan benar, terhindar dari halangan-halangan yang ada. Luqman menyatakan kegelisahannya melihat Indonesia. Menurut pendapatnya, Indonesia menjadi seperti ini mungkin disebabkan pula oleh cara membesarkan generasi muda yang tidak tepat. Dia juga mempertanyakan apa maksud yang hendak disampaikan dalam cerita-cerita rakyat seperti Malin Kundang, Sangkuriang, dan Jaka Tarub.

Dadang dari Kafir Liberal mengaku sedang berusaha menjalankan Islam secara kaffah, yang pelakunya dengan demikian disebut kafir. Dadang bertanya apakah menurut Cak Nun anggapannya itu sah.

Cak Nun merespon, “Saya kira kita harus melakukan tahap-tahap yang agak panjang untuk memahami proses berpikir. Kalau mau jadi ahlul fikri, perlu dipahami kalau otak kerjanya berpikir, tapi tidak bisa bekerja kalau tidak melalui dialektika dengan akal. Akal ini separo ada di kamu dan separo lagi ada di Allah. Ubun-ubunlah tempatnya gelombang Allah. Hidayah Allah ada bertingkat-tingkat. Ini bukan karena perbedaan supply Allah kepada manusia, melainkan prosesormu yang menentukan apakah kamu dapat ilham, fadhilah, atau karomah. Tinggal ambil. Saya ngomong begini bukan untuk pamer, tapi saya memang tak pernah berpikir. Saya cuma nyetel mesin ini. Allah mempekerjakan otak saya dengan akal. Allah ngasih hidayah terus-menerus tanpa batas. Ilham sudah jelas ada. Kamu tinggal membangun software. Kalau lebih tinggi kompatibilitasnya, lebih tinggi pula yang mampu kita tangkap. Makanya Muhammad dibersihkan dadanya agar dialektika dengan dadanya refreshed. Muhammad bukan “dibersihkan” tapi ditingkatkan software-nya.

“Saya ini setiap kali nulis nggak pernah mikir. Yang bekerja bukan saya, tapi otak saya. Otak saya kan bukan saya. Makanya saya nggak lelah karena saya mempekerjakan onderdil-onderdil yang telah Allah sediakan. Mengenai proses berpikir yang benar, hati-hati juga karena efek dari tidak mampu memahaminya adalah menjadi gumunan, menganggap tokoh-tokoh sebagai wali.

“Kita sering keliru karena tidak berpikir jernih. Kamu berspekulasi mengerti, tapi untuk benar-benar mengerti harus ada istikhoroh, harus ada konfirmasi dari Allah. Dekadensi itu menurunnya fungsi. Kalau misalnya ada calon bupati yang membangun gedung untuk pesantren menjelang pemilihan, apakah itu perbuatan baik atau tidak? Apa dia bener-bener ngasih? Itu adalah peristiwa dia memberi sesuatu bukan untuk kepentingan pesantren tapi untuk kepentingan dia sendiri. Itu bukan shodaqoh tapi nyogok.

“Kebanyakan orang tua berpesan pada anaknya untuk bekerja keras agar menjadi orang sukses, dengan cara apapun, asalkan jangan lupa salat. Anda nggak ngerti mana yang primer mana yang sekunder. Padahal sudah jelas yang dikatakan Tuhan, bahwa di dalam perjuanganmu mencari-Nya di akhirat, jangan lupa nasibmu di dunia. Yang primer adalah mencari Allah, dan dunia sifatnya sekunder. Sekarang, koruptor seperti apapun kalau sudah mbangun Masjid berubah jadi baik kan citranya? Ini karena masyarakat tidak punya parameter kebaikan. Masyarakat terlanjur sudah menyerahkan parameter itu kepada hukum Negara. Padahal hukum itu hanya tahu dalam level sangat kecil. Hukum hanya tahu orang nyopet, tanpa tahu kenapa orang itu sampai mencopet. Padahal ada level lebih tinggi daripada hukum, yakni akhlak, takwa, dan kemuliaan.

“Tentang kenapa Malin Kundang dikutuk jadi batu, itu mungkin meniru Allah yang mengutuk manusia menjadi kera. Dan dalam kutukan itu Allah menggoda juga. Yang dikutuk itu orang Yahudi, dan padahal di sana nggak ada kera. Tuhan sengaja menujukkan kepada anda bahwa yang dikutuk itu orang dari daerah tropis yang berada di sana. Wong yang disebut itu makanan kita semua: ada bayam, kacang adas, dan sebagainya. Kalau kamu kutuk-kutuk orang Yahudi, ya kudu ngguyu dhewe.

“Anda salat tiap hari, sudah merasa sempurna dengan salat. Sejak Al-Fatihah kita sudah menjadi berada dalam kemuliaan. Mendasari pekerjaan dengan bismillah, memuji Allah, menjunjung Allah, lalu mengakui ke-Raja-an Allah, melakukan satu lagi ikrar. Setelah takzim benar, baru meminta jalan lurus. Minta jalan lurus ini diucapkan oleh orang yang sudah lurus atau yang masih sesat?

“Ada masalah apapun, yang penting beres dulu di pikiran. Hati itu nggak masalah, diam saja tugasnya, jangan ke mana-mana. Perkara nggak bisa melaksanakan itu nggak masalah. Hampir seluruh Nabi juga mengalami kegagalan. Laa haula wa laa quwwata illa billah. Kalau ada sesuatu yang tidak mampu kamu jawab, berbahagialah karena itu bagian Allah.”

“Kalau mau jadi ahlul fikri, perlu dipahami kalau otak kerjanya berpikir, tapi tidak bisa bekerja kalau tidak melalui dialektika dengan akal. Akal ini separo ada di kamu dan separo lagi ada di Allah. Ubun-ubunlah tempatnya gelombang Allah.”

Emha Ainun Nadjib

Menyambung uraian dari Cak Nun, Andri Dwi Wiyono menyoroti masalah bahasa sebagai tool untuk memahami, tapi justru bahasa-bahasa yang ada di Nusantara kurang dilestarikan. Kita tak punya strategi budaya ke depan untuk membangun, sehingga akhirnya kita tak punya karakter. Untuk itulah kita kadang-kadang perlu kembali melihat proses ke belakang, meruntutnya kembali. Dalam proses itu, simbol menjadi makna dan makna menjadi hikmah. Nilai dipegang dan value harus hadir.

Sabrang tak lama ikut bergabung dan menceritakan satu eksperimen yang dilakukan pertama kali di Jepang, kemudian dilakukan di Australia dan Inggris. Ini berhubungan dengan mekanisme informasi dan otak. Di Jepang ada jenis monyet yang hidup di pantai. Seseorang iseng melemparkan kentang kecil ke arahnya, ke pasir. Si monyet senang, tapi ketika langsung dimakan ada pasir yang menempel. Harus dicari cara untuk membersihkannya. Ada yang secara tak sengaja memasukkan kentang yang ada pasirnya itu ke air. Awalnya yang tahu hanya satu monyet, kemudian diikuti oleh anaknya. Lama-lama, teman si anak mengikuti cara itu sampai suatu titik ketika mencapai jumlah tertentu, tiba-tiba semua monyet, bahkan monyet-monyet di lain pulau, menggunakan cara serupa. Semua spesies monyet tersebut tiba-tiba paham bagaimana cara membersihkan kentang.

Satu lagi percobaan membawa gambar wajah tersembunyi ke suatu kelas SMA di Australia. Kebanyakan mampu menebak ada 9 sampai 12 wajah, padahal total gambar ada 40. Pada waktu bersamaan, gambar yang sama disiarkan di TV kabel di Australia, ditunjukkan 40 wajah tersembunyi dalam gambar tersebut. Setelah itu rata-rata siswa SMA yang disuruh menebak mampu menebak sampai 40 gambar wajah.

“Pengetahuan tidak harus berasal dari pengalaman sendiri. Maka ada ungkapan wong kang sholeh kumpulono. Kita memerlukan jumlah tertentu (critical mass) untuk bisa ‘otomatis’ menjadikan kesadaran tertentu sebagai kesadaran bangsa. Sebelum mencapai jumlah itu, prosesnya sangat lambat. Ini bisa juga diterapkan untuk Kenduri Cinta,” Sabrang menyimpulkan sambungan dari kedua eksperiman yang ia ceriitakan sebelumnya.

“Kebaikan itu belum tentu baik, dia juga harus dilaksanakan dengan benar. Kebenaran belum tentu benar, dia harus dilaksanakan dengan kebaikan.”

Emha Ainun Nadjib

102NCD9045

TAREQAT KESEJATIAN

Di penghujung acara, semua jamaah diminta berdiri. “Untuk akhir saya kali ini tidak me-recommend indal qiyam karena banyak teman-teman yang tidak pada tradisi itu, juga yang tidak beragama Islam. Relijiusitas itu tidak hanya ditunjukkan oleh kumpulan kata-kata, melainkan oleh kesungguhan kita untuk menjalankan amanat Allah. Terutama persembahan cinta Anda kepada tanah, itu juga suatu religiusitas. Jadi saya mohon mas Beben beserta Ibu untuk ke depan. Tolong pimpin kami untuk menyanyikan lagu apapun yang bisa memasukkan rasa Indonesia ke dalam diri kita.

“Tadi kita ngomong mengenai asongan akherat. Saya ingin melegitimasi temen-temen KC, kalau bahasa urban mengenal kata asongan, bahasa agraris punya kata ngasak. Sekarang ini banyak kelompok-kelompok formal normatif yang merasa dirinya panen akherat, sehingga mereka mantap sekali untuk menjadi pemimpin panen itu. Sementara di KC, semua orang berani datang. Ini kalau mau disebut lemah ya lemah, tapi kalau mau disebut kuat, ya kuatnya justru di situ. Di sini semua dekat tanpa batas-batas budaya, Anda bukan santri nggak apa-apa. Dan lagi, sekarang yang disebut santri pun belum tentu santri. Belum tentu yang pakai peci itu santri, dan belum tentu yang pakai jeans itu bukan santri. Para qori’ di Iran berpakaian sangat biasa seperti yang kita pakai sekarang ini, tidak ada yang pakai peci atau sorban. Bahkan ada yang pakai kaos saja ketika qiroah resmi di parlemen Iran.

“Jadi, kalau di mana-mana anda dianggap jauh dari Allah begitu anda tidak sholat atau tidak melakukan hal-hal secara normatif, di sini tidak ada yang jauh dari Allah. Allah itu lebih dekat daripada urat lehermu sendiri, cuma anda saja yang tidak mau menyadari dan menerima kedekatan Allah kepadamu. Inni qorib.. Inni qorib,  begitu kata Allah.

Alif lam mim bisa menjadi sarana kedekatanmu dengan Allah supaya Dia menjadi sayang kepadamu sehingga Allah menambah sesuatu yang tidak engkau sangka-sangka dalam hidup. Anda ini memang orang-orang yang ngasak. Tapi, orang yang panen itu insyaAllah justru mereka yang mengaku dirinya ngasak, bukan orang yang merasa dirinya akan panen.

“Mudah-mudahan asongan anda ini justru panen. Ada cerita pada suatu musim haji, seorang yang kasyaf justru tidak mendapati malaikat di tengah orang yang sedang thawaf. Karena heran, orang itu terbang ngrogo sukmo, dan di kejauhan tampak Malaikat-malaikat berkumpul di sebuah rumah. Penghuni rumah itu jelek, tidak dikenal sebagai orang yang rajin secara keagamaan. Lho ada apa? Ternyata orang itu sebelumnya sudah berniat berangkat haji, semua uang sudah terkumpul, tapi tiba-tiba sepuluh menit sebelum membayarkan ongkos haji datang temannya yang sedang sangat membutuhkan uang untuk istrinya yang mengalami kecelakaan. Semua uang itu diberikannya.

“Jadi anda jangan minder, soal kedekatan dengan Allah itu rahasia masing-masing orang. Setiap orang mendekat kepada Allah dengan diri dan rahasianya sendiri; tidak ada yang bisa mengklaim siapapun. Salah kalau ada orang yang menuduh, mengkategorikan, menyusun-nyusun ini santri itu abangan. Dalam dunia thariqat, kesejatian itu kemurnian dan keikhlasan itu dipantulkan oleh kaca sangat bening yang bernama Khidir alaihisalaam.”

“Allah itu lebih dekat daripada urat lehermu sendiri, cuma anda saja yang tidak mau menyadari dan menerima kedekatan Allah kepadamu.”

Emha Ainun Nadjib

LIMA JENIS KEBAIKAN

Pesan Cak Nun, “Bebaskan dirimu dari kebiasaan tidak menyukai. Carilah ilmu dan rahasia dari semua yang tidak kamu sukai, maka engkau akan menemukan kesejatian. Apa yang kamu pikir tidak menyenangkan dan kamu benci, jangan-jangan sesungguhnya dia mengandung kebaikan yang kamu perlukan. Atau siapa tahu sesungguhnya apa atau siapa yang sangat kamu sukai dan sangat kamu inginkan justru mengandung keburukan-keburukan yang akan mencelakakanmu. Allah telah mengingatkan hal ini kepada kita dengan jelas.”

Sebelum mengakhiri acara maiyahan Kenduri Cinta, Cak Nun memberikan satu tafsir tentang macam-macam jenis kebaikan. Beliau menyampaikan:

“Dalam Al-Quran ada 5 macam kebaikan, masing-masing pada tempat yang berlainan konteksnya. Khoir artinya kebaikan yang universal, yang masih cair; misalnya sifat menyukai keindahan. Ma’ruf itu kebaikan yang sudah dirumuskan, diuji, dan sudah diarifi. Ihsan itu kebaikan yang lahir murni dari diri setiap orang. Anda tidak harus menolong tapi anda rela langsung menolong tanpa diminta, itulah ihsan. Yang berikutnya birrun, ini rahasia kebenaran yang ada di dalam jiwa anda, dan urusannya sangat privat hanya dengan Allah. Maka jenis kebaikan ini digunakan untuk melekati hubungan sangat mendalam antara orang yang naik haji dengan Allahnya – menjadi seorang haji mabrur. Haji mabrur itu spesifik dan otentik.

“Kebaikan jenis terakhir disebut sebagai sholeh. Sholeh itu kalau sesuatu sudah anda sikapi dengan jernih dan adil, dan sudah disimulasikan manfaat dan mudharat-nya. Orang yang sholeh ketika mau berbuat baik dia hitung dulu sampai matang sehingga unsur mudharat-nya sekecil mungkin. Karena kebaikan itu belum tentu baik, dia juga harus dilaksanakan dengan benar. Kebenaran belum tentu benar, dia harus dilaksanakan dengan kebaikan.

“Jazz sudah merupakan kepulan-kepulan gelombang yang mengandung ketiga-tiganya: kebenaran, kebaikan, dan keindahan. Maka saya minta kepada Mas Beben dan Mbak Inna untuk memimpin kita malam ini.”

Berdua, Beben beserta istri memimpin jamaah melantunkan lagu Padamu Negeri dalam gaya Jazz, menyudahi perjumpaan kebaikan-kebaikan di Kenduri Cinta pada malam itu. [FA]