Gusdur, Legacies of Pluralism, Diversity and Democracy

Selasa, 22 Januari 2013, Consulate General of the United States of America di Surabaya menyelenggarakan acara A Tribute to Gusdur and Martin Luther King Jr: Legacy of Pluralism, Diversity, and Democracy. Acara yang berlangsung di Hotel Sheraton ini dihadiri oleh Duta Besar Amerika Serikat untuk Indonesia, Scot Marciel, serta Alissa Qotrunnada Munawaroh Rahman (Alissa Wahid), Emha Ainun Nadjib (Cak Nun), Joaquin Monserrate (Konsul Jenderal Amerika Serikat di Surabaya), Suyanto (Bupati Jombang), Lily Wahid (adik kandung dari Gus Dur), dan ada juga Bupati Sidoarjo, Sultan Ternate, beberapa anggota DPR. Tulisan ini merupakan catatan mengenai apa saja yang diungkapkan Cak Nun dalam acara tersebut.

“Saya berjanji kepada Ibu Bapak semua dan kepada siapapun yang berjumpa dengan saya, kepada siapapun yang berurusan dengan saya, bahwa saya hanya akan mengucapkan kata-kata dan melakukan perbuatan yang saling menyelamatkan di antara kita,” Cak Nun menyapa segenap hadirin, “Bahasa Arabnya: Assalamu’alaikum warrahmatullahi wabarakatuh.

“Saya berterimakasih atas terselenggaranya acara ini karena ini membuat kami orang Indonesia berpikir lebih dalam dan lebih jauh tentang Gus Dur dan juga tentang tokoh-tokoh kami yang lain. Kami menjadi berpikir bahwa Gus Dur harus dirumuskan bener, harus diteliti bener, harus ditulis bener, secara obyektif, agar kita tahu persis ketokohan beliau itu wilayahnya di mana, substansinya apa saja. Kemudian kita juga harus mempertegas Soekarno ini siapa, Soeharto, Cak Nur, karena kita bangsa Indonesia sedang mengalami degradasi pengetahuan dan konsern terhadap sejarahnya sendiri.

“Oleh karena itu, kepada kedutaan besar Amerika Serikat, khususnya kepada Konsulat Amerika di Surabaya, saya mengucapkan syukur terima kasih bahwa ini membuat kami semua introspeksi. Yang kedua, ada satu gelar dari Kesultanan Demak yang saya panggul di pundak saya tiga tahun ini, dan saya tak kuat lagi memanggulnya karena yang saya pikir Gus Dur lah yang cocok memanggul gelar itu.

“Mengenai gelar, Kesultanan Ternate merupakan kesultanan yang sama sekali tidak feodal. Kalau di Jawa, gelar selalu berkaitan dengan pangkat dan jabatan, misalnya Tumenggung atau Ki. Tapi gelar dari Kesultanan Ternate ini bunyinya Ngaima Dodera, satu gelar sangat indah yang tidak ada hubungannya dengan level politik atau sentimen-sentimen sosial. Gelar ini berarti pohon yang teduh dan indah tempat burung-burung berteduh ketika senja hari.

“Yang ketiga, saya merasa tidak cocok berada di sini. Saya sibuk mencari asal-usul dan relevansi mengapa saya berada di sini. Kalau nanti saya ngomong persis seperti Mbak Alissa, maka bangunan dialog siang hari ini tidak berwatak Gus Dur. Diskusi ini akan berwatak Gus Dur kalau ketika ada Mbak Alissa, ada saya. Artinya kalau ada orang yang benar-benar mendukung Gus Dur, yang benar-benar mengapresiasi beliau, maka harus ada juga orang yang nggak jelas. Gus Dur adalah orang yang memiliki keluasan sehingga ketidakjelasan pun bisa menjadi bagian dari dirinya.

“Orang-orang yang tidak jelas pun bisa menjadi bagian dari komunitasnya, menteri-menteri yang tidak jelas pun bisa menjadi anggota dari kabinetnya. Oleh karena itu, kehadiran saya di sini membuat diskusi ini menjadi berwatak Gus Dur. Saya ini sama Gus Dur banyak cocoknya. Ya pemikiran-pemikirannya, pandangan hidupnya, sikap-sikap hidupnya. Sekitar 70%. Tapi Gus Dur cocoknya sama saya cuma 5%. Gus Dur tak pernah setuju sama saya, tak pernah senang sama saya, tak pernah cenderung sama saya.

“Satu-satunya hubungan saya sama Gus Dur adalah hubungan humor. Di luar guyon, saya tak pernah punya hubungan apa-apa sama Gus Dur. Dengan beliau saya tak punya hubungan politik, tidak punya hubungan darah, tidak punya hubungan spiritual, tidak punya hubungan apapun saja. Bahkan saya bikin musik pun sama Gus Dur dimaki-maki juga. Justru karena itu saya senang berada di sini karena Gus Dur memang mengakomodasi keragaman seperti itu.

“Saya tahu persis dari hari ke hari asal-usulnya kok beliau bisa sampai menjadi presiden. Dari diskusi di Ciganjur dan seterusnya, sampai kemudian ada Poros Tengah, ada proses semi-subversif sehingga Golkar dan PPP sepakat untuk memilih Gus Dur dan tidak memilih Megawati. Saya mengerti persis semua proses itu.

“Sampai kemudian ketika ada impeachment terjadi, Gus Dur ‘disuruh’ turun dari Istana, saya bersyukur kepada Allah karena saya orang pertama yang datang ke Istana, yang membuat Gus Dur dari kecut wajahnya bisa kembali tersenyum, dan kemudian saya yang mengajak Gus Dur untuk keluar dari Istana Setan menuju Istana Manusia. Saya bilang: Gus, lapo sampeyan ndek istana iblis ngene iki?

“Kami pulang ke Ciganjur, Gus Dur ketemu sama umatnya, lalu saya yang kemudian diminta oleh Gus Dur untuk mengumumkan bahwa beliau keluar dari Istana. Termasuk proses menurunkan Soeharto, saya punya banyak keterkaitan dengan Gus Dur, dan saya tahu fakta-fakta sejarahnya. Saya mencatat lembaran-lembaran yang kaum reformis dan sejarawan rata-rata hanya memiliki pengetahuan terhadapnya di bawah 20%.

“Tapi itu tetap tidak membuat saya punya hubungan apa-apa sama Gus Dur. Selama beliau menjadi presiden saya tidak pernah kontak beliau. Selama beberapa jam menjelang beliau menjadi presiden saya masih bersama beliau, tapi begitu Gus Dur naik saya merasa sudah tidak pas lagi untuk kontak beliau. Maka saya ketemu beliau ya setelah beliau di-impeachment. Waktu itu jam 9 pagi, saya dan istri saya disuguhi melon dan teh – tapi semua melonnya dihabisin sendiri sama Gus Dur.

“Saya punya ribuan guyonan sama Gus Dur, jadi setiap ketemu beliau, nggak ada dunia nggak ada akhirat, nggak ada surga, nggak ada neraka, nggak ada Indonesia, nggak ada Islam, nggak ada apapun saja. Kalau saya ketemu Gus Dur, isinya adalah menikmati kelucuan-kelucuan hidup. Dan saya punya bahan sangat banyak mengenai dahsyatnya Tuhan menciptakan manusia Abdurrahman Wahid, sampai-sampai Tuhan sendiri kadang-kadang ragu apa bener Dia menciptakan Gus Dur, saking nakal dan mbethik-nya bapaknya Lisa ini. Tapi kenakalan Gus Dur sama sekali bukan kejahatan.

“Saya berbahagia pada pagi ini karena saya kira keindahan itu lebih tinggi daripada kebenaran dan kebaikan. Humor itu keindahan. Humor sejajar dengan kekhusyukan di dalam salat, kekhusyukan dalam berkesenian. Humor begitu tinggi derajatnya. Itulah sebabnya kalau anda mau mengenal Gus Dur tapi nggak bisa guyon, anda tidak bisa berkenalan dengan keindahan level tertinggi Gus Dur.

“Kalau mau ngomong mengenai HAM, saya kemarin siang menulis untuk Kompas mengenai Martin Luther King Jr dan Gus Dur, judulnya I Have A Dream, Gitu Saja Kok Repot. Kalau Martin Luther King Jr masih bermimpi, Gus Dur sudah ngatasi masalah.

“Tapi mengirimkan tulisan kepada media massa itu kan posisinya sama dengan berdoa kepada Tuhan – kita tidak tahu apakah sudah didengarkan atau belum, akan dikabulkan atau tidak. Kalau di langit ada lauhil mahfudz, di bumi ada media massa. Pada masa reformasi, saya pernah di-plekotho. Waktu itu saya mengatakan kepada Pak Harto: Tuhan masih membuka pintu untuk anda sepanjang anda khusnul khatimah. Kalau anda percaya, ayo saya antar ke Masjid Baiturrahman di kompleks DPR untuk wiridan bersama, berkhusnul khatimah.

“Tapi karena koran tak pernah mendukung saya, mereka menyebutkan bahwa Emha sedang melakukan politisasi agar Soeharto bisa naik kembali dan macam-macam prasangka lainnya. Orang-orang ini memang bagian dodol sop buntut. Ada sapi gedenya segitu, yang dicari buntutnya saja. Ada kebaikan sebegitu besar, yang dicari jelek-jeleknya saja.

“Oleh karena itu saya tidak bisa menjamin apakah tulisan ini akan dimuat atau tidak. Ini hanya kepolosan saya saja untuk menulis buat beliau berdua – tidak sampai ke Gandhi, tidak sampai ke Dalai Lama, atau Nelson Mandela.

Saya kira sekarang Gus Dur berkicau di akhirat, dan nabi-nabi pun mengangguk-anggukkan kepala, sampai Tuhan ikut terpingkal-pingkal. Bahkan Imam Khomeini yang jarang ketawa pun saya kira ikut ketawa juga.

KITAB ABDURRAHMAN WAHID

“Mengenai Gus Dur, saya punya usulan. Kalau saya, ini untuk orang NU terutama dan orang Indonesia pada umumnya, jangan sampai dituduh oleh siapapun, baik sekarang maupun di masa depan, bahwa persepsi dan gelar kita kepada Gus Dur itu merupakan mitologi atau takhayul atau pengkultusan. Kita harus punya buku yang bersifat tafata qolbih, termasuk hari, tanggal, tempat, dan peristiwanya, yang membuktikan bahwa Gus Dur itu persis seperti yang hari ini kita rayakan bersama. Jadi bukan lagi ‘kata ini, kata itu’. Kita membutuhkan ini agar anak-cucu kita mengerti.

“Katakanlah ada Buku Besar Gus Dur, misal disebut Kitab Abdurrahman Wahid. Yang nulis harus tokoh-tokoh, ilmuwan, sejarawan, pakar-pakar dari semua bidang, dari semua agama, dari semua kalangan. Justru ini untuk mencerminkan skala pluralismenya Gus Dur.

“Saya mungkin hanya akan menggarami laut dengan usulan saya, tapi maksud saya adalah memperbanyak fakta-fakta mengenai jasa-jasa Gus Dur. Kitab itu nanti bukan hanya persepsi atau kilauan pola, melainkan fakta. Subyek yang didalami di dalam kitab tersebut saya bayangkan menyangkut poin-poin berikut ini:

NASAB

“Di Jawa dan di Indonesia, nasab sangat penting. Telusuri siapa bapaknya, siapa kakeknya, terus sampai ke Rasulullah dan Nabi Adam. Sebab manusia memiliki rasa kebangkitan tertentu dengan mengerti asal-usulnya, sangkan paran-nya. Kalau rakyat atau umat mengeri sangkan paran-nya Gus Dur, mereka akan mendapatkan kemantapan plus.

“Termasuk mungkin kalau ngomong Jombang, sebutkan juga dulu mbah beliau ini imigrasi, misalnya, dari Demak ke Jombang, masuk ke Pesantren Selawe kemudian ditawari Pak Lurah untuk menggunakan tanah di Tebuireng untuk bikin pesantren, dan seterusnya. Ceritakan pula riwayat-riwayat Jombang, hubungannya sama Asmuni apa, hubungannya sama Aswandi apa, bagaimana kelahiran NU di situ.

“Kalau perlu ditelusuri pula nasab ilmu beliau, karena nanti kalau sudah sampai ke Mbah Hasyim, kita akan sampai ke Syaiful Nakhali, sampai ke Sayyid Sulaiman, dan kalau itu disebutkan bangsa Indonesia akan merasa memiliki akar sejarah. Bahwa bukanlah tiba-tiba kita menjadi NKRI. NKRI bukanlah prestasi tertinggi. NKRI hanyalah anak bungsu dari bangsa Indonesia. Sebelum itu bangsa Indonesia sudah pernah punya sangat banyak anak. Jaman Ratu Sima, Ajisaka, Pangeran Padma, Syailendra, Majapahit, dan seterusnya merupakan anak-anak dari bangsa Indonesia. Dan Gus Dur adalah satu titik silang dari muara-muara yang bermacam-macam di sejarah bangsa Indonesia.

“Paparkan seperti apa peta sejarah Gus Dur dan tokoh-tokoh pendahulu beliau sejak asal-usulnya. Bagaimana imigrasi dan transformasi peran-perannya, dengan skala waktu sejarah yang disepakati relevan, yang kemudian melahirkan manusia jenis Gus Dur.

DARI PUTRA KYAI SAMPAI JADI NEGARAWAN

“Ini sekalian nyicil penjelasan kepada masyarakat bahwa ada perbedaan antara sebutan Kyai dan Gus. Gus adalah sebutan untuk siapa saja anak Kyai sejak lahirnya. Kalau Gus ini sudah bisa ngajar ngaji, sudah punya santri, dia disebut Kyai. Jadi, orang-orang bersalah sama Gus Dur, sampai-sampai sudah seperti beliau masih saja disebut Gus. Seharusnya beliau itu Mbah Yai Abdurrahman Wahid, sebagaimana kakek beliau. Akhirnya sebutan Gus dikapitalisasi. Saiki sopo wae diceluk Gus. Gus menjadi komoditas paling modern. Nah, karena ini Gus Dur menjadi tidak legitimate Gus-nya.

“Ada asal-usul singkatnya: pada era 50-an dan 60-an Gus Dur studi di Mesir, kemudian ke Baghdad, lalu ke Den Haag. Di Stasiun Den Haag ini Gus Dur pernah nyapu, dan saya menapaktilasinya. Untuk merasakannya, saya nyapu beneran. Saya kerja beneran, resik-resik. Saya kira sangat penting orang melihat bagaimana Gus Dur memasak di Belanda. Beliau kalau bikin sambel itu bawang merahnya tidak diulek, tapi digerus nganggo sikil, dikukupi, lalu dimasukin ke piring. Itu tradisinya Gus Dur. Saya kira beliau punya banyak prestasi-prestasi kebrutalan kuliner semacam itu.

“Lalu di era 70-an sampai 80-an Gus Dur pernah menjadi sekretaris Pesantren Tebuireng. Ketika itu beliau sudah mulai kenakalannya. Gus Dur menampung setiap anak yang diusir atau mendapat hukuman dari pesantren. Gus Dur selalu membela mereka, menanyai ada apa, dan sangat mengakomodasi mereka. Mulai tahun 80-an Gus Dur nulis. Gus Dur memperlebar sayapnya. Beliau bukan hanya mengaji kitab kuning, bukan hanya mengerti Beethoven sampai Bach, tidak hanya memahami Ranggawarsita, tapi ternyata Gus Dur adalah juga seniman budayawan yang nanti menjadi Ketua Dewan Kesenian Jakarta. Di situlah Indonesia mulai mengenal Abdurrahman Wahid, tulisannya yang rutin muncul di Kompas. Ternyata Gus Dur punya pandangan yang luar biasa, dari kedewasaan beragama dia punya kebudayaan pluralisme, universalisme, penjelasan yang spesifik mengenai nasionalisme itu apa. Kemudian orang-orang mendapatkan harapan dari munculnya Abdurrahman Wahid.

“Singkatnya, tahun 90-an sampai 2000-an sudah mulai gegap gempita. Mulai ada PKB, Gus Dur mulai membudayakan politik dan menegarakan gerakan agama. Dulu Cak Nur melontarkan “Islam Yes Partai Islam No”, pada waktu itu saya lawan dengan bilang “Islam Yes Partai Islam Yes”. Gus Dur mengambil tengah-tengahnya: NU-nya tetap, tapi dari NU lahir yang namanya PKB.

“Jadi Gus Dur tidak menganut sekularisme di mana agama dan negara dipisahkan sama sekali. Gus Dur mencoba menggunakan satu dialektika yang penuh kearifan agar supaya orang yang berpikir negara jangan sampai menganggap agama berada di luar itu, dan orang yang menjalani agama jangan sampai menganggap negara berada di luar itu. Gus Dur mencoba membudayakan politik, menegarakan agama, dan seterusnya.

“Kemudian terjadilah macam-macam pertengkaran, dan itu memang repot. Indonesia memang tidak siap dengan dengan banyak hal dan Gus Dur berada di tengah-tengah pertengkaran yang nggak karuan. Parpol pecah, dan lain-lain. Kita sebenarnya masih butuh Gus Dur sampai setidaknya dua puluh tahun lagi, karena kita belum benar-benar sembuh dari kompleksitas pertengkaran-pertengkaran itu.

Saya punya ribuan guyonan sama Gus Dur, jadi setiap ketemu beliau, nggak ada dunia nggak ada akhirat, nggak ada surga, nggak ada neraka, nggak ada Indonesia, nggak ada Islam, nggak ada apapun saja. Kalau saya ketemu Gus Dur, isinya adalah menikmati kelucuan-kelucuan hidup.

KEDAMAIAN DAN KEBERSAMAAN

Karena temanya pluralisme, kedamaian, kebersamaan universal, dan sebagainya, maka harus ada fakta-fakta tertulis dari yang awalnya berserak-serak dari bangsa ini kemudian dihimpun oleh Gus Dur, yang bertengkar didamaikan, yang bermusuhan dipersaudarakan, yang terpecah-pecah disatukan. Kalau hanya dalam bentuk omongan, hanya akan menjadi retorika. Yang hebat kalau semua ini ada fakta-fakta dalam peristiwa ini, peristiwa di sekolah itu, Kong Hu Chu, Syiah, Ahmadiyah, Gus Dur melakukan ini-itu. Sehingga ketokohan Gus Dur menjadi faktual.

“Sekarang ini, Gus Dur sudah menjadi wali ke-sepuluh, dan termasuk dalam Walisongo Jawa Timur. Ziarah Walisongo Jatim berarti Sunan Kalijogo, Sunan Muria, Sunan Kudus, Sunan Gunungjati, tidak termasuk sehingga jumlahnya tinggal 5. Ditambah dengan Gus Dur dan lain-lain menjadi 9.

Kata wali ini kalau bisa juga dielaborasi, sebab kalau tidak, dia akan menjadi mainan terus-menerus. Banyak teman-teman yang nanya ke saya apakah Gus Dur ini termasuk wali atau bukan. Kalau Gus Dur wali, Mbah Hasyim itu wali atau bukan? Kalau Mbah Hasyim itu wali, KH. Wahid Hasyim yang berjasa pada peristiwa jihad 10 November itu wali atau bukan? Nanti kalau saya sudah jadi wali, saya baru tahu Gus Dur itu wali atau bukan. Sebab rumusnya laa ya’riful wali ilal wali.

Termasuk juga mengenai lagu Syi’ir Tanpo Wathon, itu mesti diperjelas. Ini copyright-nya Gus Nidzam dari Sidoarjo.Tapi masyarakat nggak mau tahu, pokoknya ini dianggap lagunya Gus Dur. Syairnya sedang kita riset, apakah diciptakan sejauh hipotesis hari ini: oleh Mbah Kiai Sahlan dari Kriyan. Lagunya itu sendiri lagu Gambus Misri ciptaan Mbahnya Asmuni.

Dulu ada ludruk di Jombang, yang tidak mungkin ditonton oleh para santri. Maka Pak Aswandi, seorang santri Tebuireng, berpikir kreatif menciptakan semacam ludruk tapi beraspirasi santri. Maka terciptalah lakon-lakon Kasan-Kusen, Sayyidina Ali, dan seterusnya. Lakonnya berasal dari sejarah Islam, lagunya dari Arab campur India dan Melayu. Kalau yang sekuler disebut ludruk, yang bikinan bapaknya Asmuni ini disebut Gambus Misri.

SESI TANYA JAWAB

Dosen Sekolah Tinggi Komunikasi, mahasiswa pascasarjana Unesa menanyakan: “Kita tahu bahwa ada kesamaan yang sangat antara Martin Luther King Jr dengan Gus Dur. Saya menengarai adanya significant difference antara kedua tokoh ini, yaitu bahwa Martin Luther King Jr merepresentasikan kaum minoritas pada waktu beliau berjuang. Pada waktu itu, mungkin jumlah warga kulit hitam sekitar 12%. Beliau memperjuangkan hak-hak minoritas untuk menjadi setara. Di Indonesia, Gus Dur merepresentasikan mayoritas —80% penduduk Indonesia beragama Islam— dan mungkin seperlima total penduduk merupakan pengikut beliau. Menurut saya, istimewanya Gus Dur adalah karena beliau bagian dari mayoritas yang memperjuangkan kaum minoritas di Indonesia.

“Dalam sejarah Indonesia, sejauh pengamatan saya, belum ada tokoh yang betul-betul memperhatikan dan memperjuangkan kaum minoritas sebagaimana Gus Dur. Dan ada perlakuan sangat berbeda dari negara. Kalau di Amerika, negara sangat mengapresiasi Martin Luther King Jr, bahkan menjadikannya tokoh nasional, lalu memperingatinya dengan hari libur nasional tiap tahun. Di Indonesia, tadi Bu Alissa dan Cak Nun mengatakan, Gus Dur ini mayoritas tapi ya banyak musuhnya juga. Dan perlakuan negara terhadap Gus Dur tidak seperti Martin Luther King Jr. Saya merasa negara, dan juga media massa, tidak adil terhadap Gus Dur. Saya punya catatan observasi bagaimana media massa memperlakukan Gus Dur ketika Beliau menjadi presiden. Dan sangat tidak adil menurut saya. DPR, MPR, sampai sekarang tak memberi kejelasan bahwa Gus Dur sebenarnya tidak bersalah. Negara tidak melakukan apa-apa sampai sekarang. Pertanyaan saya: apakah perasaan anda berdua sama dengan perasaan saya tersebut? Demikian, terima kasih.”

Lily Wahid: “Saya mungkin hanya akan melengkapi apa yang dikatakan Cak Nun. Bahwa hubungan Cak Nun dan Gus Dur yang paling menonjol adalah hubungan humornya. Saya mau nambahi satu atau dua humor yang tidak keluar dari lingkaran-lingkaran terdekat. Waktu itu Gus Dur nyantri di Tambakberas, Jombang. Pada suatu hari Kyai Fatah (kyai mereka) memanggil Gus Dur dan Gafarrahman untuk diberi tugas. Mereka berdua berjalan dari arah barat ke timur melalui tembok yang bolong-bolong. Di balik tembok itu ada Ghozi Wahab yang juga terkenal mbeling-nya. Si Ghozi memanggil: Bul, Bul, brengosmu Bul. Otomatis Kyai Fatah menengok ke belakang, dan yang ada adalah Gus Dur dan Gafarrahman. Gus Dur dongkol bener sama Ghozi. Selesai dipanggil, mereka berdua mencari Ghozi untuk dikeplaki. Betapa Gus Dur yang tak pernah kalau kalau ngeledek orang, kalah telak oleh Ghozi. Tiap diingatkan peristiwa ini, Gus Dur selalu ketawa terpingkal-pingkal.

“Satu lagi kebiasaan Gus Dur semasa di Mesir, beliau sering belanja daging beserta tulang-tulangnya supaya murah. Karena merupakan hal yang sangat aneh, penjualnya bertanya: Kok tukumu balung? Gus Dur menjawab bahwa tulang-tulang itu untuk anjingnya di rumah. Suatu hari ketika Gus Dur pindah dari Mesir ke Baghdad, yang menggantikan piket belanja ditanya: Lho, temenmu yang anjingnya banyak itu ke mana? Sudah nggak punya anjing lagi ya?”

Ketua ICMI Jawa Timur: “Saya berharap Cak Nun sering tampil dalam diskusi semacam ini. Pertanyaan saya: kalau dua tokoh tadi dikabarkan dasar perjuangannya adalah spiritualitas. Saya menemukan prinsip dasar dari agama yang dianut adalah penghargaan terhadap manusia. Pada dasarnya manusia mengagungkan Tuhan dengan memuliakan kehidupan dan kemanusiaan. Belakangan justru terbalik. Saya ketua ICMI Jawa Timur, sempat berpikir mau keluar saja dari agama ini. Saya ingin mencari sesuatu yang bisa memanusiakan manusia.”

TANGGAPAN CAK NUN

Saya kira Martin Luther King, seandainya orang Afro di Amerika jumlahnya 90% pun, beliau tetap seperti itu, tetap memperjuangkan keadilan universal. Yang beliau perjuangkan bukan kulit hitam, melainkan keadilan kemanusiaan. Terus apalagi kalau ngomong mayoritas-minoritas, kita tidak bisa hanya memakai terminologi kuantitatif, tidak bisa hanya mayoritas demografis. Di Indonesia umat Islam mayoritas secara jumlah, tapi secara politik dan substansi, Islam sangat minoritas. Di sini saya sering bentrok sama Gus Dur.

“Maksud saya, Gus Dur itu seorang bapak yang sangat cinta dan santun kepada tetangga-tetangga sekampung, tapi sangat keras sama anak-anaknya sendiri. Jadi bagi dia, anak-anaknya mandiri semua, tapi tetangga-tetangga harus disantuni. Maka dia garang sama ICMI. ICMI belum lahir sudah dikutuk sama Gus Dur. Gus Dur tak pernah hatinya mau dimasuki Masyumi, Amin Rais, Muhammadiyah, HMI, karena dia menganggap mereka sudah gede-gede, tak perlu lagi ditampung. Kalau dilihat dari sudut diskriminasi linier, Gus Dur melakukan diskriminasi. Saya kira ada begitunya Gus Dur itu.

“Saya cari husnudzon-nya. Saya kira Bung Karno pun begitu. Menurut saya, dulu Masyumi salah sangka. Tahun 50-an sampai 60-an mereka menyangka kalau Amerika beragama, sedangkan Uni Soviet tidak. Maka Masyumi pro-Amerika. Sementara itu, Bung Karno sudah terlanjur bilang Go to hell with your aid ke Amerika. Dan beliau sudah dekat dengan Krushchev pada waktu itu. Maka Bung Karno kemudian membubarkan HMI dan Masyumi, karena waktu itu pemahaman kita tentang agama belum matang.

“Bung Karno mau mandiri. Kalau harus pro ya pro Soviet. Masyumi pikir, ateis dan tidak ateis itu masih persoalan. Nah, sekarang anda pikir saya ini muslim? Anda tidak pernah tahu saya muslim atau tidak, kecuali anda datang ke hati saya. Agama itu bukan institusi. Sejak kapan agama tiba-tiba menjadi institusi? Sejak kapan agama dijadikan beridentitas institusional?

“NU, Muhammadiyah, itu institusi. Tapi Islam bukan. Kamu nggak bisa keluar dari agama karena yang disebut agama adalah kejujuran hatimu kepada kehidupan, cintamu yang tulus kepada istrimu, kesungguhanmu kepada Tuhan dan kehidupan sebagai suaminya alam, cintanya Gus Dur kepada istri yang namanya rakyat Indonesia. Kalau itu kamu jalankan, arep kamu muslim atau kristen, nggak penting lagi. Begitu anda tidak mandi, berarti anda tidak beragama karena mengingkari amanah untuk menjaga tubuh.

“Memangnya ada ateis? Tidak ada. Yang tidak bisa dia pahami dan terima adalah informasi tentang agama yang sampai padanya. Ateisme bukan pada Tuhan, tapi pada berita tentang Tuhan. Makanya untuk tahu Tuhan, jangan tanya manusia, tapi tanya langsung ke Tuhan.

“Ya silahkan kalau mau keluar dari agama, tapi ya nggak bisa. Agama itu keindahan. Kalau yang namanya Rukun Islam, itu cuma 3,5%, itu wilayah doktrinernya agama, pajaknya manusia kepada Tuhan. Selebihnya, agama adalah keindahan, muamalah, rahmatan lil ‘alamin.”