Mukadimah: HULU HILIR CINTA

Cinta tanpa kekuasaan menjadi kelemahan, kekuasaan tanpa cinta hanya akan memunculkan kezaliman. Semboyan itu senantiasa mengawali di setiap latihan bela diri yang berasal dari Kuil Shorinji Kempo, Jepang. Semboyan yang menjadi doktrin di setiap dojo (tempat latihan) untuk menyeimbangkan antara cinta (kasih-sayang) dan kekuatan dalam setiap perbuatan, menjadi jalan hidup individu dari dalam kesatuan jiwa dan tubuh yang tak terpisahkan. Semboyan ini diperlukan bagi kita yang sudah terlanjur sekuler, terbiasa memisahkan cinta dan kekuatan menjadi 2 entitas yang berbeda dalam diri kita. Akan berbeda tingkat keperluannya jika kita sudah sejak awal memaknai cinta sebagai kekuatan dan setiap kekuatan bersumber dari cinta. Kala ketepatan presisi pemaknaan terhadap sesuatu berbeda, penyikapannya pun akan berbeda.

Begitu halnya dengan politik yang umum kita maknai sebagai kekuatan dan kekuasaan yang dipenuhi rekayasa, bahkan kata-kata cinta dalam politik dapat dipastikan sebatas gombal. Dalam politik saat ini kata ‘kasih-sayang’ nyaris tak terdengar, teredam riuh oleh suara-suara tong kosong nyaring bunyinya. Agama yang semestinya mampu meredam justru diperalat, dijual murah, diobral layaknya barang dagangan. Ini menjadi sangat mungkin karena politik yang ada saat ini adanya bersumber dari masalah ekonomi, sementara ekonomi yang kita pahami saat ini berawal dari kebutuhan dan bertujuan memenuhi kebutuhan itu. Ibaratnya aliran sungai yang deras, kotor dan bau, agama belum mampu menyaring politik apalagi menjernihkanya, sedangkan mereka yang berada pada aliran justru menikmati kekeruhannya, sedikit orang yang sadar akan kondisi itu sudah terlanjur terjebak pada pusaran-pusaran politik, pusaran-pusaran kekuasaan.

Coba kita memaknai kembali mengenai kekuasaan. Dalam Maiyah, kita senantiasa menyambungkan segala sesuatu dalam cinta segitiga Allah SWT, Rasulullah SAW dan semesta alam. Kekuasaaan dalam Maiyah bukanlah sesuatu yang diraih melalui kekuatan maupun rekayasa politik. Kekuasan dalam Maiyah semata-mata tetesan cinta dari Allah SWT Yang Maha Kuasa kepada setiap hamba yang bersedia mengikuti Rasulullah SAW. Sebagaimana disebutkan di dalam Alquran, Keluarga ‘Imran (‘Āli `Imrān): ayat 31 – Katakanlah: “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.” Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

Dari Allah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang, titipan kekuasaan dipergunakan untuk berusaha mendistribusikan rahmat Allah SWT sehingga menjadi berkah bagi semesta alam dan menjadi kegembiraan dan kebahagiaan bersama. Rasulullah SAW memperoleh kekuasaan menjadi seorang pemimpin agung bukan karena mencalonkan diri. Kanjeng Nabi Muhammad SAW tidak memonopoli wahyu dan tidak pula memonopoli kekayaan ilmu dan harta bendanya. Rasulullah SAW senantiasa menyalurkan rahmat dari Allah SWT supaya menjadi berkah bagi semesta alam, sebagaimana aliran yang berhulu cinta dan behilir cinta pula.

Karakteristik Maiyah bagaikan aliran-aliran sungai yang mendistribusikan rahmat Tuhan pada berbagai bidang kehidupan, ekonomi, sosial, politik, pendidikan dan budaya. Implementasinya meliputi berbagai ruang-ruang kehidupan, baik individu, keluarga, kehidupan bertetangga, pertemanan, lingkungan kerja, ketatanegaraan bahkan hubungan internasional. Karakternya yang cair menjadikan wilayah Maiyah tidak tersekat oleh luasan georgrafis dan tidak tersekat oleh ilmu-ilmu secara fakultatif. Ilmu-ilmu Maiyah yang univesal di formulasikan oleh Cak Nun secara aplikatif.

Dengan formulasi-formulasi Ilmu-ilmu Maiyah dari Cak Nun, implementasi dari cinta segitiga Maiyah akan terasa mudah untuk dilaksanakan karena formula itu bukan sebagai doktrin melainkan sebuah ilmu yang bersifat aplikatif. Misalnya seorang pedagang yang menjajakan dagangannya didasari atas kebersediaannya untuk menyalurkan rahmat Allah SWT, dengan sendirinya dia akan berusaha menyiapkan barang dagangannya sebaik mungkin, menyajikan dan menjajakan dagangannya secara jujur. Dengan orientasi berdagang bukan sekedar keuntungan pribadi, konsekuensinya kita yang membeli akan dengan senang hati untuk lebih menghargai barang yang kita butuhkan itu. Contoh lain misalnya seorang guru atau seorang pengajar yang dalam melakukan tugasnya hanya bertujuan siswa atau muridnya pandai, ketika menjumpai siswa atau muridnya ada yang kurang pandai akan muncul penyesalan bahkan mungkin kemarahan. Padahal jika dalam dia mengajar didasari kegembiraan dalam mendistribusikan Ilmu dari Allah SWT, dengan sendirinya dalam mendidik maupun mengajar akan berusaha sebaik mungkin dalam menjalankan tugas kepengasuhannya kepada murid-murid maupun siswa-siswanya.

Cak Nun yang selama ini hanya dikenal sebagai seorang penulis, penyair, budayawan oleh Indonesia senantiasa istiqomah menyebar benih nilai-nilai Maiyah ke pelosok-pelosok daerah dan berbagai tempat di dalam maupun luar negeri. Simpul-simpul Maiyah mulai tumbuh secara sporadis menebarkan kegembiraan pada masyarakat lingkungannya. Kehidupan dunia yang hakikatnya berada pada hulu-hilir cinta Allah SWT dan Rasulullah SAW diperkenalkan kepada setiap Jamaah Maiyah supaya dalam setiap perbuatan berbuah kebaikan dan terus menanam kebaikan dan cinta. Diantara pesan Cak Nun kepada Jamaah Maiyah “Kalau anda mencintai Maiyah, mari kawinkan kecintaan itu dengan kebenaran. Kalau anda mencintai kebenaran Maiyah, mari kita kawinkan kebenaran itu dengan kebaikan. Supaya kalau benar dan indah dan baik ini berjodoh, maka anda akan mendapatkan‎ sesuatu yang lebih tinggi lagi yaitu kemuliaan.”

Hulu Hilir Cinta menjadi judul Kenduri Cinta pada edisi penghujung tahun 2015. Bertempat di Plasa Taman Ismail Marzuki – Jakarta, hari Jumat tanggal 11 Desember 2015, mulai pukul 20:00. Selamat datang kegembiraan cinta tanpa rekayasa.