Mukadimah: GEGAR KAHANAN

 

MUKADIMAH MAIYAH DUSUN AMBENGAN Maret 2016

TIDAK ADA manusia yang tidak ingin berada dalam lintasan jalur keselamatan. Keselamatan itu sendiri berarti kemuliaan, kesejahteraan, kemakmuran, ketentraman, kedamaian, keberuntungan, dan apa pun yang bisa mengantarkan manusia menemukan hakekat kemanusiaannya dan keridlaan Tuhannya.

Keselamatan mensyaratkan paham jalan. Agar manusia tidak keliru-keliru dan tersesat dari garis edar kehambaannya didalam mengelola setiap pilihan maupun keputusan kesejarahan hidupnya. Oleh karena itu diperlukan perangkat agama dan ilmu pengetahuan yang menjadi tongkat pemandu mencapai keselamatan. Itulah cahaya.

Siapapun bisa mendapatkan cahaya ketika ada upaya berjalan mencari titik kemuliaan itu. Namun, yang tidak kalah penting adalah, fase setelah menemukan cahaya. Apakah akan memantulkan keutamaan pencerahan, atau justru mengalami keterkejutan nilai. Yang pada tahap tertentu, menjadi culture shock.

Gegar budaya akibat kenikmatan menempati posisi sebagai orang yang telah menemukan sumber cahaya, lantas melahirkan sifat-sifat egoisme, congkak, sombong. Misalnya menjadi merasa paling alim sebagai orang alim, merasa paling kaya ketika berlimpah harta, merasa paling sukses ketika kariernya melejit, dan lain sebagainya.

Manakala situasi sosial kemasyarakatan sebuah bangsa disesaki oleh sifat-sifat ananiyah yang mewujud dalam berbagai bentuk wadak sifat atau prilaku defisiatif dan destruktif, maka kebenaran tidak menjelma sebagaimana sejatinya kebenaran itu diyakini, diperjuangkan, diejawantahkan. Dan cahaya tidak meniscayakan sifat-sifat inti bagaimana cahaya itu dicerap dan lalu ditebarkan. Ketika domain utama watak, nilai, dan prilaku tatanan hidup individu maupun komunal manusia tertutup dari dan/atau menutupi cahaya, maka itu berarti manusia mengalami Gegar Kahanan.

Gegar Kahanan dimaknai sebagai suatu kondisi keguncangan phisikis (penderitaan/sakit jiwa) yang diakibatkan oleh faktor-faktor eksternal (benturan nilai, ketidak siapan mental) – sehingga menjadi rancau bahkan tidak empan papan atas keadaan. Gagal Kahanan yang paling membahayakan adalah, kekacuan pikiran dan kebutaan hati dalam mengembarai kebenaran dan mengolah cahaya. Akibatnya bukan semakin mengarah pada kesiapan sebagai pemantul cahaya sebagaimana diwariskan para nabi, rasul, aulia dan orang-orang shalih. Melainkan kecongkakan diri untuk merasa paling baik dan merasa paling benar, memandang rendah yang tidak dalam kelompok atau golongannya.

BENAR DAN SELAMAT

KEMBALI KE BATASAN makna selamat dalam posisi gegar kahanan, maka Firman Allah SWT: Al Haqqu Mirrabbikum, falaa takunnaa minal mumtariin (Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu, maka janganlah kamu menjadi orang yang ragu), adalah acuan fundamental dalam menapaki jalur keselamatan.

Selamat itu salam, salam itu Islam. Maka agama Islam artinya agama yang menyelamatkan. Tanda sebagai simbol sekaligus lambang keselamatan itu, termanifestasi pada kemampuan menebarkan salam. Selalu menabur doa “assalamualaikum”, dimana Assalamualaikum adalah kata kerja, sehingga tidak akan berarti apa-apa selama setiap tindakan tidak berorbit pada realita yang saling aman mengamankan, sejahtera menyejahterakan.

Apakah sebutan atas orang yang mengucapkan “assalamualaikum” tanpa ketulusan amaliah ucapan selamat itu kepada saudaranya, kepada sesamanya, atau kepada makhluk Tuhan lainnya? Itulah orang yang gegar kahanan – ketika sudah mulai menapaki jalan cahaya.

Termasuk, kondisi ketika menjalani penerangan dan berusaha menjadi penempuh, peziarah ke arah pencerahan, tiba-tiba hidupnya dililit penderitaan, sesuatu yang paling mungkin dan melekat pada otak dan hatinya adalah ndersulo, berkeluh kesah, putus asa, dan menyalah-nyalahkan keadaan, mengkabing hitamkan orang lain, bahkan sampai bersyak wasangka kepada Tuhan, tidak adil.

Menyalahkan keadaan sama artinya makar kepada Tuhan Yang Serba Maha. Kesalahan berpikir dan keliru mengolah perasaan inilah, yang kemudian disebut juga dengan Gegar Kahanan. “Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan; “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih”. (Al Quran; Ibrahim : 7) 

Ayat itu bisa kita kaji sebagai metoda efektif menghadapi problematika kehidupan yang sering, lebih sulit dan terlihat berat. Yaitu, syukur nikmat dan keselamatan punya suritauladan rasulullah Muhammad SAW serta punya Allah SWT.

GEGAR KAHANAN DAN GERHANA

PERSOALAN GEGAR KAHANAN, juga dapat berkaitan subtansi pemaknaannya pada peristiwa gerhana, sebagai sebuah pertanda kegelapan karena matahari berada pada satu garis bumi dan rembulan. Diungkap Cak Nun dalam Menyorong Rembulan; “Matahari adalah lambang Tuhan. Cahaya matahari adalah rahmat nilai kepada bumi.” Tanpa adanya cahaya, ketika bumi diselimuti kegelapan, segala yang buruk terjadi.

“Orang tidak bisa menatap wajah orang lainnya secara jelas. Orang menyangka kepala adalah kaki. Orang menyangka utara adalah selatan. Orang bertabrakan satu sama lain. Orang tidak sengaja menjegal satu sama lain, atau bahkan sengaja menjegal satu sama lain. Di dalam kegelapan orang tidak punya pedoman yang jelas untuk melangkah, bahkan ke mana melangkah, dan bagaimana melangkah.

Terkini, gerhana matahari total yang terjadi pada Rabu, 9 Maret 2016 menjadi permenungan tentang kegelapan di tengah cahaya. Sementara kita perlu duduk melingkar, memperbincangkan dimana posisi kita. Apakah sudah berusaha memantulkan cahaya, masih mengejar cahaya, atau justru terlelap dan merasa nikmat hidup dalam kegelapan? Terbuai dan terlena didalam fenomen Gegar Kahanan?

Di Rumah Hati Lampung Desa Margototo Metro Kibang Lampung Timur – Sabtu malam 12 Maret 2016 Pukul 20.00 WIBkita akan membahas tema GEGAR KAHANAN, seperti biasa dengan kesederhanaan dan kesahajaan khas orang-orang desa, kita melingkar di Maiyah Dusun Ambengan. Forum ini juga membuka ruang seluas-luasnya bagi siapapun dan dari manapun mengikuti dan bersama-sama melakukan pendalaman, penghayatan, dan pendakian ke jalan keselamatan.

Dimana di perdesaan, masih ada sisi-sisi kemanusiaan yang belum direnggut kemodernan. Masyarakat perkotaan yang mulai individualistik, kapitalis termasuk di beberapa pribadi yang sengaja memposisikan diri sebagai orang yang gegar kahanan meski hidup di desa, layak didedah dengan ngeriyung dan sembari klangenan bersalawat, menyanyikan lagu-lagu untuk mengenang keistimewaan manusia dengan kemanusiaannya. Mempelajari pembeda, gelap dalam cahaya, berjalan menuju cahaya, memantulkan pencerahan atau belajar merenungi makna nur fauqo nuri. Cahaya di atas cahaya.

Fenomena gerhana matahari total, kita harapkan menjadi pertanda bagaimana ketentuan Allah atas alam semesta berlaku. Syukur adalah obat dari segala bentuk reaksi Gegar Kahanan yang pasti dirasakan oleh manusia. Terutama ketika kehilangan arah, menerima penolakan, merasa kehilangan status atau pengaruh, Maiyahan Dusun Ambengan menawarkan keselamatan yang telah dijalani masyarakat desa sejak lampau.

Maiyah Dusun Ambengan juga bukan upaya mempertentangkan desa dan kota, manusia gelap dengan manusia bercahaya, tidak. Melainkan benar-benar sekadar belajar mengakrabi keadaan, belajar mengetahui pembeda yang mana gelap dan yang mana cahaya. Agar kemudian benar-benar bisa membedakan, mana emas dan mana tinja.