Mukadimah FESTIVAL PARADESA


Mukadimah forum Maiyah Juguran Syafaat edisi April 2015 ( 2 Tahun Juguran Syafaat)

Festival Paradesa

Acara agama yang disiarkan oleh televisi berupa tampilan clip yang dibawakan oleh seorang narator adalah sebuah kebaikan. Kita semua bersepakat atas hal itu. Namun, ketika agama hanya dikultivasi narasinya saja seperti itu sehingga generasi mendatang hanya mengenal agama sebagai dongeng, cerita rakyat atau legenda belaka apakah hal itu masih bisa kita sebut kebaikan?

Ternyata tidak semua kebaikan memproduk kebaikan. Dalam realitas hidup yang lain, ada banyak langkah-langkah kebaikan para relawan sosial kemanusiaan justru ditunggangi untuk kepentingan perolehan uang bagi segelintir orang. Oleh karenanya, para pelaku kebaikan agar tidak kecewa harus terlebih dahulu paham, dirinya ada di lingkungan yang Qurani atau tidak. Karena di lingkungan yang tidak Qurani maka mustahil akan berlakunya sistem dimana kebaikan memproduk kebaikan, sistem dimana berlaku fama ya’mal misqoladlarotin khairayaroh, mawa ya’mal misqoladlarotin syarayarah.

Wiwitan, sambatan, takiran, dan kerigan adalah warisan leluhur ketika mereka masih hidup di era Qurani dimana kebaikan masih memproduk kebaikan. Sehari-hari mereka makarya, kemudian produk dari makarya itu adalah mereka memiliki keleluasaan untuk bantu-membantu, sayuk-sayuk rukun, gotong-royong membantu sesama mereka. Maka terwujudlah berbagai bentuk kolaborasi sosial yang menguntungkan mereka sendiri. Produk dari kolaborasi sosial tersebut kemudian memproduk kebaikan kembali berupa pembelajaran bersama. Begitu seterusnya.

Karena kebaikan membuahkan kebaikan, maka mereka menjadi masyarakat yang terus bertumbuh. Sehingga kita bersyukur memiliki akar sejarah yang membanggakan. Yakni ketika Nusantara gemah ripah tapi tak punya pasukan pertahanan karena tak memerlukan penjagaan keamanan. Yakni ketika Nusantara loh jinawi sehingga anak Ratu Sima sang penguasa saat itu tak melik disodori intan dan berlian.

Warisan kegemilangan sejarah Nusantara kemudian terpelihara oleh desa. Desa berasal dari kata Paradesa, yang kemudian oleh pendatang Inggris dipakai menjadi Paradise yang mereka artikan surga. Desa-desa yang asli masih mewadahi ketentraman surga, karena disana masih terdapat kerekatan paseduluran yang merupakan salah satu prasyarat terciptanya sistem kebaikan memproduk kebaikan.

Prinsip dasar desa adalah terbentuknya kesepakatan ber-community. Terbentuk kesepakatan bersama berupa aturan hukum, forum kebersamaan berupa festival dan pola memimpin-dipimpin yang kesemuanya timbul secara alamiah dan merdeka. Oleh karena itu, sebuah wilayah administratif jika tidak ada lagi spirit of community dan tidak terbentuk kesepakatan-kesepakatan yang alamiah dan merdeka, ia mungkin sudah meninggalkan substansi desa. Ia hanya menjadi sebuah “kota merek desa”. Namun, ketika sebuah komunitas hobis misalnya, ia masih menjaga kerekatan paseduluran, maka bisa jadi ia adalah desa tanpa wilayah administratif.

Wiwitan, sambatan, takiran, dan kerigan adalah diantara bentuk produk festival yang dimiliki dan disengkuyung bersama oleh masyarakat sebuah desa. Termasuk juga berbagai jenis kenduren yang dilaksanakan masyarakat desa untuk setiap hajat mereka. Hari ini desa-desa mengalami krisis festival. Karena di satu sisi festival sudah dikomoditasi sehingga berbiaya mahal. Sementara di sisi lain festival ditiadakan dengan alasan syirik, bid’ah dan khurafat. Padahal dari festival itulah masyarakat sebuah desa atau komunitas mengalami pembelajaran semacam studium general yang empiris bersama-sama. Masyarakat paradesa memahami bahwa paseduluran adalah sumber daya terpenting diantara sumber daya lainnya, sehingga mereka membutuhkan festival untuk sarana meremajakan paseduluran.

Dua tahun Juguran Syafaat yang jatuh pada bulan April 2015 ini, jamaah Maiyah Banyumas Raya bermaksud menggelar festival yang berangkat dari otentisitas desa. Festival dengan tajuk Festival Paradesa, mencoba menghadirkan bukan sekedar penampilan yang meriah dan gelamor, tetapi bagaimana kita bersama-sama mencoba merunut core dan catu daya dari festival yang berlangsung didesa. Kita bisa mengambil refleksi betapa kayanya potensi resources di desa sesungguhnya, karena festival tak harus deprogram annual juga tidak membutuhkan seksi pencari sponsor.