Mukadimah: BERBAGI RACIKAN UNTUK INDONESIA

Mukadimah Waro’ Kaprawiran edisi November 2015

pamflet wk AKHIR 2

Tema “Indonesia Bagian dari Maiyah” menginspirasi  kami untuk berpikir apa yang bisa Waro’ Kaprawiran berikan untuk Indonesia di usia kami  yang masih seumur jagung ini.

Bagi kami, Indonesia, bahkan dunia saat ini bak “desa buana” dimanapun dan  apapun yang terjadi di pojok, daerah terpencil, bahkan terasing pun bisa kita ketahui kondisinya via televisi dan internet. Yang kesemuanya itu saat ini bisa diakses lewat genggaman tangan kita melalui smartphone. Apalagi dengan adanya sosial media, aplikasi chatting yang memungkinkan berinteraksi, share data dan video dengan mudah. Ekstrimnya, orang akan lebih luwes, lebih ekspresif, lebih terbuka di dunia maya. Namun menjadi manusia asosial di dunia nyata. Sehingga mereka tidak lagi peduli dengan pemasalahan – permasalahan di sekitarnya. Budaya tradisional dulu, kian memudar.

Fenomena diatas akhirnya membuat kehadiran secara fisik menjadi nomor dua, hingga terkadang belasungkawa pun hanya sebuah tulisan di grup chatting. Padahal Nabi Muhammad SAW bersabda, “Silaturahmi itu tergantung di `Arsy,” seraya berkata: “Barangsiapa yang menyambungku maka Allah akan menyambung hubungan dengannya (berupa kasih-sayang dan rahmat Allah), dan barangsiapa yang memutuskanku maka Allah akan memutuskan hubungan dengannya.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Mensikapi kemajuan teknologi tersebut Waro’ Kaprawiran mencoba meracik “kembali”  Indonesia, karena Indonesia bagian dari kami, maka timbul greget pertanyaan dalam relung hati kecil kami: Apa yang sudah engkau berikan pada Indonesia. Racikan kami ini hanya menyentuh sisi interaksi sosial masyarakat nusantara, membuka pola pikir masyarakat bahwasanya yang menghancurkan Indonesia saat ini diantaranya disebabkan tidak maunya Indonesia menghormati dan menggunakan warisan ilmu dari para pendahulu.

Diantara warisan-warisan ilmu para leluhur terdapat bahan-bahan yang sebetulnya sudah tumbuh mengakar sebagai kearifan lokal yang termaktub dalam adab gupuh, lungguh, suguh, aruh lan opo anane. Lima bahan dasar ini  bisa kita aplikasikan dalam sendi-sendi bermasyarakat, dan negara. Mulai dari menerima tamu/bertamu, bertetangga, sebagai aparatur negara yang melayani rakyat, saat berbisnis/bekerja sesuai profesi kita, mengajar di sekolah hingga interaksi di dunia maya seperti saat: meyuguhkan status yang opo anane bukan pencitraan, melungguhkan comment, gupuh saat menjawab comment, serta sopo aruh saat tweet dan i.

Tentunya kita rindu kegupuhan aparat/perawat dll  saat melayani masyarakat/pasiennya.
Mungkin saja kita rindu pada guru/media massa yang  serius menyuguhkan ilmu/berita yang objektif serta berkualitas.

Atau mungkin kita rindu pengusaha/pemimpin yang mau lungguh bersama buruh/demonstran untuk sekedar mendengarkan keluh kesah mereka.

Dan pastinya kita rindu sopo aruh anak bangsa ini karena kita sudah bosan mendengar hujatan, tudingan. Akhirnya kita rindu jiwa jiwa yang jujur lan opo anane bukan yang sibuk pencitraan.

Lalu dari mana kita memulainya? Bisa saja  dari kita sendiri, kemudian keluarga dan masyarakat. Tentunya perlu alat sebagai katalisator untuk mempercepat proses lahirnya sebuah “kecerdasan sosial” di Indonesia.

Dari interaksi bersama komunitas yang ada di Pawitan Candirogo (Pacitan, Ngawi, Magetan, Caruban, Madiun, Ponorogo) yang kemudian terikat dalam Waro’ Kaprawiran  ini ditemukan dua buah sarana untuk mengkatalisator hal diatas yaituterbukanya ruang publik: sebagai sarana bertemu, sambung rasa seluas-luasnya di lingkungan kampung kota, dimana saat ini mulai berkurang dan tergusur atas nama pembangunan, tentunya Ruang publik ini tak hanya mengacu bentuk fisik sebuah bangunan yang punya ukuran dan luasan tertentu tetapi juga konsep mental di dalamnya, butuh adanya interaksi sosial di dalam yang merangsang khalayak untuk bertindak/berbuat tidak ‘sekedar berkelakuan’.

Yang kedua, terwujudnya desa yang tata titi tentrem dalam budaya kebersamaan, kerukunan dan kebersahajaan sebagaimana yang diamanatkan UU Desa dimana desa sebagai wujud otentik masyarakat Indonesia yang memiliki pola hidup bersahaja, rukun dalam kebersamaan. Oleh karena itu sesungguhnya desalah yang sanggup menampung Indonesia, bukan sebaliknya.

Sebagaimana yang disampaikan Cak Nun tiga puluh lima tahun lalu: Indonesia Bagian dari Desa Saya. Begitu pula dengan kami yang mempersembahkan Gupuh, Lungguh, Suguh, Aroh lan Opo anane sebagai sedekah kami kepada Indonesia, karena Indonesia bagian dari Waro’ Kaprawiran.

Akhir kata seperti pesan Cak Nun kepada kami “Hayya ‘Ala Falah”, mari meraih kemenangan, semoga dengan berbagi racikan untuk Indonesia bisa menjadikan kami, kita semua insan insan yang bermanfaat yang akan terus bahagia bersedekah kepada indonesia untuk meraih kemenangan.