SAKLAR SAKRAL

Redaksi Juguran Syafaat
Reportase Juguran Syafaat Oktober 2015

PASEDULURAN TEMPO DULU

Diawali dengan pembacaan Surat Al-Hujarat dipimpin oleh Kukuh dan Karyanto, Juguran Syafaat edisi ke-31 dimulai. Kukuh memimpin tawasul ke leluhur Nusantara, termasuk diantaranya Al-Fatihah kepada para penggiat Juguran Syafaat yang beberapa waktulalu meninggal, Arung Samudra, sosok yang ikut menggawangi tim musik Ki Ageng Juguran sejak awal terbentuknya.

Syarat pertemuan Juguran Syafaat adalah adanya saling perkenalan, sehingga dalam setiap awal acara para penggiat selalu mengadakan sesi perkenalan antar sedulur yang hadir. Menurut Kukuh, Juguran Syafaat menyuguhkan kembali konsep paseduluran tempo dulu yang kini sudah jarang dinikmati. Istilah kata juguran berasal dari kegiatan pertemuan informal masyarakat pedesaan seusai lepas beraktivitas saling berbagi keadaan hidup.

Karyanto ikut menggarisbawahi, bahwa forum-forum santai seperti Juguran Syafaat mestinya bisa menghasilkan beberapa kebijakan yang diterapkan dalam komunitas tersebut seperti yang dialami di masyarakat pedesaan. Didalamnya ada pendaran ilmu hingga kelakar jenaka, tidak lupa ada wedangan dan pacitan yang tersedia yang memang disediakan oleh mereka yang hadir.

Sembari menghangatkan forum, Ki Ageng Juguran menyapa dengan nomor selawat Enefu Syalom, selawat Nabi yang menggunakan bahasa Ibrani dan irama dari gereja.

Para sedulur yang hadir berasal dari Purwokerto, Cilacap, Majenang, bahkan dari Kebumen kemudian memulai perkenalan. Ki Ageng Juguran kemudian membawakan lagu Apa Ada Angin di Jakarta yang vokalnya dibawakan oleh Tita, dilanjutkan dengan Baina Katifah yang merupakan adaptasi dari musik original Kiai Kanjeng.

MENAIKKAN DERAJAT PERSPEKTIF

Tema kali itu adalah Saklar Sakral. Rizky membuka sesi diskusi dengan menceritakan pengalaman perjalanannya ke Belanda dan membandingkannya tata public policy dengan Arab Saudi. Dimana kalau di Arab Saudi bangunan lama mudah sekali dihancurkan demi alasan kekhusyukan ibadah, sedangkan Belanda menjaga betul kelestarian bangunan bersejarah. Walaupun di Belanda orang sekuler tapi mereka sangat mensakralkan peninggalan-peninggalan dari masa lalu.

Sejarah Belanda ditulis dari abad ke 12 meskipun kemerdekaannya 1800-an setelah lepas dari Perancis. Dibandingkan kembali dengan di Arab Saudi, nama-nama jalan, bandara, dan tempat umum menggunakan nama tokoh-tokoh yang berasal dari sejarah Arab Saudi dari tahun 1926 sampai sekarang. Rizky berpendapat bahwa mungkin kita bisa belajar kembali tentang kesakralan kepada negara kecil bernama Belanda yang bisa kita bilang sekuler.

Kusworo menyampaikan pesan yang didapat dari streaming Kenduri Cinta Oktober 2015, Cak Nun berpesan setiap manusia musti mampu menemukan “rasul-rasul” dalam wilayahnya masing-masing. Memang ada orang-orang yang ditunjuk agar kebenaran tetap teguh berdiri. Kaitan dengan sakral ini, dimana kita bisa menemukan pemimpin yang mana pemimpin adalah mewakili kebenaran, atau eksistensi Tuhan.

Kusworo juga menambahkan bahwa yang memantik tema ini adalah adalah kondisi dimana ritual-ritual orang tua kita saat ini hanya dianggap klenik mistik, padahal didalamnya terdapat filosofi yang sangat luar biasa yang bisa kita pelajari ilmunya.

Satu nomor adaptasi dari KiaiKanjeng yaitu Tuhan Aku Berguru lalu dibawakan oleh Ki Ageng Juguran.

Agus Sukoco menjelaskan, sakral adalah hal yang subyektif, bukan berada pada obyek bendanya, tetapi pada subyektifitas setiap orang ketika melihat sesuatu entah itu benda, peristiwa maupun waktu. Bagi orang yang tidak punya dasar pemikiran dan cara pandang filosofis dan teologis seperti kita, Kabah juga bukan sesuatu yang sakral. Sandekala (waktu senja) bagi orang Amerika itu waktu yang sama sekali tidak sakral, bahkan sangat mungkin sandekala mereka sedang bercinta dipinggir jalan.

“Kalau sakral diartikan sebagai sesuatu yang suci, itu artinya bahwa dia telah ditransendenkan, dinaikkan tidak hanya sebagai benda. Merah putih itu hanya sepotong kain, tetapi bagi bangsa kita yang menyimpan sejarah, menyimpan kenangan-kenangan tentang patriotisme nasionalisme, maka merah putih menjadi sedmikian sakralnya. Dan sesungguhnya kita bisa mensakralkan apa saja memprovankan apa saja, itu tergantung kita. Sesuatu akan kita naikkan nilainya atau mau kita campakkan nilainya itu tergantung kita,” sambung Agus.

“Saya bisa mensakralkan celana dalam istri saya. Begitu saya diluar kota, dalam rangka saya mengatasi kerinduan terhadap istri saya, saya bawa celana dalam istri saya. Buat saya itu bukan sekedar kain penutup, tapi menyimpan romantisme dan erotisme cinta saya kepada istri saya,“ ungkap Agus disambut tawa sedulur yang hadir. “Justru saya tidak menemukan kesakralan dari yang sekarang kita dewa-dewakan. Apa sakralnya motor? Apa sakralnya mobil? Saya sulit sekali menemukan dasar filosofis dan teologisnya untuk menemukan motor dan mobil adalah sesuatu yang sakral, tetapi celana dalam istri saya sesuatu yang sangat sakral. Benda yang kita transendenkan, tidak hanya sekadar benda, tapi bermakna ruhani. Dan hari ini orang sangat sulit, tidak punya perspektif tentang sakral,“ tambah Agus.

penanya

Agus mengibaratkan dalam surat Al-Ahzab 72, dimana Tuhan mengamanatkan kepada gunung, bumi, langit, tetapi manusia lah yang menerimanya. Menurut Agus ini adalah bentuk dimana kita, gunung, bumi, langit, mempunyai diri yang lebih tinggi yang berasal dari sumber yang sama, disinilah letak mukjizat Nabi Sulaiman yang bisa berkomunikasi dengan siapa saja, karena Nabi Sulaiman mampu menemukan diri sejati dari semua makhluk hiudp.

“Jadi Nyi Roro Kidul adalah personifikasi yang dilakukan oleh orang Jawa untuk melihat laut, bahwa laut bukan sesuatu yang tidak hidup, tapi merupakan sesuatu yang hidup sebagaimana  kita. Maka tidak aneh orang bisa berinteraksi dengan laut, dengan bumi, dengan pohon. Jadi apa saja sakral. Hari ini pohon tidak pernah kita maknai sebagai sesuatu yang hidup. Baru beberapa tahun kemaren orang mengerti bahwa air adalah makhluk hidup, ketika profesor dari Jepang, Masaru Emoto, menemukan anda-tanda kehidupan pada air,” ungkap Agus.

“Ini menjadi pintu saja, supaya kita tidak menganggap semua menjadi materialistik. Dunia sekarang sedang ditenggelamkan oleh arus dan gelombang materialisme, jadi apa saja berhenti pada benda, pada wujud-wujud yang nampak,” tukas Agus menambahi.

Agus menanggapi acara ritual yang sering berlangsung saat ini dengan pernyataan bahwa bisa jadi yang melakukanpun musyrik. Yang menasehati tidak tahu, yang melakukan juga tidak tahu kedalamannya. Banyak orang tidak memiliki prinsip teologis dan logika atas ritual yang mereka lakukan.

“Mudah-mudahan malam ini, kita tidak semata-mata kehendak kita. Kalau kita sampai disini kemudian membicarakan hal-hal seperti ini, mudah-mudahan ini adalah cara Tuhan mengantar kita karena malam ini akan dibukakan pintu-pintu hidayah agar kita tidak menjadi tukang nasehat yang tidak tahu atau yang dinasehati sama-sama tidak tahu,” kata Agus mengakhiri sesi pertamanya.

Kusworo melihat peninggalan leluhur semacam penanggalan jawa, hitung-hitungan waktu bukan menjadi momok yang harus disalahkan, meskipun juga belum tentu benar. Tapi setidaknya kita punya filter dalam menilai segala sesuatu karena ternyata pengetahuan kita yang terbatas.

Dalam perhitungan waktu baik atau tanggal baik, Kusworo mempunyai analogi bahwa kalau pendapat orang semua hari itu baik, maka sama seperti dalam membangun rumah, semua kayu baik. Tetapi ternyata tidak juga, orang sekarang memilih kayu glugu untuk atap, kayu jati atau nangka untuk tiang, dan lain sebagainya. Artinya, mereka mempercayai ada kayu baik ada kayu buruk.

“Dengan pemahaman seperti kan kita tidak mudah mengkafirkan orang, mensyirikan orang. Kalau teman-teman bisa riset adalah persoalan yang paling akut akhir zaman ini adalah kita mudah mensyirikkan orang,” sambung Kusworo.

SEBUAH DISKUSI YANG HIDUP

Pada kesempatan berikutnya, Fikri memberi contoh proses switching yang menjadi analogi skalar arus listrik, dimana teknologi bisa membuat kita switch secara otomatis, karena didalamnya terdapat software cerdas yang bisa membuat kita switch dari off ke on. Hal tersebut bisa disambungkan ke tema, kalau kita bisa memahami tentang kesakralan maka secara otomatis bisa otomatis berfungsi. Sama seperti orang tua kita dahulu yang bisa melihat sesuatu langsung transenden dalam kesadaran yang lebih tinggi, sehingga mampu memahami segala yang tersembunyi dibalik jasad.

Karyanto menambahkan bahwa simbol-simbol yang sekarang kita nikmati itu adalah pencapaian yang sudah dilampaui oleh leluhur kita sebagai kode untuk kita sampai pada kesadaran itu. Darwis dari Kebumen memberikan perspektifnya dimana penjagaan ibu terhadap anak adalah sebuah bentuk aktivasi kesakralan dari Tuhan dalam bentuk naluri keibuan. Kusworo juga menambahkan, proses switch kesadaran itu sudah dicapai orang tua kita dahulu ketika terkena jarum pada saat menjahit mereka bisa dengan mudah menemukan hikmah, apa yang salah selama hari ini. Sedangkan kita manusia modern, benturan hidup berkali-kali tetap saja belum menemukan hikmah dalam setiap kejadiannya. Dalam peristiwa sekecil apapun kita sudah menemukan koneksinya dengan Tuhan, itu yang dimaksud Fikry.

Rizky membagi pagar diskusi kali ini dengan menyampaikan mengapa kita harus belajar tentang kesakralan. Hal itu dikarenakan cara pandang hidup kita yang mengalami defisit dan kemandegan berpikir. Hadiwijaya, seorang pelukis Banyumas, mengatakan bahwa forum-forum seperti ini sangat dibutuhkan banyak orang, dimana semua orang bebas berekspresi dan mengungkapkan pemikirannya dalam diskusi bersama.

“Ketika melihat Kabah saya melihat Allah, maka saya melihat esensi Kabah dalam setiap benda. Ini adalah bentuk sakralisasi. Agama adalah satu konsep untuk kita mampu berpikir substantif.”

Satu nomor keroncong dari Slamet malam itu dibawakan secara apik bersama Ki Ageng Juguran dengan judul Pak Tani, sebuah karya legendaris dari Koes Plus.

Agus menyambungkan bahwa dalam berpikir sakral yang diperlukan adalah cara pandang yang substantif, bukan materialistik. Setiap waktu, setiap hal, entah itu rokok maupun sepatu, dari situ kita bisa temukan Allah.

“Ketika melihat Kabah saya melihat Allah, maka saya melihat esensi Kabah dalam setiap benda. Ini adalah bentuk sakralisasi. Agama adalah satu konsep untuk kita mampu berpikir substantif,” tambah Agus.

Ngapati dalam penuturan Agus, adalah bentuk penyadaran kepada manusia bahwa diri manusia bukan berasal dari peristiwa biologis telah terjadi, tapi memang ditiupkan langsung dari Tuhan. Tuhan membuat jarak interval 4 bulan, dan dalam hal ini Tuhan menginformasikan bahwa ada beda dalam penciptaan manusia, tidak murni peristiwa biologis. Bahwa anak kita adalah esensinya manusia baru yang diturunkan ke muka bumi yang melalui medium kita. Tugas kita adalah mendidiknya, mengingatkannya supaya nanti kelak dewasa ingat kembali dengan perjanjian sebelum diturunkan ke muka bumi.

Diskusi berlangsung seru dan menarik. Hidup dan hangat. Para sedulur antusias untuk saling mengemukakan pemikirannya. Dan dalam forum ini semua orang bebas berbicara. Anggit dari Wangon menceritakan pengalamannya bahwa ilmu-ilmu leluhur memang menarik untuk dipelajari seperti masalah hari baik dan hari buruk. Hadiwijaya menceritakan filosofi hingga arti dari aksara Jawa hanacaraka. Halil dari Ajibarang, menyambungkan bahwa orang hidup harus menyalakan iman terlbih dahulu baru menghubungkannya dengan rasionalitas. Togar dari Purwokerto, menanyakan asal kata sakral yang sebenarnya dan berpendapat bahwa kata sakral berasal dari peradaban Barat.

Azmi dari Purwokerto, mengatakan dalam ritual yang masih terjadi terdapat sejarah yang ada. Ketika kita sudah menghilangkan sejarah, maka itu hanya menjadi formal yang baru. Maka akan menggampangkan segalanya. Sejarah menghasilkan nilai, nilai inilah yang akan mengarahkan kepada kesucian atau sakral. Hardi dari Purwokerto, menanggapi tema diskusi malam hari ini yang sangat menarik dimana kita musti bisa menghidupkan saklar saklar dalam diri kita untuk bisa memahami segala sesuatu yang lebih luas lagi.

Rizky mengatakan bahwa diakhir zaman ini yang terjadi bukan deislamisasi melainkan desakralisasi. Berkat ilmu modern sekarang ada pembagian wilayah mana yang sakral mana yang profan, padahal orang tua kita dahulu selalu menganggap segala sesuatu itu sakral.

Nomor syahdu dari Ki Ageng Juguran dengan judul Hasbunallah mengiringi akhir diskusi pada malam hari itu. Kusworo mengakhiri diskusi dengan menekankan apa yang terjadi dalam diskusi ini adalah sebuah perspektif ijtihad dan belum selesai semuanya. Juguran Syafaat ditutup dengan Shohibu Baity, dilanjutkan dengan bersalaman melingkar bersama. Tepat pukul 02.15, Juguran Syafaat edisi Oktober 2015 berakhir.