Mikul Dhuwur Mendem Jero

Sinau bareng Cak Nun dan KiaiKanjeng Dalam Rangka Akhirussanah Pondok Pesantren Ushuluddin‎ di Halaman Ponpes Ushuluddin Bawang, Salaman, Kabupaten Magelang

Sinau bareng Cak Nun dan KiaiKanjeng diselenggarakan oleh Pondok Pesantren Ushuluddin yang diasuh oleh Kyai Ahmad Mansyur (Gus Ahmad) dalam rangka Akhirussanah kegiatan belajar para santri. Dalam konteks dakwah, Kyai Ahmad melihat bahwa yang dibincangkan dalam dakwah-dakwah di masyarakat masih seputar ‘syariat’ dan belum banyak menyentuh esensi hidup yaitu meng-Allahkan Allah, memanusiakan manusia, dan mengalamkan alam. Untuk itu, Kyai Ahmad berharap Cak Nun dapat memberikan pandangan-pandangan terkait hal ini.

Selain itu, dengan menyadari bahwa pesantren adalah bagian dari masyarakat, Kyai Ahmad ingin Cak Nun menguraikan bagaimana insan-insan pesantren memahami peta posisi dan hubungan antara agama dan budaya, di mana pesantren nantinya tidak salah dalam mengartikulasikan keduanya di tengah-tengah masyarakat. Terlebih saat ini, begitu banyak gerakan yang gencar membenturkan dan mempertentangkan antara agama dan budaya. Secara mikro, di dalam lingkungan pesantren sendiri Kyai Ahmad berpikir sebaiknya juga ada kegiatan-kegiatan yang di dalamnya terkandung ketepatan pemahaman mengenai agama dan budaya

Halaman Ponpes Ushuluddin yang terletak di Desa Bawang Salaman Magelang malam ini dipenuhi oleh masyarakat untuk mengikuti Sinau Bareng Cak Nun dan KiaiKanjeng dalam rangka khataman atau akhirussanah kegiatan belajar santri di Ponpes ini. Cak Nun sendiri pagi tadi barusan pulang dari Jakarta selepas acara hari kemarin di Ciputat dan malamnya di Kenduri Cinta Jakarta hingga pukul 04:00 pagi, usai itu langsung segera bertolak ke Yogyakarta.

Kyai Ahmad Mansyur, atau akrab disapa Gus Ahmad, selaku pengasuh pesantren langsung membuka acara malam ini sesaat sebelum Cak Nun dan para narasumber naik ke panggung. Seperti biasa panggung maiyahan tidak tinggi, hanya 40 centimeter dari atas tanah, dan tidak ada jarak dengan orang-orang yang datang dan duduk lesehan. Inilah senikmat-nikmat formasi dan seakurat-akurat penerjemahan dari semangat kedekatan, paseduluran, kebersamaan, dan yang terutama karena niat acara ini adalah sinau bareng.

Doktor Tantowi yang juga dosen di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta diminta Gus Ahmad sebagai narasumber mendampingi Cak Nun Ia dengan gayanya yang rendah hati memberikan pengantar bahwa semua yang hadir malam ini hendaknya bersyukur karena kedatangan Cak Nun. “Cak Nun bukan sembarang kyai. ibaratnya, Isro mikroj-nya sudah sangat jauh dalam memberikan dawuh atau pitutur, Cak Nun kerap kali berbicara apa-apa yang belum kita pikirkan, tetapi Cak Nun sudah sampai di sana. Cak Nun tidak hanya mengajak kita berpikir, tetapi juga menyadari/merasakan dengan kepekaan hati.”

Sementara itu Doktor Agus Purwantoro yang juga ikut naik panggung menjelaskan Maiyah menurut yang dipahaminya. Sepertinya banyak orang yang mungkin tidak langsung datang di maiyahan tetapi mengikutinya jarak jauh dan menyerap darinya ilmu-ilmu kehidupan. Dan ketika dia berbicara, terasa dia sudah sangat dekat, familiar dan menghayati Maiyah. “Maiyah yang dilakukan Cak Nun itu kan sinau babakan carane urip,” ujarnya setelah sempat menembangkan penggalan lagunya Sawung Jabo.

“Tidak ada orang bodoh, yang ada adalah orang yang belum tahu, bukan jaahil melainkan dzul jahli (memiliki ketidaktahuan). Artinya sesuatu di dalam ‘kebodohan’ itu tidak mutlak, alias dinamis, dan bisa diubah.”
Emha Ainun Nadjib

magelang1

Usai dua pengantar dari dua doktor tadi, Cak Nun langsung mengajak jamaah masuk perlahan-lahan ke ilmu. Yakni memahami kandungan ilmu di dalam surat an-Naas. Di dalam surat terakhir di dalam Alquran itu terdapat urut-urutan: robbin naas, malikin naas, dan ilahin naas. Kita diminta berlindung kepada Allah yang mengasuh manusia, Allah yang menguasai manusia. Robb adalah identitas Allah sebagai pengasuh. Muatan utama pengasuh adalah kasih-sayang. Seperti halnya ibu kepada anak-anaknya. “Jangan-jangan inilah kurikulum, jangan-jangan ini adalah cara mendidik. Artinya, datang kepada siapa saja, me-manage apa saja, berikanlah terlebih dahulu kasih sayang. Walisongo dulu datang ke Jawa juga dengan membawa kasih sayang,” papar Cak Nun. Lebih lanjut Cak Nun menjelaskan begitu pula lah dengan pesantren, hendaknya kasih sayang kepada santri dan masyarakat diutamakan. “Dan percayalah pesantren itu masa depan, bukan masa silam. Dua doktor tadi aslinya yo ndak kerasan, makanya dia mbalik juga ke pesantren. Jangan tidak yakin dengan pesantren.”

Sangat luar biasa suasana di maiyahan di pesantren Ushuluddin, terutama saat Cak Nun meminta anak-anak untuk naik panggung. Sepuluh anak yang hampir semuanya masih sekolah dasar telah naik. Anak-anak itu merespons apa-apa yang diminta Cak Nun. Tetapi sesungguhnya yang terjadi adalah semua hadirin, bapak-bapak, ibu-ibu, orang-orang tua, justru diajak belajar kepada mereka. Sangat tidak diduga, bahwa anak-anak kecil itu mampu menunjukkan otentisitasnya. Bermula dari Cak Nun melatih mereka untuk percaya diri dalam memperkenalkan diri, lalu salah satu di antara anak-anak itu memperkenalkan diri dengan pembukaan bak ustaz membuka ceramah. Cak Nun pun mengeksplorasinya anak ini. Dipancing dia untuk meneruskan kata-kata Cak Nun. “Teruskan orang yang baik adalah…” Anak itu kemudian dengan jelas dan penuh kepolosan-kemurnian meneruskan, “…orang yang baik adalah yang suka membantu dan memberi.” Applaus dari jamaah. “Yang tidak boleh dilakukan adalah….” disambung, “…yang tidak boleh dilakukan adalah satu nakal, kedua jahat, dan ketiga dengki,” katanya. Lagi-lagi applaus. “Jadi jelas ya, anak-anak sekecil ini, baru usia 12 tahun, sudah tahu dengki, bayangkan. Kita sebagai orangtua dan guru, seharusnya tidak mengajari, tapi cukup memancing saja. Dan ternyata dengan dipancing sedikit, anak-anak kita ini sangat mengerti banyak hal.”

Kemudian ditemukan pula di antara anak-anak itu yang berbakat dalam nembang atau membawakan lagu. Ketika diminta bernyanyi, pilihan mereka nggak terduga: memilih nembang Jawa Bangbang Wetan. Dan langsung bareng-bareng mereka melantunkan Bangbang Wetan dan diiringi KiaiKanjeng. Sebuah kolaborasi spontan yang indah dari dua generasi yang berbeda: anak-anak dan pakde-pakde atau bahkan mbah-mbah KiaiKanjeng. Rasa yang juga membedakan antara forum maiyahan dengan forum-forum lainnya adalah sering sekali di Maiyahan ditemukan nuansa-nuansa ketulusan dan kemurnian.

Salah satunya melalui ekspresi para penanya. Seorang remaja masih bersekolah di MAN I Magelang maju dan berbicara setelah di awal tadi Cak Nun menjelaskan mengenai Robb dan kasih sayang. “Cak, saya adalah pengagum panjenengan. Meskipun saya baru kenal, tapi saya mengidolakan panjenengan. Dan di dalam lubuk hati saya yang paling dalam tersimpan kasih sayang saya kepada panjenengan…(Gerrr dan tepuk tangan). Saya ingin menanyakan kepada panjenengan, karena guru saya tidak menjelaskannya,” ungkap anak muda ini bertanya mengenai kedudukan orang bodoh dan orang berilmu. Intinya, ada sabda Nabi yang menjelaskan bahwa orang yang berilmu, meski sudah mati, meski tulang-belulangnya tertimbun tanah dan debu, ia tetap hidup. Sebaliknya ‘orang bodoh’, meskipun hidup, tetapi mati.

Cak Nun merespons secara berbelok tapi menukik dan tidak dibayangkan, justru Cak Nun mengajak jamaah untuk tidak menggunakan kata ‘orang bodoh’. Harus dihaluskan. Karena sebenarnya tidak ada orang bodoh, yang ada adalah orang yang belum tahu. Toh tadi redaksi di dalam hadis bukan jaahil melainkan dzul jahli (memiliki ketidaktahuan). Artinya sesuatu di dalam ‘kebodohan’ itu tidak mutlak, alias dinamis, dan bisa diubah. Maka kemudian Cak Nun menjelaskan ragam kondisi orang yang belum tahu di antaranya sebagaimana yang diungkapkan oleh Imam Al-Ghazali. Dengan demikian melalui hadis tersebut kita memfokuskan pada bagaimana mengubah ketidaktahuan, bukan kecenderungan untuk arogansi terhadap orang lain yang boleh jadi belumtahunya memang Maiyah adalah diperjalankan dan berjalan untuk menemukan dan membukakan cakrawala. Apa yang dieksplorasi Cak Nun atas anak-anak desa di sini jelas membukakan kesadaran kita akan hakikat dan metode pendidikan. Sesuatu yang diperlukan setiap orangtua, guru, pesantren dan siapa saja yang concern dengan pendidikan.

magelang2

“Maiyah yang dilakukan Cak Nun itu sinau babakan carane urip.”

Kontur tanah di lokasi maiyahan di Ponpes Ushuluddin ini tidak rata. Komplek rumah dan pondok juga halamannya seakan ada di bawah tanah, sedangkan jalan di depannya lebih tinggi sekitar tujuh meter. Area panggung dan audiens sudah sangat padat oleh jamaah, sehingga yang tak kebagian tempat mengikutinya dari atas jalan, sehingga kalau yang di bawah mendongak ke atas, maka akan tampak deretan-deretan orang di sekitar pohon-pohon di tepi jalan yang diterangi beberapa lampu, seakan menggambarkan unik dan ‘bedanya’ Maiyahan.

Suasana alam pedesaan dan Jawa juga terekspresikan dalam tema yang diangkat yaitu Mikul Dhuwur Mendhem Jero. Bagi Cak Nun ungkapan filosofi dan kebijaksanaan Jawa tersebut merupakan pencapaian peradaban Jawa, kearifan yang sudah ada sejak tiga milenium silam. Hancurnya Indonesia saat ini di antaranya disebabkan tidak maunya Indonesia menghormati dan menggunakan warisan ilmu dan kebijaksanaan dari para pendahulu. Mereka mengabaikan dan meremehkan kekayaan orang-orang tua yang berjasa dan telah menyumbangkan kontribusi.

Di panggung maiyahan malam itu duduk beberapa kyai muda NU yaitu Kyai Ahmad Mansyur, Kyai Muzammil, dan baru bergabung adalah Gus Yusuf (KH Yusuf Chudlori) yang saat maiyahan di Ponpes Raudlatut Thalibin Kabupaten Semarang minggu lalu juga hadir sebagai narasumber. Dengan rendah hati Gus Yusuf mengatakan, “Malam ini saya sengaja niat datang ke sini, walaupun terlambat karena baru pulang acara dari Kendal, untuk ngalap barokah doa Maiyah dan ilmu Cak Nun.”

Kyai Muzammil yang sudah menjadi salah satu kyai di Maiyah menjelaskan bahwa pada dasarnya Cak Nun mengajak kita untuk memiliki sikap tawadlu‘ dan rendah hati. Sementara itu Gus Yusuf diminta merespons salah satu pertanyaan seputar Islam Nusantara. Dalam gaya khas kyai NU, Gus Yusuf menguraikan bahwa Islam adalah agama yang rahmatan lil ‘alamin. Agama yang bisa dipeluk dan diimplementasikan orang dari belahan dunia manapun dengan corak lokalnya masing-masing.

Beberapa pertanyaan yang muncul mengerucut ke hubungan agama dan budaya. Dengan tartil Cak Nun menjelaskan pengertian-pengertian yang amat dasar tetapi kadang tak dimiliki kebanyakan orang, termasuk bagaimana seharusnya memahami arti agama sebagaimana dinyatakan Allah ‘innad diina ‘indallahi Islam‘. Kemudian, seperti pada kesempatan lain, Cak Nun menegaskan bahwa budaya itu semesta yang membuat hidup itu berjalan termasuk di dalam mengimplementasikan sebagian ajaran agama. “Intinya, budaya itu ada yang baik, yang khasanah. Katakanlah budaya adalah bidah. Maka ada bidah yang baik. Bidah yang baik nggak masalah. Bidah yang jelek dan bertentangan dengan syariat Islam itu yang tidak boleh. Dan nggak usah bidah, apapun saja yang bertentangan dengan syariat Islam juga tidak boleh,” tegas Cak Nun.

Setelah uraian demi uraian ilmu, acara tiba di penghujungnya pada pukul 01.34. Setelah shalawat ‘indal qiyam dan doa yang dipimpin oleh Gus Ahmad Mansyur, kini para jamaah berjabat tangan satu per satu dengan Cak Nun dan para narasumber. Dengan tertib mereka satu persatu memasuki shaf pertama di depan panggung dikosongkan untuk jalannya jabat tangan tersebut. Suatu suasana yang selalu dijumpai di setiap akhir maiyahan. Pasukan Banser turut aktif merapikan lalu-lintas jamaah dalam berjabat tangan. Sesi jabat tangan ini merupakan salah satu bagian yang khas dari Maiyahan karena di dalamnya bisa terlihat beragam ekspresi dari kedalaman hati para jamaah, di antaranya terlihat dari cara mereka menyalami Cak Nun. Sesuatu yang merupakan fenomena tersendiri. [Red Progress/Helmi Mustofa]