Mukadimah TUHAN DIBALIK JERUJI

Kudambakan dunia tanpa tuhan

Bumi, matahari, tanah dan laut

Gunung-gunung, sungai, gelombang

Awan dan langit, partikel dan magnet

Tanpa tuhan

Sebab buat apa Tuhan,

kalau tak juga ada kesetiaan

Kumimpikan hanya ada benda-benda

Yang bernama batu, tikus, manusia

Batu tanpa tuhan, tikus tanpa tuhan

Sebagaimana manusia

Ketapel, kepala, ranting pohon

Tanpa tuhan

Sebab untuk apa Tuhan,

Kalau yang berkuasa toh permusuhan

Beberapa hari yang lalu teman kita, sebut saja Amien Subhan menuliskan sebuah curhatan di media sosial yang berisi “kecanggihan teknologi komunikasi tak bersamaan minat silaturahmi”. Silaturahmi tatap muka saat ini menjadi sangat “mahal” dan langka di era modern dan cukup diganti dengan sarana telekomunikasi. Manusia menjadi rendah interaksi langsung dengan sesama dan hanya diwakilkan deretan huruf serta foto instan. Bahkan ketika mereka berinteraksi langsung pun tak jarang mereka masih konsentrasi dengan dunia maya di perangkat telekomunikasi. Entah pergolakan bathin apa yang dialaminya tapi kegalauan ini hanya sebagian kecil dari rasa keterasingan hidupnya  di tengah hiruk pikuk negeri yang tak kunjung usai.

Tiap hari dia menyaksikan parade kehebatan makhluk yang bernama manusia memamerkan keahliannya. Kelihaian diplomasi pun berhias dengan kosmetika penampilan membawa pemirsa berdecak kagum. Mereka tak lupa mengemas apa yang telah diraih sebagai kesuksesan/keberhasilan plus indikator yang disahkan oleh ilmuwan hingga lembaga survey. Tontonan atraktif ini akhirnya manjadi “kiblat” baru hidup manusia modern.

Untuk menjadi “sesuatu”, manusia taklid pada apa yang disyaratkan oleh idola, bahkan tak jarang kemudian mengkultuskannya. Tak peduli siapa yang dikultuskan, apakah itu wali, kyai, ustadz, ilmuwan, artis, sastrawan, presiden, ketua partai atau siapa pun yang mempunyai kharisma. Ketika manusia mulai mengkultuskan seseorang maka di saat itulah muncul “tuhan-tuhan“ baru.

Kemudian konsorsium ‘tuhan’ secara massive memperkenalkan kediaman baru mereka yang bisa berbentuk kelompok, komunitas, sekolah, ormas hingga partai. Manusia berduyun-duyun mendaftar menjadi anggota kediaman baru tersebut dilengkapi  standar perilaku yang disyaratkan berlaku. Tak jarang penampilan pun di ‘upgrade’ mengikuti standarisasi kediaman. Indikator sukses dan berhasil mereka rumuskan secara ilmiah dan mengesankan. Seakan melupakan “kegagalan” Nuh AS yang hanya mempunyai pengikut 50 orang selama ratusan tahun dan gagal mengajak anak serta istrinya. Atau ‘kegagalan’ Muhammad SAW  yang hanya ‘berkuasa’ sehamparan jazirah Arab kalah jauh dari Bani-bani setelahnya ‘berkuasa’. Manusia terpenjara oleh jeruji-jeruji kediaman plus indikator yang versi konsorsium ‘tuhan’.

Sedangkan Tuhan sejati digiring oleh konsorsium ‘tuhan’, hanya ada dan berkuasa di dalam tempat-tempat ibadah dan hanya pada waktu-waktu tertentu saja. Bahkan ketika waktu-waktu yang sakral pun tak jarang konsorsium ‘tuhan’ bersaing dengan Tuhan sejati. Konsorsium tak ragu menyematkan diri mereka menjadi makelar urusan Tuhan. Jeruji-jeruji mereka bungkus dengan kemasan keagamaan yang sangat memikat. Agama yang sangat mudah akhirnya dibuatkan protokoler, hingga susah rasanya bagi manusia biasa untuk beragama tanpa memasuki jeruji-jeruji tersebut.

Kegelisahan teman kita ini lah menjadi tema Kenduri Cinta  yang akan dilaksanakan 14 Oktober 2011 di pelataran Taman Ismail Marzuki. Semoga “tuhan” di balik jeruji memberikan kontribusi pemikiran alternatif di kehidupan bangsa ini.

Kuidamkan negeri tanpa tuhan

Pemerintahan tanpa tuhan

Gedung-gedung, kantor, meja kursi

Istana dan kantor kelurahan

Filsafat dan undang-undang

Tanpa tuhan

Sebab meskipun Tuhan sendiri tak kurang suatu apa

Tapi hatiku lemah mendengar Ia diperhinakan

Engkau Tuhan yang sejati

Tinggalkanlah negeri ini

Negeri badan tanpa ruh

Negara otak tanpa akal

Bangsa yang buta sehingga tak mengerti kegelapan

Pemimpin-pemimpin yang menjijikkan

Masyarakat yang bebal dan tak bisa ditolong

Rakyat yang andalannya hanya ketidakberdayaan

— Negeri Tanpa Tuhan, Emha Ainun Nadjib, 17 Juni  2003

Jakarta, 5 Oktober 2011 — Dapoer Kenduri Cinta