TUHAN DI BALIK JERUJI

reportase kenduri cinta oktober 2011

Ada apa dengan judul Kenduri Cinta bulan ini? Apakah secara diam-diam sebenarnya kita telah dan sedang terus-menerus mengurung Tuhan? Manunggaling kawula gusti sering ditafsirkan dengan melibatkan Tuhan dalam segala aktivitas sehari-hari kita. Sekarang yang terjadi justru sebaliknya, Tuhan kita tinggal di rumah sementara kita keluar.

Adi mengawali, “Untuk kali ini memang judul KC agak beda, pake bawa-bawa Tuhan segala. Sebelumnya, direncanakan judulnya adalah Sujud. Sujud ini merupakan suatu kata yang merupakan ekspresi kepasrahan seseorang kepada sesembahannya. Yang disembah ini yang biasanya kita sebut sebagai Tuhan; dan Tuhan ini bisa berupa apa saja. Script untuk liya’ budun itu sudah ada dalam operating system-nya manusia. Soal obyeknya, itu bisa bermacam-macam: bisa partai, bisa organisasi, dan apa pun saja. Pertanyaannya kemudian adalah: Apakah tuhan telah kita tempatkan di dalam jeruji atau apakah kita yang ada di dalam jeruji?”

Arya Palguna mengawali paparannya, “Akhir-akhir ini ada reality show baru, yaitu bagaimana Cikeas mendramakan pergantian para menteri. Dibuat sedemikian ruwetnya, sedemikian membingungkannya. Kalau misalnya anda ingin bekerja di bidang hiburan, pers akan menjadi sangat penting. Dan karena pers menjadi faktor determinan, ada kalanya pers ini membolak-balikkan mau ke mana: ke kanan atau kiri. Nah ini harus diperhatikan dengan baik. Media itu seharusnya informative dan mencerahkan, bukannya malah manipulatif.

“Yang paling berbahaya adalah ketika anda menuhankan hasil-hasil yang anda capai, apalagi sampai menuhankan diri anda sendiri. Yang terjadi sekarang ini, Tuhan tidak bersama kita. Tuhan kita krangkeng. Tuhan tidak mengintervensi hidup kita. Bagaimana kita bisa melepas jeruji-jeruji itu sehingga Tuhan ada di mana-mana, itu nanti akan dijelaskan.”

Menurut Arya, struktur ekonomi harus kita pertanyakan. Apa jadinya kalau pasar-pasar tradisonal itu tutup, dan kita biarkan bursa efek sendirian? Parameter yang menyesatkan jika seolah-olah finansial menjadi sandaran perekonomian. Hal itu menjadi pertanyaan-pertanyaan besar. Ada sekian ribu desa yang sampai sekarang pemerintah tidak mengetahu bagaimana struktur perekonomiannya. Desa itu hanya berproduksi hanya sampai konsumsi masyarakat desa itu sendiri. Desa kini bukan menjadi sentra produksi, melainkan konsumsi. Kalau sudah menjadi masyarakat konsumsi maka kita akan menjadi ketergantungan sehingga gampang dipengaruhi.

“Kita adalah bangsa yang sangat tahan, sehingga masalah bukan lagi menjadi masalah dalam hidup anda. Sehingga nanti pihak yang meng-kuyo-kuyo anda menjadi bosan sendiri, kecapekan sendiri. Dan pada waktu itu kita bangkit,” pungkas Arya

“Kenikmatan dalam bermaiyah adalah tidak sibuk mencari kelemahan orang lain, tapi setengah mati mencari kebaikan.”

Emha Ainun Nadjib

304275_10150416204412139_11590778_n

Melanjutkan forum, Ais Paseba menyampaikan pandangannya, “Kita berhadapan dengan sampah dan sumpah. Menjelang reshuffle pasti ada sumpah. Para menteri dan wakilnya pasti disumpah. Kenyataan yang kita lihat: anggota DPR mengingkari sumpah jabatannya. Padahal mereka menggunakan kata Demi Tuhan. Ternyata Tuhan hanya menjadi sampah buat kita.

“Indonesia adalah negara yang besar. Pers hadir sudah cukup lama, sejak 1770-an. Pers membantu pergerakan. Setelah itu masuk masa revolusi, kemudian masa Soeharto. Terjadi transisi dari pers perjuangan ke pers pembangunan. Pada masa pers pembangunan, yang menjadi musuh cuma satu yaitu presiden—yang waktu itu otoriter. Ketika memasuki masa reformasi, musuhnya sudah banyak: ada partai, perusahaan-perusahaan pengemplang pajak dan sebagainya. Pers harus bangkit. Tanpa idealisme, pers tidak akan bisa bangkit.”

Forum kemudian dibuka sesi untuk jamaah merespon

1. Saya setiap hari harus baca koran, mulai dari Kompas sampai yang kacangan saya baca. Saya bingung, ternyata Gayus itu “tuhan di balik jeruji” bagi saya. Setelah itu ganti Nazaruddin. Setelah tertangkap, mlempem. Saya ini mau pinter baca koran, tapi tiap hari kok saya malah menjadi bodoh?

2. Mungkin dari pemahaman lain, kita bawa ke dalam diri kita: apakah di dalam diri kita masih ada tuhan-tuhan palsu? Bagaimana cara membebaskan diri kita dari tuhan-tuhan palsu yang menguasai negeri kita maupun jiwa-jiwa kita?

3. Di setiap media ada kebijakan politik redaksional. Ketika ada telepon masuk dari “tuhan” atau pemilik media, ada kemungkinan terjadi semacam bargaining. Biasanya ada tawar-menawar harga. Reporter dan redaktur tidak mengetahui hal ini.

Sangat susah sekali untuk membebaskan diri dari tuhan-tuhan itu, kecuali seluruh rakyat bersatu bikin koran sendiri. Sebenarnya bisa, asalkan ada persatuan. Saya setuju jika kita bersatu, bikin lembaga pers sendiri. Ketika seorang wartawan ingin mengungkapkan benar-benar, dia akan mati. Pertanyaannya, siapkah kita mengatakan tuhan kita sebatas yang Di Atas? Atau direktur dan sebagainya? Waktu itu saya dengan modal 700 juta, bisa kok bikin tabloid setahun secara bertahap.

4. Korupsi ini menjadi masalah yang sangat penting. Segitunya orang benci pada korupsi. Tadi mas Restu bicara soal Nazaruddin, Gayus, Antasari, siapa…siapa… Itu semua tidak terlepas masalah korupsi sebenarnya. Yang menjadi cilaka kita, korupsi itu menjadi komoditas politik. Tidak ada satu pun koruptor di negeri ini yang benar-benar dihukum. Itu semua bullshit. Begitu ada bargaining, selesai. Kalau saya boleh pinjem istilah Alm. Rendra, negara ini negara bedebah, tidak akan pernah ada koruptor yang dihukum setimpal sesuai perbuatannya.

Judul KC ini sangat menggelitik bagi saya. Tuhan di balik jeruji. Jadi kita berpolitik, berbisnis, jangan bawa-bawa Tuhan. Nggak bener itu. Ini sudah sangat tepat. Kita butuh tuhan, jangan di-krangkeng. Kalau tidak, ya sama aja kita dengan mereka-mereka itu.

“Fitnah itu bukan hanya tentang ngomong nggak bener, fitnah itu ketergodaan kepada sesuatu yang tidak murni, sesuatu yang tidak semestinya.”

Nurshamad Kamba

Sebenarnya saya malam ini mau nyanyi,” begitu ucap Candra Malik ketika diminta untuk menguraikan paparannya, “Saya koar-koar di Twitter mau nyanyi, tapi malah disuruh ngomong. Menurut saya, judul ini sangat tidak pancasilais. Kenapa? Karena sila pertama itu kan tentang ketuhanan. Sebenarnya secara kaidah bahasa, ketuhanan yang maha esa itu jelas salah. Ketuhanan itu terkait banyak hal mengenai tuhan. Bagaimana negara ini akan makmur jika sila pertamanya sudah seperti itu?

“Tuhan bilang: Aku ini mengikuti prasangka hamba-Ku. Jadi nggak ada yang bener, makanya nggak usah saling menyalahkan. Kita dibebaskan sama Allah untuk berprasangka. Allah itu sangat detil, sampe daun pun digarisi. Allah itu kurang kerjaan. Allah itu huwal awalu huwal akhiru; awalnya awal dan akhirnya akhir. Dia bukan hal baru. Saya tidak tahu mengapa pembicaraan mengenai Tuhan menjadi pembicaraan mengenai pers. Apakah syahadatnya menjadi: Tidak ada tuhan melainkan pemegang saham, dan wartawan adalah utusan tuhan?

“Tuhan itu laisa kamitslihi syai’un. Tuhan itu tentang kehadiran. Apa yang paling dekat dan paling sering hadir dalam kehidupan anda, itulah Tuhan. Jadi, Tuhan itu benar-benar sesuai dengan persepsi kita. Sesungguhnya tuhan-tuhan yang kamu sembah itu sedang bergerak menuju Tuhan,” ungkap Candra.

Candra Malik kemudian membawakan lagu Jiwa yang Tenang dan Fatwa Rindu, kemudian dilanjutkan dengan pembacaan puisi oleh Jose Rizal Manua.

“Allah itu pekerjaannya memecah diri-Nya dengan tujuan untuk menyatukan diri-Nya kembali. Allah itu ahad, kemudian Dia menyediakan wahid-nya.”
Emha Ainun Nadjib

Sungai menjadi sungai hanya ketika ia menuju ke laut,” Cak Nun mengawali uraiannya, ”Ia harus ke laut. Semua negara, semua aliran, semua institusi, harus mengalir ke laut.”

Cak Nun: “Saya ingin tanya ke Gus Candra, gimana anda bikin lagu itu? Ada orang bikin lagu karena dia punya obsesi untuk berkarir di bidang musik. Kita sama Pak Nursamad sama Mas Ian sama Cak Fuad memilih 3 orang bulan depan di Surabaya untuk kita kasih ijazah Maiyah. Ijazah kita pilih karena kita agak nggak sreg dengan kata award. Ada juga hidayah pada pemilihan kata ijazah, karena kata ini diambil oleh dunia pendidikan tanpa historisitas. Dari mana asalnya kata ijazah? Kata ijazah kita ambil kembali karena ini berasal dari tasawuf, akselerasi walayah, yang dimensinya macam-macam. Kita ambil kembali kata itu bukan untuk menjadi milik kita. Kita berpikir kalau jaizah kurang pas. Award adalah jaizah dalam bahasa Arab.

“Gus Malik ini telah memberikan ijazah kepada orang-orang yang dirasanya pas untuk mendapatkannya, kan gitu. Maka 5 orang tadi harus mencari 3 orang, dan sudah kita temukan 3 orang itu. Tanggal 14 di Surabaya, siangnya ada pengobatan gratis untuk segala jenis penyakit, malamnya ada penobatan itu. Nah, kita ini ngasih penghargaan bukan karena mau ngasih penghargaan, tapi karena kita berjumpa dengan orang yang pantas kita hargai. Saya bukan Bakrie, bukan lembaga-lembaga yang setiap tahun mencari orang untuk diberi penghargaan, tapi Allah mempertemukan saya dengan orang-orang yang harus saya hargai. Karena yang nyuruh memang Allah, maka Allah-lah yang membiayai.

“Gus Candra menyanyi bukan karena ingin menyanyi, tapi karena ada sesuatu yang harus dinyanyikan, ada ungkapan-ungkapan yang tidak terwakili dengan ungkapan-ungkapan intelektual. Beliau menemukan bahwa ini tidak bisa diungkapkan; ini harus dinyanyikan. Suara bagus itu nggak penting, yang penting bisa nyanyi. Anda tahu Bob Dylan itu suaranya nggak bagus, Mick Jagger itu suaranya buruk sekali, tapi soal nada: dia beres.”

“Allah mengatakan bahwa Dia tidak mengubah keadaan suatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. Dalam hal perlibatan itu yang sangat penting adalah kesetiaan. Saya sangat setia pada telinga kiri saya, karena telinga saya ini suka mendengar, Cak,” begitu Candra Malik merespon dari Cak Nun. “Kita lahir dalam keadaan tidak tahu apa-apa, maka Allah jadikan telinga untuk mendengar, hidung untuk mencium, dan seterusnya. Saya suka sekali mendengarkan telinga kiri saya sendiri. Ini salah satu suluk yang saya jalani, yaitu mendengarkan pendengaran saya sendiri. Akal suka sekali bicara, sehingga dia kurang mendengar. Itu yang saya lakukan; setia pada telinga saya. Ada informasi kecil, menjadi besar.

“Suatu kali saya mendengar suara untuk membuat lagu itu, saya tidak berani menjustifikasi bahwa itu suara Tuhan, terlalu berat untuk saya. Prinsipnya sami’na wa atho’na. Ketika datang perintah itu, saya mendengar, saya patuh melaksanakan. Kenapa harus tidak bertanya? Karena ketika kita bertanya, Allah berikan pertanyaan-pertanyaan lagi, yang akan membawa kita lebih jauh dalam pertanyaan-pertanyaan.

“Ketika Nabi Isa disuruh menghidupkan orang mati, Nabi Isa menyuruh seseorang mencari ekor kambing. Orang itu kemudian pergi, tapi kemudian kembali lagi hanya untuk menanyakan apakah ekor kambing yang diminta Nabi Isa itu ekor kambing jantan atau betina. Betina, kata Nabi Isa. Betina yang sudah melahirkan atau yang belum? Terus saja dia bertanya, sampai akhirnya dia berkata: Lho ya nggak ada to Nabi, kambing yang seperti itu? Lha salahmu sendiri! Jadi semakin banyak pertanyaan, semakin banyak pertanyaan yang akan kita dapat lagi.”

“Yang membuat agama itu kemudian tidak simpatik karena kita menciptakan metodologi untuk memahami agama tapi kita hanyut didalam metodologinya.”

Nurshamad Kamba

Menyambung forum, Cak Nun mengatakan, “Allah itu pekerjaannya memecah diri-Nya dengan tujuan untuk menyatukan diri-Nya kembali. Allah itu ahad, kemudian Dia menyediakan wahid-nya. Dia punya dimensi mudhil, rahman, aziz, dan sebagainya. Di situlah Rendra pernah menangis di pangkuan saya ketika saya ungkapkan mengenai asmaul husna. Jadi, bekal utama orang hidup adalah: Innalillahi wa inna ilaihi rajiuun.

“Jadi jangan ada apapun yang tidak merujuk pada-Nya. Dia ambyar dulu. Big bang. Menjadi cipratan-cipratan, yang kemudian ada yang menggumpal menjadi padatan batu, awan, gas, dan sebagainya yang masing-masing dengan manfaat tersendiri. Demikian pula Gus Candra Malik, beliau memecah dirinya sedemikian rupa. Begitu pula orang belajar. Ada fakultas kedokteran, ada fakultas ekonomi, yang semuanya untuk menuju universalisasi. Tapi yang terjadi adalah sungai tetap menjadi sungai tanpa menuju laut. NU hanya bertahan sebagai sungai NU, Muhammadiyah hanya sebagai sungai Muhammadiyah, sehingga akhirnya timbul gengsi korps. Dia justru dari laut, menuju gunung, padahal di gunung tidak akan ketemu siapa-siapa kecuali kemarahannya Allah. Jangan pernah berhenti menjadi sungai. Jangan pernah mengibarkan bendera kesungaian anda.

Sedulur papat limo pancer. Anda ini ya kakang kawah ya adi ari-ari. Maka ketika kesehatan anda terganggu, anda bisa mengobatinya dengan mencari di tempat ari-ari dikubur, karena itu bagian dari diri anda juga. Jangan pernah ini disebut syirik. Syirik itu letaknya bukan pada benda. Kenapa kamu masih terlibat dalam kebodohan-kebodohan tingkat rendah seperti itu?

“Anda jangan menganggap ada kerajaan Allah, ada kerajaan Iblis. Anda ini sama iblis aja nggak mau belajar, sama siapa nggak mau belajar. Anda semua menjadi usus-usus buntu yang sangat banyak, padahal seharusnya usus buntu itu satu saja di tubuh. Kalau buntu semua ya bukan dioperasi lagi, tapi didedel-dedel.

“Puisi tidak tertandingi sampai hari ini. Saya tidak bisa menemukan estetika sastra melebihi yang dilakukan oleh Chairil Anwar. Dia pada tahun 40-an bahasa Indonesianya sudah perfect. Itu karena umurnya yang seharusnya panjang oleh Allah dipadatkan menjadi hanya 27 tahun. Rasulullah hanya diberi waktu 10 tahun—dua kali masa jabatan gubernur—untuk bikin Islam Madinah, dan kita sekarang malah bikin-bikin Islam Mekkah. Jadi anda pilih mana, umur pendek atau panjang tapi ra mutu?

“Kalau ada larangan, berarti perbuatan yang dilarang itu sebenarnya disukai oleh manusia. Sebaliknya jika ada perintah, sebenarnya perbuatan yang diperintahkan itu justru tidak kita sukai. Allah memerintahkan kita salat, itu sebenarnya Dia tahu kalau kita nggak suka salat. Maka: Ya Allah aku tahu Kau memerintahkan aku salat karena aku tidak suka melakukannya, tapi karena Engkau yang perintahkan Ya Allah, maka tetap kulakukan setidaksuka apapun aku.”

“Kalau kau ingin menyatu dengan Allah, beranilah untuk membanting-banting dirimu, meniadakan dirimu.”

Emha Ainun Nadjib

Candra Malik melanjutkan uraiannya, “Begitu mendengar perintah itu, saya menunggu sekitar satu atau dua bulan. Datang santri baru yang ingin belajar. Ternyata dia seorang produser. Datang seorang lagi, dia staf manajemen artis. Maka saya bilang ke mereka: kalian datang pasti ada yang nyuruh, walaupun mungkin sekarang kalian belum tahu. Ayo kita bikin lagu. Maka kami bikin lagu. Totalnya ada 14 lagu, semuanya saya yang bikin. Proses pembuatan lagu itu bisa dibilang sangat mudah. Karena saya cuma mendengarkan, lagunya keluar sendiri. Paling cepat 2 menit, paling lama setengah hari. Saya menyadari bahwa ada yang tak tersampaikan dengan uraian-uraian, ada yang harus dinyanyikan.”

“Saya jelas kalah set sama Cak Nun. Ketika bicara Allah, ada wali. Dan soal wali ini, Cak Nun setingkat di atas saya, karena selain sebagai wali murid, dia juga sudah menjadi wali nikah. Saya kan baru wali murid saja,” gurau Candra.

Cak Nun merespon, “Gus Candra ini adalah seorang yang sangat otentik, sangat orisinil, namun juga sangat kekanak-kanakan dalam bidang kebudayaan. Saya menemukan pada lagu-lagu beliau itu bukan ghirah kesenian, melainkan ghirah untuk menyampaikan pesan-pesan Allah. Maka tujuan utama seorang sufi adalah tidak punya rasa eman terhadap dunia. Apakah itu kekayaan, nama baik, dan apapun saja. Bahkan beliau diberi kesempatan, fadhillah khusus dari Allah,”

Forum kemudian memberi kesempatan kepada Syekh Nurshamad Kamba untuk menyampaikan pandangannya, “Saya rasa ini salah satu pengajian yang ter-cover dalam sabda Rasulullah, yaitu: kalau ada majlis ilmu dimana disebut nama Allah, diperkenalkan Allah, maka majlis itu dilindungi malaikat-malaikat Allah. Ada dua tipe majlis: majlis ilmu dan majlis hafalan. Majlis ilmu adalah majlis yang menjadikan apa yang dipelajari menjadi karakter. Agama pun begitu, ada yang diaplikasikan ada yang cuma dihafalkan. Rasulullah berkata bahwa misinya adalah menyempurnakan akhlak manusia. Jadi Islam itu nggak mesti dihafal-hafal, yang penting digunakan. Semoga Allah memberikan berkah melimpah kepada anda sekalian. Saya ingin bertawasul kepada syekh-syekh saya, terutama syekh saya dari Naqsyabandiyah.”

Syekh Nursamad lalu mengajak jamaah mengamalkan Al-Fatihah bersama-sama.

“Hadits diriwayatkan karena pertautan perawi dari guru dan murid. Ijazah itu membolehkan murid untuk meriwayatkan suatu hadits. Pertama kali ketika para guru melihat kemampuan menghafalkan hadits dari seluruh perawi, itu artinya diberi ijazah. Ilmu itu harus ilmul yaqin, pasti, nggak ada keraguan. Keraguan itu hilang jika ada talaqqi. Ada yang memberi, ada yang menerima. Ijazah diberikan secara langsung dari syekh kepada murid,” jelas Syekh Kamba.

Beliau jelaskan, “Saya ingin mengomentari dulu judul malam ini. Kalau ada temen-temen yang sedang menulis skripsi atau tesis atau disertasi, mungkin bisa disoroti judul-judul yang diangkat di Maiyah ini, maksudnya apa. Dalam pemahaman saya memang sekarang ini tidak perlu ada Tuhan kalau sifat-sifat kita tidak baik, kalau manusia ini masih bermusuhan. Lama kelamaan agama akan menjadi sesuatau yang tidak dibutuhkan karena yang kita formulasikan sebagai agama itu tidak mengikuti perkembangan. Tidak ada agama yang tidak mengikuti tradisi. Konsepsi anda mengenai Tuhan sudah tidak punya relevansi dengan kehidupan kita sekarang ini maka menjadi tidak berguna. Tuhan harus ‘dibuat’ sedemikian simpatik mungkin agar manusia bisa mencintainya.

“Yang membuat agama itu kemudian tidak simpatik karena kita menciptakan metodologi untuk memahami agama tapi kita hanyut didalam metodologinya. Contohnya kita hanyut dalam tafsir, sehingga tak pernah masuk ke dalam ayat Al-Quran itu sendiri. Tafsir adalah sarana. Kita hanyut dalam Muhammadiyah, NU, dan sebagainya. Bahkan ada di antara kita yang jika berhadapan antara sunni dengan syiah harus berani mati.”

311720_10150416204622139_169273453_n

Pada forum malam itu, Cak Nun menegaskan bahwa Islam itu simple. Kita akan menjadi muslim sejati jika moralnya bagus, akhlaknya bagus. Ia juga ingatkan bahwa salah satu yang indah dalam dunia tasawuf adalah perlombaan rendah hati.

Memaknai tema malam itu, Cak Nun sampaikan, “Tentang judul kali ini, bolehkan saya mengambil tanda petiknya? Yang ada di dalam jeruji adalah justru Tuhan yang sebenarnya, bukan ‘tuhan’. Praktek paling dalam adalah karena ulama-ulama menciptakan jeruji-jeruji itu. Kitab kuning lebih tinggi daripada Quran. Kitab menjadi jeruji yang menyandera Quran. Begitu pula kyai. Yang di dalam jeruji itu adalah Tuhan. Yang di luar jeruji inilah yang tuhan dalam tanda petik. Jadi, banyak tuhan-tuhan di luar jeruji yang mengendalikan masyarakat.

“Manusia punya rasa eman terhadap dirinya. Dia tidak berani membanting dirinya. Kalau kau ingin menyatu dengan Allah, beranilah untuk membanting-banting dirimu, meniadakan dirimu. Saya tidak mau berpenampilan yang akan membuat anda membangun image yang tinggi tentang diri saya. Filsafat gak patheken adalah pencapaian tertinggi kebudayaan Jawa. Kebudayaan Jawa itu lumayan kok. Sama seperti kebudayaan Bugis, Melayu, dan sebagainya. Walaupun pada porsi tertentu membutuhkan petunjuk langsung dari Tuhan juga.

“Dunia tidak memahami top down dan bottom up. Top down itu agama. Bottom up itu keagamaan—rasa agama—religiusitas. Organisasi itu bukan tidak boleh, boleh asal menuju organisme. Kalau pake istilah sungai tadi, ia harus ke laut. Organisasi itu metode. Anda melakukan kausalitas dengan Allah. Kalau anda menderita Allah ikut. Tolong cari bahan untuk membedakan antara organisasi dan organisme. Maka engkau tinggal usahakan organisme dengan Allah, anda nggak perlu bikin lagu karena Allah sudah menyiapkan lagu. Anda tinggal teriak, Allah yang bersuara. Tidak ada air yang tidak bersih. Yang tidak bersih adalah yang mengotorinya. Kita mau tidak mau harus menjadi perintis. Perubahan yang utama akan dilakukan oleh Allah, kita cuma kerja dikit-dikit.”

Melanjutkan diskusi, Pudji Asmanto sampaikan pandangannya, “Saya hanya mencoba untuk memvisualisasikan apa yang diungkapkan Cak Nun, Gus Candra Malik, dan Syekh Nurshamad Kamba. Mengapa air itu bersih? Karena ia memancar dari perut bumi. Tanah adalah saringan-saringan yang mampu menyaring zat-zat yang bukan air sehingga ketika memancar keluar ia menjadi sangat bersih. Ini adalah tanah yang digali dari kedalaman 300 meter dari permukaan bumi,” Cak Pudji menaburkan tiga sendok makan pasir ke dalam air keruh tadi, kemudian mengocoknya beberapa lama, dan yang terjadi kemudian adalah kotoran-kotoran di dalam air itu menggumpal dan mengendap, terpisah dari air yang kemudian menjadi bening, “Sesungguhnya banyak orang baik, yang jelek itu sebenarnya sedikit. Pada saat kacau kita tidak tahu keheningan, kebeningan. Kita perlu mempelajari karakteristik sebaran-sebaran yang tadi dipaparkan Cak Nun.”


Secara bergantian, sambil saling berdiskusi, Cak Nun dan Pudji Asmanto menyampaikan nasehat-nasehatnya kepada jamaah.

Cak Nun: “Saya mendengar bahwa banyak jamaah Maiyah yang mengaku hidupnya menjadi lebih tenang, menjadi lebih bisa tertawa. Yang mau saya tanyakan pada Cak Pudji adalah bagaimana keadaan kita sekarang ini secara global? Apakah masih kacau?”

Pudji Asmanto: “Tahapan sekarang ini masih kacau, Cak. Tidak ada apresiasi yang sangat genuine. Anda mendapat hadiah Mercedes, anda dapet ini. Itu adalah artificial. Bohong-bohongan. Jadi kita perlu hening untuk mengetahui yang sebenarnya. Secara nasional kita masih dalam keadaan kacau.”

Cak Nun: “Jadi karena anda tidak bisa mengenali, maka yang anda manfaatkan adalah warna. Secara individu anda sudah cukup mengendap sebenarnya, sehingga anda punya mata pandang baru, sehingga anda tidak bisa ditipu oleh siapapun lagi. Puasa mendidik anda untuk siap tidak melakukan yang anda sukai. Seorang pejuang itu berangkat bukan dari seleranya melainkan dari harus atau tidak harus.”

Pudji Asmanto: “Baik dalam suasana sosial maupun ekonomi, kita sering dibuat kacau. Kita sering tidak bisa membedakan antara voice, noise, dan sound. Dan kita perlu hening untuk mengetahui apakah dia benar-benar menyuarakan rakyat, atau hanya ikut-ikutan jarene iki jarene iku. Ada yang tidak suka Indonesia ini menjadi hening, menjadi bersih, sehingga kita tidak punya daya untuk menjernihkan orang lain.”

Cak Nun: ”Televisi itu kebanyakan berisi noise. Yang dibutuhkan manusia adalah the true voice, sehingga ketika kita melangkah, yang melangkah adalah Allah, Allah yang melangkahkan kita. Apa saja itu, karya satra, politik, yang tidak memenuhi syarat kompatibel dengan organisme Allah, itu sampah. Dan sampah itu akan tersingkir. Dan kalau anda sudah bisa membedakan mana voice mana noise, anda akan memiliki kompatibilitas dengan voice.”

315876_10150416204067139_402139971_n

Forum kemudian dibuka untuk memberi ruang bagi jamaah merespon. Beberapa jamaah menyumbangkan pikiran dan pendapat-pendapatnya, beberapa juga mempertanyakan kegelisahannya.

1. Melihat judul kali ini, bagaimana jika kata tuhan diganti menjadi adab? Ketika kita berpuasa, apa yang kita puasakan? Ketika kita buka, apa yang kita bukakan?

2. Bagaimanakah hukum dan sejarah aqiqah dan qurban untuk orang yang sudah meninggal?

3. Tadi disebutkan bahwa antara murid dengan guru tak boleh ada penghalang, harus langsung menuju Allah. Saya pernah mendengar seorang murid sudah ketinggalan perahu ternyata dengan menggelar sajadah dengan wirid Haddad…Haddad… yang diajarkan gurunya ternyata sajadahnya jalan. Di tengah jalan sang murid mengganti wirid dengan Allah…Allah… ternyata sajadahnya mulai menurun. Bagaimana batasan hubungan guru-murid? Apakah hubungan secara batin saja ke Allah atau secara fisik juga?

4. Apakah puasa dan salat tahajud itu menjadi suatu kewajiban jika perintah itu saya dapatkan melalui bisikan?

5. Dari lagunya Gus Candra, apa yang saya pikirkan beberapa lama belakangan: siapa saya? Bagaimana ini Gus?

6. Kalau saya lihat judul ini mungkin bisa juga dibikin tuhan di balik papan. Ada hubungannya dengan makan sandang papan. Dalam menyikapi perbedaan-perbedaan ibadah muamalah dan mahdoh, bagaimana cara mengatasi ikhtilaf?

7. Metode apa yang bisa dilakoni untuk bisa meniada manunggal sama Allah?

8. Mengapa di dalam banyak acara atau khotbah yang dipakai adalah ‘hadirin yang dimuliakan Allah’?

Merespon jamaah, Candra Malik sampaikan, “Lagu Sirathal Mustaqim merupakan pertanyaan. Kita tinggal nunggu lagu tentang jawabannya. Kita manusia punya kesamaan, rasa gelisah untuk mencari jati diri. Kita mencari yang tidak ada dan kita menemukannya sebagai ada. Maka itu adalah pencarian yang tidak pernah selesai, kecuali kita berhenti mencari dan mulai menemukan. Setiap penemuan adalah orisinil, otentik, benar menurut penemunya.

“Perjalanan batin dimulai dengan kegelisahan. Kita tidak pernah belajar tentang akhirat, tentang mati, padahal kita pasti akan ke sana, dalam keadaan sukarela maupun terpaksa. Kita sekolah ke mana-mana, ke mana tujuannya? Semanfaat-manfaatnya Maiyah ini, kalo nggak selesai-selesai ya repot. Dalam prinsip-prinsip tasawuf: barangsiapa mendahulukan untuk membereskan urusan-urusan akhiratnya maka akhiratnya akan beres dan dunia pun akan mengikutinya. Karena kita tidak tahu akhirat itu seperti apa, bekal yang kita persiapkan selalu salah.

Maka permintaan setiap orang adalah sama ketika mendekati garis kematian: Ya Allah kembalikanlah aku barang sebentar ke dunia. Dari awal kita sudah meniadakan diri, melebur, menyatu, tidak menyiapkan bekal apapun kecuali mukhlisinalahuddin. Ulama-ulama itu menjebak kita dalam urusan-urusan pahala dan dosa. Itu yang sudah menjadi tuhan baru kita. Dosa-pahala, matematika shodaqoh. Semua sudah tamat sebelum dimulai. Jangan khawatir, itu adalah tahapan-tahapan yang harus anda lewati. Ilmu itu perempuan: lembut, menyenangkan, madhangi. Nek lanang kan metengi. Jadi sifatnya ilmu itu lembut, sifat Allah itu lembut. Ketika anda wirid Bismillahirrahmanirrahiim, dan anda tidak lantas menjadi rahman rahiim, berarti ada yang salah.

“Kenapa judulnya tuhan? Maiyah ini bukan selalu tentang adab. Yang biadab pun boleh mendekat. Tuhan itu sangat dekat. Sesuatu kalau sudah terlalu dekat, dia tak terlihat. Pengen lihat Allah, ambil jarak. Sebagai apa? Sebagai hamba yang hina. Menyatu tapi terpisah, itulah kesempurnaan. Contohnya kepala sama kaki. Kalau menjadi satu, cacat namanya. Apa yang melekat pada kita punya hak untuk menyebut dirinya sebagai diri kita.”


Cak Nun: “Yang paling dasar dalam manajemen kita sebagai orang hidup adalah apakah kita akan hijrah kepada Allah ataukah kepada dunia? Kita ini nggak jelas mana yang kita tuju, diganggu oleh hadits-hadits palsu. Orang tidak berani melihat akhirat sebagai titik tuju terakhir. Orang menyangka kalo tidak nyari duit, dia nggak punya duit. Itu keliru, karena derajatmu lebih tinggi daripada duit, maka duitnya yang akan mengejar.

“Setiap aktivitas yang voice adalah aktivitas sakral, jangan dipake buat cari duit. Anda kan pandangannya linier. Teori materi jangan diterapkan pada roh, begitu pula sebaliknya. Jadi anda ke sini ini akan membuat anda lebih banyak duit kok. Ya anda nyangkanya Tuhan pelit sih. Datang ke Dia kok minta-minta terus. Kita mulai sekarang bikin transaksi gitu aja. The most noise is television. Aku tidak perlu terkenal oleh TV. Aku lebih terkenal daripada TV. Kotoran di air tadi sangat sedikit. Orang jahat itu sangat sedikit sebenarnya. Kekacauan yang kita alami adalah karena keburukan-keburukan yang tersebar. Yang perlu kita lakukan adalah hening, untuk tidak menjadi kacau dalam kekacauan. Kita suka ikut-ikutan. Noise dibikin voice-voice-an.”

Nurshamad Kamba menambahkan, “Aqiqah dan qurban adalah sunnah. Qurban wajib bagi yang sedang melakukan badah haji. Di luar itu: sunnah. Itu efek dimensi sosial dalam keberagamaan. Aqiqah sebagai rasa syukur. Menyangkut salat tahajud, ada orang yang mewajibkan dirinya untuk melakukannya, tapi pada dasarnya dia tidaklah wajib, ini mengenai keikhlasan hubungan dengan Allah SWT. Seluruh ibadah yang dilakukan itu kan harus ikhlas. Pengabdian hamba kepada Tuhan harus ikhlas. Ikhlas itu harus ada makrifat. Dalam makrifat harus menyatu. Tidak ada adat yang muncul kecuali dari kesukarelaan. Sesuatu yang palsu bukan merupakan moralitas. Fitnah itu bukan hanya tentang ngomong nggak bener, fitnah itu ketergodaan kepada sesuatu yang tidak murni, sesuatu yang tidak semestinya.”

Cak Nun memuncaki, “Anda ini nanya mau tamasya atau mau kebenaran? Kalau mau tamasya, mau denger-denger dari saya. Kalau mau kebenaran, jangan tanya ke saya. Kalau cari kebenaran, itu kebebasan Anda untuk mencari. Tidak ada yang lebih hebat dari manusia satu dan yang lain. Mbok nggak usah hebat-hebatan, nggak usah tinggi-tinggian, karena yang tinggi itu cuma satu: tinggi badan. Saya sangat menikmati puasa dan mainstream hidup saya adalah puasa. Ada orang yang berkarakter syahadat, ada yang berkarakter salat. Nah, saya ini termasuk yang katuranggan-nya manusia puasa. Jadi saya tidak tergiur oleh hak, karena hidup adalah bagaimana saya tidak menggunakan hak saya. Semakin saya tidak menggunakan hak saya, semakin tinggi derajat saya. Kenikmatan dalam bermaiyah adalah tidak sibuk mencari kelemahan orang lain, tapi setengah mati mencari kebaikan. Aku tidak menagih apapun kepada dunia. Kalau nagih-nagih, kita nggak akan dapet hikmah pelajaran dari apapun. Kalau kamu menuntut-nuntut hakmu, itu berarti kamu sedang mengada-adakan dirimu.

“Selalu ada kesadaran. Otoritas Allah menjelma pada orang tua. Hak untuk ditaatinya hanya sekian persen. Tidak ada kewajiban kalian untuk taat kepada MUI. Sekarang banyak sekali MUI-MUI swasta. Kalau anda sudah berada dalam aura kebesaran Allah, dunia sudah tidak ada. Mursyid itu membuntuti muridnya. Jangan sampai saya menghalangi jarak anda dengan Allah. Wirid Haddad…Haddad… itu tentang kompatibilitas. Al-Habsyi juga. Allah menciptakan kimia dan fisika, jejodohan dalam dunia. Hak yo hak, demokrasi ya demokrasi, tapi semua ada maqam-nya. Jadi hidup ini begitu indah, perhatikan presisinya.

“Tahajud dan puasa jelas sunnah. Itu soal hidayah, soal petunjuk, soal kebaikan anda kepada Allah, tinggal dilaksanakan pada waktu dan tempat yang tepat. Kalau pada hari-hari yang haram puasa ya jangan puasa.

“Mulia itu karomah. Dimuliakan itu karomallah. Tidak semua orang baik itu mulia. Kemuliaan itu di atas kebenaran dan kebaikan, harus ada indikator-indikator akhlak, ujian-ujian khusus. Kan hanya Ali bin Abi Thalib yang disebut karomallahu wajhah. Orang yang mulia adalah orang yang berani mengambil hanya tempe pada prasmanan yang serba mewah. Rahimakumullah adalah orang yang disayangi Allah. Term inilah yang lebih pas.

“Ada yang pragmatis ada yang agak batiniah. Pragmatisnya, jangan melanggar hukumnya Allah. Tidak ada seniman yang bisa menciptakan karyanya. Jadi nomor satu yang sifatnya fikih dan syariah kan gampang, tinggal anda berbuat baik. Coba pake penemuan orang Jawa yang belum bisa diterjemahkan ke bahasa Inggris, Melayu, Arab, dan sebagainya, yaitu ilmu titen. Orang Jawa mengingat-ingat. Coba dititeni gejala-gejala hidup Anda. Ilmu titen itu luar biasa. Ilmu tertinggi sepak bola itu pada ilmu titennya. Kakinya sudah bekerja mewakili pikirannya, jadi ngoper sak ngoper-ngopernya we dadi. Jadi puncak pengetahuan adalah ilmu titen. Ada rute-rute menengah, pendek, dan panjang dalam hidup anda. Pasti akan anda temukan patterns of God’s behavior dalam hidup anda.”

Acara dilanjutkan dengan diskusi-diskusi, dan tak lama ditutup dengan doa bersama. [RDA]