Mukadimah TIJI TIBEH

“For when one is gone, the others are also gone — where one is blessed, the others are blessed as well.”

Seorang terpidana hukum secara lantang menantang lembaga pengadil membongkar dan menyeret pelaku lainnya. Seakan tak terima dirinya menanggung sendiri beban kesalahan kolektif, maka terpidana langsung membuka suaranya. Inilah potret penegakan hukum yang terjadi kasat mata di hadapan kita.

Ketika anda tidak mungkin mendapatkan sesuatu, kemudian anda melakukan tindakan dimana tidak seorang pun bisa mendapatkannya, maka anda sedang menggunakan prinsip tiji tibeh (mati siji mati kabeh). Definisi ala wiki quotes ini mengutip hanya sebagian makna yang dikategorikan sebagai peribahasa Jawa. Makna yang ternyata berawal dari sebuah kisah panjang perjalanan Raden Mas Said (Pangeran Sambernyawa / K.G.P.A.A Mangkoenagoro I  / 1725 – 1795). Pangeran Sambernyawa berperang sepanjang 16 tahun melawan kekuasaan Mataram dan Belanda (VOC). Tak kurang dari  250 pertempuran dia lalui bersama para pengikutnya, tanpa sekalipun pernah ditangkap. Kepiawaian RM Said dalam peperangan memaksa Kerajaan Mataram dan Belanda menyepakati perjanjian di Kalicacing, Salatiga, 17 Maret 1757 yang isinya adalah pengakuan kedaulatan atas sejumlah wilayah (tanah perdikan) lepas dari Mataram. Bahkan perjanjian itu mewajibkan VOC membayar semacam pajak kepada RM Said sebesar 4000 real per tahun.

Keberhasilan perjuangan RM Said ini salah satunya dilandasi karena ikrar sehidup semati yang terkenal dengan sumpah Kawula Gusti’atau Pamoring Kawula Gusti, berdiri sama tinggi, duduk sama rendah, berat sama dipikul ringan sama dijinjing. Ikrar tersebut berbunyi ’Tiji Tibeh’, artinya mati siji mati kabeh, mukti siji mukti kabeh. Sebuah ikrar yang selama hidupnya dia buktikan ke depan rakyatnya. Meskipun dia adalah salah satu putra mahkota Mataram yang berhak atas singgasana kerajaan namun dia hanya memilih menjadi Pangeran Miji (mandiri). Sebuah kedudukannya sejajar dengan Sunan dan Sultan namun tanpa Dampar Kencana (Singgasana), hak untuk mengadakan upacara penobatan monarki atau memakai pakaian Raja, ruang publik Witana dan alun-alun.

Sebuah kebijakan yang aneh pada saat itu, dimana semua pertarungan dan peperangan terjadi hanyalah berebut simbol kekuasaan yang justru RM Said kesampingkan. Baginya yang terpenting adalah bagaimana rakyatnya dapat berdaulat lepas dari penindasan dan sejahtera. Bermodal setoran dari VOC tiap tahunnya baginya adalah sebuah kemenangan besar bagi kesejahteraan rakyatnya.

Tidak hanya berhenti pada ikrar tersebut RM Said juga mengamalkan kepemimpinannya dengan amalan dan penghayatan dari Sunan Kalijogo; Manunggaling Kawula lan Gusti, yaitu kepemimpinan yang senantiasa mengutamakan kepentingan rakyatnya dan senantiasa tunduk, menghamba dan taat kepada Tuhannya. Kepemimpinan yang bersemboyan pada Tri Darma, yaitu : mulat sarira hangrasa wani (berani melakukan instrospeksi diri), rumangsa melu handarbeni ( merasa ikut memiliki), wajib melu hangkrungkebi (berkewajiban ikut mempertahankan).

Namun perjalanan waktu makna ikrar TIJI TIBEH mulai mengalami pergeseran nilai. Kebersamaan dalam kebaikan sebagai nafas utama ikrar bisa diterjemahkan dalam kebersamaan yang luas bahkan hingga kebersamaan dalam kejahatan dan penipuan. Kasus pengungkapan kebenaran dan keadilan kemudian menemui batu sandungan atas pemaknaan salah ikrar ini.

Ironinya istilah TIJI TIBEH ini kemudian malah dipelesetkan menjadi mukti siji mati kabeh. Pemimpin yang mengorbankan anak buahnya demi kepentingan individualnya. Penegakan hukum yang berhenti hanya pada level bawahan dan tidak menyentuh sedikitpun para pengambil keputusan. Bahkan para penegak hukum juga mengalami hal yang serupa. Dalam permainan catur pion dan serdadu garis depan selalu gugut terlebih dahulu dalam membela menteri dan sang raja. Itulah tontonan rutin tiap saat di negeri ini.

Berangkat dari keprihatinan atas pergeseran makna ini, kami mencoba mengangkat spirit  TIJI TIBEH menjadi tema Kenduri Cinta pada 22 Juli 2011. Semoga kupasan mendalam tema ini nantinya dapat menjadi  cara pandang alternatif bagi bangsa yang masih bingung merespon berbagai masalah yang mendera.

Jakarta, 05-Juli-2011