Musik itu Bukan Seni, Musik itu Science

Menulis judulnya saja membuat saya meringis sendiri. Dulu kala, sebelum menemukan kosakata musik, kaki, tangan, pantat, dan seluruh badan saya lebih dahulu merespon musik dengan jogetan seorang anak kecil. Ekspresi spontan akibat indra yang terstimulus. Kata orang, musik itu adalah salah satu bentuk dari seni.

Dari definisi kamus besar bahasa Indonesia, seni adalah kesanggupan akal untuk menciptakan sesuatu yang bernilai tinggi (luar biasa). Sejujurnya, definisi ini lebih membuat saya bingung daripada mengerti. Bernilai tinggi? Siapa yang akan menilainya? Nilai kenikmatannya, kesulitan, rupiah atau apa? Kebingungan-kebingungan itu justru membuat musik jadi lebih menarik lagi.

Saat itu saya bercita-cita menjadi seorang ninja. Dan menurut Mashasi Kishimoto di serial manganya, Naruto, seorang ninja harus bisa melihat ”underneath the underneath”. Itu yang saya coba, mencoba memahami musik bukan dari ’bunyi’-nya, tapi kenapa ’bunyi’ yang terorganisir tersebut bisa bikin kaki goyang-goyang tanpa diperintah secara sadar oleh otak. Dengan kata lain, mencoba mempelajari musik dari efeknya terhadap manusia, bukan musik yang berdiri sendiri.

Ada pernyataan bahwa musik itu langsung masuk ke hati, tidak perlu melewati proses pemahaman di otak. Saya tidak setuju. Buktinya sederhana, setahu saya tidak ada orang yang joget-joget ketika mendengarkan musik sambil tidur. Syarat menikmati musik adalah otak yang sedang bekerja.

Dengan dasar di atas, musik jadi sedikit lebih terbuka ghoibnya: ada gelombang longitudinal di udara, membuat gendang telinga bergetar, memberi informasi ke otak, membuat otak memproses informasi tersebut, dan otak menentukan appropriate response terhadap informasi.

Pada ranah suara (sound), sudah banyak tokoh yang berkarier di bidang sound design seperti Eric Persing, Martin Jann dan Jack Hotop. Mereka sangat familiar dengan anatomi suara. Contohnya: bagaimana jenis suara dengan dominasi harmonik ganjil seperti trumpet cenderung diinterpretasikan otak sebagai suara yang agresif. Sebaliknya, suara-suara yang dihasilkan string instrument didominasi oleh harmonik genap. Mereka sudah sangat mengerti bahwa informasi dari suara lebih dari 50% dibawa pada beberapa milisecond pertama ketika suara mulai terdengar. Musisi lebih familiar dengan istilah attack pada fenomena ini.

Menurut penelitian yang pernah saya baca, perbedaan penyanyi opera yang sudah ’jadi’ dan yang belum ’jadi’ adalah pada spektrum suara mereka. Fakta ini dipakai oleh politikus-politikus untuk menambah ’bobot’ pidato mereka, dengan cara meng-EQ suara mereka ketika siaran di televisi atau radio, karena suara yang memiliki tonjolan ini secara implisit diinterpretasikan otak sebagai suara seseorang yang jujur.

Dengan pengetahuan ini, soal hati menjadi tidak ghoib lagi. Quantizable. Melodi? Katakan ada kemungkinan tujuh nada dan tujuh slot yang bisa diisi oleh nada. Kemungkinan variasi nada yang bisa diutak-atik paling tidak ada 5040. Dengan ratusan juta jumlah lagu yang pernah tercipta, mau tidak mau pasti akan terjadi pengulangan. Lalu bagaimana kita bisa bilang bahwa sol-la-si ku adalah lebih berseni dari sol-la-si mu? Sepertinya memang butuh solusi.

Tentang harmoni. Cukup lama saya percaya tendensi selera progresi pop adalah acquired taste. Karena sering didengar, jadi familiar, jadi lebih mudah dipahami, dan menjadi standar enak tidaknya. Kalau saya berteori, sebuah kord akan lebih terasa ’mudah’ jika fourier transform dari gelombangnya menghasilkan rumus yang lebih pendek, bertolak belakang dengan progresi chord dengan differential gelombang yang jika ditulis fourier transform-nya akan menghasilkan kuantifikasi tertentu, berhubungan dengan brain processing load (BPL).

Sangat banyak produk berhubungan dengan BPL. Contoh paling familiar adalah game komputer. Jika terlalu mudah, ia akan membosankan (BPL-nya terlalu rendah), jika terlalu susah, ia menyebalkan (BPL-nya terlalu tinggi). Dengan range BPL yang tepat, ia akan menjadi game yang mudah dipelajari tapi susah dikuasai. Bikin penasaran dan kecanduan. Komposisi sempurna untuk jualan game.

Threshold bawah dan atas dari BPL ini berbeda untuk setiap orang. Sehingga tiap game punya pasarnya sendiri. Begitu juga dengan lagu: nada, harmoni, spektrum frekuensi, repetisi, beat, tempo, lirik, semua punya sumbangannya sendiri untuk nilai BPL. Resultan BPL yang terlalu kecil menjadikan ia lagu yang membosankan, dan BPL yang terlalu tinggi akan menjadikan ia lagu yang terlalu ribet.

Jika musik adalah ekspresi, musik tidak perlu diukur, dinilai, dihakimi; dia adalah manifestasi kejujuran. Yang ada hanyalah apresiasi. Jika musik adalah bahasa rasa dan sebagai alat komunikasi, dibutuhkan pengetahuan tentang zaman, budaya, dan peradaban agar ekspresi ’kosakata’ musikal yang dibuat bisa diterjemahkan dengan ’benar’ oleh pendengar.

Jika musik adalah industri, konon, ada sebuah software yang dipakai oleh label-label besar di Amerika. Software itu menganalisis lagu-lagu yang pernah dibuat dan mengukur parameter tertentu. Setelah diukur dan diberi nilai, lagu tersebut direpresentasikan oleh sebuah titik dan diletakkan pada koordinat tertentu sesuai nilai yang dihasilkan. Yang mengejutkan adalah bahwa lagu-lagu yang pernah menjadi hits sejak tahun 50-an berkumpul di sebuah area tertentu. Konon juga, sebelum dirilis, album pertama Norah Jones dianalisis oleh software ini. Titik yang dihasilkan berada pada golongan ’hits’, Dan ketika album itu dirilis? Big hit!

Ternyata judul saya salah. Musik itu ‘biasanya’ seni. Musik industri itu science.

Komentar