Menyerah Kepada Nasib

ALLAH memberikan mandat kepada manusia berupa khalifah. Sebuah peran dimana manusia diberi sedikit hak untuk dapat mengelola setiap anugerah yang diberikan oleh Allah. Berbeda dengan malaikat dan iblis. Jika malaikat, pilihan yang ada adalah melakukan apa yang diperintahkan, ya’malu maa yu’maruun. Sedangkan iblis, kebalikannya. Tidak ada pilihan bagi iblis kecuali ingkar kepada apa yang diperintahkan oleh Allah. Paradoks memang. Mengingat seluruh makhluk adalah ciptaan Allah, tetapi memang pada dasarnya setiap makhluk memiliki perannya masing-masing.

Atau kita ambil contoh harimau. Kontrak hidupnya adalah memakan daging untuk bertahan hidup. Darimana ia mendapatkan daging? Tentu saja dari binatang yang lebih lemah darinya. Kerbau, kambing, sapi, bahkan terkadang binatang yang sangat lincah seperti kijang adalah sasaran empuk bagi harimau. Sementara kambing tak punya pilihan untuk memakan daging, baginya dedaunan dan rumput adalah makanan terlezat yang disiapkan oleh alam.

Kita sebagai manusia memiliki pilihan yang begitu banyak dalam kehidupan ini. Sekadar makan saja, kita bahkan sama sekali tidak terbatas pilihannya. Belum lagi pakaian yang kita kenakan. Ketika kita meyelesaikan bangku kuliah, kita juga bebas memilih jenis pekerjaan apa pun saja yang kita sukai. Ada banyak contoh orang yang sukses dalam suatu profesi namun sebenarnya tidak linier dengan mata kuliah yang pernah ia pelajari di kampus.

Manusia sebagai khalifah di muka bumi memiliki pilihan-pilihan hidup. Dengan adanya kemungkinan pilihan itu, manusia mampu menentukan “sedikit” nasibnya. Ya, hanya sedikit. Tidak sepenuhnya. Namun terkadang, manusia dengan sedikit hak yang ia punya itu menjadi sombong dan jumawa. Seolah-olah pencapaian yang ia raih adalah murni hasil perjuangannya. Padahal tak satu pun petani di dunia ini yang mampu menentukan apakah benih padi yang ia tanam akan ia panen atau tidak.

Sementara Allah telah menentukan sebuah aturan main; innallaha laa yughoyyiru maa bi qoumin hatta yughoyyiru maa bi anfusihim. Sayangnya, manusia memahami bahwa hak mengubah nasib itu sepenuhnya ada pada diri manusia, padahal tidak demikian. Seberapa gigih pun manusia berusaha untuk mengubah keadaan, Allah jua lah yang menentukan. Mungkin dalam beberapa hal kita mengalami suatu keadaan yang sesuai dengan apa yang kita rencanakan, tetapi juga pasti ada banyak hal lain pada suatu keadaan sama sekali tidak sesuai dengan apa yang kita rencanakan sebelumnya.

Dan memang begitulah hidup kita di dunia ini. Kita sepenuhnya menyerah kepada nasib yang sudah digariskan oleh Allah kepada kita. Kita bahkan tidak bisa memilih lahir dari rahim perempuan yang mana, dilahirkan di kota mana, dan akan mati pada jam berapa. Tumbuhnya rambut di kepala kita, memanjangnya kuku di jari-jemari kita, hingga jadwal kencing kita, sama sekali tidak bisa kita atur. Bahkan tubuh kita ini sekali pun tak sepenuhnya kita memiliki hak untuk menentukan siklus pertumbuhan dan metabolisme sedikit pun.

Coba bayangkan, seandainya Allah mencabut salah satu tugas dalam tubuh manusia, dimana manusia diharuskan untuk memilah sendiri kandungan protein, vitamin, lemak, serta nutrisi yang terkandung dalam setiap makanan yang dimakan, betapa sibuknya kita sehari-hari untuk mengurus hal ini. Lantas kemudian manusia dengan sombong dan jumawa mempertontonkan kegagahan dan keunggulan di hadapan manusia yang lainnya.

Kita akan memasuki tahun politik yang lebih panas. 2019 sudah di depan mata, dan kita akan menonton sebuah festival yang dipenuhi oleh orang-orang dengan penuh keyakinan bahwa ia adalah orang yang paling mampu untuk mengubah keadaan menjadi lebih baik. Tahun depan, kita akan melihat orang-orang yang percaya diri mencitrakan dirinya adalah tokoh terbaik yang paling pantas untuk mengawal perubahan besar di Negeri ini. Sementara rakyat, akan kembali terbuai untuk percaya memilih pemimpin melalui mekanisme dan sistem yang sebenarnya sudah mereka sadari bahwa metode pemilihan yang ada sekarang ini tidak benar-benar menghasilkan pemimpin yang baik.

Kita sepertinya belum sepenuhnya sadar bahwa perubahan menuju keadaan yang lebih baik bukan sepenuhnya hak kita, tetapi ada peran Allah. Kita sering lupa bahwa tugas kita hanyalah menanam dan menyiangi, kemudian merawat benih yang kita tanam. Seorang petani jangan sampai jumawa mengatakan bahwa besok akan panen setelah berbulan-bulan ia merawat tanaman di ladang. Sama sekali ia tak memiliki hak untuk menentukan panen.

Namun juga bukan sepenuhnya kemudian kita berdiam diri untuk menunggu perubahan itu datang dari langit. Dengan mandat sebagai khalifah itu kita mengelola untuk bersinergi dengan Allah, menyelaraskan kehendak Allah dengan apa yang sedang kita usahakan, mensinergikan tiap-tiap langkah yang kita ambil agar sesua dengan apa yang sudah digariskan oleh Allah untuk kita. Sayang seribu sayang, kita sering melupakan Allah dalam setiap keputusan dan langkah yang kita ambil.