Menerka Sosok Sudrun

Catatan Tadabbur Esai “Kiai Sudrun Gugat”

Jum’at 26 Oktober 2018, mendung menyelimuti kota Jakarta, suasana lalu lintas Jakarta menyambut akhir pekan terakhir dipenghujung bulan oktober sedang tepat pada klimaks kemacetanya. Sekitar tiga puluh tahun yang lalu Umbu Landu Paranggi menulis sebuah puisi bertajuk “Apa Ada Angin di Jakarta”. Sore itu suasana dalam puisi Umbu benar-benar terasa, kemacetan dan suhu yang semakin membuat keringat bercucuran membuat kepala terasa tercengkram, nyala gemerlap lampu warna-warni dari dinding gedung dan pusat perbelanjaan seakan tak terlihat indah, karena rona-rona wajah penduduk kota yang berlalu lalang nyata sedang sibuk dengan isi fikiranya masing-masing.

Di satu sudut kota dibilangan Tebet, disebuah cafe dengan lampunya yang agak temaram nampak wajah-wajah yang tak asing, beberapa pengiat Kenduri Cinta dibantu seorang karyawan cafe tengah sibuk menata kursi sebagai persiapan acara Tadabur Esai karya-karya dari Emha Ainun Najib. Cahaya temaram, minuman dingin dan percakapan akrab disela-sela proses persiapan setidaknya mampu mengendurkan saraf yang seminggu ini tegang menghadapi hiruk-pikuk kota. Tepat pukul 19:30 acara “Tadabbur Esai” yang pada kali ini mengangkat sebuah Esai berjudul “Kiai Sudrun Gugat” kemudian dimulai.

“Kiai Sudrun Gugat” adalah salah stu esai Esai yang ada dalam sebuah buku yang berjudul sama, buku tersebut terbit pertama kali pada tahun 1994.

Dicky kali ini bertugas sebagai pembawa acara, dengan pembawaannya yang hangat acara dibuka dilanjutkan dengan reading season yang dipandu oleh Riska, reading session berjalan dengan cukup khidmat, intonasi membaca Riska yang baik, membuat suasana seolah terbawa libat pada percakapan yang terjadi dalam Esai yakni percakapan antara Penulis sebagai pihak pertama dan Sudrun sebagai pihak kedua. Acara kemudian diserahkan kepada Adi sebagai moderator dan Fahmi Agustian sebagai Alfa Responden sore itu.

Esai Kiai Sudrun gugat sendiri merupakan sebuah Anomali pada eranya, karena di era sekitar akhir tahun 80-an dan awal 90-an konten di media massa seperti koran, tabloid dan majalah selain berisi berita dan informasi sisa kolom nya di dominasi oleh artikel-artikel yang mengeksplotasi sex dan sensualitas, bahkan bukan hanya media tulis dan foto, media film bahkan lebih ekstrem lagi mengeksploitasi hal-hal sensual baik itu film drama, action, bahkan komedi, semuanya seolah tak mau ketinggalan dengan royokan menjaring keuntungan dari sensuailitas seks. Sedikit sekali penulis yang konsisten mengangkat nilai sebagai muatan karyanya, namun esai karya Emha Ainin Najib tetap memiliki ciri khas, sebab diantara konten-konten media massa yang mengangkat nilai pada saat itu, esai karya Cak Nun tidak seperti kebanyakan konten lainya yang lebih bernuansa Hitam-Putih, Benar-Salah, Baik-buruk. Esai-esai karya Cak Nun memberikan ruang bagi pembacanya untuk memiliki interpretasinya masing-masing.

Diskusi menghangat dan mulai meruncing pada sosok “Sudrun”, sebuah sosok misterius yang memang seringkali muncul di karya-karya Emha Ainin Najib, pada Fase kemunculn nya sendiri tokoh Sudrun ini terbagi menjadi tiga fase. Pertama Sudrun sebagai sosok yang akrab dan dekat, seperti pada esai Kiai Sudrun Gugat. Kedua, Sudrun sebagai sosok yang jauh sehingga harus didatangi dan dicari. Ketiga Sudrun sebagai sosok yang Hilang, bahkan sampai-sampai membawa hilang pencarinya, seperti yang ada di seri-seri terakhir DAUR yang bisa kita baca di Caknun.com .

Respon pertama dari Fahmi Agustian menyampaikan bahwa sebenarnya tokoh Sudrun itu sendiri ada sosok nyata, beberapa kali Cak Nun bahkan bercerita memang sering bertemu dengan Sudrun, akan tetapi jangan diartikan bahwa yang dimaksud tokoh Sudrun itu adalah pasti orang itu, karena untuk kebutuhan tulisan Cak Nun seringkali memunculkan tokoh yang memiliki personifikasi tertentu. Mungkin dengan cara demikian Cak Nun ingin menyampaikan pesan tentang nilai sebuah Eksistensi bagi manusia. Munzir Madjid yang juga merupakan salah satu saksi sejarah Rumah Patangpuluhan, turut menyampaikan beberapa kisah. Beberapa tokoh yang sering ditulis oleh Cak Nun memang nyata adanya, bukan tokoh fiksi. Sudrun ini adalah salah satunya.

Mas Mundzir salah seorang sahabat Cak Nun dari era Patangpuluhan kemudian menyampaikan bahwa esai Kiai Sudrun Gugat ini sebelum dibukukan adalah sebuah esai yang dimuat di harian Jawa Pos yang kemudian  pimpinan redaksi Jawa Pos memerintahkan kepada jajaran redaksi untuk me-Monumen-kan esai “Kiai Sudrun Gugat” dalam bentuk buku bersama juga esai karya Cak Nun lainya, kemudian beliau menyampaikan bahwa sebenarnya tokoh Sudrun ini adalah tokoh Imajiner yang dipinjam untuk menyampaikan kritik sosial kepada masyarakat.

Riska yanng diawal memandu Reading Session ikut menambahkan bahwa Eksistensi itu tidak ada, hanya manusia saja yang seolah-olah memiliki eksistensi. Bang Boim salah seorang Penggiat Kenduri Cinta kemudian ikut urun pendapat, Sosok Sudrun ini Abstrak, Bang Boim kemudian menceritakan tentang sosok yang ia rasa identik dengan sosok Sudrun yakni Gus UD, dan soal eksistensi kita tidak punya hak untuk untuk melabelkn diri, seperti Ustadz, atau Kiayi dan sebagainya, Kemudian Bang boim menyampaiakan apresiasinya untuk acara Tadabbur Esai ini, dan kedepanya ia berharap bukan hanya Esai karya Cak Nun saja yang ditadabburi tapi juga karya karya lainya seperti Puisi dan Naskah Teater.

Respon selanjutya kemudian disambung oleh Mas Adi Pudjo salah seorang Penggiat Kenduri Cinta yang sudah berbakti menjadi penggiat sejak awal forum Kenduri Cinta ada, beliau menyampaikan bahwa Sudrun ialah semacam tokoh yang membuat isi Esai Kiai Sudrun Gugat jadi terasa sangat hidup sangat Logis dan sekaligus Dialogis, beliau juga menambahkan bahwa selain Sudrun yang perlu kita cermati juga adalah kata Gugat, karena hari-hari ini kata gugat ini semakin negatif maknanya dan dianggap tabu, beliau kemudian sedikit menceritakan bahwa bila dizaman Orde Baru bila Anda terlalu berani Menggugat atau Mengkritik maka bisa ditangkap, kemudian beliau mengapresiasi acara Tadabur Esai dan menyampaikan bahwa Sinau Bareng semacam ini adalah bagian dari menggugat yang positif.

Memang sangat mudah memahami muatan kritik sosial dalam Esai “Kiai Sudrun Gugat”, ada yang perlu kita cermati juga dalam muatan kritik sosial dalam Esai ini karena ada resiko juga yang ditanggung oleh penulis dalam hal ini, yang Pertama dari sisi sudut pandang penulisan, dalam Esai Kiai Sudrun Gugat, Emha Ainun Najib sebagai penulis menggunakan kata “Saya” yang berarti penulis pada esai ini berperan sebagai Pihak Pertama. Kemudian yang Kedua dari sisi waktu dan kondisi, dimana pada saat esai ini diterbitkan Cak Nun adalah juga seorang Tokoh Publik yang sering menjadi Pembicara dan Moderator pada acara-acara diskusi dan ceramah publik.

Kenapa beresiko, tentu saja karena posisi Penulis sebagai pihak pertama dalam esai yang menempatkan diri sebagai tokoh yang dikritik dan dituduh habis-habisan oleh Sudrun sebagai seorang yang menggunakan popularitas dan simbol-simbol Agama sebagai alat untuk aendapat keuntungan berupa materi. Seolah tak kenal takut Penulis menaruh dirinya sendiri sebagai karakter sasaran kritik, seolah sengaja menumbalkan diri sendiri tampa memandang resiko terbunuhnya karakter pribadinya sebagai seorang public figure.

Diskusi berjalan semakin hangat,

Adi kemudian memapar soalan tentang ia menemukan fenomena “Star Syndrom” dalam esai Kiai Sudrun Gugat, Star Syndrom sebuah fenomena Psikologis yang biasanya menghampiri tokoh Publik. Popularitas-Ego-Kekayaan itulah unsur utama dari Penyakit Star Syndrom. Fahmi Agustian kembali merespon mengenai sosok Cak Nun yang sangat berani mengemukakan pendapat, dan pendapat yang diungkapkan pun bukan hanya sekedar omongan melainkan juga bisa dipertanggung jawabkan, karena tulisan-tulisan Cak Nun sendiri adalah dari Implikasi keadaan masyarakat, Gugatan Sudrun dalam tulisan ini memuat hal-hal yang dianggap tabu seperti simbol-simbol agama yang dianggap sebagai identitas, dan ketika simbol-simbol agama dianggap sebagai identitas maka yang terjadi adalah masyarakat yang semakin mudah tersinggung,mudah cemas dan rawan konflik.

Respon berikutnya dari Roni, ia menyampaikan bahwa saat ini di Media Sosial Internet semua bisa dijadikan uang, semua orang punya kesempatan untuk tiba-tiba menjadi selebriti, dan banyak dari selebriti saat ini menggunakan medsos, memantik isu untuk dijadikan ladang penghasilan untuk dirinya sendiri, ia juga menyarankan agar kedepanya Tadabbur Esai ini jangan takut untuk mengangkat tema esai dari Cak Nun yang Lebih Berani dari ini.

Diskusi berjalan dengan sangat interaktif, hampir seluruh peserta diskusi menyampaikan responnya. Kesya salah seorang peserta yang  datang di Tadabbur Esai menyampaikan bahwa ia baru mengenal Kenduri Cinta secara langsung dan baru pertama kali datang ke acara Kenduri Cinta di edisi Maiyah Bumi dan Manusia, 14 Oktober yang lalu dan sempat kebingungan ketika datang karena sempat ragu “ini saya harus pakai kerudung atau nggak, karena saya ini non muslim”, ada juga Zaenal yang menyampaikan kekhawatiran pribadinya bahwa, ia takut tidak bisa menerapkan nilai-nilai maiyah untuk dirinya sendiri. Erik salah seorang peserta juga menyampaikan Apresiasinya kepada acara Tadabbur Esai sebagai monolog dari ide-ide dan pemikiran dari Cak Nun. Amin Subhan kemudian menyapaikan, membahas Esai Karya Emha Ainun Najib bagaikan main tebak-tebakan, karena kita hanya mampu menebak-nebak saja  apa yang sebenarnya kita sampaikan adalah sesuatu dalam pemikiran dan kesadaran kita sendiri.

Ya, itulah tadabbur, itulah metode Maiyah untuk mengekstraksi nilai, mengambil nilai yang kita mampu fahami dalam kesadaran kita masing-masing sebagai bekal pribadi, sebagai pegangan kebenaran masing-masing, yang kemudian berkembang menjadi motivasi untuk melakukan kebaikan dan melahirkan keindahan.

Acara kemudian dilanjutkan ke sesi mini workshop literasi tentang cara menulis resensi, kemudian sebelum ditutup dengan do’a yang dibacakan oleh Bukhori, Boim maju kedepan dan membacakan sebuah Puisi yang juga Karya Emha Ainun Najib yang berjudul “Kemana Anak – Anak Itu”.

Waktu menunjukkan pukul 22:30 WIB, Tadabbur Esai “Kiai Sudrun Gugat” di selesaikan, setelah ditutup para peserta tidak langsung membubarkan diri dan pulang, ada yang masih meneruskan diskusi, entah apa yang dibahas, ada yang meraih gitar yang tergeletak dan mulai bernyanyi. Umbu Landu Paranggi pernah menulis puisi “Apa Ada Angin di Jakarta”, malam itu para penggiat Kenduri Cinta seakan menjawab “ dimana ada manusia, disana ada hati, dimana ada hati, disana ada cinta”. Disana di Kenduri Cinta.