Keseimbangan di Zaman Gumunan dan Getunan

MAIYAHAN seperti Kenduri Cinta yang juga terselenggara di simpul-simpul Maiyah yang lain rutin diadakan sebulan sekali. Kadang saya berpikir dan berandai-andai, alangkah asyiknya bila Maiyahan diadakan setiap seminggu sekali. Rasa kangen dan rindu untuk selalu berkumpul, bersholawat, bergembira, berkelakar yang didasari dengan sinau bareng dengan teman-teman jamaah Maiyah. Momentum itulah yang sangat sulit untuk dilupakan, bahkan ingin saya rasakan setiap hari. Seperti pernyataan teman-teman jamaah Maiyah pada umumnya, bahwa Kenduri Cinta adalah sebuah oase di tengah terik dan gersangnya padang pasir. Kehadiranya sangat mampu menghilangkan dahaga kita, sebagai tempat bersandar dari padatnya aktifitas ibu kota.

Jakarta, kota dengan beragam manusia dan berjuta retorika. Ribuan masalah dengan segudang ambisi penduduknya. Mulai dari gang-gang sempit hingga gedung-gedung megah yang tinggi menjulang. Dari pengkolan-pengkolan padat hingga café dan restoran mahal. Setiap saat pasti ada perbincangan, perdebatan bahkan tidak sedikit menimbulkan congkrah atau perkelahian. Padahal yang diperdebatkan belum tentu juga kita pahami, mungkin sumbernya hanya katanya, dari si anu, lebih konyol lagi sumbernya dari social media.

Bukan bermaksud antipati dengan media massa atau media sosial, tapi apakah semua yang diberitakan atau dimuat di media-media tersebut benar adanya? Apakah berasal dari sumber yang benar? Apakah kontenya sesuai dengan aslinya? Atau mungkin hanya berita samar yang dibuat dan dibumbui dengan tujuan memutar balikan fakta? Generasi milenial yang up to date sekarang ini, kenapa justru seakan tidak ada filter akan hal itu. Malah terkesan menelan mentah-mentah informasi yang mereka dapatkan setiap hari. Media sosial sekarang ini hanya mempertontonkan banyak hal yang bersifat kebohongan. Menggiring antar pihak untuk saling benci dan caci maki. Lebih mengerucut lagi, hanya untuk kepentingan politik.

Tidak hanya berita, tapi juga pengaruh budaya dari barat yang justru dijadikan kiblat atau bahasa kerennya trendsetter. Generasi masa kini yang harusnya lebih bijak dan kritis tapi justru menjadi generasi yang gampang “gumun”. Mudah sekali takjub dengan sesuatu yang baru, berita baru, yang semakin membuat kita melupakan jati diri kita sebagai orang timur.

Kalau dalam istilah jawa; “Wong Jowo Ilang Jawane”. Bisa dihitung dengan jari, berapa banyak generasi muda yang masih menyukai dan bangga akan kebudayaan asli daerahnya. Misal wayang kulit, tari jaipong, atau lenong Betawi. Tapi kenyataanya justru lebih bangga dengan musik K-Pop atau film-film buatan Hollywood. Yang di dalamanya tidak ada tuntunan, hanya tontonan semata. Sungguh sangat miris.

Maiyah mengajarkan kita mengenai keseimbangan. Seimbang dalam berpikir, bertindak, bertutur, bermasyarakat dan semua hal. Nilai-nilai Maiyah yang mendasar juga sangat lekat dengan segala sisi dimensi hidup kita ini. Bagaimana menyikapi kemajuan jaman dengan pikiran yang jernih agar tidak seperti larahan yang terombang ambing arus globalisasi. Maka dengan Maiyah, kita harus menjadi “Manusia Ruang”. Yang bisa menampung perabot-perabot apapun, baik garis, bidang atapun bangunan  di dalamnya.

Di Kenduri Cinta edisi bulan September 2018 lalu, Mbah Nun menjelaskan dengan gamblang mengenai Piplres 2019. Yang sejatinya adalah hanya persoalan Garis. Hanya urusan sesaat, bukan selamanya. Tapi kenapa masyarakat saat ini merespon hal tersebut seolah-olah Pilpres adalah segalanya. Dengan saling membela calon pilihanya mati-matian dan membenci calon lawanya dengan membabi buta. Bahkan sudah ke level menyeramkan, yakni memuja dan memberhalakan calon pilihanya. Bukankah yang layak kita sembah, kita puja dan puji hanyalah Allah SWT semata? Bukankah yang patut kita jadikan panutan tiada lain hanya Rosullullah Muhammad SAW?

Gonjang-ganjingnya zaman, penyebabnya juga karena manusia itu sendiri. Karena polah dan tingkah lakunya yang semakin tidak berpedoman kepada nilai dan norma agama, tidak berdasar pada Qur’an dan Hadist. Karena kita tidak mau tadabbur atau men-tadaburri segala sesuatunya. Tadabbur adalah mengambil makna untuk melahirkan manfaat yang baik. Atau merenungkan, memikirkan dan menghayati sehingga siapapun yang melakukannya dapat menginternalisasikan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya.

Begitu pun dalam menentukan dan memilih pemimpin negeri ini. Apakah bibit, bebet dan bobotnya sudah memenuhi syarat dan mumpuni untuk menjadi pemimpin. Apakah sudah memahami betul sejarah bangsa ini sehingga bisa semakin kokoh jati diri kita sebagai bangsa Indonesia. Bukan hanya dari segi perawakanya, tutur bahasa dan fisiknya saja yang selama ini jadi acuan mayoritas masyarakat kita dalam memilih pemimpin. Kenapa kita “gumunan” bila ada calon pemimpin yang baik, amanah dan tidak korupsi? Bukankah hakekatnya seorang pemimpin memang harus seperti itu.

Karena kalau kita terlalu terobsesi dan mengagung-agungkan seseorang yang kita anggap patut sebagai pemimpin baik capres maupun cawapres, tetapi ternyata orang tersebut tidak bisa menepati janji-janjinya yang diumbar selama masa kampanye, maka kita juga akan menjadi generasi “getunan”. Karena sekali lagi kalau kita berharap pada manusia, maka akan mendapatkan kekecewaan. Namun bila kita berharap hanya kepada Allah SWT, maka janji Allah adalah pasti.