Membaca Musikalisasi Sastra

1386214814910

Bertempat di Concert Hall Taman Budaya Yogyakarta diadakan Seminar Musikalisasi Sastra yang menghadirkan Cak Nun, Iman Budhi Santoso, dan Hamdy Salad yang dipandu oleh Indra Tranggono. Seminar ini merupakan bagian awal dari rangkaian agenda Musikalisasi Sastra di TBY yang berlangsung tanggal 6 hingga 7 Desember ini dengan puncak acara pentas musik-puisi Cak Nun-Dinasti.

Pada masa dahulu, para sastrawan atau pujangga menjadi bagian dari kebijakan dan kebijaksanaan para raja. Dan para raja itu bertanggung jawab dan menanggungjawabi karya-karya para pujangga ini. Berbeda halnya dengan situasi saat ini. Para penyair menjadi bagian kaum intelektual saja. Upaya untuk mendekatkan sastra kepada masyarakat adalah dengan menjadikannya sebagai tuntunan dan “tontonan”. Itulah sebabnya siang ini kita menghadirkan Cak Nun. Karya-karya Cak Nun tidak pernah berhenti hanya sebagai buku, tetapi terus dihadirkan melalui pementasan di antaranya. Kita tahu sampai ini Cak Nun terus berkeliling ke mana-mana menghadirkan tuntunan dan/dalam pementasan yang beraneka ragam bentuk dan nuansanya, di antaranya melalui musik.

Musikalikasi sastra harus dipahami sebagai upaya untuk tidak menjadikan sastra sebagai terpencil dan selesai dibaca belaka. Dengan dipentaskan, diharapkan nilai-nilai di dalam sastra itu dapat diejawantahkan secara nyata dan konkret serta dapat dengan mudah dipahami dan diserap oleh masyarakat Dengan dipergelarkan dalam suatu pemanggungan, boleh jadi ibarat sate kambing kalau dibaca saja seperti tanpa bumbu. Dengan dipanggungkan, masyarakat dapat menikmati sastra dengan penuh bumbu dan enak dirasakan. Barangkali hal itu juga dibisa dilakukan untuk karya sastra Sutardji Coulzoum Bachri atau Afrizal Malna.

Hamdi Salad menuturkan bahwa musikalisasi-sastra adalah istilah yang belum lazim. Di-googling juga belum muncul. Yang ada adalah musikalisasi-puisi. Maka, istilah musikalisasi-sastra sekarang ini akan dicatat. Lebih jauh, sebenarnya perlu banyak penelitian terhadap pemanggungan puisi. Siapa yang sudah meneliti deklamasi-deklamasi puisi. Belum lagi bentuk-bentuk seperti adaptasi dan kolaborasi.

Transformasi teks drama ke pemanggungan yang sudah ada konvensinya adalah teater. Transformasi dari teks cerpen ke pemanggungan belum banyak dikaji. Transformasi teks puisi ke pemanggungan disebut poetry reading, ada yang gaya deklamasi (pembacaan secara formal dan hafal teks) dan ada poetry singing (melagukan puisi) yang dalam bahasa Indonesia disebut musikalisasi-puisi.

Musikalisasi-sastra adalah istilah yang luas dan mencakup bukan hanya puisi saja, bisa cerpen atau bentuk-bentuk karya lainnya. Istilah ini jarang dipakai. Yang agak dekat menggunakan istilah ini adalah komponis/pianis klasik Ananda Sukarlan yang menggubah karya-karya klasik dengan nama musik-sastra. Musikalisasi-sastra semoga mulai sekarang akan lazim digunakan. Sementara itu, musikalisasi-puisi untuk kali pertama dipakai di Yogyakarta (yang istimewa) pada tahun 1970-an.

Cak Nun sampaikan, “Kita berdiskusi tentang sastra dan musik-puisi ini seperti mahasiswa KKN di depan masyarakat berdiskusi tentang H20, tapi tidak mengatakan kepada masyarakat bahwa H20 itu ada dan dimiliki oleh masyarakat. Para mahasiswa berdiskusi H dan O, tanpa menyuguhkan H20. Mereka terima bongkar, tapi tidak terima pasang. Diskusi dan analisis ekslusif itu hanya mengakibatkan puisi, sastra, musik, lagu, agama, kitab suci, dan lain-lain itu terpisah-pisah dan tidak terkait satu sama lain. Hanya melahirkan istilah-istilah yang fragmentaris. Penguraian H20 itu perlu juga, tapi jangan berhenti pada penguraian, karena kita hidup dalam nuansa air.

“Kita membicarakan musik-puisi ini tetapi jangan sampai kita merasa gimana-gimana apalagi merasa yang paling. Karena siapa yg bisa menilai puisi ini puisi atau bukan. Sedang pengamen di jalanan itu juga puitis. Memang tidak de jure mereka. Tetapi hidup memang adalah dinamika antara de jure dan de fakto. Antara gelap dan terang. Dan kita harus mengerti bahwa puisi adalah hidup itu sendiri.

“Dalam musik-puisi ini, ada yang berangkatnya dari puisi dan ada yang berangkat dari musik. Nah Dinasti besok malam adalah berangkat dari puisi. Ada beberapa dinamika dan nuansanya. Ada puisi yang dibaca dengan background musik. Ada Puisi dan musik berselang-seling. Kemudian, musik dan puisi ajur-ajer, sejajar. Terakhir, puisi dimusikalisasi. Dalam dinasti besok malam, kesemua unsur itu ada, meskipun core-nya adalah musikalisasi. Qari-qari Al-Quran itu lupa bahwa sebenarnya mereka sedang memusikalisasi puisi berupa ayat-ayat Al-Quran.

“Qiroah itu tanpa iringan alat musik. Itu bukan soal fikih. Tetapi sesungguhnya kalau sudah sampai “puisi” yang ditulis langsung oleh Allah, maka tak ada alat musik yang mampu menjangkaunya. Qari yang sesungguhnya bukan orang yang menghafal jenis-jenis lagu, melainkan orang yang menyelami universalitas dan kekayaan yg terkandung di dalam ayat-ayat Quran, maka tak ada standardisasi. Ketika dia melantunkan bismillah, dia tak tahu persis akan seperti apa lagu pada kalimat selanjutnya. Ia akan mengikuti ritme dan irama dalam temuannya di dalam batinnya. Karena sesungguhnya mereka sedang kemasukan/”kangslupan” sesuatu yang rohaniah. Pemusik sejati seharusnya adalah kangslupan.

“Temuan saya belakangan ini, bahwa musik yang ritmis adalah password untuk menguak dimensi lain. Yakni dengan nembang secara lambat. Terakhir, kemarin saya bersama jamaah Maiyah seluruh dunia, pada waktu yang bersamaan melakukan wirid/doa tahlukah yang intinya kalau memang Indonesia mau bubar tahun depan mbok sekarang aja. Biar cetho. Wirid ini bukan minta kehancuran, melainkan penghancuran atas kehancuran. Beberapa waktu terakhir, berurutan saudara-saudara kita dipanggil Allah dengan penuh kasih sayang, nah kita-kita yang masih hidup ini diberi kesempatan untuk meladeni kehancuran-kehancuran yang makin tampak.”

Ada yang bertanya dan meminta pembakuan definisi musikalisasi-puisi, karena istilah ini tidak ada dalam berbagai literatur sastra maupun musik. Hamdy Salad menanggapi bahwa memang belum ada literatur musikalisasi-puisi. Musik puisi dapat dipahami sebagai susunan bunyi, nada, dan irama yang diciptakan berdasarkan lirik puisi. Nah persoalannya kemudian apa saja yang tercakup dalam pengertian puisi. Untuk pengertian puisi, sudah banyak dirumuskan. Kemudian mengenai musikalisasi puisi perdebatannya saat ini bukan pada apa definisinya, melainkan pada fungsi-fungsi yang dibawanya, apakah untuk mendekatkan puisi ke masyarakat, atau fungsi-fungsi lainnya.

Kalau kita berpikir esensial, seperti disampaikan Cak Nun, bahwa di mana pun, di pangkal-pangkal kebudayaan besar dunia di Mesopotamia dll, ada esensi musik-puisi, tetapi kalau bicara akademis memang belum ada literatur tentang musikalisasi-puisi. Cak Nun menjelaskan mengenai pembakuan nama musikalisasi-pusi atau musik-puisi, saya setuju direkomendasikan ke lembaga bahasa untuk membakukan. Tetapi ingat bahwa nanti setelah dibakukan, kita harus siap bahwa orang nanti akan memberikan tafsir atau interpretasi yang beragam. Dan kita siap dengan itu. Kemudian, juga jangan kaget atau marah, kalau nama atau istilah itu tidak dipakai, sebagaimana banyak istilah tidak dipakai di Indonesia.

Intinya, mari kita nikmati sesuatu itu sebagaimana adanya. Kita cari nikmat dan baiknya sesuatu. Jangan mencari komposisi buruknya. Kita lihat baiknya, sebagaimana ungkapan: halah karang seniman, yo wajar. Artinya, kalau ada sesuatu yg anda lihat buruk, terus anda bilang terserah atau kembali pada pak ustaz. Lho kalau pas buruk kok saya di-ustazkan atau diulamakan atau dianggap wakil dari moral, tapi kalau ada konferensi ulama, saya juga tidak diundang. Begitu juga dalam konteks kesenimanan. Sekarang berlangsung kebingungan antara modernitas dan tradisionalitas, nah kita mau meneruskan kebingungan itu atau mencari resultante-resultante yang baik dari keduanya untuk masa depan lebih baik.