Maiyahan Kartosuro

Malam itu (30/11) di halaman masjid Ash-Shoffaa Kartosuro diadakan maiyahan Ngaji Bersama Cak Nun dan Kiai Kanjeng. Selepas sambutan Bupati Sukoharjo H. Wardoyo Wijaya, SH. MH, Cak Nun segera dipersilakan untuk memulai maiyahan.

Cak Nun menyapa jamaah dan mengingatkan para jamaah untuk jangan percaya kepada apa yang terlihat oleh mata jasad, melainkan percaya pada apa yang tampak oleh mata batin. “Jangan percaya saya,” kata Cak Nun. “Jangan ada siapa-siapa di antara kita dengan Allah selain Rasulullah SAW. Jangan ngandalkan siapa-siapa kecuali Allah dan Rasulullah. Para kyai dan masyayikh bukan pemuka, melainkan bareng-bareng bersama kita menghadap kepada Allah dan Rasulullah.”

Sareng-sareng maos Ya Malik Ya Hafidh ihfadhna Ya Rohman Ya Rokhim irhamna. Semoga semua yang hadir di sini dijaga oleh Allah hatinya pikirannya dapurnya keluarganya dan semuanya oleh Allah yang Maha Merajai,” Cak Nun mengajak semua jamaah untuk berdzikir. Usai dzikir ini, Cak Nun berpesan agar dzikir ini dibaca di rumah boleh dalam hati boleh sembari dinyanyikan, khususnya usai shalat dipastikan satuannya bisa 33 kali, bisa berapa saja, supaya hidup anda semua tidak tersentuh oleh setan.

Selanjutnya untuk memohon pertolongan kepada Allah di tengah sistem dan zaman yang memperdaya, mendholimi, dan mencurangi rakyat, para jamaah diajak untuk memasuki atmosfer Wirid Ketertindasan: Liannahum dholamuni fakun ya Wadudu Naashiri yang merupakan salah satu wirid Maiyah, dan kemudian semuanya diajak bersama-sama melantunkan Dau’ni Dau’ni yang dipimpin oleh mas Zainul diiringi Kiai Kanjeng.

Tidak seperti pada maiyahan-maiyahan sebelumnya, malam hari ini seluruh vokalis Kiai Kanjeng hadir, Islamiyanto, Zainul Arifin, Imam Fatawi, Donny, Mbak Nia dan Mbak Yuli. Dengan penuh kesyahduan Mbak Yuli memimpin para jamaah melantunkan lagu doa-washilah Ya Robbana Bil Musthofa Ya Dzal Ula Ya Dzal wafa, dan disambung dengan Mbak Nia membawakan doa-memohon ampunan Ilahana Ajzil lana Atho’ana Waghfir lana dzunubana.

“Saya ingin merayakan. Maksudnya, ada orang yang punya sertifikat sarjana, tapi belum tentu bermanfaat. Ada orang yang tidak punya titel tapi bermanfaat, baik sama orang lain. Ada orang hafal Alquran, tapi belum tentu baik secara sosial, ada orang yang tidak hafal Al-Quran tapi baik, kooperatif dan damai sama orang lain. Kalau idealnya semua itu bisa melekat pada satu orang: hafal Al-Quran dan baik secara sosial. Nah kalaulah tidak, kita tetap harus menghormati semua yang baik dari setiap orang. Jangan mudah terpedaya oleh ajakan-ajakan untuk menjelekkan orang lain, menyesatkan orang lain, dan seterusnya.

“Khataman Quran tidak saja khatam dalam arti membaca huruf-huruf Al-Quran, melainkan juga keberhasilan mempertahankan kesetian atau keistiqamahan. Seorang bupati yang bertahan selama lima tahun tidak korupsi adalah suatu bentuk khataman Quran. Seorang istri atau suami yang saling setia dan tidak nyeleweng adalah suatu bentuk khataman Quran,” tutur Cak Nun. Kiai Kanjeng kemudian mengantarkan para jamaah melantunkan Doa Khotmil Quran.

“Mereka yang sekarang memecah belah dan bikin congkrah di mana-mana itu tiga tahun lagi akan kalah, percaya itu. Mereka akan kalah oleh cahaya yang memancar dari majelis pengajian seperti malam ini. Tidak usah saya ceritakan latar belakang tingkat tinggi menyangkut Timur Tengah dll, pokoknya yakinlah. Kalau anda shalat kan anda yakin bahwa shalat itu baik, dan kalau ada orang bilang buat apa jengkang-jengking, anda terganggu atau tidak? Mbok sudah nggak usah terganggu, anda kan sudah yakin. Nah kadang masalahnya justru kita sendiri tidak yakin sehingga mudah goyah dalam menjalankan kebaikan sosial-kultural.

“Kalau kalian semua saling dekat hatinya dan tidak congkrah, maka Allah pun tak segan-segan dekat dengan kalian semua. Malam hari ini adalah sesaji kepada Allah. Boleh tidak sesaji itu? Sesaji itu persembahan. Yang tidak boleh adalah mempersembahkan sesaji kepada yang tidak berhak. Mempersembahkan sesuatu kepada Allah itu disebut ‘ibadah’. Kalau hati kalian dekat, erat, dan selalu mempersembahkan kebaikan di hadapan Allah, maka para wali pun tidak akan ikhlas Sukoharjo akan terpecah belah. Sunan Kalijogo, Sunan Bonang, bahkan Nyi Roro Kidul pun tidak akan ikhlas.”

Mas Zainul berduet dengan vokalis Jamuro (Jamaah Muji Rosulullah) memimpin nomor Alhamdulillah wasy-syukru lillah azka sholati wa salami lirosulillah.

Kyai Muzammil lalu diminta Cak Nun memandu pembahasan mengenai keberagamaan di dalam masyarakat. Kyai Muzammil bercerita ada sahabatnya yang bilang, “Orang NU itu menganggap Gus Dur dewa, yang tak ada salahnya.” Sebentar, kata Muzammil, “Kata siapa orang NU bilang seperti itu. Orang NU memandang Gus Dur adalah manusia biasa. Bahwa dia melakukan kesalahan, maka sekarang persoalannya terletak pada bagaimana cara kita bersikap kepada orang yang salah. Kalau mereka tiba-tiba teriak-teriak di TV Gus Dur salah, maka jangan salahkan umat NU marah pada mereka. Jadi masalahnya terletak pada cara komunikasi. Itulah sesungguhnya yang terjadi saat ini, banyak orang salah dan tidak tepat dalam menyampaikan sesuatu.”

Kyai Muzammil selaras dengan pendapat Cak Nun di awal bahwa seharusnya orang-orang yang menganggap sesat atau syirik orang lain harus datang di sini untuk menjelaskan secara baik-baik, jangan hanya teriak-teriak saja.

Para jamaah berdatangan dari berbagai daerah di wilayah Solo dan sekitarnya, tak hanya dari Kartosuro. Beberapa di antara mereka telah mengemukakan permasalahan riil di masyarakat menyangkut tuduhan bid’ah pada tahlilan, menyangkut praktik sholat jum’at dangan dua khotbah atau dua adzan, doa untuk orang mati, mana dalilnya untuk tradisi ini atau tradisi itu, dan lain-lain. Maiyahan malam ini benar-benar mendaras persoalan-persoalan nyata di masyarakat.

Kiai Muzammil mengingatkan bahwa kita punya ajaran mengenai musyawarah (wa amruhum syuuro bainahum), tetapi tidak pernah mengamalkannya. Kita tidak punya tata krama lagi. Padahal kepada orang Nasrani saja yang musyrik dengan ajaran trinitasnya, Allah menyebut mereka dengan Ahlul Kitab. Kita kepada sesama orang Islam malah sangat gampang mensyirik-syirikkan.

Kiai Muzammil bercerita. Tanggal 26 Ramadan lalu, di Jogja digelar debat mengenai bidah. NU, Muhammadiyyah, dan MTA yang diundang. Kiai Muzammil diminta mewakili NU. Kiai Muzammil diminta dahuluan presentasi, tapi dirinya menolak, karena selama ini diserang sebagai penuh bidah adalah NU. “Katakan saja semua keberatan anda mengenai tradisi NU atau tradisi masyarakat, nanti saya akan merespons,” kata Kiai Muzammil. Lalu mereka mengemukakan pikiran mereka termasuk dengan menyitir dalil-dalil hadis tentang bidah.

Dalam merespons ini, Kyai Muzammil membawa kitab kamus Lisanul Arob karya Ibnu Mandhur, seorang ulama besar Timur Tengah yang tidak tahu ada NU atau Muhammadiyah, jadi netral. Di dalam kamus tersebut diterangkan bahwa bidah bukan sekadar sesuatu yang baru yang tidak ada pada masa nabi. Tetapi dengan menyitir pendapat Imam Syafi’i, Ibnu Hibban dan Imam al-Baihaqi ahli hadis, bahwa bidah itu ada dua, salah satunya adalah bidah hasanah. Semua praktik keagamaan atau budaya yang baik dan tidak bertentangan dengan Al-Quran adalah boleh. Tapi mana dalilnya?

Kata Kyai Muzammil, Al-Quran itu bukan Perda, melainkan konstitusi. Kalau semua harus disebut satu persatu apa hukumnya tahlil, hukumnya yasinan, hukumnya kenduren, nanti nggak selesai-selesai Al-Quran. Al-Quran bersifat global. Kalau ada orang berdzikir lalu ditanyakan mana dalilnya, lho kalau dzikir ya jangan tanya mana dalilnya, sudah jelas-jelas diperintahkan oleh Allah: Ya Ayyuhalladzina amanudzkurulloh dzikron katsiro, wahai orang beriman berdzikirlah dengan dzikir yang banyak. Tidak dijelaskan waktunya, sehingga bisa sehari, bisa tiga hari, berapapun sesuai kemampuannya.

Cak Nun melanjutkan dengan penjelasan yang lebih sederhana, selain mengenai rumus bidah yang berada di wilayah rukun Islam, di luarnya adalah boleh, yakni dalam ruang muamalah.

Cak Nun dengan tegas menguraikan, “Wis anggaplah aku ini kafir fir, terus opo hakmu utowo hak wong liyo terhadap aku. Iki menyangkut martabat manusia. Mengenai benar kafir tidak orang itu wilayahnya Allah. Urusan sesrawung antar manusia adalah ojo nuding-nuding wong, itu merendahkan dan menyakiti hatinya. Sedang di dalam Islam sangat dilarang menyakiti hati orang lain. Wis anggaplah misalnya Gus Dur itu antek Yahudi, terus kalian mau apa. Apakah kalian yakin bahwa saya muslim? Dari mana kalian tahu saya muslim? Kalau ternyata saya hanya akting? Kalau darah saya halal, wis gek ndang dipateni, dan okeh sing kudu dipateni. Allah saja masih memiliki ruang barangsiapa mau beriman maka berimanlah, barangsiapa mau kufur, silakan kufur. Maka, kepada orang yang kita anggap sesat atau kufur, mbok wis didongakke wae supaya diberi hidayah oleh Allah. Jangan dituding-tuding. Itu menghina martabat manusia. Kemudian untuk para bupat atau lurah, apapun alasannya, apakah itu karena beras atau bidah, sepanjang menimbulkan konflik sosial harus ditindak tegas.

Timbangane nglarani atine wong, mbok gawe senenge wong wae,” Cak Nun lalu meminta mas Imam Fatawi membawakan lagu dangdut untuk menyenangkan hati semua yang hadir malam ini. Disambung duet seorang jamaah yang ikut naik, dan kemudian meminta melantunkan Tombo Ati diiringi Kiai Kanjeng. Benar-benar terpancar kebahagiaan di wajah orang ini dan juga seluruh jamaah.

Setelah itu Cak Nun memaparkan mengenai ziarah kubur, “Sudah jelas Allah memerintahkan kita mendoakan sesama orang muslim dan mukmin baik mereka masih hidup atau sudah mati. Yang tidak boleh adalah berdoa kepada orang mati. Kalau saya ke kuburan untuk mencari energi boleh? Energi kan bisa datang dari mana saja. Saja memakai baju saja energi yang didapat beda dengan kalau tidak pakai baju. Sepak bola juga harus pakai kostum tersendiri. Jadi semua ada ketepatannya sendiri. Kemudian kenduren? Masak nraktir orang lain nggak boleh? Yang nggak boleh kalau kenduren dengan ngutang-ngutang dan memaksakan diri. Bagaimana dengan tahlilan? Lho meneguhkan tidak ada tuhan selain Allah kok tidak boleh. Manaqiban? Sedang nyanyi jazz atau pop boleh. Bahkan manaqiban itu dikaitkan dengan Allah. Malah bagus. Musuh kita adalah kesempitan dan kedangkalan berpikir, koyo jaran. Anda semua harus ombo dan jembar pikirane.

“Kita harus memahami kekayaan komunikasi atau pola-pola ungkap dan simbol. Tidak boleh leterlek. Harus mengerti kiasan, dan konteks-konteks. Makanya, sebelum omong banyak tentang Islam, yuk belajar dulu jadi manusia. Manusia yang manusia itu melu keroso loro (sakit) kalau ada manusia lainnya disakiti hatinya. Bahkan kalau kita menyakiti orang lain aslinya kita sendiri juga merasa sakit. Manusia yang jembar dan murni itu sesungguhnya pandai merasa (rumongso/ngroso).

“Kemudian, dalam hal bidah non bidah ini, yang perlu jadi tolok ukur adalah apa yang mendekatkan diri kepada Allah itu baik, sebaliknya yang menjauhkan kita dari Allah itu tidak baik. Juga ada segala sesuatu itu dilihat dari sudut pandang kepantasan atau ketidakpantasan. Rasulullah saja ketika diprotes sahabat tentang Bilal yang tak bisa mengucap huruf syin, kok malah dipilih sebagai muadzin, justru menjawab, pokoknya kalau kalian mendengar dia mengucap sin pada yang harusnya syin, itu maksudnya syin. Itulah kearifan Rasulullah. Kalau kalian tidak menerima hal ini, berarti kamu menghina orang celat. Bisa kualat kita.

“Bidah itu baik yang baik. Bidah itu jelek yang jelek. Sebagaimana ibadah itu baik yang baik. Jelek yang jelek. Maksudnya, sementara orang sibuk kerja bakti, kita malah sibuk wiridan. Itu kan wiridannya tidak tepat dan tidak baik,” tutup Cak Nun.