Musikalisasi Puisi Karawitan Dinasti

Sabtu malam, 7 Desember 2013, rangkaian acara Musikalisasi Sastra yang telah berlangsung sejak dua hari sebelumnya dipuncaki dengan penampilan dari Cak Nun bersama kelompok Karawitan Dinasti dan Gamelan Kiai Kanjeng. Acara yang diselenggarakan oleh Taman Budaya Yogyakarta (TBY) ini dimaksudkan agar generasi sekarang mempunyai wacana sejarah salah satu karya Yogyakarta yang tidak terdapat di tempat lain, yaitu musikalisasi puisi. Pada zamannya di tahun ’70-an orang-orang lebih mengenalnya dengan sebutan musik puisi, puisi musik, atau lagu puisi.

Cak Nun terlebih dulu mengajak semua penonton mengapresiasi penampilan-penampilan sebelumnya, “Saya mendengar dari awal musik anak-anak dan teman-teman kita tadi dan saya agak malu karena musik mereka benar-benar halus – musiknya orang-orang terpelajar, musik yang agak priyayi. Mereka punya disiplin musik yang sangat bagus, oleh karena itu mereka golongan muti’an. Sementara Dinasti dan Kiai Kanjeng adalah golongan pemusik abangan atau aba’an, yaitu pemusik yang mengabaikan kaidah-kaidah musik.”

Nomor pertama, Tuhan Aku Berguru, dibawakan persis seperti versi aslinya tahun ’78. Beberapa pemain sudah berganti, kecuali Pak Narto Piyul, Pak Nevi Budianto, dan Pak Joko Kamto. Nomor berikutnya merupakan puisi yang diadaptasi dari puisi berjudul Bali. Puisi ini dulu lahir dari kecemasan terhadap industrialisasi yang akan menggerus kebudayaan Indonesia, di mana korban pertamanya adalah Bali. Tapi karena sekarang seluruh Indonesia telah menjadi Bali, Cak Nun memodifikasinya menjadi Lautan Nusantara supaya aktual.

++

Baginda Syekh As-Sayyid Paduka Sepuh Kiaikanjeng

Ia tersenyum dan berkata, Maukah cucuku berderma?

Aku menjawab, Sendiko Syekh

Berdermalah dengan ronda keliling Nusantara

Hingga lewat satu malam sesudah sepuulh Asyura nanti

Kemudian kau ikut hadir berkumpul dengan kami semua

Kami, seluruh petugas-petugas Bumi berkumpul di Lembah Merapi

Panglima seluruh gunung-gunung berapi yang dikawal oleh kakekmu Sapu Jagad

++

“Usaha teman-teman ini susah sekali untuk menggabungkan gamelan Jawa dengan nada-nada Barat, dan pahlawannya adalah Mas Nevi. Bersama Kiai Kanjeng beliau sudah keliling ke 56 kota di empat benua. Benua kelima masih menunggu gempa bumi dari letusan gunung di sebelah selatannya.”

Sejarah awal musikalisasi puisi adalah ketika pada tahun ’70-an Umbu Landu Paranggi, Presiden Malioboro, membuat puisi berjudul Apa Ada Angin di Jakarta kemudian dilagukan oleh Deded R Moerad. Lalu ada juga lagunya Ashadi Siregar, Ebiet G Ade, dan seterusnya.

Sekadar untuk wacana, ada empat macam transaksi antara musik dengan puisi, yaitu:

  • puisi dibaca dengan background musik
  • puisi dan musik dibawakan dengan berselang-seling
  • puisi dan musik masing-masing menjadi subyek
  • puisi dilagukan

“Sesungguhnya tidak ada puisi yang tidak musikal dan tidak boleh ada musik yang tidak puitis, karena keduanya memiliki roh yang sama. Sama halnya dengan tidak mungkin ada agama tanpa kesenian, tanpa kekhusyukan. Tidak ada ibadah tanpa nada dan irama. Seluruh shalawatan dan mocopat itu juga musik puisi. Jadi sebenarnya musik puisi sudah menjadi milik universal masyarakat dunia.”

Nomor ketiga merupakan lagu ciptaan Pak Narto Piyul, berjudul Berdekatankah Kita. Disusul kemudian dengan Nyanyian Gelandangan yang memperingatkan adanya transaksi besar di belakang Pemilu 2014, yang titik utamanya terletak di antara Jember dan Banyuwangi.

++

Bocorkan kapal NKRI pada takaran yang terukur

Sebab kapal besar ini akan dirampok tahun depan

Tegakkan pagar masa silam agar menjadi gerbang masa depan

Baginda, guncangkan kapal ini karena pemimpin dan

Yang sekarang berencana menjadi pemimpin

Akan menjual negeri ini

++

Nomor Dinasti yang terakhir ditampilkan adalah Klembak Menyan dari tahun ’78. Setelah itu para pemain musik berpindah ke gamelan Kiai Kanjeng yang tidak 100% pentatonik ciptaan Pak Nevi. Nomor pertama Kiai Kanjeng yang dibawakan adalah Ke Mana Anak-Anak Itu, yang dibawakan persis seperti aslinya.

“Karawitan Dinasti ini sebenarnya merupakan satu bagian saja dari Kelompok Dinasti yang mementaskan teater dengan naskah-naskah sendiri, dengan estetika yang tidak terlalu taat dengan teater Yunani Kuno. Dinasti menggali peradaban kakek moyangnya sendiri meskipun tidak menolak disiplin estetika dan kaidah-kaidah perteateran Barat.”

Dinasti tidak pernah mementaskan naskah selain yang ditulisnya sendiri, dan semuanya merupakan semacam informasi kepada masyarakat bahwa akan ada sesuatu yang terjadi. Geger Wong Ngoyak Macan, misalnya, merupakan peringatan akan adanya penembakan misterius (petrus).

“Untuk Jogja ada daftar berisi nama 89 orang dan kami sudah mengetahui itu sebelumnya. Saya menyaksikan penembakan pertama yang diajukan sehari.”

Dinasti kemudian bermetamorfosis menjadi pementasan teater, grup musik, LSM, dan aktivis-aktivis lain yang menjadi satu rangkaian dengan Universitas Patangpuluhan. Di wilayah musik, Karawitan Dinasti berubah menjadi Pak Kanjeng yang bergerak dalam advokasi masyarakat Kedungombo yang digusur dari desanya demi proyek pembangunan waduk. Dari Pak Kanjeng kemudian lahirlah Kua Etnika, Sinten Remen, Kiai Kanjeng, Teater Gandrik – masing-masing dalam wilayah yang berbeda-beda.

“Khusus Kiai Kanjeng tidak masuk mainstream industri. Mereka hanya pentas langsung di kalangan rakyat. Malam hari ini merupakan pementasan Kiai Kanjeng yang ke-3.525 dan semuanya diselenggarakan tanpa sponsor, tanpa proposal.”

“Saya punya guru bernama Umbu Landu Paranggi dan sampai sekarang kami masih berhubungan. Dia adalah seorang zahid, seorang sufi yang luar biasa. Belum pernah saya lihat riwayat zahid yang sedahsyat dia, yang berani meninggalkan seluruh akses, aset, dan eksistensinya. Pernah dia bikin puisi berjudul Apa Ada Angin di Jakarta, sebuah kekhawatiran akan urbanisasi dan modernisasi.”

IMAG4306


Setelah nomor Apa Ada Angin di Jakarta, Cak Nun mengajak semuanya untuk khusyuk dan serius.

Ya Allah, ajarilah kami mengungkapkan pikiran kepada hamba-hamba-Mu yang tidak pernah berpikir. Ya Allah ajarilah kami bagaimana mengajarkan ilmu kepada hamba-hamba-Mu yang meremehkan ilmu. Ya Allah, ajarilah kami bagaimana mengarahkan peringatan kepada orang-orang yang meremehkan peringatan. Ajarilah kami bagaimana kami menjelaskan kerusakan kepada orang-orang yang bersenang-senang dengan kerusakan. Turunkanlah hikmah kepada kami bagaimana kami menjelaskan penyakit hamba-hamba-Mu yang mereka merasa dirinya sehat.

Ya Allah bukakanlah rahasia-Mu agar kami bisa memberi kabar gembira dengan cinta-Mu kepada hamba-hamba-Mu yang mempercayakan cintanya kepada dunia. Ya Allah berikanlah kami ilham bagaimana menghadirkan hakikat-Mu kepada hamba-hamba-Mu yang menyia-nyiakan waktu mereka untuk menyembah berhala.

Lapangkanlah kepada kami kesabaran agar kami bisa menepuk dada kami di hadapan hamba-hamba-Mu yang mencintai kesempitan. Limpahilah kami dengan kelembutan agar kami menampakkan kedalaman kepada hamba-hamba-Mu yang merebahkan diri mereka di kedangkalan. Ya Allah berilah kami keteguhan hati ketika dengannya kami memarahi hamba-hamba-Mu yang berbahagia dengan tontonan setan.

Tanamkanlah dalam jiwa kami kekuatan dan keteguhan hati agar kami tidak putus asa dalam berjuang mewujudkan sesuatu yang dalam batas-batas pikiran kami mustahil kami mewujudkannya. Terangilah akal-akal kami agar dapat menjadi cahayamu yang agung di tengah kegelapan yang mengepung kami saat ini. Tolonglah ya Allah hamba-Mu yang lemah, dengan menghancurkan sesuatu yang memang layak dihancurkan dan membangkitkan segala sesuatu yang Engkau ridhoi kebangkitannya.

Cak Nun memperingatkan semuanya bahwa kita sedang direkayasa untuk terlibat dalam kerusuhan-kerusuhan, “Sekali lagi, kalau engkau mendengar konflik dan pertengkaran, ingatlah bahwa letak masalahnya bukan di tema itu. Di belakang pertengkaran dikehendaki kehancuran-kehancuran yang sedang memuncak dan akan sampai pada babak finalnya tahun depan. Barangsiapa menginginkan negeri ini bubar, silahkan terus bertengkar.”

Pukul 23.00 Cak Nun menutup acara puncak Musikalisasi Sastra.

Comments

Comments are closed.