MEMBACA AMSAL

REPORTASE KENDURI CINTA oktober 2017

Selepas pembacaan Yasin dan Wirid Tahlukah, Kenduri Cinta edisi Oktober 2017 malam itu kemudian dimulai. Donny, Adi Pudjo, Pramono, Amien Subhan, dan Fahmi Agustian, tampil ke forum untuk memoderasi. Donny mengawali dengan menceritakan 17 tahun perjalanan komunitas Kenduri Cinta.

Doni melihat, proses kesetiaan yang berkesinambungan, baik dari penggiat maupun jamaah, merupakan sebuah amsal yang seharusnya dapat diambil hikmah dan pelajarannya. 17 tahun, hingga hari ini, silih berganti para penggiat keluar-masuk, non profit, swadaya dan tanpa sponsor. Kenduri Cinta merupakan keajaiban yang tidak mungkin terjadi begitu saja tanpa intervensi, perkenan Allah. Ia juga ingatkan tentang tiga tumpuan nilai Maiyah yaitu nandur (menanam), sedekah, dan puasa. “Kita menanam dan menanam terus menerus, biarlah Allah yang menentukan kapan panen dan berbuahnya,” ujarnya.

Doni juga mengajak jamaah untuk belajar dari sosok Cak Nun, sosok yang setia bertahun-tahun menghadiri berbagai kegiatan maiyahan di berbagai lokasi. Belajar betapa stabil kondisi psikisnya, kondisi kesehatan, kesetiaan, kesabarannya melayani, mendengar keluh-kesah, bersalaman satu-persatu setiap akhir acara, disuwuk airnya, ditiup ubun-ubunnya, diusap perutnya, ditampar wajahnya. “Apa hikmah yang bisa kita ambil dari Cak Nun, Kenduri Cinta, dan Maiyah? Atau sebaliknya, apa yang bisa kita berikan?” Kemurnian Maiyah, menurut Doni, telah teruji, sebab hingga hari ini Cak Nun konsisten tidak menyeret-nyeret Maiyah untuk menjadi gerakan sosial politik. Meski tudingan itu terus bermunculan setiap waktu. Bagi Doni, Maiyah itu sesuatu yang malati, hingga membuatnya tidak berani berbuat hal yang bertentangan dengan nilai-nilai Maiyah.

“Bagi saya, Kenduri Cinta itu oase,” Amien melanjutkan, “Di sini saya menemukan kenyamanan, kesejukan, di tengah riuhnya ibukota yang padat penuh persaingan tanpa henti.” Kenduri Cinta diibaratkannya seperti orkestrasi. Doni lantas apresiasi kepada para penggiat yang tak lelah menyiapkan berbagai hal-hal teknis acara. Sebab, para penggiat bukan tidak memilik rutinitas keseharian. Sama seperti jamaah lainnya, mereka juga pekerja, pergi pagi dan pulang malam hari, berkeluarga serta menafkahi.

Adi Pudjo, penggiat yang ikut merintis Kenduri Cinta, menambahkan bahwa semua yang disampaikan (oleh Doni dan Amien tentang perjalanan Kenduri Cinta selama 17 tahun) bukan dalam rangka umuk (red: menyombongkan diri), bukan itu substansinya. “Kita semua ingin belajar bersama, menyadari bahwa kita di sini dalam rangka berbagi kebahagiaan. Jika tidak merasakan kebahagiaan, lantas untuk apa kita di sini?” tanyanya.

“Keberlangsungan maiyahan, membawa kita pada arusnya, sebagai tempat pelarian belaka, atau untuk menemukan nilai-nilai substansial untuk hidup kita?” Fahmi menyambung, “Bagaimana jika bulan depan Kenduri Cinta tidak ada lagi?” Fahmi mengkritisi Kenduri Cinta yang hanya dijadikan sebagai persinggahan, sebagai jeda dari persaingan, momen beristirahat dari saling jegal-menjegal. Ia mengkhawatirkan, jika Kenduri Cinta tak ada lagi, maka kita akan mudah putus asa. “Kalau kita nandur, minimal kita musti tahu, dari mana asal benihnya, kita tahu tanah atau kebunnya. Ketika suatu saat tanaman itu tumbuh lalu berbuah, kita tahu buahnya akan bermanfaat untuk apa, untuk siapa,” pungkasnya.

Kita semua belajar bersama, menyadari bahwa kita di sini dalam rangka berbagi kebahagiaan.
Adi Pudjo, Kenduri Cinta (Oktober, 2017)

Bahan Bakar Ilmu

Menjelang malam, jamaah makin terlibat dalam diskusi. Seperti, Roni, jamaah asal Bandar Lampung yang mengenal Maiyah dari YouTube. Ia merasakan pengaruh Maiyah dalam memperluas paradigma dan wacana berpikirnya. Cara mengakses maiyahan melalui media YouTube atau streaming, memang telah menjadi fenomena tersendiri di jejaring jamaah Maiyah. Banyak forum maiyahan di berbagai tempat yang menayangkan langsung acaranya dan diakses pemirsa sepenjuru dunia, sehingga ada sebutan “jamaah yutub” di kalangan jamaah.

Namun tidak malam itu di Kenduri Cinta. Para penggiat memutuskan untuk tidak menayangkan langsung (streaming) acara. Fahmi menjelaskan, “Mengaji itu ya tatap muka seperti ini. Dengan begini kita merasakan nuansa dan suasananya secara langsung. Dengan bertatap muka, banyak esensi yang didapat seperti mimik, gestur dan kejelasan maksud.”

“Kenduri Cinta itu seperti pom bensin,” ucap jamaah lainnya, Galih dari Bandung, “Karena dalam perjalanan yang panjang, kita butuh bahan bakar, bahan bakar itu diperoleh di pom bensin.” Bahan bakar yang ia maksud ialah ilmu, tempat untuk menggali ilmu selama perjalanan hidup, itulah Kenduri Cinta.

Jeda diskusi, Bimo dengan teman-temannya membawakan musikalisasi puisi. Tampak jamaah menikmati penampilan Bimo. Farid, putra alm Mbah Surip, juga turut menyumbang beberapa lagu malam itu. Setelah penampilan Bimo dan Farid, Sigit bersama Tri Mulyana tampil memoderasi forum menggantikan Doni. Sigit merangkum diskusi sebelumnya. Disambung Tri yang menyampaikan rasa syukurnya bisa hadir di Kenduri Cinta malam itu dan mulai mengelaborasi tema acara “Membaca Amsal”.

Tema “Membaca Amsal” diangkat agar kita bisa mengambil hikmah dari Maiyah, untuk kemudian diterapkan di kehidupan. Alquran banyak menuturkan perumpamaan-perumpamaan, kejadian-kejadian yang abstrak serta sulit dipahami. Disinilah fungsi amsal, untuk memudahkan memahami hikmah, kandungan dan maksud dari Alquran. Seperti pada Surah Ibrahim ayat 24: bagai pohon kuat yang akarnya menjulang jauh ke dalam dan daun-daunnya yang memenuhi langit. Begitu pula Maiyah, akarnya kuat, terbukti daya tahannya selama 17 tahun, dan buahnya berupa ilmu-ilmu yang memberikan manfaat bagi jamaahnya.

Mengutip Sura Ar-Ra’d ayat 11: Innallaha laa yughoyyiru maa bi qoumin hatta yughoyyiru maa bi anfusihim. Bahwa apa yang kita lakukan di Maiyah merupakan upaya untuk melakukan perubahan, namun kita tetap berpedoman bahwa yang mutlak melakukan perubahan ialah Allah. Ali lalu menceritakan peran Cak Nun yang dalam banyak persoalan seringkali terlibat sebagai mediator, mempertemukan pihak-pihak yang bertikai, didudukkan bersama lantas dicarikan solusi terbaik bagi keduanya. Juga bagaimana Cak Nun dan Kaia Kanjeng hadi di berbagai wilayah untuk meminimalisir potensi konflik melalui acara-acara maiyahan. Hal itu terus dilakukan, hampir setiap hari, hingga kini.

Apa yang dilakukan Cak Nun juga merupakan amsal yang harus mampu kita hikmahi. Di usianya yang sudah 64, Cak Nun justru semakin produktif. Hampir setiap hari tulisannya dipublikasikan. Pramono lalu mengisahkan daya tahan Nabi Muhammad saat berdakwah selama 23 tahun. Cak Nun bertahan dengan kesetiaanya, karena beliau ikhlas, tulus melakukan itu semua, tanpa pamrih, tanpa ada pengharapan kepada dunia, bahwa apa yang dilakukan berdasar atas niat untuk berbuat baik kepada sesama manusia. Menurut Pramono, secara tidak langsung jamaah juga akan terlatih untuk menemukan endurance-nya masing-masing. Dengan bersikap sabar dan rendah hati untuk mendengar dan menyimak berbagai sumber ilmu dari berbagai narasumber dari malam hingga dini hari.

Maiyah berupaya untuk melakukan perubahan, namun kita tetap berpedoman bahwa yang mutlak melakukan perubahan ialah Allah.

Ingat dan Waspada

Pada sesi berikutnya, Sabrang hadir di forum. “Menurut saya, amsal merupakan metodologi untuk menginformasikan sesuatu pada seseorang yang memiliki pengetahuan yang lebih rendah dari kita,” Sabrang mengawali. Seperti suatu kali, saat anaknya meminta adik (bayi). Awalnya, anaknya mengira bahwa bayi itu bisa didapat di rumah sakit. Sementara, Sabrang sendiri juga tidak mungkin menjelaskan proses bagaimana bayi itu tumbuh dalam rahim ibunya. Yang dilakukan Sabrang adalah menjelaskan dengan amsal tentang proses penyerbukan bunga oleh lebah hingga kemudian berbuah.

Metode amsal ini berlaku di semua lini, mulai dari Tuhan kepada manusia, Nabi kepada umatnya, guru kepada muridnya dan sebagainya. Hal itu berbeda dengan konsep kesedihan, yang seringkali tidak bisa dijelaskan dengan amsal. Ada hal yang harus dijelaskan dengan cara merasakannya sendiri. “Jadi untuk mengeluarkan amsal, kita sudah menemukan contoh. Kemampuan kita menangkap amsal juga harus mengukur kemampuan diri sendiri, terkadang kita terlalu rendah atau terlalu tinggi dalam menangkap amsal. Kita mesti berkaca, mempresisikan diri. Perlu mawas diri dan kewaspadaan diri untuk menangkap amsal,” terang Sabrang.

Sabrang merasakan, saat hari ini membaca Alquran, pemahamannya bisa berbeda saat ia membacanya sebulan kemudian. Ayat yang sama, tetapi pemahaman yang didapatkan bisa berbeda. Karena amsal mengandung hakikat yang sama tetapi kita memasukinya pada level-level yang berbeda. Menurut Sabrang, amsal itu sebuah tools yang berguna ketika kita belajar. Eling lan waspodo itu sangat penting, dan kedua hal itu menurut Sabrang adalah modal utama untuk membaca amsal.

Lebih detil lagi, sebuah pemahaman bisa disampaikan tidak hanya dengan satu amsal, tetapi juga dari banyak amsal. Seberapa tinggi tingkat amsal yang kita butuhkan, itu juga hal yang mesti kita ketahui. Apakah kita telah paham pada tingkat tertentu untuk menangkap maksud amsal tertentu. Amsal adalah tools untuk memahami konsep. Satu amsal bila dikupas akan memberi ilmu dan pengetahuan yang bermacam-macam tergantung pada cara paham, pemikiran dan bekal ilmunya.

Di tengah diskusi, Cak Nun dan Pakde Mus terlihat duduk bersama jamaah. Sigit lantas memberikan ruang pada Cak Nun. Mengutip ayat Alquran Surah Al-Baqarah ayat 26: Innallaha laa yastahyii anyadhriba matsalan maa ba’uudhotan famaa fauqohaa, bahwa Allah tidak tidak malu membuat amsal (perumpamaan) meskipun melalui seekor nyamuk, bahkan yang lebih kecil dari nyamuk.

Cak Nun memantik jamaah, memberi perumpamaan tentang tetesan embun. “Embun menetes itu tepat atau belum?” tanya Cak Nun, “Siapa yang menetes dan siapa yang diteteskan? Apakah embun menetes, embun diteteskan atau embun tertetes. Siapa yang meneteskan embun, itulah hulu yang perlu kita cari. Sehingga, yang benar ialah: embun diteteskan.” Cak Nun melanjutkan, “Orang modern belum mampu mencari hingga detail seperti ini, karena dunia kapitalisme modern hanya berurusan kepada siapa yang memberi dia keuntungan. Ketika menanam kelapa sawit, orang tidak peduli siapa yang menumbuhkannya, ia hanya peduli apakah kelapa sawit itu memberi keuntungan atau tidak. Sementara di Maiyah, tidak berlaku demikian.”

Merefleksikan Kenduri Cinta, Cak Nun sampaikan, “Apa ada orang yang mampu membuat acara seperti Kenduri Cinta ini? Apakah ada orang yang bisa menahan orang bertahan sampai jam tiga dinihari? Siapa yang mampu menahan orang sebanyak itu untuk tidak beranjak pulang? Saya tidak mampu melakukan itu. Saya hanya melakukan seperti embun yang diteteskan itu. Maka sesungguhnya, Maiyah dan Kenduri Cinta ini amsal apa?”

Kita mesti berkaca, mempresisikan diri. Perlu mawas diri dan kewaspadaan diri untuk menangkap amsal.
Sabrang, Kenduri Cinta (Oktober, 2017)

Menerangi Tanpa Disentuh Api

Menjelang larut malam, jamaah masih ramai. Cak Nun lantas membuka bahasan tentang khilafah, dengan memberi perumpamaan gado-gado dan pecel. Ibarat, suatu kali kita hendak makan di warung gado-gado, lalu seorang teman pada saat sama mengajak ke warung pecel di sebelah warung gado-gado. Akhirnya kita tidak makan gado-gado, sesuai tujuan awal, malah makan pecel. Siapa yang layak disalahkan? Pecelnya atau teman yang mengajak kita makan pecel? Yang terjadi sekarang, kita menyalahkan pecel. Tidak itu saja, kita memilih pecel, sembari menjelek-jelekkan gado-gado. Itulah yang terjadi pada isu khilafah.

Pada pandangan Maiyah, tidak mungkin kita anti-khilafah. Kekhalifahan adalah konsep yang datang langsung dari Allah. Allah yang memerintahkan kita sebagai manusia untuk menjadi khalifah di muka bumi. Maka segala pekerjaan kita di dunia untuk menegakkan kekhalifahan. Bahwa konsep khilafah dimaknai berbeda-beda oleh tiap golongan, itu hal biasa. Jika kita tidak setuju dengan konsep khilafah kelompok tertentu yang memaksakan konsepnya, bukan lantas kita menjadi anti-khilafah. Sama seperti perumpamaan pecel dan gado-gado sebelumnya. Untuk pro terhadap sesuatu kita tidak perlu anti terhadap sesuatu yang lain. Untuk makan gado-gado, tidak perlu mengejek pecel. Untuk menjadi orang baik, tidak perlu menjelek-jelekkan orang lain. Apakah menjadi orang benar harus dengan menyalah-nyalahkan orang lain?

“Orang sekarang tidak punya keseimbangan hidup, tidak punya kemandirian, tidak punya keyakinan pada diri kita sendiri, terhadap kebenaran yang kita pilih sendiri, karena yang kita sebut benar adalah yang lain salah,” Cak Nun melanjutkan. Mengapa hanya untuk mempertahankan sesuatu, kita lantas menghancurkan yang lain. Semakin banyak orang yang tidak mampu membedakan antara manis dengan gula. Orang semakin tidak paham bahwa gula itu manis, tetapi yang manis itu tidak hanya gula.

Menjawab persoalan manajemen keseimbangan antara hati dan pikiran, Cak Nun menadaburi Surah An-Nur ayat 35, bahwa hidayah Allah diterima oleh akal dan pikiran kita, yang secara materi berwujud otak di kepala. Syarat agar kita mampu menerima hidayah dari Allah adalah dengan meningkatkan kepekaan akal, dengan keseimbangan berpikir. Azzujaajatu kaannaha kaukabun durriyyun, dalam tabung itu laksana bintang-bintang yang bercahaya di langit berpendar-pendar.

Dalam ayat itu juga digambarkan sebuah pohon keseimbangan; min syajarotin mubaarokatin zaituunatun laa syarqiyyatin walaa ghorbiyyatin. Pohon yang jika banyak menjadi kebun, yang dalam khasanah bahasa Arab adalah jannah (jannatun), yang kemudian diterjemahkan menjadi surga. Maka, yang kita lakukan di Maiyah tidak lain adalah membangun surga. Nandur (menanam), puasa dan sedekah, itulah 3 hal yang terus menerus kita lakukan di Maiyah. Maiyah kita ikhtiarkan dan ijtihad-kan menjadi pohon yang baik, yang mampu mengayomi semua pihak di dunia.

Cak Nun melihat keberlangsungan Maiyah layaknya laboratorium pembelajaran yang terus mengalir, sebuah forum ilmu yang berjalan tanpa makalah, siapapun dipersilakan bicara dan berpendapat, tidak ada yang merasa paling benar. Hal itu karena keseimbangan berpikir yang telah erbangun, secara tidak langsung juga melatih sikap untuk terus berendah hati satu sama lain.

“Pada hakikatnya kita ini hidup untuk persatuan dan kesatuan, amsal laa syarqiyyatin walaa ghorbiyyatin adalah amsal keseimbangan, bahwa kita hidup di dunia ini bukan dalam rangka untuk pro dan kontra. Kita harus mampu berdiri untuk mengayomi semua golongan,” Cak Nun melanjutkan, “Yakaadu zaituha yudhliiu walaw lam tamsashu naar. Betapa Allah memberi sebuah perumpamaan manusia yang diberi hidayah Allah itu seperti minyak zaitun, yang minyaknya saja mampu menerangi apapun di sekelilingnya, tanpa harus disentuh api. Ia bercahaya.” Seperti itulah manusia yang mendapat hidayah Allah.

Cak Nun menegaskan bahwa konsep khilafah menurutnya berbeda dengan HTI. Khilafah itu seperti benih yang bisa kita tanam di tanah republik, kerajaan, negara persemakmuran, kesultanan atau tingkat komunitas sekalipun. Itulah yang kita lakukan dan perjuangkan di Maiyah.

Syarat agar kita mampu menerima hidayah dari Allah adalah dengan meningkatkan kepekaan akal, dengan keseimbangan berpikir.
Emha Ainun Nadjib, Kenduri Cinta (Oktober, 2017)

Maiyah Mengasuh Dunia

Cak Nun lantas mempersilakan Pakde Mus. Pakde Mus meminta jamaah untuk senantiasa mendoakan Cak Nun beserta keluarga, agar selalu sehat dan dilimpahi keberkahan, karena selain ilmu yang kita cari adalah keberkahan dan karomah dari Cak Nun yang kita cari. Pakde Mus menggambarkan bahwa keseimbangan berpikir merupakan bentuk kewaspadaan yang harus kita latih terus-menerus agar kita tidak ikut terjerembab persoalan zaman.

Pakde Mus lalu membahas tentang sanad, “Sanad dalam ilmu hadits digunakan untuk mengidentifikasi apakah hadits itu sohih atau tidak, hasan atau dho’if,” Pakde Mus menjelaskan. Dalam kehidupan, persoalan sanad diperlukan agar kita mampu berpikir runut tentang sebuah ilmu hingga kita bertemu sumbernya. Pakde Mus, yang selalu memanggil Cak Nun dengan sebutan “Mbah Nun”, berpesan kepada jamaah Kenduri Cinta agar terus berjuang bersama-sama agar Kenduri Cinta dan Maiyah ini bisa istiqomah bersama dengan Cak Nun, dan semangat ikhlas serta ketulusan hati kita semua tetap terjaga dengan baik.

“Ilmu itu menemukan perbedaan, sedang kebijaksanaan adalah menemukan kesamaan dari yang berbeda-beda itu,” Cak Nun menyambung. Khasanah ilmu modern tidak mengenal karomah, barokah, hidayah, rahmat, ilham dan sebagainya. Tidak dengan pengetahuan Maiyah, dengan pengetahuan yang kita miliki, kita mengasuh dunia. Kesadaran orang Maiyah adalah tidak bermimpi untuk dipahami oleh orang modern. “Tugas Maiyah itu membaca, bukan dibaca. Maiyah yang harus membaca mereka yang tidak paham dengan Maiyah. Kita yang membaca dan memahami Indonesia,” lanjut Cak Nun. “Maka teman-teman, saya minta jangan memperparah dengan menjual ekspresi Maiyah di Youtube, dipotong-potong untuk kepentingan-kepentingan bisnis dan provokasi, karena itu akan mengurangi efektivitas Maiyah,”

Cak Nun kembali mengingatkan jamaah agar tidak turut serta, tidak terbawa arus menyebarluaskan Maiyah di Youtube melalui konten-konten video dengan menyematkan judul-judul yang provokatif, apalagi yang tujuannya hanya untuk mencari keuntungan materi. Karena jika bicara karomah, maka nanti urusannya adalah berkah atau kualat. Jika kita menyebarluaskan dengan cara yang baik kita akan mendapat berkah, tetapi jika kita menyebarkan dengan cara buruk maka yang kita dapatkan adalah kualat.

Menggambarkan karomah, Cak Nun lalu mengisahkan Gus Ut, Weldo dan Mbah Mangli. Banyak kisah tentang karomah mereka, namun tidak kita pahami karena kita hidup dalam dunia modern. Kehadiran mereka merupakan gambaran dari kehadiran Allah. Begitu pula dengan Maiyah, banyak keanehan dan keajaiban, dan ini merupakan kehadiran Allah.

Cak Nun kemudian berbagi pengalaman spiritualnya dengan Mbah Ud (Kiai Sudrun), seorang ulama nyentrik dari Mojoagung yang perilakunya sangat anti-mainstream semasa hidupnya. Pernah suatu kali, Mbah Ud bertingkah layaknya anak kecil, merengek-rengek di jalan, membuat orang-orang kebingungan. Mbah Ud saat itu ingin menyampaikan agar manusia tak terlena mencari uang, hingga melupakan Kanjeng Nabi. Amsalamsal seperti Mbah Ud itu yang dibutuhkan Indonesia. Indonesia saat ini juga sudah tidak mengenal lagi apa itu punakawan, apa itu panembahan, apa itu pusaka, tidak memahami apa itu sesepuh. Orang modern tidak mampu membedakan antara pisau dan keris, tidak mengerti perbedaan antara amsal dengan fakta. Bahkan mungkin seandainya Allah benar-benar memunculkan kembali Nabi Khidlir saat ini, orang pun tidak akan mempercayainya.

Dunia modern beserta ilmu pengetahuannya semakin menganggap bahwa Allah adalah dongeng. Karena bagi mereka, sesuatu yang tidak terlihat, tidak bisa dirasakan, tidak bisa didengar adalah khayalan belaka. Maka pada akhirnya, Nabi dan Rasul pun akan dianggap sebagai dongeng saja. Jika ada Nabi beneran, jika ada orang yang memiliki sifat-sifat Nabi; shiddiq, amanah, tabligh dan fathonah, tidak akan benar-benar dipercayai keberadaannya. Orang modern tidak akan menerima Nabi secara substansial, orang modern tidak pernah mengakui apapun yang ia temui sebagai wujud tajalli-nya Allah.

Ilmu itu menemukan perbedaan, sedang kebijaksanaan adalah menemukan kesamaan dari yang berbeda-beda itu.
Emha Ainun Nadjib, Kenduri Cinta (Oktober, 2017)

Menjelang dini hari, jamaah masih tampak berkerumun memadati bibir panggung forum. Cak Nun menyampaikan bahwa bukan dirinya yang mampu membuat orang-orang bertahan di Maiyah, ini semua adalah atas perkenan Allah. Karena kita di Maiyah bukan untuk unggul mengungguli namun dalam rangka saling berendah hati satu sama lain.

Cak Nun lantas bercerita tentang Markesot yang ketika hidup di Patangpuluhan sempat menjadi persoalan karena pribadinya yang membingungkan. Para mahasiswa yang “mondok” di Patangpuluhan mengalami kegusaran, karena tiap berdiskusi tentang persoalan politik atau negara, mereka dibuat bingung oleh Markesot. Kepada para mahasiswa, Cak Nun mengatakan, “Yang seharusnya itu, Markesot memahami anda atau anda yang harus memahami Markesot? Bukankah gunanya anda sekolah adalah agar anda mampu memahami orang seperti Markesot?”

Sosok seperti Markesot sulit dipahami orang modern. Pernah ia diberi modal oleh Cak Nun untuk membikin usaha bengkel mobil dan motor. Tetapi, apa yang dilakukan Markesot dengan bengkel itu? Alih-alih mendapatkan keuntungan, ia justru banyak menolong orang yang datang karena kendaraannya bermasalah. Markesot memperbaiki tanpa meminta biaya. Bagi Markesot, jika ingin berjualan dan mencari untung, lebih baik bikin usaha toko sparepart sekalian, jangan bengkel. Menurut Cak Nun, Markesot merupakan amsal yang harus kita baca dan pelajari.

“Saya belajar tentang ketangguhan hidup dari Markesot. Bahwa sakit itu sunnatullah, bukan lalu menjadi kebal, tetap anda harus punya kemampuan untuk merasa sakit, karena rasa sakit itu penting. Ketahanan terhadap sakit tidak sama dengan kekebalan,” Cak Nun membagi satu ilmu tentang ketahanan sakit yang diajarkan oleh Markesot.

Tak terasa waktu menunjukkan pukul tiga dinihari, Cak Nun lantas meminta Beben Jazz membawakan lagu-lagu dengan nomor akustiknya untuk memuncaki Kenduri Cinta edisi Oktober 2017 kali itu. Setelah penampilan Beben Jazz, seorang jamaah diminta Cak Nun untuk memimpin salawatan dan kemudian Pakde Mus memimpin doa bersama. Jamaah kemudian bersalaman dengan Cak Nun diiringi lantunan Wirid Padhangmbulan.