Manusia Tidak Punya Hak Untuk Saling Menyalahkan

JUM’AT pekan kedua selalu menjadi hari spesial bagi jamaah Maiyah di Jakarta. Jumat pekan kedua menjadi hari raya bersama di Taman Ismail Marzuki, Cikini, Jakarta. Jamaah Maiyah yang datang bahkan tidak hanya mereka yang tinggal di sekitaran Jakarta. Ada yang datang dari luar kota, luar provinsi, juga luar pulau. Kenduri Cinta menjadi magnet tersendiri memang, salah satu forum Maiyah yang menjadi barometer bagi forum sinau bareng lainnya yang kini tersebar di 64 titik di berbagai daerah.

Bulan ini, Kenduri Cinta kembali dilaksanakan di Pelataran Parkir TIM, seperti bulan lalu. Padahal, sebelumnya penggiat Kenduri Cinta sudah diarahkan untuk menggunakan area Plaza Teater Besar di Taman Ismail Marzuki. Proses revitalisasi Taman Ismail Marzuki yang baru berlangsung membutuhkan adaptasi oleh berbagai pihak, pemindahan lokasi Kenduri Cinta adalah salah satu dampaknya. Seharusnya, sejak bulan Juni 2019 lalu, Kenduri Cinta dilaksanakan di Plaza Teater Besar, namun karena sudah terjadwal agenda lain di lokasi tersebut, Kenduri Cinta kembali diselenggarakan di Pelataran Parkir seperti biasanya. Namun demikian, karena proses revitalisasi TIM sudah mulai berlangsung, mulai bulan depan Kenduri Cinta akan diselenggarakan di Plaza Teater Besar.

19 tahun perjalanan Kenduri Cinta di Taman Ismail Marzuki merupakan perjalanan yang cukup panjang. Maka jalinan silaturahmi yang tersambung antara Kenduri Cinta dengan Taman Ismail Marzuki pun bukan sekadar persambungan penyelenggara acara dengan pengelola tempat berlangsungnya acara. Kenduri Cinta sudah menjadi ikon bagi Taman Ismail Marzuki, rasanya akan sulit melepaskan trademark tersebut. Ketika orang menyebut Kenduri Cinta maka secar otomatis akan langsung ingat Taman Ismail Marzuki. Terlebih, Kenduri Cinta merupakan satu-satunya forum budaya yang menjadi tempat berkumpulnya masyarakat, yang terselenggara secara mandiri, swadaya, tanpa sponsor. Maka, pengelola Taman Ismail Marzuki pun memiliki andil selama 19 tahun ini, mendukung terselenggaranya forum Maiyahan rutin di Jakarta ini. Tentu saja, harapan kita bersama adalah bahwa persambungan ikatan tali persaudaraan ini akan terus terjalin.

Begitu juga dengan kita, yang setiap bulan telah menyempatkan diri untuk datang ke Kenduri Cinta. Sebagian dari kita, ada yang sudah bertahun-tahun, bahkan mungkin sudah 19 tahun sejak awal Kenduri Cinta hingga hari ini tidak pernah absen datang ke Kenduri Cinta. Ada yang mungkin baru beberapa kali datang. Kita bersama-sama membangun atmosfer Al Mutahabbiina Fillah di Kenduri Cinta. Cinta benar-benar kita kenduri-kan di Taman Ismail Marzuki. Kita datang dari berbagai latar belakang, multi kultur, multi budaya. Datang, duduk bersama, saling mengamankan satu sama lain, saling menjaga martabat satu sama lain, saling tidak mengancam nyawa satu sama lain.

Atmosfer yang dibangun bersama di Maiyahan adalah atmosfer sinau bareng. Layaknya seorang pembelajar, maka siapapun saja yang datang di Kenduri Cinta dan juga forum Maiyahan lainnya tidak berlaku sebagai orang yang merasa paling pandai. Tidak ada rumusan untuk mengungguli yang lain, yang ada adalah kita saling melengkapi. Itu menjadi salah satu pijakan kita bersama, mengapa kemudian kita merasa betah di Maiyahan, tidak ingin buru-buru selesai, dan ketika selesai kita tidak ingin buru-buru meninggalkan lokasi. Kita justru asyik untuk kemudian merapikan kembali karpet yang menjadi alas duduk, membersihkan sampah, dan jika ada barang-barang yang bukan miliknya ditemukan, kita saling mengamankan untuk kemudian diumumkan agar si empunya barang mengambil kembali barangnya yang hilang itu.

Sadar atau tidak sadar, di Maiyah kita secara perlahan meniti, meneliti, mengidentifikasi kembali nilai-nilai luhur manusia. Kita melakukan apa yang memang seharusnya kita lakukan. Membersihkan sampah itu bukan sebuah kehebatan, karena memang sudah semestinya kita lakukan. Melipat karpet itu juga bukan merupakan sebuah prestasi, karena naluri manusia yang seharusnya memang jika telah menggunakan sebuah barang, maka akan ia rapikan kembali. Pada hakikatnya, manusia tidak memiliki naluri kemalasan.

Dan di Kenduri Cinta, kita tidak hanya bergembira tetapi juga berbahagia. Di Kenduri Cinta edisi Agustus lalu, kita berbahagia bersama. Cak Nun dan Ibu Via hadir di Kenduri Cinta. Momen yang tidak selalu bisa kita rasakan. Layaknya orang tua yang mengunjungi anak-anaknya. Cak Nun dan Ibu Via tampak bahagia bertemu dengan jamaah Kenduri Cinta.

Mas Anies Baswedan, Habib Anis Sholeh Ba’asyin dan Mas Dik Doank malam itu juga turut bergabung di Kenduri Cinta. Sebelumnya, Mas Anies Baswedan memang secara khusus meminta waktu untuk bertemu dengan Cak Nun. Setelah diterima dan berbicara dengan Cak Nun, wajar kiranya jika kemudian Cak Nun mengajak Mas Anies untuk turut bergabung di Kenduri Cinta. Habib Anis Sholeh dan Mas Dik Doank pun tidak janjian untuk datang di Kenduri Cinta. Memang begitu adanya. Kenduri Cinta menjadi meeting point bersama, bagi siapa saja. Dan pertemuan antara Cak Nun dengan Mas Anies bukan pertemuan yang spesial. Cak Nun merupakan sahabat dari Pak A.R. Baswedan, yang merupakan kakek dari Mas Anies Baswedan. Jadi, hal yang wajar saja Mas Anies ingin bertemu dengan Cak Nun, yang tentu saja sudah dianggap sebagai orang yang lebih tua. Peristiwa yang normal-normal saja ketika yang lebih muda sowan kepada yang lebih tua.

“SETENGAH tahun ke depan saya ingin Anda mendapatkan hal-hal yang Anda perlukan agar Anda tetap bahagia dalam keadaan apapun saja”, Cak Nun melanjutkan. Bahagia yang dimaksud adalah bahagia bukan karena lingkungan eksternal diri kita, melainkan bahagia karena kita mampu memanaje jiwa, hati, pikiran kita. Sehingga dalam keadaan apapun saja kita mampu menemukan kebahagiaan. Cak Nun kemudian mengajak jamaah untuk bersholawat bersama, sholawat Alfu Salam. Semua khusyuk bersholawat, menyapa Rasulullah Saw sebelum memasuki sesi diskusi yang lebih mendalam.

Setelah menyapa jamaah, Cak Nun kemudian meminta Ibu Via untuk membawakan lagu. Nomor “Sebelum Cahaya” kemudian dinyanyikan oleh Ibu Via, diiringi oleh Krist Segara yang malam itu tampil di Kenduri Cinta. Ibu Via kemudian juga meminta Cak Nun untuk turut bernyanyi, momen langka, kemesraan Bapak dan Ibu kita di Maiyah, bernyanyi dan berduet. Melengkapi kegembiraan ini, jamaah kemudian diajak pula bernyanyi bersama lagu “Kemesraaan”, salah satu karya legendaris Alm. Franky Sahilatua, yang juga merupakan salah satu sahabat Cak Nun. Lagu ini dinyanyikan bersama-sama, tidak terkecuali Mas Anies Baswedan juga turut bernyanyi.

Tema Kenduri Cinta edisi Agustus kali ini secara khusus Cak Nun sendiri yang mengusulkan. Dan tidak mungkin akan selesai dibahas dalam 1 edisi Maiyahan, Cak Nun menjelaskan bahwa tema ini akan menjadi bahan pembelajaran 2-3 bulan kedepan di seluruh Simpul Maiyah. “Semua orang hari ini bercita-cita untuk menjadi orang kaya, orang terkenal, dan orang berkuasa. Rich, famous and powerfull”, Cak Nun melambari pijakan tema diskusi. Ditambahkan kemudian, Cak Nun menjelaskan bahwa kecenderungan hari ini profesi pekerjaan menjadi satu branding tersendiri yang dibangga-banggakan oleh manusia. “Gelar saya itu Mbah bagi kalian”, Cak Nun menegaskan.

Tokoh sekaliber Cak Nun, tidak berlebihan kiranya jika ada yang memanggil dengan sapaan; K.H. Muhammad Ainun Nadjib. Tetapi, Cak Nun justru tidak ingin dispesialkan dengan panggilan itu. Bagi Cak Nun, panggilan “Mbah” justru terasa lebih akrab dan lebih egaliter. Dan berulang kali, Cak Nun “membunuh dirinya” di forum-forum Maiyahan. Ditegaskan oleh Cak Nun bahwa Maiyah bukan ormas, bukan thariqat, bukan madzhab, bukan padepokan dan yang lainnya. Maka tidak ada sebutan “Ummat Emha”, “Pengikut Emha” dan lain-lain. Kita semua di Maiyah adalah ummatnya Rasulullah Saw.

Sejenak kemudian, Cak Nun mempersilakan Mas Anies untuk menyapa jamaah Kenduri Cinta. “Malam ini saya betul-betul bersyukur bisa bersama-sama di Kenduri Cinta ini, malam hari ini di TIM. Ditakdirkan malam ini saya ngorbol dengan Cak Nun, kemudian diajak ke Kenduri Cinta. Beliau ini memang Mbah Nun buat saya, karena dulu temannya Simbah saya di Jogja. Jadi, rasanya aneh kalau Cak Nun manggil saya dengan sapaan ‘Mas’ apalagi ‘Pak’. Dipanggil ‘Pak’ oleh Cak Nun itu bukan naik pangkat saya, malah turun. Padahal kalau dipanggil ‘Nies’ saja, maka saya masih dianggap Anies yang dulu oleh Cak Nun”, Mas Anies menyapa.

“Terima kasih Cak Nun, saya baru bertugas di Jakarta 1,5 tahun, tetapi Cak Nun sudah 19 tahun merawat Kenduri Cinta yang menjadi salah satu simpul persatuan. Karena di sini siapa saja bisa datang kapan saja, bisa pulang kapan saja, datang dan pergi, berinteraksi lintas semuanya. Seperti kata Cak Nun tadi, disini tidak ada gender, kita semua manusia setara.  Rumahnya, boleh besar boleh kecil, tetapi di acara KC ini duduknya setara”, Mas Anies melanjutkan.

“Kenduri Cinta menjadi simpul persatuan, karena kalau bhinneka itu bawaan lahir kita. Tetapi bersatu, merupakan hasil perjuangan dan ikhtiar bersama. Dan selama 19 tahun Kenduri Cinta telah membuktikan mampu merawat persatuan di Jakarta”, Mas Anies menambahkan. Kemudian, Mas Anies tentu karena saat ini menjadi Gubernur di Jakarta, ia menejelaskan beberapa kebijakan-kebijakan pemerintah. Sejalan dengan itu, setelahnya Cak Nun memberikan kesempatan kepada jamaah untuk merespons atau bertanya, atau juga mungkin menyampaikan apa saja kepada Mas Anies tentang apa yang mereka hadapi di Jakarta.

Kenduri Cinta edisi Agustus seakan menjadi forum yang mempertemukan rakyat dengan pemimpinnya. Mas Anies mendengar langsung apa yang dikeluhkan oleh warganya di Jakarta. Seperti misalnya tentang minimnya lokasi untuk berdagang di beberapa objek vital di Jakarta. Mas Anies menerangkan bahwa secara perlahan pedagang kaki lima akan diatur lokasinya juga aturan mainnya. Semua akan diakomodir oleh pemerintah provinsi agar tertib. Bagi Mas Anies, sektor perdagangan mikro adalah sektor ekonomi yang sangat membantu jalannya roda bisnis ekonomi makro. Dicontohkan misalnya, para pekerja yang tinggal di kota sekitar Jakarta, ketika sampai ke lokasi kerja di Jakarta maka mereka akan membeli sarapan yang dijual di trotoar dan jembatan penyebrangan. Maka, secara perlahan akan diatur agar tertib, agar tidak mengganggu lalu lintas jalan raya.

“DI MAIYAH ini adalah pembelajaran ilmu yang tidak ada kurikulumnya di sekolahan. Maiyah ini adalah ilmu kehidupan”, Cak Nun menyambung apa yang disampaikan oleh Mas Anies. Di Maiyah kita membahas, mempelajari, mendiskusikan apa saja, mulai dari agama, kesehatan, pendidikan, ekonomi, hukum, politik dan seterusnya, dari siapapun saja. Dan pijakan kita bersama adalah mencari sesuatu yang benar bukan siapa yang benar. Kebenaran yang mutlak hanya milik Allah, manusia yang hanya diberi cipratan-cipratan sedikit saja tidak diperkenankan untuk sombong bahwa ia telah menemukan kebenaran.

Dari Maiyahan yang kita ikuti saja, ilmu yang bisa kita ambil adalah ilmu resolusi konfik sosial bermasyarakat. Dalam sebuah forum, siapa saja boleh datang, kapan saja boleh pulang, siapa saja boleh berbicara, dan yang tidak berbicara juga ikhlas mendengarkan apapun saja yang disampaikan. Keputusan akhir ada pada diri masing-masing individu, mana yang akan dibawa pulang, mana yang memang tidak perlu disimpan, mana yang memang cukup hanya masuk telinga kanan keluar telinga kiri.

Cak Nun lantas mentadabburi surat At Talaq ayat 2-3; Wa man yattaqillaha yaj’al lahu makhrojaan wa yarzuqhu min haistu laa yahtasibu. Ayat tersebut digunakan Cak Nun untuk merespons pernyataan Mas Anies sebelumnya yang menyatakan bahwa selama menjabat Gubernur di Jakarta, ada banyak solusi yang muncul secara alami. Ketika ada persoalan, solusi muncul begitu saja. Mas Anies menggambarkan seperti ada tangan-tangan Allah yang membantu. Cak Nun juga mentadabburi ayat; fainna ma’a-‘l’usri yusro. Bahwa pada ayat tersebut disebutkan kata ma’a bukan ba’da, artinya memang solusi dari sebuah persoalan ada ketika persoalan itu muncul.

Cak Nun menjelaskan, melalui tema Kenduri Cinta kali ini kita semua sama-sama belajar, meneliti, mengidentifikasi siapa diri kita, potensi apa yang ada dalam diri kita. Diibaratkan oleh Cak Nun, jika kita adalah ayam maka jangan bercita-cita bisa terbangs eperti burang elang. Jika kita ikan, maka kehebatan kita adalah berenang di dalam air. Jangan sampai kita salah identifikasi, sehingga kita gagal memahami siapa diri kita. Jika ke dalam diri kita saja kita gagal memahami siapa diri kita, bagaimana mungkin kemudian kita mampu menilai yang ada di luar diri kita.

Di Kenduri Cinta malam itu, Cak Nun secara khusus menitipkan amanat kepada Mas Anies agar terus memanusiakan warga Jakarta. Pemimpin yang baik adalah Pemimpin yang menjadi manusia dan mamanusiakan rakyatnya. Menjadi Gubernur bukan berarti menjadi pejabat yang semena-mena berkuasa, justru dengan jabatan itu Mas Anies harus mampu tetap menjadi manusia, dan menjalankan tugas untuk melayani rakyatnya.

Tugas kita adalah menjadi manusia yang dikehendaki oleh Allah. Kita melakukan apa yang memang seharusnya kita lakukan. Kita menapaki jalan yang memang seharusnya kita menapakinya. Kegagalan manusia modern memahami peran mengakibatkan salah kaprah dalam menjalankan peran. Menjadi pejabat pemerintah justru dimanfaatkan sebagai ajang menjadi penguasa, padahal seharusnya menjadi pejabat pemerintah adalah menjadi petugas yang melayani rakyat. Di Kenduri Cinta inilah, secara perlahan kita mencari satu persatu nilai-nilai luhur manusia yang seharusnya berlaku dalam kehidupan sehari-hari.

Kegembiraan Kenduri Cinta edisi Agustus 2019 ini tentu saja tidak akan cukup dituliskan dalam satu naskah berita ini. Akan ditulis lebih lengkap lagi pada rubrik Reportase di website Kenduri Cinta nantinya. Dan yang lebih penting lagi adalah, bahwa kegembiraan Maiyahan secara langsung adalah kegembiraan yang melengkapi kebersamaan kita sinau bareng. Akan sangat berbeda nuansanya, atmosfernya, suasananya jika kita hanya menyimak melalui media sosial. Maka, Maiyahan yang paling baik adalah anda semua datang langsung ke lokasi Maiyahan, bukan menyimak lewat media sosial, atau melalui video streaming. Anda tidak akan bisa membantahnya bukan?