MANUSIA YANG MANA KAMU?

Reportase Kenduri Cinta AGUSTUS 2019

Tema Manusia Yang Mana Kamu? berangkat dari pemahaman atas tiga klasifikasi manusia; manusia nilai, manusia pasar dan manusia istana. Tentunya, Kenduri Cinta bukan forum yang menghasilkan sebuah kesimpulan. Kenduri Cinta adalah sinau bareng, bukan forum justifikasi, menyalahkan atau membenarkan. Semangat sinau bareng dibalut dengan kegembiraan, sehingga menghasilkan ilmu dan kebahagiaan. Berkaitan, Cak Nun merilis Tajuk khusus untuk menjadi panduan jamaah dalam menjelajahi tema.

Setiap Jumat kedua, masyarakat hadir berkumpul di Taman Ismail Marzuki. Forum Kenduri Cinta telah berlangsung 19 tahun. Sebuah forum yang diselenggarakan swadaya, tanpa sponsor, tanpa retribusi. Siapa saja boleh datang, siapa saja boleh bicara. Forum yang terbuka dan merdeka. Sebagian dari mereka menjadi penggiatnya. Para penggiat itu mempersiapkan berbagai hal terkait kebutuhan teknis acara, mulai dari baliho, tenda, panggung, tata suara dan berbagai hal lainnya.

Selama hampir dua dekade penyelenggaraannya, penggiat dan jamaah silih berganti, namun suasana forum Kenduri Cinta tak berubah. Mereka duduk bersama, mengaji dan berdiskusi, dari selepas Isya’ hingga menjelang dini hari.

Forum selalu diawali dengan dzikir dan sholawat bersama. Semata-mata agar tidak lupa sangkan paran kita, tidak melupakan asal-usul. Ber-sholawat juga menyapa Rasulullah Saw, kekasih Allah yang paling Dia cintai. Pijakan memasuki madinatu-l-‘ilmi. Kita menyadari, bahwa berbagai khasanah ilmu pengetahuan yang terurai, hanyalah karena karunia serta izin Allah lah yang memungkinkannya terjadi.

Setelahnya, forum dilanjutkan dengan sesi diskusi. Beberapa jamaah tampil ke forum mengemukakan pendapat tentang tema dan berbagai hal. Menafsir antara nilai, pasar atau istana, dimana masing-masing kita memiliki potensi dari ketiganya. Setelah kurang lebih satu jam berdiskusi, dua kelompok musik kemudian tampil ke forum membawakan karya musiknya, Males Band dan Krist Segara and Friend. Mereka bergantian melantunkan lagu-lagu karya Iwan Fals dan Didi Kempot yang diransemen secara apik.

Malam itu, Mbak Via dan Cak Nun hadir lebih awal. Tampak juga hadir Anies Baswedan, Habib Anis Sholeh Ba’asyin dan Dik Doank. Tak menunggu lama, moderator langsung memberikan kesempatan kepada mereka untuk mengisi forum. Sebelumnya, Anies Baswedan memang meminta waktu untuk bertemu Cak Nun. Setelah melakukan pertemuan, Cak Nun lantas mengajak Anies untuk ikut berbagi di Kenduri Cinta. Cak Nun adalah sahabat dari kakeknya Anies Baswedan, Bapak A.R. Baswedan. Ikatan silaturahmi antara Anies Baswedan dan Cak Nun telah terjalin lama. Bagi Cak Nun, sowan-nya Anies bukan hal istimewa, layaknya anak muda yang datang kepada orang yang lebih tua.

“Hidup itu tidak berlangsung seperti apa yang kita rencanakan, tidak taat dengan cara berpikirnya manusia. Manusia lah yang harus mencari bagaimana cara Allah dalam menjalankan hidup ini,” tutur Cak Nun menyapa jamaah. Cak Nun mengajak untuk memerdekakan diri saat mempelajari Alquran. Tidak membatasi diri hanya pada kaidah dan tinjauan akademis. Hal itu karena hidayah dan ilmu Allah sangat lah luas, jauh melebihi dari yang kita harapkan. “Tata kelola nilai atau tata kelola kesadaran Allah tidak seperti di sekolah atau di kampus tempat Anda belajar,” tambah Cak Nun.

Duduk bersila di samping Anies Baswedan, Cak Nun menjelaskan tentang konsep sinau bareng di Kenduri Cinta. “Andaikan di tengah diskusi Mas Anies datang ke Kenduri Cinta, juga tidak apa-apa,” ucap Cak Nun sambil menyampaikan kepada Anies Baswedan bahwa forum Kenduri Cinta yang egaliter, dimana siapa saja boleh datang dan kapan saja boleh pulang. Tak ada sekat antara laki-laki dan perempuan, sebab mereka hadir bukan sebagai laki-laki atau perempuan, namun sebagai manusia.

“Manusia yang harus mencari tahu bagaimana cara Allah dalam menjalankan hidup.”
Emha Ainun Nadjib, Kenduri Cinta (Agustus, 2019)

“ALQURAN tidak hanya tekstual. Alquran itu satu bangunan, satu desain, satu racikan, satu ramuan yang tidak akan pernah habis kita teliti,” lanjut Cak Nun mengajak kita untuk menjelajah hutan belantara ilmu yang tak ada batasnya. Seringkali Allah mengajak kita untuk tidak hanya melompat dari satu ayat ke ayat lain, juga dari surat yang jaraknya jauh dari ayat yang sedang kita pelajari, namun memiliki pemahaman sama dan sesuai dengan yang kita perlukan.

Terkait tema, Cak Nun menjelaskan, tema malam itu adalah tema yang berkelanjutan yang diagendakan untuk dibahas di seluruh simpul Maiyah, terutama di lima simpul induk (Padhangmbulan, Mocopat Syafaat, Gambang Syafaat, Kenduri Cinta dan Bangbang Wetan). Secara khusus, Cak Nun memberi panduan berupa Tajuk yang dirilis di caknun.com dalam 4 seri, pada 15-17 Agustus 2019.

“Saya itu sangat senang, karena dalam beberapa bulan terakhir saya sudah mendapat gelar yang menurut saya paling cocok untuk saya, yaitu Mbah,” ucap Cak Nun mulai mbeber kloso dengan mengudar pantikan yang ringan. Cak Nun seringkali mengatakan bahwa ia tidak nyaman disebut kyai, haji, atau ulama. Meski banyak kalangan menyebut Cak Nun sebagai seorang budayawan, di sisi lain Cak Nun juga memiliki karya sastra yang tidak sedikit, sehingga layak juga jika ia disebut sebagai seorang sastrawan. Namun dari semua sebutan itu, Cak Nun mengatakan bahwa “Mbah” adalah sebutan yang membuatnya paling nyaman. Dengan gelar “Mbah” itu, Cak Nun merasa makin dekat dengan masyarakat. Saat di bandara, di rumah makan, dan di berbagai tempat, “Mbah Nun” telah menjadi sapaan akrabnya.

“Kita ini sedang menata diri, jangan sampai kita tidak mengenal diri kita,” Cak Nun melanjutkan. Melalui tema Kenduri Cinta ini, Cak Nun ingin agar jamaah lebih siap menghadapi dinamika kehidupan dalam lima tahun mendatang. Sebab akan banyak hal tidak terduga yang akan terjadi. Cak Nun seringkali menggambarkan bahwa hidup tidak selalu sesuai dengan apa yang kita rencanakan. Kesiapan mental akan perubahan-perubahan itu lah yang mesti terus disiapkan.

“Anda juga jangan sampai salah memandang diri anda sendiri. Jika anda adalah rumput, jangan bercita-cita menjadi pohon kelapa,” tambah Cak Nun melanjutkan. Melakukan tadabbur surat Al Hujurat ayat 13, Cak Nun sampaikan bahwa yang dimaksud dengan syu’uban wa qobaila bukan sekadar bersuku-suku dan berbangsa-bangsa, lebih dari itu, yaitu bahwa setiap manusia diciptakan unik dan otentik, tidak ada satu pun manusia di dunia ini yang diciptakan sama. Meskipun ada manusia dilahirkan kembar, tetap saja berbeda, karena masing-masing diri memiliki otentisitas yang tidak mungkin disamai oleh manusia lainnya.

Cuaca peradaban manusia hari ini dipenuhi dengan ambisi untuk menjadi kaya, terkenal dan berkuasa. Surat Al Hujurat 13 menerangkan tentang keniscayaan manusia yang diciptakan berbangsa-bangsa dan bersuku-suku, serta kewajiban untuk saling mengenal diantara mereka. Kata lita’arofu tertera disana, yang kini justru dipersempit maknanya menjadi proses perjodohan antara laki-laki dan perempuan.

“Sekarang saya tahu, gelar saya adalah mbah,” ucap Cak Nun sembari menyampaikan bahwa dengan sapaan “mbah” maka urusannya di maiyahan ini adalah kasih sayang dan kegembiraan. Sembari menyapa Anies, Cak Nun menggambarkan betapa egaliternya forum maiyahan Kenduri Cinta. Jika pada dunia akademik, ahli ekonomi tidak akan dipercaya untuk berbicara tentang hukum, orang yang sekolah di fakultas ushuluddin tidak akan dipercaya untuk berbicara ekonomi, tetapi di Kenduri Cinta, semua orang dilatih untuk percaya diri dan berdaulat untuk menyampaikan apa saja, dilatih bertanggungjawab atas apa yang ia sampaikan.

“Maiyahan adalah upaya kita agar bersama-sama menjadi Al Mutahabbiina Fillah.”
Emha Ainun Nadjib, Kenduri Cinta (Agustus, 2019)

KONSEP PENATAAN panggung Kenduri Cinta juga turut menyesuaikan konsep egaliter itu. Panggung didesain agar tidak terlalu tinggi. Hal itu untuk tidak memberi jarak antara audiens dengan narasumber yang duduk di panggung. Dengan konsep itu, siapapun yang berbicara di forum bukan hanya mempersiapkan mentalnya tetapi juga menjaga diri untuk tidak sembarangan berbicara. Sebab yang dihadapinya adalah masyarakat heterogen, datang dari berbagai usia dan kalangan.

Kenduri Cinta tidak dibangun dengan landasan intelektualitas, namun dengan kesucian cinta dan kasih sayang. Layaknya ibu, dimana sosoknya menjadi seseorang yang harus kita sanjung serta taati. Bukan kepandaian, kecerdasan serta expertise lainnya yang membuat sosok ibu harus kita hormati, namun curahan ketulusan cinta dan kasih sayangnya yang membuat kewajiban taat kepadanya.

Itulah yang dibangun bersama di Maiyah. Cinta menjadi landasan, pijakan, pondasi, ikatan kebersamaan. Akibatnya, kita tidak perlu lagi mempertanyakan latar belakang narasumber yang berbicara, sepanjang yang disampaikan adalah kebenaran yang diolah dengan kebaikan dan keindahan, maka kegembiraan lah yang akan dirasakan bersama.

Tak lelah, Cak Nun terus mengingatkan agar kita jangan mengandalkan kepandaian, kekuasaan, serta kekayaan. Andalkan cinta dan kasih sayang untuk hidup bebrayan dan srawung satu sama lain. Maiyahan adalah upaya kita agar bersama-sama menjadi Al Mutahabbiina Fillah.

Cak Nun lantas bercerita mengapa ia memanggil Anies Baswedan dengan sapaan “Nis”. Bukan hanya Cak Nun lebih tua, tetapi karena Cak Nun dekat dengan kakeknya. Saat beliau tinggal di Kadipaten, Yogyakarta. Bisa dikatakan, Cak Nun adalah sahabat dari Bapak AR Baswedan karena hubungan mereka yang begitu dekat, meski usia terpaut jauh. Pak AR Baswedan yang juga aktif menulis, saat itu melihat Cak Nun sebagai anak muda yang potensial. Pergaulan penulis-penulis di Yogyakarta tentu tidak luput dari perhatian beliau. Cak Nun yang pada tahun-tahun itu sedang tumbuh bersama komunitas Persada Studi Klub menarik perhatian Pak AR Baswedan. Dari situlah kedekatan Cak Nun dan Pak AR Baswedan bermula.

Maka, Cak Nun bagi Anies Baswedan bukan sosok asing. Cak Nun juga dekat dengan paman dari Anies Baswedan, Samhari Baswedan. Beliau lah yang pertama kali memberi kesempatan kepada Ebiet G. Ade untuk pentas di Sanggar Salahuddin UGM. Cak Nun yang menemani Ebiet pentas saat itu. “Dadi, kowe nyeluk aku Mbah iku pas. Aku wis tuwo tenan,” ungkap Cak Nun sambil menepuk lutut Anies yang duduk disampingnya.

“Di sini (Kenduri Cinta) tidak ada laki-laki dan wanita. Di sini hanya ada kegembiraan bersama-sama Allah dan Rasulullah SAW,” Cak Nun menjelaskan bahwa di Kenduri Cinta kita semua datang sebagai manusia, bukan sebagai laki-laki atau perempuan, apalagi sebagai pejabat, orang kaya, artis dan sebagainya. Cak Nun kemudian mengelaborasi istilah insan-abdullah-khalifatullah.

Cak Nun lantas mengajak jamaah untuk sholawat bersama. Sholawat Alfa Salam lalu dilantunkan. Setelah ber-sholawat, Cak Nun meminta Mbak Via untuk bergabung di forum. Mbak Via menyapa jamaah lalu membawakan sebuah lagu Letto berjudul Sebelum Cahaya dengan iringan petikan gitar akustik oleh Krist, disambung dengan Kemesraan karya Alm. Franky Sahilatua. Anies Baswedan tak luput diajak bernyanyi bersama. Hari makin malam, namun makin hangat.

“Selama 19 tahun, Kenduri Cinta telah membuktikan mampu merawat persatuan di Jakarta. Bhinneka itu bawaan, tetapi bersatu merupakan hasil perjuangan dan ikhtiar.”
Anies Baswedan, Kenduri Cinta (Agustus, 2019)

Taqwa dan Waspada

Menjelang tengah malam, Cak Nun lantas mempersilakan Anies Baswedan untuk menyapa jamaah dan berbagi. “Malam ini saya betul-betul bersyukur bisa bersama-sama di Kenduri Cinta, di TIM. Ditakdirkan malam ini saya ngobrol dengan Cak Nun, kemudian diajak ke Kenduri Cinta. Beliau ini memang Mbah Nun buat saya, karena dulu temannya simbah saya di Jogja. Jadi, rasanya aneh kalau Cak Nun manggil saya dengan sapaan ‘Mas’ apalagi ‘Pak’. Dipanggil ‘Pak’ oleh Cak Nun itu bukan naik pangkat saya, malah turun. Padahal kalau dipanggil ‘Nies’ saja, maka saya masih dianggap Anies yang dulu oleh Cak Nun,” ucap Anies mengawali.

“Terima kasih Cak Nun, saya baru bertugas di Jakarta 1,5 tahun, tetapi Cak Nun sudah 19 tahun merawat Kenduri Cinta yang menjadi salah satu simpul persatuan. Di sini siapa saja bisa datang kapan saja, bisa pulang kapan saja, datang dan pergi, berinteraksi lintas semuanya. Seperti kata Cak Nun tadi, disini tidak ada gender, kita semua manusia setara. Rumahnya, boleh besar, boleh kecil, tetapi di acara KC ini duduknya setara,” kata Anies kagum.

“Kenduri Cinta telah menjadi simpul persatuan, karena kalau bhinneka itu bawaan lahir kita. Tetapi bersatu merupakan hasil perjuangan dan ikhtiar bersama. Dan selama 19 tahun Kenduri Cinta telah membuktikan mampu merawat persatuan di Jakarta,” Anies menambahkan.

Anies Baswedan menjabat sebagai Gubernur Jakarta. Malam itu, melalui forum, ia menjelaskan berbagai kebijakan pemerintah DKI, dasar dan berbagai hal yang melatarbelakanginya. Banyak persoalan ia temui, namun ia bersyukur dapat menyelesaikan melalui solusi yang tidak terbayangkan sebelumnya. “Seperti ada tangan-tangan Allah yang membantu,” kata Anies.

Cak Nun lantas menyambung paparan Anies. Dijelaskannya, asalkan kita bersungguh-sungguh dalam mengatasi keadaan, maka Allah akan menolong kita. Ayatnya jelas: inna ma’a-l-usri yusroo. Bahwa solusi dari setiap persoalan sudah disediakan bersamaan dengan masalah itu sendiri. Tinggal bagaimana kita bersungguh-sungguh dalam menjalani hidup ini atau tidak. Allah tidak pernah menunda-nunda jalan keluar dari setiap persoalan, dalam ayat tersebut bukan ba’da melainkan ma’a.

Cak Nun lantas melakukan tadabbur Surat At Talaq ayat 2-3: wa man yattaqillaha yaj’al lahu makhrojaa, wa yarzuqhu min haistu laa yahtasibu, waman yatawakkal ‘alallahi fahuwa hasbuhu, innallaha baalighu amrihi, qod ja’alallahu likulli syai’in qodroon. Dimana ketakwaan manusia kepada Allah akan mengalami buy one get two, dengan bertakwa kepada Allah, maka Allah akan memberi kita jalan keluar dari berbagai persoalan, sekaligus akan diberi rizqi dari jalan yang tidak disangka-sangka.

Maiyah memahami taqwa sebagai suatu kewaspadaan kepada Allah, selalu nempel dengan Allah dalam setiap keadaan. Waspada maksudnya adalah waspada terhadap segala ketetapan Allah, sehingga sigap untuk siap menjalani ketetapan-Nya. Karena tidak semua persoalan mampu kita selesaikan. Ada yang kita selesaikan sendiri, ada yang kita selesaikan bersama-sama dan saling bersinergi. Fahuwa hasbuhu, dan Allah ikut menghitung persoalan dan masalah yang kita hadapi, Allah mengetahui dan memahami bahwa setiap masalah yang kita hadapi itu sesuai dengan kekuatan dan kemampuan yang kita miliki.

Cak Nun lantas memberi ruang kepada jamaah untuk merespon diskusi, bertanya atau menyampaikan apa saja kepada Anies tentang berbagai problematika yang mereka hadapi sebagai warga Jakarta. Kenduri Cinta melatih narasumber bertanggungjawab, membangun kemesraan dan kegembiraan, sehingga yang tumbuh adalah saling mengamankan satu sama lain.

“Ilmu milik Allah, kebenaran bukan milik kita melainkan milik Allah. Manusia pada hakikatnya tidak memiliki ilmu sejati untuk saling menyalahkan.”
Emha Ainun Nadjib, Kenduri Cinta (Agustus, 2019)

KENDURI CINTA malam itu menjadi forum yang mempertemukan rakyat dengan pemimpinnya. Sebagai pejabat publik, Anies Baswedan mendengar langsung apa yang dikeluhkan warganya. Malam itu berbagai persoalan diangkat, keluhan seperti minimnya lokasi berdagang di Jakarta langsung ditanggapi oleh Anies Baswedan. Ia mengakui, bahwa para pedagang sedang diatur, baik itu lokasinya juga aturan mainnya. Pemerintah ingin mewujudkan ketertiban. Namun Anies sangat memahami bahwa sektor perdagangan mikro dan ultra mikro adalah sektor yang berperan besar memutar roda bisnis ekonomi makro.

Ia mencontohkan, para pekerja kantoran di Jakarta membeli makanan yang dijual oleh para pedagang yang menjajakannya di trotoar dan di sudut-sudut jalan. Anies sepakat bahwa pedagang kecil adalah penggerak ekonomi Jakarta. Anies mencontohkan saat ia memutuskan sepeda motor yang kembali diperbolehkan melintas jalur Sudirman-Thamrin. Pertimbangan utamanya adalah jumlah pemesanan makanan melalui ojek online yang cukup tinggi di area tersebut. Setelah sebelumnya menurun akibat aturan larangan melintas, kini angka pemesanan makanan melaui ojek online meningkat, secara tidak langsung tentu berdampak pada tingginya perputaran uang bagi masyarakat.

Kepada jamaah yang meminta masukan agar bisa tenang hidup di Jakarta, Anies memberi saran agar tetap menjadi diri sendiri, menjaga otentisitas diri masing-masing. Di Jakarta, banyak dipenuhi warga pendatang, maka harus pandai-pandai memilih pergaulan agar tidak salah berteman. Karena otentisitas diri kita adalah kekuatan kita.

“Anda kalau cebok pakai tangan kanan atau kiri?” tanya Cak Nun menyambung Anies dengan melempar pertanyaan kepada jamaah. Pertanyaan itu dimaksudkan agar jamaah memahami bahwa sebuah pekerjaan harus dikerjakan oleh tangan yang tepat. Begitu juga dengan cara berpikir, ada otak kanan dan ada otak kiri, masing-masing fungsinya berbeda. Begitu juga ketika menghadapi persoalan, Cak Nun mengingatkan agar kita mampu untuk tepat meletakkannya, sehingga penanganannya juga tepat, agar kita tidak stres.

Kembali Cak Nun menekankan bahwa tema ini bertujuan agar masing-masing dari kita mampu mengenali diri kita. Jika diibaratkan binatang, seekor harimau jangan bercita-cita terbang seperti burung. Seekor ikan jangan bercita-cita bisa berlari kencang seperti harimau. Di Maiyah kita berusaha menemukan diri kita yang sebenarnya, yang sesuai dengan kehendak Allah. Maka merdekakan diri kita untuk menjadi diri kita sendiri, bukan menjadi orang lain.

“Nomer satu di Maiyah ini harus gembira, syukur bisa bahagia,” Cak Nun melanjutkan. Acara sinau bareng Maiyahan semakin hari semakin bertambah jumlah yang hadir. Bukan dirinya yang menjadi daya tarik orang datang ke maiyahan. Banyak jamaah yang “ngalap berkah” dari Cak Nun. Ada yang minta diusap kepalanya, ada yang minta didoakan, ada yang minta ditiup botol airnya dan sebagainya. Cak Nun katakan bahwa ia tidak memiliki daya dan upaya apa-apa untuk mengumpulkan massa sebanyak itu, pun tidak sekalipun ia sanggup mengobati penyakit. Jika kemudian melalui air yang ditiup botolnya ada orang yang sakit menjadi sembuh, semata-mata itu adalah karunia dan kehendak Allah.

“Ilmu milik Allah, kebenaran bukan milik kita, melainkan milik Allah,” Cak Nun menegaskan. Cak Nun mengingatkan agar jangan sampai memiliki perasaan paling benar dari orang lain. Kebenaran yang kita miliki hanyalah sedikit cipratan dari Allah kepada kita, maka kita tidak punya hak untuk sombong atas ilmu yang kita miliki.

Allahu Akbar adalah kesadaran yang terus-menerus. Meningkat, memuai, meninggi, mendalam terhadap Allah.”
Emha Ainun Nadjib, Kenduri Cinta (Agustus, 2019)

FIRMAN YANG TAK DIFIRMANKAN

Saat menghadiri maiyahan sebenarnya kita lebih banyak mendengar informasi-informasi yang telah kita ketahui sebelumnya, namun dengan konteks yang berbeda dari sebelumnya. Informasi-informasi itu lantas menjadi sebuah ilmu baru. Maka, Cak Nun seringkali mengingatkan kita untuk terus melatih kepekaan diri agar mampu membaca ayat-ayat yang tidak difirmankan Allah dalam Alquran.

Ada bagian yang memang harus diinformasikan kepada manusia melalui Rasulullah SAW, agar manusia mendapatkan proporsi pemahaman yang tepat. Ada juga informasi yang Allah berikan langsung kepada manusia. Maka kita memahami gradasi antara wahyu, karomah, ilham dan sebagainya. Jika menggunakan istilah komputer, data yang dikirim oleh Allah akan bergantung pada software yang ada dalam diri kita. Semakin terkini software, semakin mudah kita mengakses data itu. Tugas manusia adalah mengasah kemampuan software dalam diri mereka sehingga memiliki kepekaan dalam membaca ayat-ayat Allah.

Kisah Nabi Musa AS yang membelah laut misalnya, merupakan sebuah amsal untuk menjelaskan tentang ayat-ayat yang tidak difirmankan. Allah memerintahkan Nabi Musa AS membelah lautan dengan tongkatnya. Sementara, informasi lain yang tidak banyak diketahui adalah ada perintah Allah kepada air laut agar terbelah pada saat disentuh oleh tongkat Nabi Musa AS.

Begitu pun Maiyah. Maiyah bukan ciptaan Cak Nun. Maiyah ada karena Allah mencintai kita dan kita mencintai Allah, maka Allah menganugerahkan Maiyah. Namun kita juga harus proporsional, tetap memiliki batas dan takaran. Empan papan.

Menjelang pukul satu dinihari, Anies Baswedan berpamitan. Beberapa lagu lantas dimainkan Krist dan Dik Doank untuk mengantarnya meninggalkan area Taman Ismail Marzuki.

Setelah jeda musik, pada sesi selanjutnya, Dik Doank yang juga seorang praktisi pendidikan, berbagi tentang pendidikan anak. Menurutnya, sekolah justru dapat menjadi hambatan bagi anak untuk tumbuh dan berkembang, jika tidak dilakukan secara tepat. Dik Doank berpendapat, anak-anak usia 1 hingga 7 tahun adalah usia bermain. Ketika mereka dipaksa sekolah, lalu diajarkan Calistung (membaca, menulis dan berhitung), mereka pun jenuh dan bosan. Anak-anak justru gembira ketika tiba saat pulang sekolah. Artinya, waktu bermain mereka akan tiba.

Hal lain yang dipesankan Dik yaitu intensitas pemakaian gadget yang kerap justru menjadi kendala dalam proses mendidik anak. Orang tua yang sibuk dengan gadget ketika menemani anak-anaknya, tentu tidak baik dalam proses tumbuh kembang anak. Dik Doank mengajak agar lebih mengutamakan hati dalam mendidik dan membimbing anak-anak. Karena sejatinya peran orang tua adalah menemani proses anak-anak untuk menemukan siapa dirinya.

“Orang Maiyah harus lebih luas dari samudera, lebih luas dari alam semesta, hati dan cintanya, bahkan pikirannya juga bisa seluas itu, meskipun tidak sampai pada tak terhingga. Kalau hatimu tak terhingga, maka pikiranmu tak terbatas,” Cak Nun menyambung paparan Dik Doank.

Cak Nun mengajak untuk menyelami kata akbar. Pada kata akbar terdapat huruf alif, kaf, ba’ dan ro’. Masing-masing huruf menempatkan diri sehingga tersusun sebuah kata yang tepat. Hidup itu ada banyak metodologinya, cara pandangnya, abshor-nya menurut Allah. Tidak terikat pada satu cara pandang saja. Pandangan satu orang tentang suatu persoalan belum tentu salah, namun kita tidak boleh menutup mata terhadap pandangan yang berbeda. Posisi manusia adalah ber-ijtihad. “Jangan sibuk menyalahkan, tapi sibuk lah mencari kebenaran di alif, maupun kaf, maupun ba’, maupun ro’,” Cak Nun berpesan.

“Orang Maiyah harus lebih luas dari samudera, lebih luas dari alam semesta, hati dan cintanya. Kalau hatimu tak terhingga, maka pikiranmu terbatas.”
Emha Ainun Nadjib, Kenduri Cinta (Agustus, 2019)

MAWADDAH DAN WARAHMAH UNTUK SAKINAH

Malam itu Cak Nun mengajak menelusur, mendalami makna kata akbar. Allahu Akbar, mengapa bukan Allahu Kabiir? Pada asmaul husna tidak ada kata akbar, yang ada adalah kabiir. Allah menanamkan kesadaran Akbar dalam diri manusia, karena Allah itu tan keno kiniro, tan kinoyo ngopo, tan kinoyo sopo, tan kinoyo opo. Allah tidak bisa dikonsepkan, dipersepsikan, dibayangkan, disimulasikan. Imajinasi manusia tentang Allah akan selalu salah, itu lah keniscayaan. Allah tidak meminta pencapaian itu, melainkan kesungguhan ikhtiar manusia dalam berjuang mencari kesejatian-Nya.

Allahu Akbar adalah kesadaran yang terus-menerus. Meningkat, memuai, meninggi, mendalam terhadap Allah. Allah yang selalu Maha Lebih Besar pada pandangan dan pengalaman manusia,” lanjut Cak Nun. Cak Nun mengajak jamaah untuk lebih memperluas hati dan pikiran, bahwa proses pencarian ilmu setiap manusia berbeda. Maka, tidak perlu menyalahkan pendapat yang berbeda, karena kebenaran manusia satu dengan yang lain tidak bisa dipaksakan seragam.

“Jika Anda mampu seperti itu, maka satu-satunya yang akan kita alami adalah tauhid diantara kita dan tauhid kepada Allah Swt. Kita tidak akan bertengkar, kita tidak me-mereka-kan, kita tidak men-dia-kan. Kita semua adalah aku, kita semua adalah kami, kita semua adalah kita,” lanjut Cak Nun.

“Karena manusia pada hakikatnya tidak memiliki ilmu sejati untuk saling menyalahkan,” Cak Nun menjelaskan bahwa pencapaian dan pendekatan yang dilakukan setiap manusia mungkin belum tentu benar, tetapi juga tidak berhak untuk kita persalahkan. Alangkah baik jika sikap yang kita ambil adalah saling mendoakan, agar kebenaran yang ditemukan oleh masing-masing pihak diterima Allah Swt. Sebab, kemana pun kita berpaling, tidak akan mampu mencapai kesejatian Allah Swt.

Cak Nun kemudian melanjutkan dengan mengulas tiga kata yang seringkali disebut dalam peristiwa pernikahan, yaitu: sakinah, mawaddah dan rohmah. “Rahmah itu dari Allah, mawaddah dari Allah, tetapi sakinah itu ikhtiar manusia,” tutur Cak Nun.

Cak Nun menganjurkan agar penyusunan doa kalimat diubah menjadi: mudah-mudahan dengan bekal rahmah dan mawaddah dari Allah kedua mempelai bisa sakinah. Mawaddah dan rahmah sudah pasti didapat dari Allah. Rahmah dari Allah untuk kedua mempelai adalah saling berkenalan dan dipertemukan, karena mawaddah dari Allah keduanya menikah. Sakinah adalah titik atau posisi yang akan diupayakan oleh kedua mempelai, dengan bekal rahmah dan mawaddah itu.

Maka, ayat tentang sakinah dalam Alquran, jika ditujukan untuk manusia, Allah menggunakan kata sambung “ilaa”; litaskunuu ilaiha. Maka, sakinah adalah sesuatu yang selalu diusahakan, sifatnya sangat dinamis. Ada perbedaan antara fii dengan ilaa. Jika fii, maka bersifat statis, tetap. Jika ilaa bersifat dinamis, terus berproses. Kita hari ini berbeda dengan kita esok hari.

Cak Nun mengingatkan agar tidak memiliki rasa telah mencapai sakinah. Berapapun lama menikah, hindari kesombongan bahwa kita telah sakinah. Pencapaian sakinah adalah perjuangan yang terus-menerus, tidak berhenti. Pada proses menuju sakinah, tentu tidak selalu berjalan tanpa rintangan, ada pertengkaran, gesekan, keributan.

Betapa dinamisnya kehidupan, tetapi manusia cemburu kepada hal yang tidak patut dicemburui. Komposisi air misalnya; 2 hidrogen dan 1 oksigen. Apa dengan konsep demokrasi lantas oksigen menuntut menjadi 2? Maka, oksigen tidak boleh cemburu kepada hidrogen, oksigen tidak boleh memaksakan kehendaknya, sebab akan merusak formula yang ada, yang tentunya akan mengakibatkan ketidakseimbangan.

Rahmah itu dari Allah, mawaddah dari Allah, tetapi sakinah itu ikhtiar manusia. Pencapaian sakinah adalah perjuangan yang terus-menerus, tidak berhenti.”
Emha Ainun Nadjib, Kenduri Cinta (Agustus, 2019)

TADABBUR; MEMPERMUDAH TIDAK MEMPERSULIT

Merespon paparan Dik Doank, Cak Nun sampaikan bahwa pendidikan hari ini adalah bentuk penyeragaman, dimana semua anak dibentuk sama. Padahal, potensi setiap anak berbeda. Rumput tidak bisa dipaksa menjadi kelapa, ular tidak bisa dipaksa menjadi harimau. Begitu juga pemahaman rumput, tidak sama dengan pemahaman kelapa. Kebenaran ular berbeda dengan kebenaran harimau.

“Ketidakwaspadaan akan membuat manusia lalai di dunia. Karena itu kunci utama dalam beragama adalah waspada,” Habib Anis menyambung apa yang disampaikan Cak Nun. Satu amsal, kisah Nabi Adam AS dan Siti Hawa, ketika Nabi Adam AS memakan buah terlarang, menurut Habib Anis kesalahannya adalah karena Nabi Adam AS tidak waspada terhadap apa yang sudah ditetapkan Allah. Allah hanya memerintahkan agar beliau tidak mendekati satu pohon yang terlarang itu.

Menurut Habib Anis, ketidakwaspadaan juga dapat membahayakan kehidupan sehari-hari. Ketidakwaspadaan membuat kita tidak siap dengan perubahan peradaban yang dapat terjadi secara tiba-tiba. Menurut Habib Anis, persoalan manusia hari ini adalah berubahnya fungsi identitas, dari yang sebelumnya penanda menjadi pembeda. Identitas seseorang mustinya hanyalah tanda, tetapi kini identitas itu menjadi pembeda dari manusia lainnya.

Habib Anis juga sampaikan, hakikatnya manusia tak memerlukan informasi, sebab informasi yang dibutuhkannya sudah ada dalam dirinya sendiri. Manusia musti berjuang menemukan siapa dirinya. Cak Nun sering mengatakan agar kita mampu mengaktivasi sel-sel yang ada dalam tubuh kita, menurut Habib Anis, hal itu adalah upaya kita untuk mengaktivasi informasi yang tersimpan dalam diri kita. Maiyahan merupakan salah satu ikhtiar kita untuk mengaktivasi informasi-informasi yang masih tersembunyi di dalam diri kita.

“Allah memerintahkan agar sesama manusia selalu berusaha untuk saling memudahkan bukan mempersulit, sehingga saya selalu memohon kepada Allah agar setiap apa yang saya ungkapkan, diizinkan oleh Allah memudahkan anda,” Cak Nun melanjutkan.

Ditambahkan Cak Nun bahwa tidak ada satupun manusia yang mampu memberikan jawaban yang paling benar dan sejati. Jadi, apapun penjelasan yang disampaikan Cak Nun harus selalu dilandasi dengan pijakan bahwa apa yang disampaikannya bukan kebenaran mutlak, melainkan hanya sebatas iktikad dan ikhtiar untuk mencapai kebenaran yang sejati. Al Haqqu min robbika, kebenaran itu dari Allah. Kita hanya mampu mencapai sejengkal jarak dari kebenaran sejati.

Cak Nun mengajak jamaah untuk kembali kepada yang sejati yaitu Alquran, bahwa yang dianjurkan oleh Allah adalah melakukan tadabbur Alquran, bukan menafsir Alquran. Dengan konsep tadabbur, maka manusia memiliki kesadaran bahwa kebenaran yang ditemukannya bersifat relatif. “Jadi tidak masalah jika kebenaran kita berbeda-beda, mudah-mudahan semua diterima Allah karena kita berangkat dari keterbatasan masing-masing,” Cak Nun menambahkan.

Karena yang dinilai oleh Allah adalah niat tulus kita untuk mencari kebenaran, maka tadabbur akan berdampak pada proses setelahnya, apakah akan menjadikan kita pribadi yang lebih baik atau tidak.

Apakah semua manusia diwajibkan untuk menghafal dan memahami Alquran secara keseluruhan? Tentu saja tidak. Bisa saja, sebagian kita hanya mampu mendengar Alquran, namun itu sudah memenuhi syarat cukup untuk diterima Allah. Bisa juga, hanya karena kita sesekali membaca Alquran, pada setiap kita membaca Alquran, Allah memberi jawaban atas persoalan yang kita hadapi.

“Allah memerintahkan agar sesama manusia selalu berusaha untuk saling memudahkan bukan mempersulit.”
Emha Ainun Nadjib, Kenduri Cinta (Agustus, 2019)

“KALAU ANDA mampu menikmati kebenaran Allah, maka hidup akan nikmat,” Cak Nun menjelaskan bahwa Allah memiliki logika yang sangat luas tak berbatas, yang sangat jauh dengan logika manusia. Semua yang disampaikan Allah adalah kebenaran, apapun itu, yang datangnya dari Allah adalah kebenaran. “Jadi belajar lah menikmati kebenaran Allah yang engkau sendiri tidak tahu persis yang sejati,” lanjut Cak Nun.

“Maka ada dua jalan, gunakan ilmu untuk sesuatu yang sudah kita ketahui jalannya dan iman untuk sesuatu yang belum kita ketahui,” Cak Nun menambahkan. Tidak mungkin mengenal Allah dengan menggunakan ilmu karena ilmu tidak akan mampu menjelaskan apapun. Gunakan iman untuk mengenal Allah.

Cak Nun membahas tentang sedekah. Kata sedekah terdiri dari kata yang tersusun dari huruf shod, dal, qof. Kita mengenal gelar khalifah Abu Bakar adalah Ash-Shiddiq. Cak Nun memiliki pandangan tentang sedekah, dimana sedekah adalah keseimbangan. Orang yang bersedekah akan menyeimbangkan tatanan kehidupannya. Dengan menyisihkan sebagian harta untuk diberikan kepada orang yang membutuhkan, maka secara tidak langsung ia menyeimbangkan kehidupan.

Semua orang memiliki potensi untuk menjadi manusia nilai, manusia pasar atau manusia istana. Potensi itu selalu ada pada diri masing-masing manusia, tinggal kadarnya yang berbeda. Ada kadar manusia nilainya paling tinggi, ada yang kadar manusia pasarnya yang paling menonjol, ada juga yang kadar manusia istananya yang paling nampak. Setiap orang tentu berbeda. Maiyah adalah laboratorium dalam mencari jati diri sesuai dengan yang Allah kehendaki.

Cak Nun menjelaskan, ada jenis manusia nilai yang memang dikunci oleh Allah agar tidak beranjak dari tataran nilai, tidak boleh turun ke pasar apalagi ke istana. Namun, ada juga yang oleh Allah diberi izin bahkan diperintah untuk memasuki pasar atau istana. Begitu pun sebaliknya. Cak Nun menegaskan, di Maiyah tidak ada larangan untuk menjadi pejabat atau pengusaha. Cak Nun bahagia apabila ada anak-anak Maiyah yang mampu menjadi konglomerat atau pejabat pemerintah, namun tetap berpijak pada nilai-nilai yang benar, seperti prinsip sedekah yang dijelaskan sebelumnya.

Lewat pukul tiga dinihari, Kenduri Cinta dipuncaki dengan berdoa bersama, kemudian jamaah berkesempatan untuk bersalaman dengan Cak Nun dan juga narasumber lainnya. Kegembiraan Kenduri Cinta kali ini harus dipungkasi, kita semua membawa kegembiraan dan kerinduan yang akan kita tuntaskan kembali pada Kenduri Cinta bulan depan.