Maiyahan Bakul Bakso Guyub, Wonogiri

LAPANGAN Tambangmerang Girimarto Wonogiri, 22 Oktober 2014. Masyarakat memadati lapangan yang berada kawasan dataran tinggi Wonogiri dengan angin yang berhembus cukup menggoyangkan umbul-umbul yang mengelilingi lapangan. Kiai Kanjeng membuka acara dengan tiga nomor lagu, sebelum Cak Nun naik ke panggung ditemani sejumlah pengurus BBG Family.

BBG (Bakul Bakso Guyub) Family adalah paguyuban pedagang bakso asli Girimarto Wonogiri yang ada di Yogyakarta dan telah berdiri sejak 2 tahun lalu. Ada sekitar 40 anggota paguyuban ini, mulai dari yang kelasnya punya 1 outlet hingga 15 outlet. Di antaranya adalah Bakso Narto, Bakso Tito, Pak Kumis, Bakso Mandala, Bakso Mandiri, dan Bakso Jaka. Ketua BBG adalah Mas Turis pemilik Bakso Narto. Mereka lah yang mengundang Cak Nun dan Kiai Kanjeng malam ini. Mereka juga telah lama mengikuti maiyahan, dan saat ini mereka ingin berbagi untuk masyarakat melalui acara malam ini sekaligus mereka ingin ngangsu kawruh kepada Cak Nun terutama bagaimana agar mereka bisa senantiasa menjadi pedagang yang baik dan punya kepedulian kepada sesama.

Dalam rasa yang penuh pengayoman kepada masyarakat, Cak Nun sejak awal mengajak semua yang hadir untuk membenahi sikap hidup yang sejati, melalui pemahaman yg utuh mengenai rukun Islam. Di antaranya salat yang sejatinya merupakan proses seorang pencahayaan bagi setiap pelakunya. Penjelasan ini sebenarnya merupakan respons dari Cak Nun kepada permintaan panitia agar babar soal tauhid, dimana sebelumnya Cak Nun sudah menjelaskan bahwa orang kita, bangsa kita, orang Jawa khususnya, sudah bagus tauhid-nya. Tinggal bagaimana cara agar tauhid tersebut dijalankan dalam kehidupan sehari-hari. “Bagaimana menemukan hubungan antara bakso dengan Allah,” ilustrasi Cak Nun. Maka kepada masyarakat yang hadir malam ini Cak Nun juga berpesan agar kita berlatih memiliki panggraito bahwa di depan kita ada Allah dalam setiap apapun yang kita kerjakan. Salah satunya adalah dengan jalan membiasakan diri menemukan yang sejati di balik hal-hal wadag yang kita punya.

Kalau kamu maksimal atas kebermanfaatanmu, kamu akan terpaksa sugih, padahal aslinya kamu tidak ingin sugih. Tapi hari ini kebanyakan orang tidak percaya, sehingga konsentrasinya ke uang.
Emha Ainun Nadjib

Masyarakat desa yang biasanya datang berduyun-duyun ke suatu lapangan tempat diadakannya maiyahan, merupakan salah satu jenis audiens khusus bagi Cak Nun dan Kiai Kanjeng. Mereka merupakan wujud riil dari rakyat, dari masyarakat, dari suatu kekuatan grass root. Cak Nun sangat mencintai mereka. Kepada mereka Cak Nun mengharapkan kabulnya doa bagi kesejahteraan hidup mereka. Apalagi mereka adalah orang-orang prigel, ubet, tangguh, dan punya filosofi hidup yang hebat. Kepada mereka, tak henti-hentinya Cak Nun membangun keyakinan akan masa depan yang penuh optimisme. Mereka memperoleh tempat tersendiri di hati Cak Nun.

Ilmu Maiyah adalah ilmu yang unik view-nya dan datang dari arah yg tak terduga oleh kebanyakan orang. Hal-hal sederhana yang tak terbayangkan sebelumnya, tiba menjelma suatu keadaran baru. Ilmu baru. Itulah yang saat ini turun di maiyahan malam ini. Cak Nun menanyakan kepada perwakilan pedagang bakso: Mana yang lebih dulu? Dapat duit atau bermanfaat? Pertanyaan yang sangat tidak terduga. Tapi dari situlah Cak Nun mensimulasi ilmu hidup. Banyak orang cari duit, baru kemudian berpikir manfaat buat orang lain. Banyak orang menjarah duit sebanyak-banyaknya, baru kemudian bikin panti asuhan seolah-olah Tuhan bisa dikibuli dengan cara itu. Lewat pertanyaan sederhana tadi, mereka kemudian menyimpulkan sendiri dan mandiri bahwa yg penting dan didahulukan adalah bermanfaat buat orang lain baru kemudian uang akan datang. “Jadilah pedagang bakso, yang orang merasa bahwa bakso anda adalah bakso yang wajib,” pesan Cak Nun.

Switch dari konsentrasi ke kedalaman ilmu, kini Cak Nun membawa ke suasana kegembiraan. Kereligiusan tidak selalu dicerminkan oleh pembahasan ilmu melulu, tapi juga oleh kebersamaan dalam membangun kegembiraan. Seperti biasa, Cak Nun meminta agar ada di antara jamaah mau maju ke depan dan nyanyi diiringi Kiai Kanjeng. Lagu campursari Sewu Kuto dan dangdut wak Haji Rhoma berjudul Gelandangan mengalun dibawakan oleh Mas Prasetyo, berkolaborasi apik dengan Mas Imam Fatawi Kiai Kanjeng, menjadikan suasana lebih hangat.

Dan dari sisi panggung, terlihat betapa kesetiaan para musisi Kiai Kanjeng “mengabdi” kepada pelayanan dan terbentuknya kemesraan dalam setiap acara yg mereka lakoni. Dan usai dua nomor terakhir ini lantas disempurnakan oleh Cak Nun dengan menjelaskan: Bagaimana kok bisa di pengajian ada lagu dangdut dan campursari?

Setiap hal kecil dalam acara dapat dirasakan oleh sensitivitas ilmu Maiyah. Apakah hal kecil itu baik atau buruk. Tapi akan diolah dan bermuara pada kesadaran ilmu baru. Begitulah yang dilakukan Cak Nun termasuk pada malam ini. Mulai soal bagaimana sebaiknya setiap orang yg hadir dalam acara punya komitmen dan kesetiaan dalam membangun keseluruhan acara dari awal hingga akhir; bahwa Cak Nun bisa mrantasi situasi apapun karena beliau sudah sangat sering mengatasi persoalan-persoalan sosial masyarakat, tapi harus jelas. Kalau memang jadi imam, akan mengimami semuanya dalam bidang apapun, dan harus dipatuhi, tetapi yang sekarang terjadi adalah sang imam ternyata masih diimami oleh imam lain yang tidak tampak; sampai soal ilmu simple: di tengah salat itu boleh kok ngentut, tapi harus wudhu lagi; dan bahwa yang diinginkan Cak Nun adalah agar kita semua mengambil keputusan dengan benar dan mandiri, tidak karena kyai atau tokoh.

JANGAN MENGEJAR UANG

Mas Tarso mengakili teman-teman BBG menyampaikan, “Acara ini terselenggara oleh teman-teman perantau Girimarto yang ada di Yogya. Teman-teman dari Girimarto, alhamdulillah mendapat pencerahan rohani untuk mengadakan pengajian rutin dari teman-teman semua, dari pedagang bakso yang anggotanya di Yogya. Kyai Muzammil juga sering kami datangkan untuk memberikan pencerahan kepada kita. Intinya kami mengadakan ini semua, agar supaya hidup kita lebih punya manfaat, dan bagaimana agar kita menjadi pedagang dan pengusaha yang berjiwa islami.”

Sebelum Kyai Muzammil, Cak Nun merespon Tarso dengan pertanyaan, “Mana yang lebih dahulu, uang dulu baru bermanfaat atau bermanfaat dulu baru dapat uang?“ Tarso menjawab, “Bermanfaat dulu baru dapat uang.” Cak Nun melanjutkan, “Pejabat-pejabat di Jakarta yang terjadi adalah nyolong sebanyak-banyaknya dulu, ketika menjelang pensiun baru bantu panti anak yatim.”

Sebagaimana biasanya Cak Nun selalu melakukan proses dialogis kepada jamaah untuk merekonstruksi cara berpikir. Konsentrasi dalam melakukan apapun yang paling utama adalah dapat memberikan kebermanfaatan kepada siapapun. Dalam berdagang bakso yang menjadi fokus utama bukanlah mencari duit, yang mesti menjadi fokus adalah menyajikan bakso yang sehat, enak, segar sehingga bermanfaat bagi orang lain. “Percayalah kalau hidupmu bermanfaat, uang akan datang kepada kamu.”

Mengenai “tidak perlu mencari duit” yang dimaksud Cak Nun adalah me-manage energi yang kita miliki supaya konsentransi kepada penciptaan manfaat bagi orang lain. “Kalau kamu maksimal atas kebermanfaatanmu, kamu akan terpaksa sugih, padahal aslinya kamu tidak ingin sugih. Tapi hari ini kebanyakan orang tidak percaya, sehingga konsentrasinya ke uang. Kalau kita hidup melakukan sesuatu, terus kemudian membuat orang lain bersyukur ada kita. Maka kekayaan akan datang dengan sendirinya. Jadi marilah hidup berdasarkan perjuangan untuk membuat orang lain bersyukur ada kita. — Maka jadikanlah baksomu itu sebagai ‘bakso wajib’. Wah kalo gak ada bakso itu celaka aku. Jangan sampe jadi malah buat bakso yang orang gak mau makan bakso itu.

“Kalau orang bersyukur itu nggak pernah itung-itungan duit. Kalau pegawai negeri itu nggak wajar minta minta duit. Kan sudah dapat gaji setiap bulannya. Jadi hatinya sebenarnya tidak usah mencari duit.”

Sandal itu baik kalau dipakai di kaki, peci itu baik kalau dipakai di kepala. Semua ada tempatnya, kalau pakai cara Jawa yaitu empan papan.
Emha Ainun Nadjib

Kyai Muzammil menyambung uraian Cak Nun, “Yang disampaikan Cak Nun adalah hakikat. Hidup itu untuk mencari apa. Bagaimana hidup itu bisa bermanfaat. Jadi kalau hidup itu prinsipnya benar. Yang dicari itu benar, insya Allah akan jadi hidup yang berharga. Namun yang terjadi saat ini yang dicari itu adalah ganjaran, upah. Nah itu yang dinamakan mental meminta. Padahal yang bagus itu adalah mental memberi. Kalau orang jual bakso itu niatnya cari uang, nggak bakalan baksonya bagus. Kalau sudah laku, maka nanti akan curang dalam pencampuran baksonya. Yang penting bagaimana bakso ini kelihatan bagus dan laku. Laku lakunya itu hanya dalam waktu tertentu. Jadi kalau dari sekarang, mau bagaimanapun bisa memberi manfaat bagi orang lain. Insya Allah rejeki akan datang dengan sendirinya.

“Apa ada Kanjeng Nabi mengatakan, kamu kerjakanlah salat supaya masuk surga? Yang dimaksud Nabi itu, masuk surga itu atas kemurahan Allah. Nabi itu menyuruh kita salat itu agar kita dapat pencerahan, kalau hari kita cerah, hartinya itu cerah, maka kita akan menjadi orang baik, maka kita akan dapat dunia dan akhirat. Kalau salat kita hanya untuk masuk surga, maka kita akan sombong kalau kita akan masuk surga, maka salatnya tidak akan memberi manfaat. Seharusya tambah salat tambah bermanfaat. Dangdutan itu boleh, asal jangan telanjang. Nge-band itu boleh asal ada manfaatnya.”

Selanjutnya Cak Nun mengajak audiens untuk menyanyikan lagu campursari. Menambahkan uraian sebelumnya, Cak Nun sampaikan, “Apa saja harus ditemukan ilmunya. Harus ditemukan penemunya. Ini tidak menyalahkan siapa-siapa. Hanya mencari hikmah. Kalau niat itu, dari niat rakaat pertama sampai rakaat terakhir. Kalau memang nggak niat mending nggak usah datang. Tapi kalau ada niat jahat. Kita disini sedang bermesraan kan sakit kalau ada yang menghianati.

Cak Nun bertanya ke Kyai Muzammil, “Musik itu hukumnya apa? Halal atau haram?” Kyai Muzammil menjawab, “Musik itu kaya pisau. Pisau tidak punya hukum. Tergantung fungsinya untuk motong bawang, bakso atau leher orang? Jadi musik itu alat. Yang punya hukum adalah orang yang mempergunakan alat.”

Cak Nun melengkapi, “Salat itu baik, tapi menjadi tidak baik kalau tidak pada waktunya. Sandal itu baik kalau dipakai di kaki, peci itu baik kalau dipakai di kepala. Semua ada tempatnya, kalau pakai cara Jawa yaitu empan papan. Mengenai masalah musik halal atau haram, tergantung digunakan untuk apa, kapan, dan tepat apa tidak ruangnya.  Sekarang yang menentukan baik atau tidaknya itu si penciptanya dan pemiliknya. Sekarang siapa yang punya isi dunia ini siapa? Allah kan? Jangan bilang gak boleh atau mengharamkan, karena kalian bukan Allah. Kalau mau mengharamkan, susunlah kalimat dengan bagus. Misalnya: menurut penemuanku, Allah itu tidak memperbolehkan ini dan itu. Jangan bilang ini gak boleh. Kalau MUI menyatakan itu haram, tidak boleh. Allah aja menegur Nabi: jangan kau mengharamkan apa yang Aku halalkan.

“Saya dan Kiai Kanjeng sudah keliling di 3.591 tempat, bukan untuk jadi walikota. Saya tidak patheken. Saya niat tresno dengan hamba-Mu. Kalau saya disuruh masuk neraka, maka saya akan masuk neraka hanya untuk memenuhi cintaku pada Allah. Kalau saya bertemu dengan orang kecil, saya akan hormat dan nyapa. Tapi kalau ketemu dengan presiden, saya gak tidak akan mengerakkan jari saya. Karena aku rakyat, aku yang bekerja, aku yang bayar pajak, karena kamu tenaga kerjaku, kamu yang saya bayar dan kamu yang harus mengabdi kepadaku.”

IMG_20141022_220333-copy

Cak Nun merasa Wonogiri adalah saudara. Karena beliau mempunyai sejarah dan pengalaman yang mendalam di Wonogiri.

“Kalau salawatan itu gak harus dengan lafaz-lafaz salawat. Ingat Nabi itu juga salawat. Allah juga bersalawat untuk Nabi tapi dengan bahasa yang beda dengan kita. Hidup itu harus bisa guyon. Akan rugi kalau tidak bisa guyon. Guyon itu menggambarkan keindahan. Kita sudah hidup melarat, sangat kasihan kalau kita tidak bisa guyon. Namun harus dilakukan pada tempat yang tepat. Jangan ketika ibadah kita guyon. Jangan segala hal langsung dihubungkan dengan keharaman. Kalau kita kentut ketika solat, siapa yang melarang? Kentut itu tidak dilarang ketika solat, namun wudu dan salatnya harus diulang. Kentut itu malah menggambarkan kesehatan. Jadi jangan salah kaprah. Jangan dihubungkan kalau kentut pas salat, akan masuk neraka. Itu tidak ada hubungannya.”

“Apa saja nikmat kalau kita bisa kreatif dan peka dengan kehidupan. Jangan membawa hidup selalu sedih. Saya maaf kalau ada yang tidak sesuai dengan omongan saya. Saya ingin temen-temen mengambil keputusan sendiri. Jangan salat karena kyai. Jangan jadi orang baik karena kenal saya. Gak ada gunanya. Kamu jadi orang baik karena kamu baik dan ingin ke Allah, kalau keputusanmu pribadi untuk Allah itulah hidup yang paling bener.”

Cak Nun mengajak peserta untuk kembali bernyanyi. Dilanjut dengan menyanyikan lagu Ilir ilir. Mamahami arti dan makna Ilir ilir itu untuk siapa. Ilir ilir diucapkan oleh rakyat untuk para pemimpinnya. Semoga para pejabat yang ada disini bisa mengaktualisasikan keinginan rakyatnya. Tidak ada kemesraan lebih indah selain pemimpin dan rakyatnya bisa tertawa bersama.

Acara ditutup oleh doa oleh Kyai Muzamil. Intinya dalam forum ini adalah kita harus terus menjadi orang yang selalu bermanfaat dimanapun berada dan apapun profesi kita.

[Teks: Helmi Mustofa]