Milad Komunitas Srikandi Jogja

Catatan Ngaji bareng Cak Nun dan Kiai Kanjeng di Patalan, Bantul, Yogyakarta – 18 Oktober 2014

SUASANA Lapangan Patalan Jetis malam ini sangat cerah. Ribuan masyarakat yang datang dari Patalan maupun daerah-daerah lain sejak satu jam sebelumnya telah duduk lesehan rapi mengikuti rangkaian acara di awal. Saat ini, usai soran Kiai Kanjeng, Cak Nun sudah berada di panggung. Acara Ngaji Bareng Masyarakat Patalan bersama Cak Nun dan Kiai Kanjeng ini diselenggarakan oleh komunitas Ibu-ibu Srikandi. Pak Camat, Pak Lurah, dan Kapolres telah diajak naik ke panggung, di samping tentu beberapa ibu yang merupakan pimpinan dan pengurus Srikandi Yogyakarta.

Seperti pada maiyahan di pelbagai tempat, menaikkan ke panggung para tokoh di lingkungan tersebut merupakan bagian dari formulasi Maiyah agar beliau-beliau terutama dapat merespons lontaran-lontaran aspirasi, gagasan, atau sekadar pertanyaan dari masyarakat. Juga yang tak kalah pentingnya adalah merespons apa-apa yang beliau-beliau alami dan rasakan dengan maiyahan ini.

Ini baru tahap persiapan, mereka duduk di panggung, dan kemudian menyimak pengantar dari Cak Nun. Yang paling awal, Cak Nun mengajak semuanya menguatkan hati dan pikiran nyambung kepada Gusti Allah dan Kanjeng Nabi Muhammad agar hidup bisa berjalan dengan lebih mudah. Maka, Cak Nun mengajak ibu-ibu, bapak-bapak, dan semua hadirin untuk membaca ayat Kursi dengan konsentrasi pada wa la ya’uduhu hifdhuhuma. “Agar kursi kalian dipakke (red: dipersiapkan) oleh Allah,” tegas Cak Nun.

Dalam caranya yang khas, Cak Nun pelan-pelan menjelaskan kepada mereka bahwa pengajian seperti ini adalah sebuah fenomena tersendiri yang tak bisa ditemui di belahan dunia manapun. “Malam-malam seperti ini orang segini banyak ngumpul di lapangan, kalau di luar negeri bisa ditangkap polisi. Tapi di sini, malah polisinya ikut naik di panggung, ikut pengajian, pake peci pula,” tukas Cak Nun sembari memuji Pak Kapolsek yang malam ini mengenakan peci tapi tetap dengan mengenakan seragam polisi.

Sesungguhnya maiyahan adalah sebuah fenomenologi yang kaya dimensi dan makna dari setiap sisi kontennya (spiritualitas, pemikiran, keindahan musik, kebersamaan, egalitarianisme, pelepasan tekanan batin dan pikiran, dan dimensi-dimensi lain-lain) kendatipun tidak selalu mudah menjelaskan kepada publik umum, sehingga dengan pelan-pelan Cak Nun satu persatu membawa mereka ke kekayaan dimensi tersebut.

Dengan mengundang para pemuka masyarakat ke panggung, dengan panggung yang hanya setinggi 40 meter (beda jauh dengan panggung pementasan pada umumnya), jarak audiens dengan panggung sedekat mungkin tanpa sekat, mereka diperkenalkan pada tidak bolehnya kita terjebak pada kompleksitas tinggi-rendah derajat (yang tidak hakiki) di antara satu sama lain. Yang ada adalah paseduluran.

Baru saja Cak Nun juga menjelaskan bahwa cara orang Jawa menyanyikan lagu E Dayohe Teko itu yang menginspirasi orang Barat menciptakan lagu-lagu Rap, yang anehnya malah kemudian diikuti oleh remaja Indonesia masa kini. Maka, dengan lagu E Dayohe Teko yang dibawakan Kiai Kanjeng sebelumnya, anak-anak Indonesia mengenal mbah-mbahnya, mengenal kebesaran dan kekayaan bangsanya sehingga mereka akan menjadi dirinya sendiri.


Setelahnya, Cak Nun turun ke bawah, berdiri di antara panggung dan jamaah, sebagai cara untuk memudahkan mendekatkan antara yang di panggung dan yang duduk lesehan yang jumlahnya sangat banyak sampai di sudut terjauh arah kanan dan kiri panggung. Dengan cara ini pula Cak Nun lebih leluasa bergerak di antara para jamaah untuk melangsungkan komunikasi yang muatannya adalah: ngaji bareng, yaitu bersama-sama mencari aji atau martabat diri kita. Dan semua yang sudah terbangun sejak awal melalui bareng-bareng shalawatan, melantunkan tembang, saling menyimak apa yang diutarakan satu sama lain adalah cara menuju ngaji bareng tersebut.

Sebuah nomor shalawat yakni Alhamdu Lillah Was Syukru Lillah Azka Shalati wa Salami Lirosulillah dilantunkan bersama-sama diiringi oleh Kiai Kanjeng, dan para jamaah dibagi ke dalam tiga kelompok, masing-masing mendapatkan giliran membaca salah satu bagian dari shalawat ini sementara yang lain diam dan menyimak. Shalawatan ini dibawakan dalam formula berbagi dalam kebersamaan.

Cak Nun mengingatkan dan mengajak semuanya untuk kembali kepada “Inna akromakum ‘indallahi atqokum” yakni parameter yang sejati adalah ketakwaan kepada Allah.

Setelah merajut kebersamaan dengan mempersilakan Mas Imam Kiai Kanjeng berkolaborasi dengan Ibu-ibu Srikandi membawakan dua nomor lagu Melayu, Cak Nun mempersilakan Pak Kapolsek dan Pak Lurah menyampaikan pesan untuk segenap warga masyarakat.


Alhamdulillah-w

MERESPON apa yang disampaikan Pak Kapolsek dan Pak Lurah mengenai kenakalan remaja dalam genk-genk, Cak Nun mengingatkan bahwa fenomena tersebut lebih mencerminkan kekalahan keluarga-keluarga di dalam masyarakat. Seorang anak semestinya merupakan tanggung jawab orangtuanya (Ibu dan Bapaknya), baru lingkungan di luar keluarga.

Keberhasilan pendidikan keluarga bisa mengantisipasi munculan-munculan yang tidak baik dari diri sang anak.

Dalam sesi tanya-jawab malam ini, seorang jamaah meminta Cak Nun menjelaskan arti yang sesungguhnya dari demokrasi. “Saya kuliah angkatan tahun 93, Cak. Saya mau tanya ke dosen-dosen saya tentang demokrasi ini, tapi banyak yang sudah meninggal dunia, jadi saya tanya ke Cak Nun,” kata si penanya disambut tawa jamaah.

Inti demokrasi adalah rembug. Jangan bilang kita tak bisa atau tak punya demokrasi. Dari dulu kita punya tradisi rembug. Memang tidak distempeli sebagai rembug. Tapi itulah hakikat demokrasi. Rembug antara saya dengan anda berbeda dengan rembug antara sekelompok orang dengan kelompok lain, beda dengan rembug antara rakyat dengan pemerintah, beda pula rembug antara orangtua dengan anaknya. Kalau ada yang bilang tidak setuju demokrasi, itu sebenarnya tidak setuju dengan suatu cara rembug, bukan tidak mau rembug.

Bahkan kalau kepada anda ditanya siapa ahli atau pakar demokrasi, siapakah kira-kira menurut anda? “Kalau saya mengatakan dan ini anda dan para ilmuwan pasti tidak setuju, bahwa pakar demokrasi kita adalah Sunan Kalijaga,” tegas Cak Nun.

Dialog berlangsung makin gayeng, di mana Cak Nun semakin memberikan contoh-contoh praktik demokrasi, meluruskan salah kaprah hubungan antara rakyat dan pemerintah, sampai cerita-cerita lucu bagaimana Cak Nun menghadapi kepolisian Abu Dhabi yang tidak menghargai orang Indonesia yang muatannya adalah sikap tegas dan berani kepada mereka.

Usai merespons secara menyeluruh pertanyaan-pertanyaan yang diajukan, Cak Nun mengajak semuanya untuk memuncaki acara dengan bareng-bareng melantunkan doa I’tirof Abu Nawas, Shalawat Nabi, dan Tombo Ati. Semuanya berdiri, bersama-sama menyempurnakan di dalam diri masing-masing dengan peneguhan-peneguhan kembali atas sejumlah nilai, yang di antaranya diperoleh melalui maiyahan malam ini.

 [Teks: Helmi Mustofa – Foto: Adin]