Ngaji Bareng Warga Jaten, Manukan, dan Mangir

MAIYAHAN malam itu sebelumnya telah diawali dengan beberapa nomor shalawatan yang dipandu oleh Mas Islamiyanto. Maiyahan kali itu diselenggarakan oleh masyarakat Jaten, Manukan, dan Mangir yang notabene merupakan kampungnya kakak beradik Mas Giyanto dan Mas Saryanto Kiai Kanjeng. CNKK memenuhi undangan untuk mangayubagyo acara tasyakuran dan peresmian Masjid Al-Hikmah ini.

Suasananya adalah benar-besar suasana desa. Sebagian jamaah, terdiri ibu-ibu, remaja, dan anak-anak, semua duduk lesehan di bawah pepohonan yg berhadapan dengan panggung.

Cak Nun yang malam itu ditemani pelatih Timnas U-19 Indra Sjafri sudah naik panggung usai beberapa nomor shalawat Kiai Kanjeng. Pertama, Cak Nun menyampaikan terima kasih karena sudah di-sedulur oleh warga Mangir. Cak Nun merasa Mangir adalah rumahnya karena Mbak Via adalah bergaris keturunan dengan Ki Ageng Mangir. Kedua, Cak Nun menyampaikan minta maaf karena tidak bisa sampai malam, karena harus segera ke Jombang sehubungan dengan meninggalnya Bu Ninuk yang 17 Oktober lalu ikut hadir di maiyahan Mocopat Syafaat. Sekaligus Cak Nun mempamitkan Mbak Via yang belum bisa hadir di Mangir malam ini karena sore tadi sudah terlebih dahulu bersama adik-adik Cak Nun berangkat ke Jombang. Ketiga, Cak Nun memperkenalkan Pak Indra Sjafri kepada para jamaah, seseorang yang belakangan menjadi sahabat beliau. Sepulang dari Myanmar, Pak Indra memiliki waktu agak luang sehingga bisa ikut maiyahan di desa Jaten ini, dalam suasana dan format maiyahan yg beda dengan Mocopat Syafaat yg selama ini beliau hadir.

Dan ternyata, hidup di Indonesia ini bakatnya memang hidup tumoto/tertata, karena sudah ada RT/RW, Dusun, Desa, Kecamatan, dan seterusnya. Belum lagi dalam hal-hal lainnya, seperti kecanggihan (advance) dalam bidang kuliner. “Jadi, tema malam ini memang pas dan bagus,” tutur Cak Nun.

Tidak lupa Cak Nun memberikan view mengenai kehadiran Pak Indra Sjafri malam ini. Apa hubungannya pelatih Timnas sepak bola dengan pengajian. “Dalam sepak bola, ada yang namanya pemain sepak bola. Tetapi Pak Indra tidak sedang membawa anak-anaknya menjadi sekadar sebagai pemain sepak bola, tetapi manusia sepak bola. Jadi, ada hubungannya antara manusia sepak bola dengan pengajian,” papar Cak Nun.

Semua jamaah yang duduk tersebar sampai ke pojok-pojok di bawah pohon seluruhnya khusyuk menyimak uraian Cak Nun terutama saat Cak Nun mendoakan mereka dengan nomor Tombo Ati yg di dalamnya ada versi Minang-nya. Semuanya mengamini saat doa dipanjatkan Cak Nun di penghujung nomor ini agar Allah memberikan keberkahan hidup bagi mereka.

Khusus mengenai peresmian masjid, Cak Nun berpesan agar kita semua memahami masjid secara subtansial dan menyeluruh. Masjid adalah tempat sujud formal. Tetapi masjid esensial bisa di mana saja, di luar masjid, sebab Rasul menyatakan: Di mana pun engkau bersujud disitulah masjid. Kesadaran ini penting, sebab kita punya kecenderungan untuk mendewakan masjid secara formal, sejalan dengan keterjebakan kita pada formalisme-formalisme dalam beragama. Sebab, sejatinya pada akhirnya hanya Allah yang tahu siapa yang benar-benar bersujud. Filosofi masjid (tempat bersujud) adalah semakin kita merendahkan diri kepada Allah, semakin tinggi derajat takwa kita. Semakin tegak mendongak ke atas, semakin rendah diri kita di hadapan Allah.

Jangan pula menyembah salat, yaitu ketika anda rajin salat anda menjadikan salat itu untuk umuk/menyombongi orang yang belum atau tidak salat. Sangat mungkin akan batal salat anda. Saalat itu jangan dijadikan bahan untuk kebanggaan sosial. Dan sesungguhnya, yang ditunggu orang adalah output sosial dari salat anda. Maka sebenarnya, masjid adalah “dapur rohani” bagi anda dan masyarakat yang akan mengantarkan anda menyuguhkan kebaikan sosial bagi masyarakat.

Sudah pasti kita harus memahami wilayah mahdhah dan muamalah dalam konteks masjid ini, tetapi, “Mudah-mudahan anda bisa ngregengke masjid dengan pemahaman-pemahaman tadi,” harap Cak Nun.


44

SANGAT terasa bahwa malam ini maiyahan dibawakan Cak Nun dengan sangat lebih padat dibandingkan sebelumnya. Tidak saja padat dari sisi ilmu, tetapi juga padat pada nomor-nomor lagu yang dibawakan. Seperti saat ini, lagu Ilir-ilir dibawakan dengan sangat apik, khusyuk, dan partisipatif di mana salah satunya Pak Lurah juga dilibatkan menyuarakan “Yo Sura’o surai yo…,” dan puncaknya di sela-sela speed Shalawat Badar Cak Nun melantunkan doa dengan suara tinggi “Allahummaftah lana abwabal afiyah, wa abwabal barokah, wa abwabal maghfiroh,...”.

Berpindah ke coach Indra Sjafri, Cak Nun mengantarkan bahwa Pak Indra ini akan terus memajukan sepak bola Indonesia dengan mendirikan akademi sepak bola yang mendidik pemain sepak bola sejak usia dini.

Empat pemain Timnas U-19 usai dari Myanmar ini akan dipanggil untuk bergabung ke Timnas senior. Sebuah hal yang luar biasa, di usianya yang masih muda sudah memperkuat Timnas senior. Dan sebenarnya, berdasarkan referensi internasional, fenomena U-19 ini mendapat sorotan positif dari Timur Tengah dan dipuji di Spanyol. Pertama-tama, seperti saat di Mocopat lalu, Pak Indra secara gentle dan rendah hati menyampaikan permohonan maaf kepada masyarakat atas kegagalan U-19 di Piala Asia. Pak Indra bercerita, setelah kekalahan di Myanmar, dia meminta saran kepada Cak Nun apa yg harus dilakukan. Cak Nun menyarankan agar dengan gentle, kepala tegak, dan rendah hati memohon maaf kepada masyarakat dan jangan mencari pembenaran apapun. Sebelumnya, Pak Indra membayangkan pasti publik akan marah atau mungkin mengutuk. Tapi apa yang terjadi? Saat tiba di bandara Cengkareng, orang-orang menyalami dan mengucapkan terima kasih kepada Pak Indra dan anak-anak U-19. Tak ada sedikit pun yang menyalahkan. Bahkan media-media pun juga tidak ada yang menuliskan secara negatif. Mungkin mereka tahu, kata Pak Indra, kalau ada yang dipersalahkan, tetapi kita tidak mau menyalahkan siapa pun. “Mungkin kalau tak ada Cak Nun di Myanmar, saat pulang saya mungkin ambil rute ke negara lain, karena tak siap dimarahi banyak orang…tapi alhamdulillah, respons publik tidak seperti yang saya khawatirkan. Mungkin ini cara Allah menyayangi kami dan anak-anak… sebab sebenarnya semua kekalahan ini merupakan pembelajaran yg sangat baik bagi Timnas U-19, maupun untuk bangsa Indonesia,” tutur Pak Indra.

Kemudian Pak Indra cerita lebih detail bagaimana dia membina Timnas U-19, bagaimana sikap batinnya kepada Allah dalam menghadapi momen-momen krusial dalam pertandingan-pertandingan yang dilakoni Evan Dimas dkk, sampai kesadaran tentang kekalahan yang justru dibutuhkan untuk menggembleng mereka. Pada posisinya saat ini, timnas sudah menorehkan prestasi, juara AFF setelah 20 tahun tak pernah diraih Indonesia, lolos Piala Asia, mengalahkan Korsel yang 12 kali juara Piala Asia, dan mengutip tulisan Cak Nun mungkin mereka belum saatnya dibebani untuk lolos Piala Dunia, agar mereka merasakan “pahit dan jatuh bangunnya” penempaan diri.

Selanjutnya, usai Pak Indra berbagi dengan jamaah, Cak Nun menggarisbawahi bahwa Timnas U-19 itu sudah hebat, mencapai prestasi yang belum dicapai kakak-kakak seniornya, dan mungkin memang lebih baik tidak lolos ke Piala Dunia agar mereka lebih tertempa, terhindar dari kebesaran dan kesombongan, mereka akan terus belajar. “Jadi, di Myanmar kemarin, saya dan Mbak Via ternyata datang tidak untuk merayakan pesta pora melainkan untuk menemani anak-anak Timnas U-19 dan coach Indra Sjafri,” tegas Cak Nun.

Usai sesi bersama Pak Indra, Cak Nun dan Pak Indra segera pamitan. Cak Nun meminta Kiai Muzammil untuk meneruskan acara malam ini.

[Teks: Helmi Mustofa – Foto: Adin]