Maiyah; Sedekah Penuntun Bangsa Indonesia

KERAP KITA DENGAR bahwa Tuhan punya 1000 cara atau jalan untuk menunjukkan sesuatu. Ada saja dan bahkan tanpa diduga-duga, sehingga sering kemudian kita menyebutnya kebetulan, diperjalankan, keterjadian, ujug-ujug dan beragam istilah lainnya. Sedang kebetulan tak lain memiliki asal kata “betul“ atau dapat dipersamakan dengan “benar“ sehingga bisa pula menjadi kebenaran. Dan pemilik kebenaran sejati hanyalah Allah SWT Al-Haq, yang sejatinya semua telah tercatat dengan teramat jelas setiap kejadian di Lauh Mahfuz. Juga setiap kejadian memiliki pesan dalam merangkai puzzle kehidupan.

Beberapa waktu silam langkah kaki ini menginjak Jakarta karena harus ada yang diurus. Diatas kereta teringat untuk scroll info pagelaran pengajian masyarakat Maiyah di berbagai kota via whatsapp. Dan tepat Jumat 11 Maret 2016 akan berlangsung pula Kenduri Cinta di Plaza Taman Ismail Marzuki (TIM). Maka, karena memang belum pernah sekalipun mengikuti Maiyahan di Ibu kota diputuskanlah untuk datang merasakan sensasinya.

Setelah 5 hari berselang, akhirnya hari yang dinanti pun tiba. Jumat, dan arah jarum jam masih menunjuk pukul 16.50 WIB, Gerbang sebelah kiri Plaza TIM telah terpampang Baliho Kenduri Cinta (KC) yang mengangkat tema Fiqih Tanpa Aqidah, Bumi Tanpa Langit. Panggung telah berdiri, beberapa penggiat sedang check sound dan menggelar alas duduk jamaah. Terlihat raut kesungguhannya mempersembahkan yang terbaik dan bekerja tanpa pamrih. Tak selang lama mobil plat F berasal dari sekitaran Bogor sudah merapat di parkiran acara, keluarga kecil dengan bayi yang masih 8 bulanan itu menggelar karpet sendiri, menyuapi anaknya sembari bertanya kepada penggiat, “Bang ini acaranya mulai jam berapa ya?“ “Oh masih selepas Isya‘ Bang, Mangga duduk dulu,“ jawab seorang penggiat yang sudah bertugas.

Angkringan dan para penjaja pula sudah stand by di halaman Plaza sejak sore. Selepas isya para jamaah mulai merapat. Ibu-ibu sepuh, ibu dengan balita, bapak penyandang disabilitas pula telah memposisikan di tempat duduk favorit masing-masing. Tak ketinggalan pula mbak, mas, bapak dan ibu-ibu eksekutif muda yang masih menggendong tas ranselnya ikut melingkar. Tentu fenomena tersebut merupakan hal aneh di tengah hiruk pikuk ibu kota yang teramati setidaknya selama lima hari sebelumnya. Bagaimana tidak, tak sedikit warga Jakarta yang harus berangkat kerja sejak jam empat pagi dan pulang setelah matahari tenggelam, commuter line yang selalu penuh bahkan sampai berdesakan.

Belum lagi dalam Maiyahan di berbagai kota tidak dipungut biaya sepeserpun dan tentu sangat kontras dengan budaya kapitalis yang ada. Setiap Maiyahan tidak pula dijaga pihak keamanan padahal yang datang bisa lebih dari 800 orang dan tak sedikit yang bertato, atau berpakaian ala preman. Ya, tak lain karena di Maiyahan semua yang datang didalamnya saling mengamankan. Fenomena lain, orang sangat betah duduk manis dari jam 8 malam sampai 4 pagi tanpa beranjak sedikitpun, padahal secara logika beberapa kamar mandi yang disediakan bisa sampai antri panjang namun hal tersebut tidaklah terjadi. Selain itu dalam Maiyahan tak hanya muslim saja yang datang, pemeluk agama Kristen, Katolik, Hindu, Budha, Konghucu bahkan Ateis pun ada yang datang.

FIQIH TANPA AQIDAH, BUMI TANPA LANGIT

USAI DIBUKA dengan pembacaan wirid Wabal dan doa Tahlukah, Mas Doni memulai sesi 1 dengan mengundang para penjaga KC memaparkan prolog terkait tema tersebut. Kemudian beberapa jamaah pula bertanya dan saling menimpali. Diskusi Fiqih tanpa aqidah, Bumi tanpa langit pun mengkritisi pula bagaimana sholat salah satu contohnya kemudian hanya sebatas ritual, merembet pula dalam hal hukum memakai aplikasi bajakan.

Kemudian saya jadi teringat penuturan Mas Sabrang pada akhir 2013 silam, bahwa mayoritas kita memang cenderung tidak sadar dalam melakukan aktivitas sehari-hari. Sholat, berjalan ke kantor ataupun makan adalah beberapa contohnya. Mas Sabrang menuturkan bahwa kesadaran manusia malah semakin sedikit, yaitu sekitar 11 sampai 12% dan selebihnya hidup dalam alam prasadar atau bahkan bawah sadar. Selama ini, kebanyakan kita cenderung menjalani aktivitas sehari-hari karena kebiasaan. Bukan karena kesadaran penuh akan tujuan ataupun manfaat dari aktivitas yang telah kita lakukan, jadi sudah menjadi habituasi. Sehingga agar kesadaran kita selalu terjaga untuk tetap online kepadaNya kita perlu berkumpul untuk saling mengingatkan terus menerus.

Selingan sebuah musikalisasi puisi dari Kosakata juga menyampaikan bahwa apakah bumi rela terus menerus kita menyakitinya. Sejurus kemudian Simbah Guru, Muhammad Ainun Nadjib atau yang kerap disapa Cak Nun yang juga ditemani Mas Ian L Betts dan Kyai Muzammil telah berada di panggung. Cak Nun mengingatkan semuanya untuk terus membersihkan diri, menggunakan taqwa, karena apa-apa yang terjadi di depan nanti kita pula harus bertumpu pada masa lalu. Sebab pengetahuan bisa melahirkan kesombongan dan ketidaktahuan melahirkan kerendahatian, tawadhu.

“Jangan menjadi orang yang lupa kepada Tuhan, karena pasti tidak akan mengetahui tentang dirimu sendiri. Maka harus selalu ingat sangkan paranmu, sehingga kamu tau ke arah mana dirimu mau bergerak. Jika Fiqh tanpa aqidah masih urusan fakultatif, namun jika Bumi sudah tanpa langit merupakan urusan yang sangat krusial, apalagi jika kemudian keduanya sudah tak lagi berkaitan. Fiqh sendiri berasal dari usul Fiqh, filosofi dan ujungnya adalah aqidah. Sedangkan adanya bumi pun sejarah panjangnya karena cintanya Allah pada Nur Muhammad di Kerajaan langitnya,“ urai Cak Nun.

25 Februari 2016 tanpa sengaja menemukan file lama edaran Maiyah dari Cak Nun setelah erupsi Gunung Merapi 6 November 2010 silam. Dengan judul Abadi meyakini Wa’dullah dan Syafa’at Rasulullah. Diantara isinya; Pasukan Badar Maiyah di telapak tangan kedahsyatan vulkanik Merapi dan puluhan gunung lainnya, di jepitan lempengan-lempengan tektonik yang bergerak-gerak, secara ilmu wadag dan ilmu katon tidak memiliki kemungkinan untuk ‘menang‘. Tetapi kita teruskan tekad dan keyakinan Rasulullah SAW di medan Badar bahwa Allah akan menganugrahkan kemenangan, kasih sayang dan pertolongan. Karena semua prajurit Maiyah sudah menuntaskan keikhlasannya untuk “Laubali“ atas apapun di dunia, asalkan “in lam takun ‘alaina ghadhabun“ Allah tidak murka kepada kita. Dan puncaknya mempetakan gelembung-gelembung tentang a) ‘Mbah Petruk, Ki Blotok, Kiai Gringsing, Panembahan Sapu Jagat dll‘, b) ‘Perwujudan sumpah Sabdopalon Noyogenggong‘ pada sirnaning Majapahit, c) ‘Kiai Semar nagih janji‘, d) Angin laut dan titik serbu: Kraton Yogya, Gedung Agung, e) Supremasi janji Allah tentang gunung berapi, logika dan peta Syafaat Rasul, konsentrasi lelaku Maiyah, dan “Faltandzur nafsun ma qaddamat lighad“. Yang mana ayat tersebut diingatkan kembali oleh Cak Nun di malam itu untuk kita terus memperhatikan apa yang telah diperbuat untuk hari esok (akhirat).

Pesan dari Mas Ian L Betts pula untuk mempersiapkan diri sejak dini akan adanya zaman perubahan yang ditandai salah satunya juga perubahan iklim terus meningkat dan yang paling terkena dampak adalah pertanian dan masalah air bersih bahkan beberapa wilayah bisa sampai kekeringan. Harus ada kesimbangan bumi dan langit terkait rezeki pula Cak Nun mengajarkan memilih konsep rezeki melingkar bukan tegak lurus, artinya jika memang amal sedekahmu hari ini belum bisa langsung kau nikmati di negerimu ini maka berdoalah semoga nanti anak cucu yang akan mendapat kemudahan atau kemurahan rezeki dari Allah tersebut. Ditengah kemunafikan yang sudah tak jelas lagi identifikasinya tidak ada lagi yang bisa diandalkan selain Allah dan utama pula untuk menjaga keluarga, saudara dan tetangga-tetanggamu.

Lantunan lagu Tanah Air karangan ibu Soed dan Ibu Pertiwi ciptaan Ismail Marzuki dinyanyikan oleh grup Sinau Rasa di Plaza Taman Ismail Marzuki pula memberikan suasana berbeda. Mengilhami kembali, merefleksi betapa amat terasa dalamnya cinta para pendahulu, para pejuang akan tanah air Indonesia ini. Dan dari Plaza Taman Ismail Marzuki yang berada di jantung ibukota 16 tahun sudah Kenduri Cinta yang dimotori pula oleh Cak Nun dan jajaran penjaga KC lainnya bersedekah untuk Indonesia, terus menerus memberikan pencerahan di tengah absurdnya tatanan Negara di segala lini.

KSATRIA TANPA LELAH BERJUANG

SEKALI LAGI Tuhan memperkenankan diri ini mengenal lebih dekat sosok Beliau. Simbah Guru di usianya yang dua bulan lagi berada di angka 63 tak henti-hentinya berjalan, mengasuh, dan menuntun Bangsa Indonesia ini. Menjadi samudra yang menerima siapapun yang datang, mengeluh, memaki dan berbagai keluhan tentang kehidupan. Simbah yang membuatku selalu terharu, selain minimnya tidur, fakta lain ibaratnya kalau Beliau10 kali berpindah duduk, tempat atau dalam rangka menunggu sesuatu maka 10 kali juga ngopi dan rokok menemaninya. Beberapa sesepuh pernah bilang bahwa Beliau memiliki Energi Tauhid sumber kekuatan yang luar biasa.

Sembari menunggu waktu boarding Cak Nun untuk kembali ke Yogyakarta, disudut warung Bandara Halim Perdana, terdapat pemuda yang meminta nasehat beliau karena bekerja di tempat yang memproduksi Babi untuk menjadi makanan. Cak Nun pun menjawab yang haram itu kalau kamu memakannya. Toh kalau mau tentang halal-haram diselenggarakannya negeri ini pun haram, tapi bagaimana kemudian sebisa mungkin selalu mentransformasikannya (mengamal-salehkannya), dan meruhanikannya (menyaringnya menjadi bermakna akhirat). Selain itu Cak Nun mengisahkan seorang pencuri yang bertaubat di zaman Rasulullah. Kanjeng Nabi hanya memberi satu syarat kepada pencuri tersebut bahwa kalau berbicara dengan Beliau harus jujur. Lama-lama si pencuri sungkan kalau bilang mencuri terus kepada kanjeng Nabi, dan akhirnya si Pencuri ini benar-benar bertaubat dari tabiat buruknya.

Dipenghujung obrolan, Beliau memaparkan bahwa di Maiyah itu kita menghimpun energi positif, terdapat pula proses detoksifikasi dan disana kita melatih fisik luar biasa karena paginya juga kemudian lanjut bekerja.

Sisi lain rasa salut saya pula kepada para penggiat Kenduri Cinta yang istiqomah berkumpul setiap Rabu dengan nama forum Reboan untuk mempersiapkan Maiyahan di bulan selanjutnya. Semoga semangat Literasi pula yang sudah dicontohkan oleh Kenduri Cinta dapat ditiru di berbagai forum Maiyah yang lain. Sebab hari ini kita hanya diuntungkan oleh Waktu, alangkah lebih mudahnya sedini mungkin memiliki dokumentasi catatan perjalanan di tempatnya masing-masing sebab suatu ketika akan menjadi sejarah yang teramat berharga untuk anak cucu di masa yang akan datang. Pamungkas, matur nuwun sanget Kenduri Cinta ing rumaketing paseduluran sakmeniko.

 

Nafisatul Wakhidah

Lereng Merapi, Magelang, 14 Maret 2016