Kafir Sesaat, Bersyahadaat Seterusnya

DI KENDURI CINTA Jum’at lalu (11/3), Cak Nun mengawali dengan menyampaikan bahwa “Sekarang ini sukar menentukan yang mana yang kafir, yang mana yang munafik. Kita selalu melihat yang close up, wah yang ini bagus, ini berani, ini tegas. Loh itu kan babak penyisihan, nanti akan ada babak semi final, nanti kita baru tahu setelah selesai final. Apa yang sebenarnya dia maksudkan?”. Kita tidak dapat menilai seseorang yang nampak kelihatannya baik. Kita tidak bisa hanya sekedar bilang mengagumi Al-Quran lantas mengharapkan orang menilai bahwa kita Islam. Kita tidak bisa sekedar memuji kepemimpinan Rasulullah, lantas bisa dibilang pengikut Rasulullah.

Apalah kita ini jika dibandingkan dengan Rasulullah Muhammad SAW. Yang pantas kita kagumi ya beliau, yang kita ikuti kepemimpinan beliau. Beliaulah yang menjadi tauladan setiap perbuatan dan setiap keputusan tindakan kita. Kita sekedar meniru akhlak beliau semampu kemampuan kita. Supaya diri kita selamat, supaya orang tua- istri-anak-cucu kita selamat, supaya karyawan, bawahan, orang-orang yang bersedia membantu pekerjaan kita dan siapa saja yang mengakui kepemimpinan kita ikut selamat. Lantas apalagi yang memberatkanmu? Apa yang masih menundamu untuk bersaksi bahwa tidak ada tuhan yang disembah selain Allah, bahwa Muhammad adalah Rasulullah dan tidak ada Nabi setelahnya.

Buat apa engkau kagumi Al-Quran? Tapi tidak mengakui bahwa dalam setiap sel-sel tubuhmu yang berlaku adalah Ayat-ayat Allah SWT, bahwa yang mengatur kehidupanmu adalah Kalimat-kalimat-Nya. Bukankah kebenaran dari Tuhan itu sudah engkau saksikan, mengingkari kebenaran justru akan mempersulit hidupmu, sedangkan bersaksi untuk kebenaran itu sungguh-sungguh mempermudah kehidupanmu. Pada Kenduri Cinta yang lalu, Cak Nun menyampaikan; “Allah juga menegaskan Faman sya’a fal-yu’min waman sya’a fal-yakfur (Al-Kahfi:29 red.) Barang siapa mau beriman, berimanlah. Barang siapa mau kafir, kafirlah.”

***

SETIAP PEKERJAAN yang kita lakukan, setiap niat baik yang kita usahakan tidak ada yang mampu menjamin 100% kebermanfaatannya selain karena Kuasa Allah SWT. Tidak itu dijamin oleh atasan kita, tidak itu dijamin oleh kolega kita, tidak oleh presiden, tidak oleh wakil rakyat, tidak oleh parpol-parpol, tidak pula itu dijamin oleh rakyat dan masyarakat. Guru-guru yang mendidik kita supaya berlaku baik sekedar mengajari kita berbuat baik, sedangkan keputusan untuk melakukan segala sesuatu dengan segala keterbatasan yang ada adalah kedaulatan pada diri kita masing-masing. Kyai, Ustadz, Pendeta, Pastur, Biksu, Romo, dan siapa saja pemuka agama sekedar menyampaikan cara-cara beragama, namun kita memiliki kebebasan untuk memilih mengakui atau memilih mengingkari bahwa tiada daya dan upaya selain karena Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa. Bisa saja kita pura-pura rajin sembahyang, bisa saja kita khusuk mengikuti ritual-ritual keagamaan, namun apalah itu artinya jika kita masih sombong atas kepandaian, kemampuan dan kekuasaan yang sebenarnya hanyalah pemberian titipan dari  Sang Pencipta.

Dengan kecanggihan teknologi pada zaman ini semestinya mempermudah umat manusia untuk menjumpai benar yang sejati. Namun, jika yang terjadi adalah teknologi digunakan dan dikuasai untuk memonopoli dan memanipulasi informasi, bahkan dijadikan sebagai penutup kebenaran, maka yang terjadi adalah kemunduran zaman, hanya mengulang kembali masa lampau. Tidak kurang-kurang Allah SWT memberikan pelajaran melalui apa yang terjadi pada umat-umat terdahulu. Contohnya apa yang sudah terjadi dengan para Fira’un, dengan segala kecanggihan teknologi, seni keindahan dan kemegahan penataan bangunan, tatanan pemerintahan dan masyarakat, dan segala bukti kemajuan peradaban zaman itu bagaikan segumpal tanah liat yang menempel di batu yang terguyur hujan, sirna begitu saja. Apakah kita sedang mengulang zaman, apakah engkau sudi menumbuhkan Fira’un-fira’un dalam dirimu?

Tidak seperti di Indonesia, khususnya  di Jakarta yang memerlukan angka 51% dari suara rakyat untuk menjadi seorang pemimpin. Pada zamannya, nyaris 100% rakyat mesir menerima kepemimpinan para Fira’un dan anak turunannya. Pada masa kejayaannya, apa yang dilakukan oleh Fira’un dalam usahanya memakmurkan rakyat Mesir nyaris sempurna sebagai seorang pemimpin. Fira’un dicintai rakyatnya, sebaliknya Fira’un mencintai rakyatnya. Kekurangannya hanya satu, dia menutupi bahwa apa yang telah dilakukannya semata-mata hanya karena Rahman dan RahimNya Allah SWT.  Tidak kurang usaha Nabi Musa AS dalam memperingatkan Fira’un yang Ayah angkatnya dan Fira’un saudara angkatnya. Namun lantaran kesombongan Fira’un kemakmuran kerajaan dapat lenyap dalam sekejap. Maha Benar Allah dengan segala keMaha KuasaaNya menceritakan sejarah itu menjadi pelajaran bagi kita.

*** 

Islam adalah nikmat terbesar, hadiah dari Allah SWT melalui Rasulullah Muhammad SAW kepada umat manusia. Islam tidak butuh kita bela, justru kita yang butuh Islam. Setiap niat dan perbuatan kita dengan mengatas namakan Islam semata-mata untuk keselamatan diri kita dan orang-orang di sekitar kita. Bisa saja anda mengagumi Al-Quran, bisa saja anda mengagumi Rasulullah, tapi buat apa jika lantas anda tidak masuk Islam? Bukankah kebenaran Islam sudah anda terima, lantas mengapa engkau enggan untuk bersaksi, enggan untuk bersyahadat? Sedangkan untuk ingkar jelas suatu yang sukar. Islam akan mempermudah hidupmu, meski pada awalnya engkau akan merasa berat untuk mengakui itu. [AS]