MAIYAH PENANGKAL PETIR

Reportase KEnduri Cinta Edisi Januari 2022

MEMASUKI tahun 2022, Kenduri Cinta kembali diselenggarakan secara offline. Setelah dirembug dan dimatangkan persiapan teknisnya di forum Reboan, penggiat Kenduri Cinta memutuskan menyelenggarakan Maiyah Kenduri Cinta edisi Januari 2022 ini di Lapangan Pusdiklat KEMNAKER di bilangan Jakarta Timur pada 22 Januari 2022. Lokasi ini sebenarnya sudah dipersiapkan untuk penyelenggaraan Maiyahan Kenduri Cinta di bulan Juli 2021 lalu. Namun saat itu varian Delta dari Covid-19 angka kasus postifinya cukup drastis kenaikannya, sehingga kemudian penggiat Kenduri Cinta memutuskan memindah kembali lokasi penyelenggaraan Maiyahan dan juga dalam konsep yang terbatas dan dilaksanakan di siang hari.

Setelah melewati banyak pertimbangan, diskusi, dan rembug yang matang di forum Reboan, telah dipastikan semua persiapan teknis di lapangan, termasuk hal-hal detail mengenai protokol kesehatan. Meskipun sudah hampir 2 tahun tidak Maiyahan secara langsung, penggiat Kenduri Cinta tidak gupuh sama sekali dalam mempersiapkan hal-hal teknis sebelum acara. Bahkan sangat smooth. Sehingga, saat menggunakan lokasi yang baru, tidak mengubah sedikit pun rundown persiapan teknis yang memang sudah seharusnya dilakukan.

Selama 2020-2021, saat pandemi, Kenduri Cinta memang dilangsungkan beberapa kali secara terbatas. Mengingat beberapa hal yang memang harus dipertimbangkan. Termasuk Cak Nun sendiri, selama pandemi, saat Kenduri Cinta dilangsungkan dalam konsep terbatas, Cak Nun dari Yogyakarta menuju Jakarta menggunakan moda transportasi darat, yang tentu saja memakan waktu perjalanan lebih panjang jika dibandingkan dengan menggunakan pesawat terbang seperti sebelumnya.

Pada edisi Kenduri Cinta kali ini pun, Cak Nun sendiri sudah dijadwalkan untuk hadir di beberapa Simpul Maiyah. Melanjutkan rangkaian Silaturahmi dengan Penggiat Simpul Maiyah tahun lalu, di bulan Januari ini Cak Nun diagendakan untuk hadir di Simpul Maiyah Lingkar Daulat Malaya (21/1) kemudian berlanjut di Kenduri Cinta (22/1), lalu menuju ke Lampung untuk hadir di Maiyah Dusun Ambengan dan Maiyah Dualapanan (24/1).

Bersama tim Progress, Penggiat Kenduri Cinta pun mendampingi Cak Nun mulai sejak rangkaian di Tasikmalaya hingga Lampung. Di awal tahun ini, beberapa hal harus dijalani agar kedepannya kita bisa beradaptasi dengan adaptasi baru di beberapa hal, seperti di Bandara salah satunya.

“Seharusnya, bekal-bekal yang sudah kita dapatkan di Maiyah justru membuat kita lebih kuat dalam menjalani kehidupan saat ini. Bekal-bekal itu harus menjadi penangkal petir dalam diri kita agar kita tidak udah tersambar oleh petir-petir zaman yang ada di luar diri kita
Fahmi Agustian, Kenduri Cinta (Januari, 2022)

MAIYAHAN LAGI DI KENDURI CINTA

SEJAK Jum’at (21/1) malam, sebagian penggiat Kenduri Cinta berada di Lapangan Pusdiklat KEMNAKER untuk proses pemasangan tenda dan panggung. Persiapan kemudian dilanjutkan pada Sabtu (22/1) siang untuk pemasangan backdrop dan sound system. Sempat terkendala sedikit masalah di bagian aliran daya listrik, alhamdulillah dapat terselesaikan menjelang maghrib. Meskipun daya listrik baru tersalurkan saat maghrib, namun proses cek sound tidak terganggu sama sekali. Saat proses persiapan akhir ini, jamaah Kenduri Cinta sudah mulai berdatangan ke lokasi acara.

Sebelumnya, penggiat Kenduri Cinta memang memberlakukan pendaftaran online melalui google form. Proses pendaftaran ini diperlukan untuk pendataan, sebagai kuda-kuda jika ada hal-hal yang terjadi di luar prediksi. Pada situasi seperti saat sekarang ini, tentu kita harus lebih sigap dalam menghadapi berbagai kemungkinan. Sampai saat Maiyahan dimulai, lebih dari 2.500 jamaah yang sudah mendaftarkan diri. Cukup tinggi ternyata antusiasme teman-teman Jamaah Maiyah Kenduri Cinta, mengingat memang sudah cukup lama tidak Maiyahan secara langsung seperti di Taman Ismail Marzuki yang terakhir diselenggarakan pada Maret 2020 silam.

Berbeda dari sebelumnya, saat Kenduri Cinta dilangsungkan secara terbatas, pada edisi Januari 2022 kali ini, pendaftaran tidak ditutup bahkan saat Maiyahan Kenduri Cinta sedang berlangsung. Penggiat Kenduri Cinta memang bersepakat untuk tidak membatasi peserta, setelah mempertimbangkan lokasi penyelenggaraan yang cukup representatif, di ruang terbuka dengan area yang cukup luas. Tantangannya tentu saja adalah bagaimana selalu mengingatkan jamaah yang hadir untuk tetap menerapkan protokol kesehatan. Itulah kenapa saat proses pendaftaran secara online, salah satu syarat wajibnya adalah bahwa setiap jamaah yang hadir harus sudah divaksin, baik vaksin tahap pertama maupun tahap kedua. Hal ini harus disadari bersama sebagai salah satu tindakan preventif yang memang wajar dilakukan pada saat sekarang ini.

Tepat pukul 19.30 WIB, Kenduri Cinta diawali dengan Wirid Akhir Zaman yang dipimpin oleh Afif Amrullah dan Munawir Sajali serta beberapa penggiat Kenduri Cinta di panggung. Jamaah yang sudah hadir pun khusyuk dalam bermunajat. Wirid Akhir Zaman lalu dilanjutkan dengan lantunan beberapa wirid Maiyah; Wirid Padhangmbulan, Ma Lana Mawlan Siwallah dan Wirid Hasbunallah.

Memasuki sesi Mukadimah, Wisnu yang bertindak sebagai moderator mengantarkan forum untuk membedah tema Kenduri Cinta edisi Januari 2022 ini. Fahmi Agustian, Amien Subhan, Ali Hasbullah dan Adi Pudjo secara bergantian menjelaskan beberapa hal sebagai pengantar Kenduri Cinta malam itu.

Di awal, Fahmi mengajak jamaah untuk flash back selama 2020-2021, di mana Jamaah Maiyah melewati masa-masa pandemi dengan situasi yang cukup berat. Bukan hanya secara psikologis saja, tetapi juga melewati peristiwa kehilangan beberapa sosok guru; Syeikh Nursamad Kamba, Bunda Cammana, Umbu Landu Paranggi, Pak Iman Budhi Santosa, Kyai Muzammil hingga Mas Beben Jazz. “Kita sangat kehilangan sosok-sosok guru selama pandemi ini,” lanjut Fahmi.

Memasuki tema, Fahmi menyampaikan beberapa hal yang sebelumnya sudah disampaikan oleh Cak Nun, baik di Kenduri Cinta juga di beberapa edisi Maiyah yang dilangsungkan secara online di Kadipiro. Cak Nun berulang kali mengingatkan, bahwa di era banjir informasi seperti sekarang ini, saat kita sendiri tidak mampu membendung arus informasi yang datang, setidaknya jangan sampai informasi yang ada di luar diri kita justru menghabiskan energi dalam diri kita, padahal kita sendiri tidak diwajibkan untuk memikirkan bahkan tidak wajib juga untuk mengurusi hal-hal tersebut. “Seharusnya, bekal-bekal yang sudah kita dapatkan di Maiyah justru membuat kita lebih kuat dalam menjalani kehidupan saat ini. Bekal-bekal itu harus menjadi penangkal petir dalam diri kita agar kita tidak udah tersambar oleh petir-petir zaman yang ada di luar diri kita,” Fahmi memungkasi.

“Meskipun tadi sempat ada trouble menyangkut aliran listrik, alhamdulillah teman-teman penggiat Kenduri Cinta tidak panik. Hal-hal seperti ini sudah biasa terjadi di Maiyah, dan sudah pasti teman-teman Maiyah jika menghadapi hal-hal demikian juga tidak mudah panik,” Amien Subhan menyambung paparan yang disampaikan oleh Fahmi. Dan memang demikian adanya, teman-teman penggiat Kenduri Cinta sudah terbiasa dengan hal-hal yang di luar prediksi, sehingga hal-hal yang menjadi kendala di lapangan, bisa ditangani dengan sigap tanpa rasa panik berlebihan. Seperti Maiyahan Kenduri Cinta kali ini, harapannya dengan kita jaga bersama-sama penyelenggaraannya, bisa dilanjutkan untuk dilaksanakan pada bulan-bulan selanjutnya.

Ali Hasbullah kemudian menyegarkan kembali ingatan bahwa forum Kenduri Cinta ini salah satu forum yang unik. Seringkali yang di panggung membincangkan banyak hal yang bahkan keluar dari tema utama, tapi audiensnya tetap betah-betah saja. Jamaah pun tertawa mendengar celetukan Ali Hasbullah ini, dan memang demikian adanya. Seringkali narasumber yang berbicara membicarakan hal yang tidak sama dengan tema yang diangkat di Kenduri Cinta, namun jamaah tetap saja nyaman untuk menyimak apa yang disampaikan.

“Seringkali kita berdiskusi mengenai peradaban, tentang Indonesia, tentang masalah sosial masyarakat, ,yang kita hadapi sehari-hari atau berdasar atas informasi di sekitar kita” lanjut Ali. Karena memang forum Kenduri Cinta ini menjadi wadah aktualisasi diri bagi setiap jamaah yang hadir di Kenduri Cinta ini berhak untuk berbicara. Cak Nun sendiri menyebut forum Maiyah adalah forum dengan seribu podium, yang artinya semua orang memiliki hak yang sama untuk berbicara tentang apapun saja.

Tetapi memang demikian adanya forum Maiyah yang sudah dirintis dan dijalani oleh Cak Nun selama ini. Apa yang dilakukan oleh Cak Nun memang sebatas menanam benih. Kita sering mengalami penyegaran setelah Maiyahan. Cak Nun selalu mengajak kita untuk membongkar kembali cara berpikir kita yang sudah baku dengan lontaran-lontaran pertanyaan ataupun guliran diskusi yang mengalir begitu saja di setiap Maiyahan. Dan di sinilah letak kemerdekaan Maiyah, di mana kita sebagai jamaah Maiyah juga memiliki kemerdekaan untuk menentukan mana yang akan kita ambil dan dijadikan bekal hidup, dan mana yang harus kita simpan dahulu, atau mungkin juga ada hal-hal yang harus kita buang sejak dini, agar kita lebih waspada.

Ali menjelaskan bahwa Cak Nun sering menyebut bahwa Renaissance adalah awal mula kehancuran peradaban manusia, di mana mulai peristiwa itu manusia dijauhkan dari Tuhan. Sering Cak Nun mencontohkan hal-hal sederhana seperti film-film dokumenter di National Geographic misalnya, sebagus apapun film dokumenter baik secara visual maupun tema yang dibahas, sama sekali tidak pernah ada narasi mengenai kekuasaan Tuhan yang sebenarnya berkuasa penuh atas apa yang mereka dokumentasikan itu. Sementara kita di Maiyah, selalu menitikberatkan Tauhid, bahwa apapun yang kita lakukan selama kita hidup di dunia ini, mustahil tanpa campur tangan Tuhan. Dari contoh sederhana ini saja kita sudah mengalami pembongkaran cara berpikir. “Apa yang ditawarkan oleh Maiyah memang membongkar hal-hal yang keliru dari peradaban yang ada saat ini,” Ali memungkasi.

“Petir adalah sebuah energi yang sampai hari ini manusia belum bisa memanfaatkannya dengan baik, maka fungsi penangkal petir itu sendiri adalah menyalurkan energi yang datang dari petir untuk disalurkan ke bumi. Seharusnya, manusia memiliki kemampuan untuk memanfaatkan petir untuk menjadi teknologi yang berguna bagi kehidupan manusia. Begitu juga Maiyah, sebagai penangkal petir kita sebagai pelaku Maiyah harus mampu mengolah energi dari “petir-petir” yang muncul dari langit untuk kita olah, sehingga menjadi hal yang bermanfaat bagi kita.
Adi Pudjo, Kenduri Cinta (Januari, 2022)

SEMUA KANGEN UNTUK BERTEMU

DI TENGAH-TENGAH diskusi berjalan, Cak Nun bergabung ke panggung. Seperti diinformasikan sebelumnya, Cak Nun pada Jum’at(21/1) sejak pagi sampai malam, berada di Tasikmalaya untuk bersilaturahmi dengan teman-teman penggiat Simpul Maiyah Lingkar Daulat Malaya dan juga Jamaah Maiyah Tasikmalaya dan sekitarnya di forum Maiyahan yang diselenggarakan di Gedung Dakwah Islamiyah, Tasikmalaya. Setelah acara, Cak Nun bergegas ke Cibubur untuk bertemu dengan keluarga, dan pada Sabtu malam (22/1), Cak Nun hadir di Kenduri Cinta.

“Jadi yang kangen itu bukan cuma kita, tapi Cak Nun sendiri juga kangen untuk ketemu dengan kita di Maiyahan seperti ini,” Fahmi menyambut kehadiran Cak Nun di Kenduri Cinta malam itu sembari sedikit menjelaskan bahwa dalam masa pandemi, sejak Maret 2021 lalu, Cak Nun memang meminta tim Progress dan Koordinator Simpul Maiyah untuk diatur jadwalnya agar bisa bertemu dengan teman-teman penggiat Simpul Maiyah. Diawali di Sidoarjo, kemudian di Ponorogo, lalu berlanjut di Wonosobo dan Demak. Di awal tahun 2022 ini, agenda tersebut berlanjut ke Tasikmalaya, diselingi Kenduri Cinta dan kemudian akan berlanjut ke Lampung pada 24 Januari 2022.

“Aku khawatir, anda itu geletak’an di jalan-jalan,” Cak Nun menyapa disambut tawa jamaah Kenduri Cinta. “Saya itu kagum dan berterima kasih kepada Allah, karena anak-anak saya di seluruh Indonesia yang saya tilik’i tidak mendapatkan bahaya,” Cak Nun menyampaikan beberapa kesan ketika bertemu dengan teman-teman penggiat dan jamaah Maiyah di beberapa kota. Ini justru menandakan bahwa teman-teman Maiyah mampu survive dalam situasi pandemi dua tahun terakhir ini. Mungkin ada yang sempat jatuh, terkena dampak baik secara langsung maupun tidak langsung, dari situasi pandemi ini, tetapi faktanya semua berhasil untuk bangkit dan kembali melanjutkan hidup.

“Tidak berarti kemudian anda sembrono terhadap Covid, tetapi juga tidak boleh terlalu takut. Hidup anda harus selalu tawassuth. Tetap waspada tapi jangan sampai paranoid, tetap berani tapi jangan sampai sembrono, gitu yaa…, Cak Nun tetap menegaskan bahwa hidup ini harus penuh dengan kewaspadaan. Meskipun saat ini kita bisa Maiyahan seperti sebelumnya, tetapi tetap ada hal-hal yang diwaspadai, tidak serta-merta kita meremehkan sesuatu hal yang ada di hadapan kita.

Sembari melanjutkan sesi Mukadimah, Adi Pudjo turut menyambut kedatangan Cak Nun malam itu di Kenduri Cinta. “Alhamdulillah, terima kasih atas kedatangan teman-teman malam ini, juga antusiasme Cak Nun yang datang malam ini, semoga kita juga bisa mengimbangi antusiasme Cak Nun yang malam ini datang di Kenduri Cinta,” ungkap Adi Pudjo.

Berbicara mengenai tema, Adi Pudjo memiliki sudut pandang bahwa Maiyah sebagai Penangkal Petir semestinya berfungsi layaknya penangkal petir yang ada saat ini. Petir adalah sebuah energi yang sampai hari ini manusia belum bisa memanfaatkannya dengan baik, maka fungsi penangkal petir itu sendiri adalah menyalurkan energi yang datang dari petir untuk disalurkan ke bumi. Seharusnya, manusia memiliki kemampuan untuk memanfaatkan petir untuk menjadi teknologi yang berguna bagi kehidupan manusia. Begitu juga Maiyah, sebagai penangkal petir kita sebagai pelaku Maiyah harus mampu mengolah energi dari “petir-petir” yang muncul dari langit untuk kita olah, sehingga menjadi hal yang bermanfaat bagi kita.

“Ada petir-petir yang konteksnya fisika atau biologi yang alami seperti petir-petir biasanya yang kita alami. Ada juga petir-petir sosial budaya, petir-petir politik, dan yang bertaburan berseliweran seperti peluru nyasar itu petir-petir medsos, ya nggak?,” Cak Nun melambari diskusi selanjutnya. Petir-petir medsos itu yang ditegaskan oleh Cak Nun berpotensi untuk meledakkan kepala kita, kemudian membuat kita baper, membuat kita marah dan seterusnya.

Kita semua ingat bahwa di Maiyah kita membangun hubungan yang kemudian kita sebut sebagai Al Mutahabbiina Fillah. Istilah ini pertama kali muncul disampaikan oleh Cak Fuad di Padhangmbulan. Kita semua jamaah Maiyah berasal dari latar belakang yang berbeda, tetapi kemudian mempersaudarakan diri kita satu sama lain di Maiyah. “Untuk apa anda mencintai Allah kalau ternyata Allah tidak mencintaimu? Maka harus kita tempuh, yang nomor satu adalah segala perilaku yang kita lakukan membuat Allah mencintai kita,” Cak Nun menegaskan bahwa yang lebih utama adalah memperjuangkan agar Allah mencintai kita.

“Kadang-kadang kita ini seringkali tidak lengkap cara berpikirnya,” Cak Nun melanjutkan sembari mencontohkan, bahwa sering kita mendengar dalam pengajian, para Da’i dan Ustadz atau Kyai mengajak kita untuk berjuang mendapatkan ridla Allah, padahal yang lebih utama adalah kita sebagai manusia terlebih dahulu harus ridla terhadap ketentuan Allah kepada kita, baru kemudian kita akan mendapatkan ridla Allah. Kita selalu berpikir menjadi objek yang diberi ridla, jarang sekali kita berpikir untuk menjadi subjek yang memberi ridla.

Cak Nun menyitir surat Al-Fajr ayat 27-30; Yaa ayyatuha-n-nafsul muthmainnah irji’ii ilaa robbiki raadliyatan mardliyah. Cak Nun mentadabburi ayat tersebut, bahwa untuk mencapai tingkat muthmainnah, yang harus kita jalani terlebih dahulu adalah raadliyatan mardliyah, di mana kita harus memiliki sikap ridla terhadap ketetapan Allah yang kemudian hasilnya adalah pantulan dari Allah berupa ridla Allah kepada kita, sehingga kita bisa mencapai tingkat muthmainnah.

“Anda itu harus punya antena sendiri dalam diri anda, yang anda ciptakan sendiri secara simulatif atau animatif, jadi anda harus punya penangkal petir yang namanya Tauhid,”Cak Nun menjelaskan bahwa salah satu fungsi Tauhid dalam diri manusia adalah untuk menjadi penangkal petir dalam konteks selain petir yang sifatnya fisika tadi. Sehingga, jika kita tersambar oleh “petir” zaman, maka Tauhid itulah yang menjadi penangkal yang kemudian mengeliminir gangguan-gangguan itu, sehingga kita sebagai manusia tetap mampu untuk fokus ber-Tauhid kepada Allah.

“Anda harus punya mekanisme yang terdiri dari 3 macam mesin; mesin akal pikiran, mesin ruhnya hati dan jiwamu dan mesin syariat tradisional yang kamu lakukan di dalam hatimu kepada Allah,” Cak Nun melanjutkan sembari menjelaskan bahwa setiap manusia seharusnya memiliki catra seperti yang ada di candi Borobudur. Maksudnya adalah, Catra sebagai sebuah medium yang mampu menerima informasi dari Allah, menerima rahmat dan juga rezeki dari Allah.

Mengenai Candi Borobudur, Cak Nun kemudian menarik garis secara geografis di dalam peta dunia antara Borobudur dengan Ka’bah, di antara Borobudur dan Ka’bah terdapat Taj Mahal. Cak Nun menjelaskan, di Borobudur ada tradisi yang namanya Paradaksina, sebuah ritual yang dilakukan oleh ummat Budha. Yaitu mengelilingi Candi Borobudur searah putaran jarum jam (ke kanan). Berbeda dengan yang dilakukan oleh ummat Islam, ketika Thawaf di Ka’bah, putarannya berlawanan dengan arah jarum jam (ke kiri).

Dari letak antara Borobudur, Taj Mahal dan Ka’bah ini, Cak Nun memiliki tadabbur bahwa untuk mencapai kejayaan, manusia harus berjuang dengan sungguh-sungguh dan maksimal. Sementara, untuk menuju Tuhan, manusia tidak perlu mengalami kehancuran terlebih dahulu.

Berbelok sedikit, Cak Nun bercerita bahwa saat ini di Jogja, bersama teman-teman Teater 4 generasi senior dan yunior, akan mementaskan sebuah naskah Teater yang ditulis oleh Cak Nun berjudul “Mlungsungi”. Rencananya akan dipentaskan di Yogyakarta. Cak Nun berharap, bisa juga dipentaskan di Jakarta setelahnya. Cak Nun sedikit membocorkan naskah pementasan teater tersebut, salah satunya mengenai peristiwa diusirnya Nabi Adam dari Sorga.

“Jadi, anda mulai malam ini harus menciptakan semacam logam imajinatif di atas ubun-ubun anda yang berfungsi sebagai Catra,” Cak Nun melanjutkan. Dijelaskan, kenapa diatas ubun-ubun, karena bayi yang baru lahir pun selalu diusap ubun-ubunnya oleh ibunya setiap waktu, baik ketika dimandikan, ketika ditidurkan, ketika disusui dan seterusnya. Maka, seharusnya ketika dewasa, manusia tetap selalu mengusap ubun-ubunnya. “Supaya anda tetap bertahan pada mekanisme muthmainnah, menjadi jiwa yang tenang di hadapan Allah,” lanjut Cak Nun.

Mengusap ubun-ubun memang hanya berupa peristiwa fisik, karena yang terpenting adalah bagaimana kita membangun sistem dalam diri kita, sehingga Catra yang disebutkan Cak Nun sebelumnya dapat kita aktivasi, sehingga kita mampu selalu online dengan Allah melalui sistem yang disebut Tauhid. Salah satu tujuan kita ber-Maiyah tentunya adalah dalam rangka mengaktivasi Catra dalam diri kita ini, sehingga kita tetap terikat dalam sistem Tauhid Allah.

Berbelok sedikit, Cak Nun mengajak jamaah untuk sedikit berpikir lebih mendalam, “Untuk apa ada Islam? Salah satu alasannya adalah agar Allah memberitahu informasi kepada anda yang sebenarnya anda tidak mungkin mengetahuinya”. Cak Nun menjelaskan bahwa ada banyak hal yang manusia tidak mungkin mengetahui informasi secara detail. Seperti informasi mengenai Malaikat, tanpa diinformasikan oleh Allah melalui Islam, manusia tidak akan mengetahui apa itu Malaikat dan berapa jumlahnya. Termasuk Jin, Iblis dan seterusnya.

“Level terendah dari penangkal petir dalam dirimu adalah anda harus punya Catra sendiri, yang bahan-bahannya anda himpun sendiri dari bekal-bekal yang sudah anda dapatkan di Maiyah. Jadi anda harus tenteram hidupnya
Emha Ainun Nadjib, Kenduri Cinta (Januari, 2022)

MENGAKTIFKAN CATRA DALAM DIRI

BERBICARA kembali mengenai gangguan-gangguan berupa petir, Cak Nun menegaskan bahwa kita sebagai manusia tidak mungkin diwajibkan oleh Allah untuk melakukan hal-hal yang berada di luar batas kemampuan kita. Ayatnya di dalam Al-Qur`an pun sudah jelas; laa yukallifullahu nafsan illa wus’ahaa. Cak Nun berpesan agar jangan sampai kita menghabiskan energi untuk memikirkan hal-hal yang ada di luar kemampuan kita, harus selalu mengutamakan hal-hal yang primer dalam hidup kita, quu anfusakum wa ahliikum naaro. Itu saja sudah cukup. “Anda jangan sampai stres memikirkan sesuatu hal yang di luar yuridiksi tugas anda,” tegas Cak Nun.

“Level terendah dari penangkal petir dalam dirimu adalah anda harus punya Catra sendiri, yang bahan-bahannya anda himpun sendiri dari bekal-bekal yang sudah anda dapatkan di Maiyah. Jadi anda harus tenteram hidupnya,” Cak Nun melanjutkan bahwa setiap orang Maiyah harus mampu menemukan alasan untuk terus bahagia dan bersyukur. Dari Catra yang disusun sendiri itu, Cak Nun berharap bahwa orang Maiyah mampu menikmati hidup, mampu tertawa, dan menertawakan hidup. Manusiawi jika pernah mengalami jatuh dan kesedihan, tetapi harus juga mampu untuk kembali bangkit dan berjuang. “Level tertingginya adalah bahwa Indonesia tidak akan hancur selama masih ada Maiyah. Ini kita amini dan kita ikhtiari. Jadi anda benar-benar menjadi manusia yang menyelamatkan Indonesia,” tegas Cak Nun serius.

“KC ini sudah 22 tahun tidak ada portalnya kan? Anda ke sini tidak perlu membayar apapun, bahkan kepada saya. Tidak pernah ada diskusi mengenai honor saya di sini kan? Begitu juga ketika saya datang ke Padhangmbulan, Mocopat Syafaat, dan lain sebagainya. Saya sepenuhnya bersedekah untuk anda semua. Bahkan, saya tidak pernah mewajibkan anda untuk taat kepada saya kan?,” Cak Nun melanjutkan. Kemerdekaan ini yang juga ditularkan oleh Cak Nun ke semua Simpul Maiyah, sehingga setiap simpul secara mandiri kemudian antar penggiatnya saling berkolaborasi untuk saling melengkapi apa saja yang diperlukan, sehingga setiap bulannya dapat menyelenggarakan Maiyahan.

Tentu kita juga masih ingat Cak Nun berulang kali menyampaikan kepada kita agar kita mampu membaca ayat-ayat Allah yang tidak difirmankan. Karena memang ada banyak hal yang sejatinya kita tidak ketahui secara kasat mata, atau tidak kita lihat secara langsung peristiwanya, tetapi hal itu merupakan hal esensial juga yang mendukung terjadinya sebuah peristiwa. Malam itu, Cak Nun kembali mengingatkan kepada jamaah Maiyah di Kenduri Cinta bahwa dalam beragama, meskipun kita beriman dan selalu berlandaskan dalil AlQur`an maupun Hadits Rasulullah Saw, namun jangan pernah meninggalkan kemanusiaan kita. Begitulah manusia sebagai khalifah, mampu melakukan apapun saja atas perkenan Allah. Itulah manusia yang bertauhid, dan di Maiyah ini kembali ditegaskan oleh Cak Nun bahwa Tauhid adalah sesuatu yang mutlak.

Cak Nun kemudian mentadabburi Surat An-Nuur ayat 35. Cak Nun menjelaskan bahwa Allah tidak pernah menciptakan kegelapan, karena kegelapan terjadi akibat cahaya yang ditolak. Yang diciptakan oleh Allah adalah cahaya. Namun demikian, kita sebagai manusia pun tidak bisa melihat cahaya, yang kita lihat adalah benda yang ditimpa oleh cahaya. Cak Nun kemudian merefleksikan Maiyah sebagai sebuah entitas software,Maiyah tidak dikenal oleh masyarakat awam, bahkan juga tidak dikenal secara mainstream tetapi kita semua di Maiyah serius menjalaninya, maka ini yang disebut oleh Cak Nun sebagai wujud ikhtiar kita di Maiyah agar Maiyah menjadi Catra bagi Indonesia. Dan kita juga tidak mencita-citakan agar Maiyah ini dilihat oleh banyak orang.

“Salah satu kurikulum Maiyah adalah yakaadu zaituha yudhlii`u walaw lam tamsashu naar,” Cak Nun melanjutkan. Munculnya sebuah cahaya yang tidak disebabkan dari api yang disulut, itulah yang kita ikhtiarkan di Maiyah. Setiap manusia memiliki potensi yang bisa bermanfaat bagi masyarakat sekitar. Orang Maiyah, ditegaskan oleh Cak Nun, harus mampu menjadi orang yang bermanfaat, di manapun ia berada, seperti yang disebutkan dalam An-Nuur 35 itu, laksana cahaya yang menyala tanpa disulut oleh api. “Ini saya serius mendoakannya. Anda masing-masing akan yakaadu zaituhaa yudhlii`u walaw lam tamsashu naar. Anda akan menjadi cahaya yang menyinari orang-orang di sekitar anda,” ungkap Cak Nun.

Di tengah diskusi, Cak Nun meminta jamaah untuk membaca surat Al-Anfal ayat 17 yang dilantunkan secara kata per kata, dengan diawali membaca Surat Al-Fatihah dan shalawat. Ijazah ini diberikan oleh Cak Nun dengan tujuan salah satunya untuk mengaktivasi masing-masing catra dalam diri kita, sehingga kita mampu menjadi catra bagi diri kita dan orang-orang di sekitar kita. “Alhamdulillah, saya terima kasih, matur nuwun, aku diewangi atiku. Mudah-mudahan Allah menunjukkan keadilannya, kedermawanannya, kasih sayangnya dan keseimbangan yang selalu dirawat untuk kehidupan ini,” Cak Nun mengungkapkan harapannya malam itu melalui ijazah tersebut.

Cak Nun kembali menjelaskan mengenai 3 level mesin penangkal petir dalam diri manusia. Level pertama adalah akal pikiran. Cak Nun menjelaskan bahwa kita memerlukan keseimbangan dalam berpikir, jika kita sejak berpikir saja sudah keliru, maka hasilnya pasti ketidakadilan, akan terjadi konslet, benturan-benturan dan lain sebagainya. Level kedua adalah ruh dan kebersihan hati, keikhlasan kepada Allah dan kelancipan jiwa kita bertauhid kepada Allah. Level ketiga adalah sesuatu yang Allah informasikan melalui ayat-ayat Al-Qur`an yang kemudian menjadi ijazah atau wirid-wirid yang sering kita riyadlahkan.

Melengkapi Ijazah Al-Anfal ayat 17, Cak Nun menganjurkan kepada Jamaah Maiyah Kenduri Cinta malam itu untuk melafalkan wirid Hasbunallah (Hasbunallah wa ni’ma-l-wakiil ni’ma-l-mawla wa ni’ma-n-nashiir) sebanyak 9 kali setiap setelah shalat, yang sebelumnya diawali dengan shalawat sebanyak 9 kali dan istighfar sebanyak 9 kali. Kemudian, Cak Nun juga menganjurkan kepada seluruh Jamaah Maiyah untuk membaca Surat Al-Qadar (inna anzalnaahu fii lailatil qodr) sebanyak 10 kali setiap sebelum tidur. Karena menurut Cak Nun, kita sebagai manusia membutuhkan Qadarnya Allah untuk membantu kita dalam menghadapi dan mengatasi problematika kehidupan.

Melalui surat Al-Qadar ini, Cak Nun mentadabburi bahwa Lailatul Qadar itu bisa dilihat dari perspektif dengan: Lailah adalah masalah yang kita hadapi, di mana bentuknya bisa berupa utang, kesulitan hidup, sakit, tidak punya pekerjaan, belum menikah dan lain sebagainya, sehingga kemudian kita mengharapkan Qadar-nya Allah untuk membantu kita menyelesaikan permasalahan yang kita hadapi. “Jadi di dalam kegelapan hidupmu saya memohon kepada Allah dengan 10 kali teman-teman membaca Al-Qadar itu, Allah akan memberikan Qadar-Nya”, pungkas Cak Nun.

Diskusi semakin gayeng dengan kesegaran lontaran kelakar Cak Nun. Tawa jamaah membahana setiap Cak Nun melemparkan guyonan-guyonan yang menggelitik, yang memang sudah lama tidak kita rasakan bersama selama hibernasi Maiyahan 2 tahun terakhir ini. Untuk memberi jeda, grup musik Pandan Nanas yang digawangi oleh Bedur malam itu tampil di Kenduri Cinta membawakan beberapa lagu yang iramanya menggembirakan. Jamaah pun turut bernyanyi bersama saat Pandan Nanas membawakan lagu-lagu malam itu.

“Salah satu kurikulum Maiyah adalah yakaadu zaituha yudhlii`u walaw lam tamsashu naar
Emha Ainun Nadjib, Kenduri Cinta (Januari, 2022)

TAWASUL KEPADA CAK NUN

MALAM ITU, Andrean yang merupakan salah satu penggiat Kenduri Cinta yang sempat non-aktif, karena beberapa hal, malam itu turut bergabung di Kenduri Cinta, karena ada beberapa hal yang ingin ia ceritakan. Pengalaman spiritual yang ia alami dalam beberapa tahun terakhir menurutnya tidak lepas dari persambungannya dengan Cak Nun dan tentu saja Maiyah dan Kenduri Cinta.

“Dulu waktu saya masih aktif menjadi penggiat Kenduri Cinta, saya itu tidak berani mendekat dengan Cak Nun, karena saya merasa banyak dosa dan merasa tidak pantas dekat-dekat dengan beliau. Satu-satunya kesempatan saya bisa bertemu Cak Nun dengan leluasa adalah saat sebelum saya menikah untuk meminta doa restu dari Cak Nun,” Andrean mengawali kisahnya. Peristiwa meminta doa restu itu terjadi pada medio 2016. “Kunci saya cuma satu; setiap kali sehabis shalat, saya bertawassul kepada Cak Nun,” lanjut Andrean.

Setiap setelah Maiyahan, Cak Nun memang selalu mampir ke sebuah warung, sekadar untuk melepas lelah sembari menikmati teh hangat, lalu sebatang dua batang rokok. Pada momen itu, Andrean memberanikan diri untuk meminta doa restu kepada Cak Nun. Saat itu, Cak Nun memeluk Andrean kemudian mencium ubun-ubun Andrean sembari mendoakan agar hajat Andrean dilancarakan oleh Allah. Setelah itu, Cak Nun berpesan kepada Andrean; “Ati-ati yo le, setelah nikah cobaanmu semakin berat,”begitu kira-kira yang diingat oleh Andrean.

Pesan dari Cak Nun saat itu selalu dipegang Andrean agar ia semakin waspada. Ujian pertama bagi Andrean datang tepat dua hari setelah ia melangsungkan resepsi pernikahan, ayahnya meninggal dunia. Setelah menikah, kesibukan Andrean semakin padat dalam pekerjaannya, sehingga ia memang kemudian non-aktif dari Kenduri Cinta.

Di tahun 2018, ujian kembali datang kepada Andrean. Dalam bisnis yang ia geluti, ada piutang dari rekanan bisnis yang tidak dibayarkan oleh rekan bisnisnya hingga miliaran rupiah. Di tahun-tahun itu, Andrean memang mengalami kelancaran dalam bisnis, ia bahkan sempat membelikan rumah dan memberangkatkan umroh kedua mertuanya ke tanah suci. “Saya ini memang ada bakat nakal sejak kecil,” Andrean melanjutkan ceritanya.

Di Tahun 2018, saat ia menanggung kerugian hingga miliaran rupiah itu, Andrean juga menderita sebuah penyakit yang disebut Leukopenia, sebuah penyakit yang disebabkan karena jumlah sel darah putih dalam tubuhnya sangat sedikit. Andrean bahkan sempat mengalami kadar 0% sel darah putih dalam tubuhnya, sehingga ia sempat turun berat badannya sampai 30 Kg.

“Sakit yang saya derita sampai saya mengalami kritis selama 3-4 hari, dan semua rumah sakit sudah menolak untuk menangani kondisi saya saat itu,” lanjut Andrean. Dikisahkan Andrean, istrinya sempat mengundang teman-teman dan beberapa gurunya untuk membaca surat Yasin dan berdoa di rumahnya saat Andrean sudah terbaring dan tidak berdaya. “Dalam keadaan seperti itu, satu hal yang selalu saya lakukan adalah bertawassul kepada Cak Nun,” ungkap Andrean.

Pada satu momen kritis itu, Andrean sempat terlelap tidur. Dalam tidurnya, Cak Nun hadir dalam mimpi Andrean dan memberikan sejumlah urutan wirid yang kemudian menjadi salah satu amalan sehari-hari Andrean. Setelah Cak Nun hadir dalam mimpi itu, Andrean tiba-tiba merasa segar dan bisa bangkit dari situasi kritisnya. Selama momen kritis tidak bisa bangkit, Andrean tetap melaksanakan shalat dengan diawali tayamum. Tentu tidak seperti orang shalat dalam kondisi sehat, Andrean melakukannya dalam kondisi berbaring. Wirid yang diijazahkan Cak Nun pun selalu ia amalkan. Mimpi itu sangat membekas, bahkan dalam mimpi itu Cak Nun berpesan kepada Andrean bahwa sakit yang ia derita itu kecil, bisa disembuhkan oleh Allah.

Alhamdulillah, berangsur-angsur kesehatan Andrean mulai membaik. Memang tidak sesehat seperti dulu, tetapi kondisi Andrean saat ini sudah lebih baik jika dibandingkan saat ia mengalami sakit Lekopenia itu. Andrean menyebut hidupnya saat ini adalah kesempatan kedua yang diberikan oleh Allah.

Setelah sakitnya pulih, Andrean bercerita bahwa Cak Nun masih sering datang dalam mimpinya dan memberikan pesan-pesan. Seperti dialaminya beberapa waktu lalu, dalam suatu mimpinya, Cak Nun memberikan pesan kepada Andrean untuk membaca wirid Hasbunallah saat menghadapi kesulitan. Pada saat itu, diceritakan juga oleh Andrean bahwa pesan yang disampaikan oleh Cak Nun adalah bahwa ia harus ridla terhadap ketetapan Allah yang sedang dihadapi, maka Allah pun kemudian akan ridla.

“Kalau teman-teman benar-benar takdzim dan mencintai Cak Nun, bertawasul saja. Nggak usah minta aneh-aneh, foto bareng, cium tangan, itu ndak perlu. Yang saya lakukan adalah bertawasul kepada Cak Nun,” Andrean memungkasi.

“Soal tawasul ini kan di beberapa kalangan menolak keras, padahal shalawat itu juga salah satu bentuk tawasul,” Cak Nun menyambung cerita Andrean. “Saya kira kita semua ini tidak cukup memiliki kepantasan dan kualitas hidup serta perilaku kita untuk memenuhi syarat masuk surga. Satu-satunya yang bisa menolong kita untuk masuk surga adalah Rasulullah Saw, maka kita selalu bershalawat kepada beliau,” lanjut Cak Nun.

Ditambahkan oleh Cak Nun, bahwa manusia tidak akan mampu menghisab amalan-amalan yang sudah dilakukan, hanya Allah yang mampu, karena Allah itu lathiifun khobiirun. Allah itu Maha Lembut dan sangat detail dan komperhensif dalam perhitungan amal manusia, sehingga manusia tidak mungkin bisa menentukan apakah amalan kita mampu mengantarkan kita untuk masuk surga. “Jadi lebih baik kita berkhusnudzon kepada Allah untuk terus merasa bahwa kita itu memang ndak pantes untuk masuk surga. Itu sebabnya kita bershalawat kepada Rasulullah Saw, karena satu-satunya harapan agar kita masuk surga dan diterima oleh Allah adalah kalau kita bersama Rasulullah Saw. Itu yang disebut dengan gondelan klambine Kanjeng Nabi,” Cak Nun melanjutkan.

Cak Nun menjelaskan bahwa dalam khasanah Islam modern ini, tawasul masuk dalam perbedaan khilafiyah dan ikhtilafiyah. Dan itu tidak perlu menjadi persoalan, karena setiap kita sudah memiliki keyakinannya masing-masing. “Saya ini kan ndak pernah merencanakan untuk datang ke mimpinya Andrean apalagi sampai menuntun wirid di mimpinya,” Cak Nun merespons pengalaman Andrean. Cak Nun menegaskan bahwa peristiwa-peristiwa seperti yang dialami Andrean itu pernah terjadi beberapa kali, dan salah satunya dialami oleh Bu Latappa di Mandar. “Jangan salah sangka dan itu tidak akan menjadi bahan untuk saya sombong kepada anda. Itu semua rekayasa Allah. Allah sendiri yang menyatakan; Subhanalladzi asro bi’abdihi lailan, Allah sendiri yang memperjalankan,” Cak Nun menegaskan.

Salah satu kemalasan berpikir orang modern adalah tidak mau meneliti bahwa ada frekuensi yang lain dalam sebuah ekosistem kehidupan yang dirancang oleh Allah ini. Cak Nun mencontohkan, aliran air yang bergelombang bahwa yang bisa direkam oleh teknologi adalah airnya bukan gelombangnya. Satu contoh kecil itu saja seharusnya membuat kita menyadari bahwa ada frekuensi lain yang Allah sendiri merekayasa agar air bergelombang, tetapi kita tidak mampu melihat gelombangnya. Yang kita lihat adalah airnya. Begitu juga dengan peristiwa mimpi Andrean tadi. Bukan manusia yang merancangnya, tetapi Allah sendiri yang merekayasanya.

“Anda tahu ya, saya menanggapi peristiwa seperti yang diceritakan Andrean ini apa saya bangga? Saya tidak ada urusan dengan kebanggaan karena itu bukan prestasi saya, itu bukan kehendak saya dan itu bukan kehebatan saya sama sekali, itu semua adalah Subhanalladzi asro bi’abdihi lailan,” Cak Nun melanjutkan.

“Nah hidup anda itu seperti itu juga, Subhanalladzi asro bi’abdihi lailan. Diperjalankan oleh Allah. Sudah ridla saja,” Cak Nun kembali menjelaskan bahwa hidup kita sebagai manusia itu benar-benar lailan, di malam hari yang penuh kegelapan. Semua peristiwa yang kita alamai di dunia, ada momentum-momentum yang subjeknya bukan diri kita sendiri melainkan Allah. Cak Nun menegaskan bahwa tidak ada satu pun momentum dalam hidup kita yang terjadi tanpa campur tangan Allah. “Momentum hidayah itu yang harus anda syukuri setiap hari,” tegas Cak Nun.

“Kalau anda ndak shalat, maka anda ndak matur nuwun sama Allah, anda ndak sungkan sama Allah. Padahal sudah dikasih oleh Allah begitu banyak kenikmatan
Emha Ainun Nadjib, Kenduri Cinta (Januari, 2022)

YANG UTAMA ADALAH KEBIJAKSANAAN

MENGENAI peristiwa yang dialami Andrean, Cak Nun mengingatkan untuk tidak perlu diperdebatkan apalagi dipertanyakan, karena jika ada yang bertanya kepada Cak Nun apakah benar-benar mendatangi Andrean dalam mimpi, sudah pasti jawabannya adalah tidak. Untuk membuktikan kebenaran peristiwa itu biarkan saja orang yang mengalaminya yang kemudian meyakininya. “Kebenaran itu penting, tetapi bukan yang nomor satu. Kebaikan itu penting tetapi tidak nomor satu. Yang nomer satu adalah kebijaksanaan,” tegas Cak Nun.

Karena Allah menyatakan dalam Al Qur`an; Ud’u ilaa sabiili robbika bi-l-hikmah. Allah tidak menyatakan bi-l-khoir atau bi-l-haqq, melainkan bi-l-hikmah. Cak Nun menjelaskan bahwa kebijaksanaan adalah hasil dari tetes-tetes yang diendapkan dari kebaikan, kebenaran, keadilan, dan seterunya. Tetesan-tetesan yang sudah diendapkan itulah yang kita sebut sebagai kebijaksanaan, karena jika kebijaksanaan yang kita sajikan maka tidak akan menyakiti orang lain, tetapi akan menjadi sesuatu yang bermanfaat bagi semua pihak.

Cak Nun kemudian sedikit menyoroti perkembangan media sosial hari ini yang begitu pesat berkembang teknologinya. Bagi Cak Nun, platform-platform yang ada saat ini telah mampu menciptakan bentuk-bentuk kemesaraan, kegembiraan, kabahagiaan yang baru bagi manusia. Tetapi yang tidak pernah dihitung adalah bahwa media sosial juga menciptakan kegelapan-kegelapan bagi manusia. Terjadinya perpecahan antar hubungan sosial manusia saat ini juga disebabkan oleh media sosial, dan itu tidak pernah dihitung oleh manusia sendiri. Karena yang menjadi pijakan utama bukanlah kebijaksanaan.

Menyambung penjelasan mengenai media sosial, Cak Nun menambahkan bahwa saat ini banyak manusia tidak menyadari bahwa dirinya mengalami kehancuran. Dan lagi-lagi, yang dikhawtirkan oleh manusia adalah ancaman dari sesuatu yang dianggap material, seperti Dajjal misalnya. Cak Nun menjelaskan bahwa Dajjal itu jangan dibayangkan sebuah makhluk yang memiliki bentuk fisik. Mungkin benar ada informasi mengenai bentuk fisik Dajjal, tetapi juga kita harus waspada bahwa Dajjal juga bisa berupa energi dan frekuensi atau gelombang. Kita tidak menyadari Dajjal yang demikian. Bahkan tentang virus saja kita tidak dapat mendeteksinya secara kasat mata, apalagi tentang Dajjal.

“Ketika Rasulullah Saw menginformasikan Dajjal tidak akan memasuki Mekkah dan Madinah, anda jangan membayangkan informasi tersebut bersifat kuantitatif, sudah pasti informasi dari Rasulullah Saw itu bersifat kualitatif,” Cak Nun menjelaskan bahwa yang dimaksud Mekkah dan Madinah dari pesan Rasulullah Saw itu juga bisa ditadabburi bukan hanya sebatas geografis kota Mekkah dan Madinah, tetapi bagaimana kita kemudian berupaya untuk membangun nuansa Mekkah dan Madinah yang dimaksud oleh Rasulullah Saw dalam diri kita, sehingga kita tidak mudah tergoda oleh gelombang Dajjal. Dan tentu saja Mekkah dan Madinah yang dimaksud oleh Rasulullah Saw dalam pesan itu tidak sama dengan kondisi geografis serta sosial masyarakat saat ini di dua kota tersebut.

Menjelang tengah malam, Fahmi membuka sesi tanya jawab untuk 3 penanya dari jamaah yang hadir malam itu. Pertanyaan pertama dari Bayu mengenai sampai kapan kita di Maiyah harus bersabar untuk sampai pada peradaban yang baru, apakah memang harus hancur dulu? Cak Nun kemudian langsung merespons bahwa yang dilakuan di Maiyah itu adalah ikhtiar dalam rangka berjuang agar jangan sampai kita tidak melakukan yang Allah perintahkan kepada kita.

Kita mungkin putus asa dengan kondisi peradaban saat ini, apalagi jika berbicara mengenai Indonesia, tetapi jangan sampai rasa putus asa itu menghilangkan optimis kita terhadap rahmat Allah. Cak Nun mengingatkan bahwa Allah itu Maha Bekerja, maka salah satu wiridan kita di Maiyah adalah Yaa Fa’aal. Usaha dan daya upaya manusia itu ada batasnya, dan kita semua melakukan sebisa mungkin apa yang bisa kita lakukan. Cak Nun kembali menegaskan bahwa Maiyahan yang sudah berlangsung puluhan tahun ini juga tidak dalam rencana untuk melakukan perubahan apa-apa. Kita hanya mengupayakan kebaikan untuk bersama. “Makanya kita harus berupaya untuk terus ridla kepada Allah, sehingga Allah juga ridla kepada kita,” pungkas Cak Nun.

Pertanyaan kedua dari pemuda yang bernama Kian Santang, setelah memperkenalkan dirinya, jamaah menyambut dengan tepuk tangan. Ia bertanya tentang bagaimana agar shalat yang dilakukan itu menjadi sebuah kenikmatan dan kebahagiaan, bukan menjadi beban bagi yang melakukannya. “Yang shalat dalam dirimu, apanya yang shalat, Mas? Harus dikontekstualisasikan ke dalam dirimu,” Cak Nun mengawali respons untuk pertanyaan kedua. Lebih detail lagi, Cak Nun menyampaikan bahwa kita harus menemukan alasan untuk apa kita shalat, harus dicari muatannya yang menjadi pijakan atau niat untuk mendirikan shalat. “Sholat itu adalah rahmat Allah yang luar biasa untuk kita”, Cak Nun melanjutkan.

Cak Nun menambahkan bahwa kita sebagai manusia sudah dikasih kenikmatan luar biasa dengan perintah shalat itu sendiri, karena salah satunya kita sudah dicontohkan oleh Rasulullah Saw tentang tata cara sholat itu sendiri. Kita tidak bisa membayangkan jika kita disuruh mencari sendiri untuk menemukan formula yang tepat dalam melaksanakan shalat. Di Islam ada ibadah yang disebut sebagai Ibadah mahdhloh, yang tata caranya sudah ditentukan oleh Allah, diajarkan melalui Rasulullah Saw. Sementara ada juga ibadah mu’amalah yang manusia secara kreatif merumuskan sendiri tata caranya. Allah hanya memberi rumus; lakukan yang diperintahkan dan jangan lakukan apa yang dilarang.

Ditambahkan oleh Cak Nun, jika memang tidak menemukan alasan untuk shalat, maka lakukanlah shalat dalam rangka bersyukur kepada Allah. “Kalau anda ndak shalat, maka anda ndak matur nuwun sama Allah, anda ndak sungkan sama Allah. Padahal sudah dikasih oleh Allah begitu banyak kenikmatan,” pungkas Cak Nun.

Pertanyaan ketiga disampaikan oleh Endra. Apakah jika ada orang meninggal karena disantet ilmu sihir itu sama dengan ia meninggal bukan karena kehendak Allah? Cak Nun merespons, jika ada orang meninggal dan disebabkan karena kena ilmu santet, lebih baik kita berkhusnudzon bahwa Allah memang mentakdirkan orang tersebut meninggal dengan cara disantet. Karena kematian adalah salah satu rahasia Allah yang manusia tidak akan mampu mengelaborasinya, begitu juga dengan takdir Allah.  Cak Nun berpesan bahwa yang bisa dilakukan oleh manusia adalah meniru dan meneladani Rasulullah Saw.

Cak Nun mencontohkan bahwa dalam sebuah riwayat, Rasulullah Saw saat berwudlu, ketika mengambil air dengan kedua telapak tangan, tidak ada air yang menembus sela-sela jari kemudian menetes. Air yang diambil utuh. Cak Nun mentadabburinya bahwa kita sebagai manusia dalam beriman dan berkeyakinan kepada Allah jangan sampai bocor, sehingga tidak ada dimensi atau informasi yang menyebabkan keimanan kita tidak utuh. Sehingga menyebabkan kebocoran-kebocoran ilmu mengenai iman kita kepada Allah. “Semua peristiwa yang terjadi di alam semesta ini di bawah kehendak Allah Swt,” tegas Cak Nun.

Setelah merespons 3 pertanyaan, Cak Nun pun memuncaki Maiyahan di Kenduri Cinta. Situasi yang ada saat ini tentu belum memungkinkan kita Maiyahan sampai menjelang subuh seperti biasanya. Lewat tengah malam, Kenduri Cinta edisi Januari 2022 diakhiri dengan doa bersama yang dipimpin oleh Andrean.