Maiyah Amerika: Merambah Ke Washington DC untuk Tema Khilafiyah

seri perjalanan maiyah amerika

Maiyah Amerika

Rangkaian agenda di Atlanta sudah selesai dan berjalan dengan baik. Jadwal selanjutnya sudah menanti: bertolak ke Washington DC. Hari Sabtu 26 September 2015 Pukul 10.00 waktu setempat berangkat dari Atlanta dengan penerbangan sekitar satu setengah jam menuju Washington DC. Dan alhamdulillah, kurang lebih pukul 11.30 Cak Nun dan Ibu Via sudah menjejakkan kaki alias mendarat di Ronald Reagan Washington National Airport (DCA) di Arlington, Virginia dan telah ditunggu dan disambut teman-teman panitia di sana.

Di Washington DC ini, Cak Nun dan Ibu Via cukup padat dijadwalkan beracara sebanyak empat kali. Yang menggelar rangkaian acara di sini adalah Indonesian Muslim Association in America (IMAAM). Selama di Washington DC, Cak Nun dan Bu Via singgah di rumah Pak Joko, salah seorang warga Indonesia yang tinggal di sana. Acara pertama adalah silaturahmi di Masjid IMAAM Center pada hari yang sama usai salat Ashar dengan tajuk Tabligh Akbar Bersama Cak Nun bertemakan Menyikapi Persoalan Ummat.

Sebelum sampai ke acara inti, para hadirin dan juga Cak Nun dan Ibu Via diajak untuk menikmati persembahan yang disuguhkan oleh jamaah IMAAM berupa drama anak-anak, pembacaan puisi dan lantunan selawat, serta menikmati sajian makanan. Tiba waktu salat Ashar, acara dihentikan untuk salat Ashar berjamaah. Setelah salat Ashar, Cak Nun disambut secara resmi oleh Presiden IMAAM, Amang Sukasih dan oleh Bapak Arto R. Suryodipuro, Deputy Chief Mission (Wakil Duta Besar) KBRI.

Berangkat ke Washington DC, Cak Nun sudah berbekal sedikit informasi mengenai masyarakat muslim di sini. Mayoritas jamaah di sini adalah TKW yang dibawa ke sini oleh majikan mereka di Timur Tengah. Seperti TKW Indonesia di luar negeri manapun, sebagian besar keseharian mereka tetaplah seperti sehari-hari di desa atau kampung asal mereka, ya selawatan atau berkesenian hadrah. Sementara itu, pengurus IMAAM Center adalah teman-teman yang memiliki latar belakang dan kultur yang berbeda.

Ringkasnya, situasi yang coba dipahami Cak Nun sebagai bagian dari background acara silaturahmi di Masjid IMAAM ini adalah adanya potensi khilafiyah dalam hal bidah, yang berlangsung berkepanjangan, tanpa upaya tabayyun ‘ilmy was-syar’i. Sebagai contoh, KBRI pernah menumbang bedug besar yang indah bagus tapi terbengkalai di gudang karena kontraversi bidah ini. Situasi yang dalam bahasa Cak Nun “tiga langkah di belakang wacana ilmu Maiyah.”

Barangkali lantaran itulah tema yang diangkat adalah Menyikapi Persoalan Ummat dan oleh karena itu pula mereka ingin menyimak pandangan-pandangan dari Cak Nun. Dalam acara itu lantas Cak Nun memaparkan sejumlah prinsip dalam menyikapi perbedaan di antara umat muslim. Dalam caranya yang khas, cerdas dan berpikir beyond, seperti berulang-ulang disampaikan di pelbagai forum maiyahan di tanah air, Cak Nun mengajak semuanya untuk tidak menomorsatukan atau “mengagamakan” aliran, mazhab, atau kelompok. Sebab, sejatinya aliran-aliran yang ada harus didayagunakan untuk mempertebal iman dan bukan dijadikan alasan untuk berpecah-belah di antara umat muslim. Pendek kata, memilih atau mengikuti mazhab atau aliran haruslah disertai kedewasaan, kelapangan dada, dan keterbukaan pikiran. Aliran atau mazhab tak seyogyanya mempersempit diri pengikutnya.

Contoh-contoh sederhana tapi cerdas dikemukakan Cak Nun sehingga terasa sebagai jokes berkualitas yang tak terduga sebelumnya oleh para jamaah dan mengalir secara segar dan menyegarkan. Di sini, Cak Nun tidak melulu menyampaikan pandangan secara formal-linier, tetapi kultural dan benar-benar dari ketulusan hati sebagai manusia. Cak Nun juga mengajak teman-teman untuk mampu beyond atau melampaui istilah-istilah yang mewarnai alam pikir keagamaan seperti Islam Nusantara, Sunni, Syiah, Wahabi, ISIS dan lain-lain dan tetap berupaya semaksimalnya meraih dan menerapkan esensi Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin.

Sedemikian lama tak tertanganinya khilafiyah-khilafiyah di dalam masyarakat, juga adanya bermacam pemikiran teologis-keislaman yang bersifat antarbangsa maupun yang tumbuh dari konteks lokal, ditambah tidak adanya kepemimpinan umat yang mampu memandu masyarakat dalam berperbedaan pendapat dan disertain semakin bebasnya setiap individu mengemukakan omongan melalui media sosial, kadang membuat kita lupa akan rumus-rumus sederhana yang diajarkan Nabi Muhammad. Di antaranya, seseorang disebut mukmin apabila dia mampu menjaga nyawa, harta dan martabat sesamanya. Itu sebabnya, Cak Nun mengajak para hadirin kembali ke nilai-nilai dasar keislaman dan kemukminan yang diajarkan Rasulullah.

SESUDAH 34 TAHUN TAK BERTEMU

Kedatangan Cak Nun di Washington DC ini rupanya mempertemukannya dengan kerabat lama seorang tokoh jurnalis oldcrack VOA asal Yogya, bernama Abdul Nur Adnan. Siapakah dia? Cak Nun mengisahkan, “Di tahun 1981 saya ditampung di rumah beliau di Maryland di tengah pengembaraan saya di sangat banyak titik-titik di AS pada tahu 1981 itu, dari Iowa ke DeKalb Chicago, Columbus, Indianapolis, Muncie, Athens, Itaca, Berkley, Manhattan dan lain-lain dan lain-lain sampai masuk ke sekte-sekte Sung Myung Moon, Harekreshna, Baghawan, Ashram-Ashram Hindu dan lain-lain. Terimakasih Allah mempertemukan kami sesudah 34 tahun.”

Perjalanan pengembaraan Cak Nun di berbagai titik dan kantong di Amerika Serikat seperti diceritakannya tadi menjadi salah satu periode sejarah Cak Nun akrab, dekat, dan familiar dengan bermacam-macam kecenderungan kejiwaan dan religiositas manusia, khususnya manusia modern di negara-negara maju, tetapi tanpa sedikit pun luntur pandangan-pandangan dasar keagamaannya yang sudah terbentuk sejak kecil di desanya di Menturo Jombang yang dewasa dalam perbedaan. Esensi sikap yang memang paralel dibutuhkan dalam merespons tema Silaturahmi di Masjid IMAAM Center 34 tahun setelahnya. Pak Abdul Nur Adnan yang menjadi sahabat dan saksi pengembaraan keluasan yang ditempuh Cak Nun itu turut hadir di acara silaturahmi tersebut, dan sekali lagi menjadi saksi atas pentingnya kedewasaan dan keluasan jiwa dalam menyikapi persoalan umat.

Komentar