Kenduri Cinta, Yang Menggembirakan Dan Membahagiakan

PERJUMPAAN yang membahagiakan dan menggembirakan hanya akan dirasakan oleh mereka yang berjumpa dalam bingkai kerinduan. Kenduri Cinta dan selayaknya forum Maiyahan lainnya adalah media perjumpaan kita bersama, untuk duduk bersama, sinau bareng, meninggalkan identitas dan latar belakang, bahkan gender. Tidak ada laki-laki atau perempuan, semuanya adalah manusia.

Kiranya, tidak terlalu rumit jika kita harus kembali mentadabburi nukilan ayat; Faman kaana yarjuu liqoo’a robbihi fa-l-ya’mal ‘amalan shoolihaan. Maka barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya maka hendaklah dia mengerjakan kebajikan. (Al Kahfi 110). Tidak terlalu sukar pula untuk mendefinisikan bahwa Maiyahan adalah salah satu ikhtiar kita bersama dalam konteks fa-l-ya’mal ‘amalan sholihaan seperti tertuang dalam ayat tersebut. Adakah kita menemukan keburukan dalam Maiyahan yang selalu menjadi tempat kita berjumpa?

Malam itu, 13 September 2019, Jumat kedua di bulan September, menjadi hari raya bagi kita Jamaah Maiyah yang ada di Jakarta. Tidak hanya yang ada di Jakarta dan sekitarnya, banyak pula yang datang dari luar kota Jakarta, bahkan ada yang datang dari luar pulau. Adalah kebahagiaan dan kegembiraan yang mereka cari di Kenduri Cinta, kebahagiaan untuk berjumpa kembali dengan sesama pembelajar Maiyah, kegembiraan untuk merasakan kembali atmosfer dan suasana sinau bareng.

Cahaya rembulan malam itu hampir purnama, menemani jamaah yang sudah berdatangan sejak sore hari. Kali ini, Kenduri Cinta diselenggarakan di Plaza Teater Besar Taman Ismail Marzuki, di lokasi yang lebih lapang, lebih bersih, lebih cozy, kalau kata anak-anak muda sekarang.

Dampak dari revitalisasi Taman Ismail Marzuki, mengharuskan Kenduri Cinta dilaksanakan di lokasi yang lain, namun tetap di Taman Ismail Marzuki. Pihak pengelola TIM sangat mengapresiasi penyelenggaraan Kenduri Cinta yang sudah berlangsung hingga edisi ke-205 di tahun selama 19 tahun, dan tentu saja kita semua berharap akan terus berlangsung hingga tahun-tahun selanjutnya. Namun demikian, tanggung jawab kelancaran Kenduri Cinta tentu bukan hanya ada pada penggiat dan pengelola Taman Ismail Marzuki semata, kita sebagai Jamaah Maiyah juga memiliki tanggung jawab yang sama terhadap kelancaran berlangsungnya Maiyahan ini, mulai dari keamanan, ketertiban hingga kebersihan. Forum sinau bareng ini adalah forum kita bersama, kita rawat bersama, kita jaga bersama.

Tema “JAHIL MUROKKAB” ini merupakan kelanjutan dari tema Kenduri Cinta sebelumnya, setelah perlahan kita belajar mengidentifikasi tentang manusia nilai, manusia pasar dan manusia istana, Cak Nun kemudian juga membekali kita dengan 4 seri Tajuk yang dirilis di caknun.com bulan lalu agar kita lebih mendalam untuk mempelajari tema besar Maiyahan selama 4 bulan ini.

Kalau kita meminjam istilah Imam Al Ghazali, ada 4 kategori manusia; Rojulun yadri wa huwa yadri annahu yadri (seseorang yang tahu dan dia tahu bahwa dirinya memang tahu), rojulun yadri wa huwa laa yadri annahu yadri (seseorang yang tahu, dan dia tidak tahu bahwasannya dirinya tahu), rojulun laa yadri wa huwa yadriannahu laa yadri (seseorang yang tidak tahu, dan dia tahu serta sadar diri bahwa dirinya tidak tahu), rojulun laa yadri wa huwa laa yadri annahu laa yadri (seseorang yang tidak tahu, dan dia tidak tahu bahwa dirinya tidak tahu). Semua pasti akan sepakat bahwa Jahil Murokkab adalah manusia jenis keempat; rojulun laa yadri wa huwa laa yadri annahu yadri.

Tapi, bukan Maiyahan Namanya kalau kita tidak berani mengeksplorasi apa itu Jahil Murokkab, dan seperti apa bentuk Jahil Murokkab yang ada di sekitar kita hari ini. Cak Nun secara khusus memberi bahan workshop, perwakilan jamaah kemudian maju ke depan, mereka dibagi menjadi 4 kelompok untuk mendiskusikan bahan yang dititipkan oleh Cak Nun, yaitu mengidentifikasi contoh-contoh nyata yang ada di sekitar mereka yang dianggap sebagai bentuk dari Jahil Murokkab.

Pramono Abadi, salah satu penggiat Kenduri Cinta menemukan pemahaman tersendiri mengenai jahil. Baginya, makna jahil bukan bodoh, menurutnya lebih relevan makna abai, ignorance, lebih tepat pada pemaknaan bahwa orang jahil itu bukan orang yang tidak tahu apa-apa, justru orang jahil adalah orang yang tahu, tetapi tidak mau tahu, selalu merasa paling tahu. Padahal yang ia ketahui baru sedikit dari keseluruhan informasi yang ada.

“KULANUWUN SEDULUR!”, Suara Ki Titut Edi bergemuruh, disambut tepuk tangan jamaah. Ya, malam itu Ki Titut Edi, seorang seniman dari Banyumas yang juga merupakan sesepuh di Juguran Syafaat berkesempatan hadir di Kenduri Cinta. Ki Titut Edi ini, seperti yang Hilmy tulisakan di sebuah esai, adalah Wong Kuna alias orang jadul, jaman dulu. Ia sangat otentik. Penampilannya sangat nyentrik. Perawakannya tinggi, rambutnya gondron, tatapan matanya sangat tajam. Orang yang baru melihatnya akan merasa aneh, bahkan mungkin takut. Tetapi, ketika ia mulai berbicara dan menyapa, nuansa ketakutan akan berubah menjadi suasana keakraban.

“Diarani kenthir ya kena, diarani gemblung ya kena. Di zaman yang sudah sangat gila ini, hanya orang gila yang waras”, Ki Titut Edi mengalasi pementasan teater tunggalnya malam itu. Jelas lucu, dari gaya bertuturnya saja sudah lucu, ditambah dengan logat ngapaknya yang sangat khas. Ora ngapak, ora kepènak.

“Kula niku wong tani, sedulur!”, Ki Titut menyapa jamaah, kemudian menceritakan kehidupannya sehari-hari sebagai seorang petani. Malam itu, ia membawa boneka Cowongan. Sebuah boneka yang dibuat dari batok kelapa. Ada satu ritual di zaman dahulu, dengan menggunakan boneka Cowongan itu untuk memanggil hujan, karena sudah terlalu lama musim kemarau. Dengan beberapa kalimat mantra yang dibacakan, ritual Cowongan itu dilakukan untuk memohon turunnya hujan kepada Tuhan.

Jangan disebut syirik terlebih dahulu. Ritual Cowongan ini adalah ritual zaman dahulu ketika Islam belum dikenal oleh masyarakat Panginyongan di Tlatah Banyumasan saat itu. Ki Titut menyebut bahwa ritual itu adalah warisan leluhur, karena dahulu belum mengenal Sholat Istisqo. Jika kita melakukan pendekatan tauhid, apa yang disebut Cowongan adalah salah satu ikhtiar dalam mencari kesejatian Tuhan.

“Saya bukan musyrik, karena melakukan ritual Cowongan ini. Saya hanya ingin melestarikan karya leluhur. Leluhur bisa mati, tetapi karyanya tak pernah mati”, ungkap Ki Titut Edi. Sebuah lagu berjudul Sulasih Sumandana ditulis oleh Ki Titut Edi untuk menceritakan ritual Cowongan itu. Mantra-mantra yang ia ingat, ia tulis dalam lagu tersebut, dikolaborasikan dengan syair-syair yang ia tulis sendiri. Dalam syair lagu Sulasih Sumandana itu, setelah diteliti oleh Ki Titut Edi ternyata mengandung makna cinta kasih hubungan antara manusia dengan alam semesta.

“Kita adalah pewaris karya leluhur, maka kita wajib menjaga warisan leluhur. Jangan takut tentang apapun, karena kita adalah sarjana alam semesta”, Ki Titut menjelaskan bahwa ada banyak nilai dari warisan leluhur yang sudah dilupakan, bahkan mungkin anak-anak muda zaman sekarang tidak mengenalnya. Lagu-lagu yang dibuat oleh Ki Titut dibawakan malam itu, seperti “Lele Dumbo Nyokot Tempe”, “Pacul Gowang”, “Karang Panginyongan”, dan “Sulasih Sumandana”. Sekitar satu jam Ki Titut Edi tampil secara tunggal. Sangat energik, ia menampilkan kemampuan teaterikal yang sangat atraktif, padahal usianya sudah 56 tahun.

Switching! Sangat mudah bagi jamaah Maiyah untuk melakukan pergantian momentum dalam waktu yang singkat. Setelah bergembira bersama Ki Titut Edi melalui lagu-lagu yang gembira, Ust. Noorshofa kemudian mengajak jamaah bersholawat bersama. Satu nomor sholawat, yaitu Sholawat Asyghil dilantunkan, dipandu oleh Ust. Noorshofa. Banyak yang hafal rupanya. Tentu saja pemadangan yang unik, Kenduri Cinta sebagai meeting point kaum urban ibukota, jamaah yang datang ke Kenduri Cinta tidak semuanya berasal dari kalangan santri, tetapi ketika diajak sholawatan ternyata juga bisa.

Ust. Noorshofa sendiri memang sudah sangat dekat dengan Kenduri Cinta, sudah sekitar 5 tahun terakhir hampir selalu menemani teman-teman di Kenduri Cinta, tidak setiap bulan selalu hadir memang, tetapi Ust. Noorshofa sudah sangat akrab dengan jamaah Maiyah di Jakarta. Materi yang dibawakan, selalu dibumbui dengan candaan-candaan yang menyegarkan suasana, tentu saja dengan gaya betawinya yang khas. Malam itu, setelah Ki Titut Edi ngapak, Ust. Norshofa tampil dengan gaya Betawi. Lengkap sudah.

Menyambung lagu-lagu karya Ki Titut Edi yang banyak menggunakan nama binatang, Ust. Noorshofa menjelaskan bahwa nama-nama binatang juga banyak dipakai oleh Allah untuk memberi nama-nama surat, bahkan banyak sekali hikmah yang bisa kita pelajari dari binatang-binatang yang disbeutkan oleh Allah di dalam Al Qur`an.

Yang selalu disampaikan oleh Ust. Noorshofa adalah kisah-kisah Rasulullah SAW besama para sahabat yang penuh hikmah. Malam itu, Ust. Noorshofa menceritakan kisah Anas bin Malik yang pada suatu ketika ditanya oleh Rasulullah SAW apa yang ingin ia minta. Anas bin Malik menjawab bahwa ia ingin selalu bersama Rasulullah SAW di surga kelak. Rasulullah SAW pun berpesan agar Anas bin Malik memperbanyak sujud kepada Allah dan selalu menyayangi anak-anak yatim piatu.

MALAM ITU, hadir juga di Kenduri Cinta, Novel Baswedan bersama teman-teman KPK. Hari-hari ini, mereka sedang mengalami puncak kegusaran dan keresahan atas rencana Revisi UU KPK di DPR yang akhirnya sudah di sahkan. Novel dan kawan-kawan ngudi roso di Kenduri Cinta. Ini merupakan kedua kalinya Novel Baswedan hadir di Kenduri Cinta. Ia pun mengungkapkan kebahagiaannya bisa hadir lagi di Kenduri Cinta. Dan memang tidak pernah ada sejarahnya di Kenduri Cinta menolak siapapun yang datang, asalkan niatnya baik, maka akan diterima dengan baik oleh semua.

Meskipun juga terjadi pro dan kontra, pada akhirnya bukan substansi isu utama yang sedang mereka hadapi yang menjadi konten utama kehadiran mereka di Kenduri Cinta. Hadirnya teman-teman KPK di Kenduri Cinta justru lebih kental suasana silaturahmi, kebersamaan, srawung sesama rakyat. Adapun persoalan yang sedang dihadapi oleh KPK, sejauh-jauh yang bisa kita lakukan sebagai masyarkat Maiyah adalah mendoakan mereka, agar mereka semakin kuat, diberikan kesabaran dan ditambahkan energinya oleh Allah agar mereka dapat melewati problem yang sedang mereka hadapi.

Syeikh Kamba malam itu pun menyampaikan dukungan moril kepada teman-teman KPK. Syeikh Kamba sepakat bahwa KPK seharusnya tetap independen, karena ia adalah Lembaga independen. Syeikh Kamba yang juga pernah menjadi salah satu pejabat di Atase Pendidikan Departemen Agama menegaskan, bahwa keberadaan KPK yang independen akan sangat mencemaskan para koruptor. Apa yang dihadapi oleh KPK hari-hari ini bukan tanpa rencana, memang sudah ada yang jauh-jauh hari merencanakannya.

Ki Titut Edi juga turut merespons. Ia menggambarkan matahari yang setiap hari terbit dan tenggelam, tanpa sedikitpun mengurangi sinar matahari yang ia pancarakan, tanpa sekalipun terlambat dari waktu yang sudah dijadwalkan ketika terbit maupun ketika terbenam. Menurutnya, korupsi adalah penyakit moral, jika sejak kecil seseorang sudah ditanamkan mental untuk tidak mencuri, makai a tidak akan korupsi ketika sudah menjadi pejabat.

Menggembirakan dan membahagiakan. Forum Kenduri Cinta selalu menghadirkan nuansa dan atmosfer yang selalu dirindukan. Forum seribu podium, siapa saja boleh datang, siapa saja boleh berbicara, siapa saja boleh pulang kapan saja, tidak ada yang dituntut dan juga tidak ada yang menuntut. Semua bersama-sama menjaga keberlangsungan forum, menjaga keamanan forum, menjaga ketertiban dan juga kebersihan lokasi diselenggarakannya forum.

Begitulah forum Kenduri Cinta dan forum-forum Maiyahan lainnya berlangsung. Setiap sore menjelang pelaksanaan Maiyahan, ada yang bertugas untuk mempersiapkan segala sesuatunya, mengawal pemasangan baliho, tenda, hingga penataan sound system. Dan ketika acara berakhir, semua bersama-sama, bahu-membahu merapikan kembali area Maiyahan. Karpet dilipat bersama-sama, sampah-sampah juga dibersihkan bersama-sama. Semua aransemen indah ini tidak diskenariokan, tetapi kita semua yang melakukannya dengan kesadaran bersama, bahwa kita semua memiliki forum ini bersama-sama.