Mukadimah: JAHIL MOROKKAB

KATA PERTAMA yang diwahyukan oleh Allah kepada Rasulullah SAW adalah; Iqra’, bacalah. Sebuah perintah yang sangat tegas, bahwa yang pertama kali harus dilakukan oleh manusia  adalah Iqra’. Membaca apa? Tentu saja membaca apa saja. Bahkan makna membaca tidak seharusnya dipersempit menjadi sekedar membaca text. Membaca tidak hanya sekadar membaca huruf-huruf yang tersusun menjadi sebuah kata yang kemudian dirangkai menjadi sebuah kalimat.

Makna Iqra’ sendiri tentu lebih luas dari sekadar membaca yang kita pahami hari-hari ini sebagai membaca tekstual. Lebih dari itu, bahkan seperti yang dalam beberapa Maiyahan ditekankan oleh Cak Nun agar kita mulai belajar untuk membaca ayat-ayat yang tidak difirmankan. Artinya, ada ayat-ayat yang tidak tertulis, atau yang tidak disampaikan kepada kita namun kita harus peka untuk mampu membacanya.

Tidak ada satu pun manusia di dunia yang mengetahui tentang segala hal. Ada manusia yang mengetahui tentang satu hal, kemudian manusia yang lain mengetahui satu hal yang lain. Ada yang kita ketahui ada juga yang tidak kita ketahui. Kalau kita tingkatkan lagi gradasinya, ada sesuatu hal yang wajib kita ketahui dan juga hal yang bahkan wajib untuk tidak kita ketahui. Karena pada hakikatnya manusia memang tidak harus mengetahui segala hal. Selaras dengan ini adalah bahwa sinau bareng menjadi pijakan kita di Maiyahan. Maka, setiap kita datang ke Maiyahan, kita memposisikan diri sebagai pembelajar.

Kalau kita mengambil terminologi empat macam manusia; rojulun yadri wa huwa yadri annahu yadri (dia mengetahui bahwa dirinya memang mengetahui), rojulun laa yadri wa huwa laa yadri annahu yadri (dia tidak mengetahui bahwa dirinya mengetahui), rojulun laa yadri wa huwa yadri annahu laa yadri (dia mengetahui bahwasannya dirinya tidak mengetahui), rojulun laa yadri wa huwa laa yadri annahu laa yadri (dia tidak mengetahui bahwasannya dirinya tidak mengetahui). Dalam menyikapi akan berbeda untuk setiap macam dari empat kapasitas itu.

Allah menganugerahi manusia dengan gelar ahsani taqwim. Tentu bukan tanpa alasan, Allah memberi label ahsanu taqwim kepada manusia karena memang manusia memiliki semua tools yang dibutuhkan untuk mencapai keniscayaan dari ahsani taqwim itu sendiri. Perjalanan sejarah manusia dalam mencari dirinya telah menemukan berbagai macam metode; primbon, zodiak, astrologi, shio, hingga yang paling modern seperti test potensi akademik, juga pengidentifikasian bakat melalui uji sidik jari (fingers print). Kesemuanya itu adalah ijtihad manusia dalam menemukan siapa dirinya.

Untuk kembali ke sangkan parannya, bayi manusia berkembang menjadi manusia dewasa, kemudian untuk mengenali dirinya ia dibantu oleh orangtua, anggota keluarga, guru, teman-teman dan orang-orang yang berinteraksi secara langsung maupun tidak langsung dan pengalaman hidupnya. Pada dasarnya, semua yang memandu itu hanya bertugas untuk menemani, tidak mungkin mampu mengubah keniscayaan penciptaan manusia dari hakikinya sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh Allah kepadanya.

Setiap kita memiliki bakat, kesukaan, hobi, passion, potensi, minat, selera, cita-cita hingga harapan. Bahkan setiap kita memiliki tingkat responsif yang berbeda dalam menyikapi setiap keadaan yang dihadapi. Maka keniscayaan manusia itu sendiri adalah keunikan, otentisitas, orisinalitas. Setiap manusia memiliki keunikannya masing-masing.

Jika kita menggunakan ilmu tanah, air, api dan udara, maka setiap manusia harus mampu mengidentifikasi apakah dirinya adalah tanah, air, api atau udara. Jika ia adalah api, maka semua pendekatan pengenalan dirinya hingga menemukan jati dirinya jangan sampai menggunakan metode selain api. Manusia harus menemukan siapa dirinya agar ia mampu memformulasikan apa yang akan ia jalani dalam kehidupannya.

Kembali ke tema besar Maiyahan dalam 4 bulan ini; manusia pasar, manusia istana dan manusia nilai, maka tugas kita sebagai manusia adalah mengidentifikasi potensi dari ketiga jenis manusia tersebut dalam diri kita. Ada yang memang lebih besar kadar manusia pasarnya, ada yang lebih dominan kadar manusia istananya, ada juga yang memang sebenarnya ia dilahirkan untuk menjadi manusia nilai.

Akan menjadi persoalan apabila manusia menolak takdirnya sendiri. Jika takdirnya adalah manusia nilai, ia tidak boleh memaksakan diri untuk menjadi manusia istana apalagi manusia pasar. Meskipun sangat mungkin ketiga potensi tersebut ada dalam diri masing-masing manusia, sehingga kemudian yang dibutuhkan adalah menyeimbangkan ketiga potensi tersebut sehingga tidak salah langkah.

Jika manusia menolak pada takdirnya, kemudian ia memaksakan dirinya untuk tidak menjadi dirinya sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh Tuhan, maka ia adalah jahil murokkab. Ada jenis manusia yang sebenarnya dia mengetahui tentang siapa dirinya, kemudian dia juga memahami apa yang harus ia lakukan, tetapi ia memilih untuk menihilkan takdirnya, kemudian memaksakan diri untuk menjadi manusia yang bukan dirinya.

Jadi, ada manusia yang sebenarnya ia tidak mengetahui bahwa dirinya memang tidak tahu, tetapi merasa dirinya sangat mengetahui. Inilah yang dinamakan Jahil Murokkab.