Kenduri Cinta Dalam Lipatan Sejarah

SEJARAH MERUPAKAN rangkaian peristiwa kehidupan, tapi apakah semua peristiwa kehidupan selalu dianggap sebagai sejarah?

Jawabannya tentu sangat subjektif, karena kodrat dari pola pikir manusia yang dipengaruhi hawa nafsu, sehingga lebih mengutamakan kebutuhan dibandingkan keberadaan, layaknya air hujan yang selalu dibiarkan begitu saja tak termanfaatkan, karena tidak adanya kebutuhan akan air hujan tersebut.

Maka sejarah lebih sering dimaknai sebagai kumpulan momentum peristiwa, sehingga lembaran sejarah yang begitu panjangnya tidak akan pernah terlihat seutuhnya. Sudut pandang, jarak pandang, cara pandang bahkan resolusi pandang tiap individu sudah pasti berbeda satu dengan yang lainnya.

Begitu juga Kenduri Cinta yang saat ini memasuki tahun ke-17 pelaksannaannya, mungkin bisa saja hanya dianggap sebagai aktivitas kehidupan biasa, seperti layaknya makan dan minum.  Walaupun mungkin ada momen tertentu dari aktivitas makan dan minum tadi yang bersejarah, misalnya ketika membeli makanan lalu mendapatkan hadiah mobil. Atau ketika membeli minuman, kita bertemu dengan jodoh kita.

Tapi karena Kenduri Cinta ini bagian dari aktivitas Maiyah yang muncul atas dasar cinta yang bukan cinta syahwat kehidupan, melainkan cinta yang dimaknai sebagai cinta yang meluas dan mendalam atas anugerah kehidupan, sebagai wujud syukur kepada pemberi kehidupan, maka dia tidak punya momentum, kecuali kepuasan spiritual yang dirasakan para pelakunya, sehingga Kenduri Cinta ini berpotensi masuk kedalam lipatan sejarah.

Seperti halnya sifat Allah; Rahman dan Rahiim. Rahman adalah gambaran cinta yang meluas, maka Allah menomorsatukan keluasan untuk sebanyak mungkin pihak, sehingga Dia menyebut dirinya Rahman. Setiap orang yang sudah terbiasa untuk berdialektika secara sosial, dengan cinta yang meluas itu, kemudian ia memiliki hak pribadi untuk mewujudkan cinta yang mendalam; Rahiim.

Dan Maiyah ini adalah manifestasi dari cinta yang mendalam kepada Indonesia. Maiyah tidak sedikitpun pernah terbesit untuk menagih sesuatu dari Indonesia. Dan itulah yang selama ini kita lakukan bersama di Kenduri Cinta, di Maiyah bersama Cak Nun. Pendekatan yang kita lakukan kepada Indonesia adalah pendekatan Rahman-Rahiim, pendekatan kasih sayang.

Sesungguhnya keberadaan Kenduri Cinta tidaklah ditentukan oleh posisi lembaran atau lipatan, karena bermaiyah adalah bagian dari proses mengenali dan merasakan cinta, yang pernah diistilahkan Cak Nun sebagai “cinta yang accessable“, maka dia akan tetap selalu ada selama kita mengakui eksistensi Allah sebagai satu-satunya sumber eksistensi kehidupan.

Dan perlu disadari bersama, bahwa keberadaan proses bisa dilangsungkan manakala ada input dalam dialektika proses tersebut. Karena Maiyah adalah proses atas dasar cinta, maka masukan utamanya adalah saling mengenal. Kenal akan penciptanya, kenal akan ciptaaannya.

Proses Maiyah tidak akan begitu saja berlangsung jika tanpa pola atau alur, maka perlu pembelajaran berkesinambungan, sehingga keindahan pola akan muncul sejalan dengan berkembangnya rasa cinta.

Keindahan maiyah diharapkan terwujud layaknya motif batik pada selembar kain jarik yang selalu siap sedia dalam keadaan di”wiru”. Walaupun dalam lipatan “wiron”, tapi tetap kelihatan motifnya walau sedikit.

Dan bila kain batik itu dikenakan, maka motif yang utuh akan terlihat jelas meskipun letaknya di bagian belakang badan kita.

Semoga Kenduri Cinta tetap bisa berlangsung sepanjang masa sebagai media ekspresi cinta, untuk menyumbangkan hal-hal yang menggembirakan, membangkitkan semangat hidup, merajut kasih sayang, juga menumbuhkan kepercayaan diri, menegakkan kehormatan kemanusiaan.