Kenduri Cinta, Oase Ibukota (II)

SEPTEMBER 2000, tepat tiga bulan setelah Kenduri Cinta edisi perdana diselenggarakan, forum ini menjadi perhatian bagi warga Ibukota. Walaupun dengan publikasi yang terbatas, namun informasi diselenggarakannya Kenduri Cinta mampu menarik minat tidak kurang dari 300 orang untuk hadir dan terlibat dalam forum ini. Meskipun saat itu internet sudah bisa diakses di Jakarta, tetapi pengguna internet belum sebanyak hari ini. Publikasi informasi pelaksanaan Kenduri Cinta pun masih bersifat manual, melalui selebaran-selebaran yang di tempel di beberapa tempat.

Bahkan Kenduri Cinta pernah mengalami era dimana informasi pelaksanaan acara disebarluaskan melalui broadcast short message service, melalui pesan singkat karena saat itu belum ada BlackBerry Messenger apalagi WhatsApp seperti sekarang. Tentu saja, karena saat itu belum memasuki era media sosial, milis PahdangmBulan Net merupakan satu-satunya corong informasi dunia maya yang dikelola untuk menyebarkan informasi Kenduri Cinta ini. Berbeda dengan hari ini dimana website dan media sosial merupakan hal yang sudah sangat mudah diakses oleh masyarakat luas.

Dari berbagai kalangan dan latar belakang turut terlibat dalam acara ini. Di awal-awal kemunculan Kenduri Cinta, acara dimulai selepas maghrib. Pada edisi September 2000 itu acara diawali dengan Shalawat Barzanji oleh kelompok hadrah santri dari Pesantren Daarul Ishlah, Warung Buncit, JakartaSelatan. Dilanjutkan dengan penampil berikutnya adalah Paduan Suara dari IAIN Ciputat Jakarta, yang anggotanya mayoritas perempuan, melantunkan nomor ‘Shalawat Badar’, ‘Yaa, Marhaban’ dengan aransemen yang cantik.

Format acara di Kenduri Cinta yang mengalir seringkali memunculkan kreatifitas dari masyarakat yang hadir untuk dapat terlibat di atas panggung. Seperti penampilan dari kelompok Paduan Suara Ummat Budha Jakarta, yang datang pada malam itu secara spontan ikut memeriahkan acara, menyanyikan satu buah lagu. Lain lagi dengan operet kecil yang dipertunjukkan oleh kelompok anak-anak jalanan yang bernaung di bawah asuhan Rumah Sahabat Anak Puspita Jakarta Utara, yang memang malam itu khusus mempersiapkan diri untuk tampil. Dialog yang terjadi pun mengalir penuh improvisasi, Cak Nun yang ditemani oleh Pak Hammid Jabbar(alm), Mas Jose Rizal Manua, Mas Vini, Mbak Fatin Hamama, Mas Syahnagra, Gus Wahiddan Mas Agus diselingi dengan pembacaan puisi dan musikalisasi syair-syair puisi. Tidak ketinggalan, Pak Taufiq Ismail, yang malam itu bertutur sebuah kisah nyata teman kuliahnya yang bernama ‘Muhammad Kasim Arifin’, yang begitu ikhlas mengabdikan seluruh waktunya untuk kepentingan masyarakat.

Forum dialog malam itu mengulas berbagai hal, dari yang sifatnya riil keseharian kehidupan masyarakat sampai meluas hingga soal dinamika hubungan internasional. Dari persoalan kesempatan anak jalanan untuk bersekolah yang kala itu langsung direspon oleh Gus Wahid yang menyatakan bersedia untuk menampung mereka di lembaga pendidikan asuhan Gus Wahid, isu kedekatan hubungan Aryanti dengan Gus Dur yang ramai digunjingkan masyarakat, hingga soal hujatan dari Amerika, bahwa kita adalah bangsa barbar sehubungan dengan peristiwa Atambua. Begitulah mengalirnya dialog yang terjadi di Kenduri Cinta, terkadang fokus detail pada sebuah persoalan, namun juga tak jarang meluas membahas berbagai hal yang secara spontan diuraikan oleh Cak Nun dan narasumber lainnya yang hadir.

Sejak saat itu, Kenduri Cinta berupaya untuk tetap konsisten dengan format acara yang terbuka maupun konten acara yang berasal dari partisipasi bersama. Dalam format acara yang egaliter ini, mampu mengakomodir berbagai karya kesenian, dari berbagai daerah, maupun dari berbagai latar belakang budaya. Seperti yang terjadi pada Oktober Tahun 2000, diawali dengan penampilan Mas Branjangan, seorang musisi beraliran reggae, memainkan lagu-lagu yang mengayun-ayun berisi syair puisi yang konten isinya adalah ungkapan protes kepada pemerintah,  mendapat respon meriah dengan iringan tepukan tangan dari jamaah yang hadir malam itu. Lain lagi dengan kelompok Panji Tomang, menampilkan anak-anak membaca pusi-pusi ketuhanan. Kemudian tampilan kelompok dari ummat Agama Hindu, yang melantunkan syair kidung berbahasa Jawa Kuno bermuatan pesan-pesan tentang pemerintahan yang baik. Sabri, seorang santri dari Makassar, turut tampil secara spontanitas, menyanyikan lagu daerah Makassar.

Kenduri Cinta edisi Oktober 2000 itu gairah penonton semakin terpompa dengan tampilnya Barongsai dari kelompok Matakin. Pertunjukan yang menggambarkan percintaan dua ekor Barong sangatlah menarik sehingga mampu menyedot penonton yang serentak bergerak ke dekat panggung. Pada sesi selanjutnya giliran dari kelompok teater Eksotika Karyawibawapangga Indonesia asuhan dalang Sudjiwo Tedjo yang juga turut menampilkan karyanya dengan suara khasnya melantunkan tembang ‘Titi Kala Mangsa’ untuk menggambarkan kegelisahan manusia. Kemeriahan acara semakin bertambah ketika mas Tedjo didaulat Cak Nun untuk ber ‘jam session’ dengan iringan Kiai Kanjeng, melahirkan kolaborasi yang benar-benar penuh harmonisasi yang indah. Kiai Kanjeng bagi Kenduri Cinta bukanlah tamu, Kiai kanjeng sudah sejak awal menjadi bagian dari tuan rumah-nya Kenduri Cinta.

Begitulah Kenduri Cinta berproses, yang memang sejak awal salah satu tujuannya adalah mengakomodir para seniman-seniman untuk menampilkan karay-karya mereka. Bulan berganti bulan, tahun demi tahun berlalu, Kenduri Cinta rutin diaksanakan setiap bulan sembari terus menerus melakukan pembenahan dan perbaikan hingga kini menginjak usia 17 tahun. Evaluasi acara dari awal hingga akhir penyelenggaraan selalu dilakukan oleh para penggiat. Dengan tetap menjaga format dan konten acara, selanjutnya pada setiap edisi Kenduri Cinta ditentukan tema bulanan sebagai semacam payung acara. Tema yang dimunculkan di Kenduri Cinta memang dimunculkan sebagai trigger acara yang salah satu tujuannya adalah untuk menarik minta masyarakat untuk hadir. Meskipun demikian, bukan berarti tema-tema yang dimunculkan di Kenduri Cinta adalah tema yang asal-asalan. Bahkan, dalam kurun waktu 4 tahun terakhir ini Cak Nun juga terlibat dalam penggodokan tema Kenduri Cinta setiap bulannya.

Inovasi demi inovasi pun dilakukan, kreatifitas para penggiat Kenduri Cinta yang tergabung secara sukarela tetap mampu melahirkan kreatifitas yang sesuai dengan zamannya. Tema acara bulanan yang sudah disepakati kemudian dikembangkan dalam media grafis berbentuk Baliho dan Poster untuk publikasi melalui berbagai media. Dari tema itu juga, mukadimah disusun oleh dewan redaksi yang disusun bersumber dari berbagai referensi, hasil diskusi sesama penggiat maupun pointer-pointer dari Cak Nun. Tidak ketinggalan, menit-permenit rundown disusun oleh penggiat guna mengatur lalulintas dari partisipasi yang hendak tampil pada edisi Kenduri Cinta yang sedang dipersiapkan. Namun jika pada saat berlangsungnya acara perlu dilakukan improvisasi, rundown dapat menyesuaikan, spontanitas dan egaliternya forum tetap terus terjaga hingga saat ini. Begitulah yang terjadi di “dapur” Kenduri Cinta setiap bulannya. Forum Majelis Ilmu yang sangat biasa saja, dilaksanakan secara swadaya, tanpa sponsor, pelaksanaannya bahkan di sebuah lapangan parkir di Taman Ismail Marzuki, hanya beralaskan terpal. Jika turun hujan, terpal tersebut digunakan untuk berteduh, dan meskipun hujan turun tidak menyurutkan jamaah untuk meninggalkan forum. Forum yang sangat biasa saja ini benar-benar dipersiapkan dengan sangat serius melalui Forum Rebuan setiap minggunya.

Khusus untuk Kenduri Cinta edisi Juni 2017 yang bertepatan dengan Ulang Tahun ke-17 ini, KiaiKanjeng akan hadir untuk menyapa kerinduan Jamaah Maiyah Kenduri Cinta yang sudahsetahun lebih tidak berjumpa secara langsung. Kenduri Cinta banyak belajar dari KiaiKanjeng mengenai berbagai hal, terkait orisinalitas, konsistensi dan harmonisasi. KiaiKanjeng juga merupakan lautan ilmu bagi Jamaah Maiyah. Semoga kemeriahan Kenduri Cinta edisi Juni 2017 dapat membasuh dahaga kerinduan Jamaah Maiyah Kenduri Cinta dan masyarakat Ibukota Jakarta pada umumnya.