Kemesraan Dalam Guyuran Hujan di Kenduri Cinta

BARU DIMULAI diskusi sesi pertama, ketika Ustadz Noosrshofa Thohir mengawali paparan materinya, hujan turun cukup deras. Setelah Penggiat Kenduri Cinta mengatur agar jamaah mengkondisikan diri dengan hujan, Ustadz Noorshofa mengajak seluruh yang hadir untuk melantunkan sholawat.

Sebagian jamaah merapat ke panggung untuk berteduh di bawah tenda. Sebagian yang lain, ada yang merubah fungsi karpet menjadi payung untuk berteduh bersama-sama, ada yang kemudian melipir ke teras gedung-gedung di Planetarium, teras Galeri Cipta II, atau di sekitaran garasi mobil Pemadam Kebakaran.

Kenduri Cinta edisi Mei 2018 dilaksanakan pada jumat pekan ketiga, mundur satu minggu dari biasanya. Namun, berubahnya jadwal sama sekali tidak mengurangi antusias jamaah untuk datang. Hujan yang turun pun tidak membuat mereka memutuskan bergegas untuk kembali ke rumah. Padahal, ini bulan puasa. Bukankah lebih baik kembali ke rumah, bersegera istirahat, sehingga menjelang sahur nanti tidak terlambat bangun tidur. Tetapi, jamaah memilih untuk tetap bertahan di Taman Ismail Marzuki.

Perlahan, hujan pun reda. Malam itu Ustadz Noorshofa menyampaikan materi yang berkaitan dengan tema Kenduri Cinta kali ini; Jababiroh. “Ada 3 orang yang merugi menurut Rasulullah Saw; Orang yang tidak bersholawat kepada Nabi, orang yang tidak berdo’a kepada Nabi, dan orang yang semasa hidupnya tidak bermanfaat bagi orang lain”, ungkapnya.

Dengan gaya ceramahnya yang khas dan penuh jenaka, Ustadz Noorshofa menyampaikan materi utama kepada jamaah. Suasana cair yang terbangun seperti ini yang kemudian menjadi sesuatu hal yang dirindukan bagi jamaah Kenduri Cinta, sehingga mereka selalu merasa kangen untuk datang lagi. Yang merasakan kangen untuk datang ke Kenduri Cinta itu bukan hanya jamaah, namun juga narasumber yang berbicara. Ustadz. Noorshofa ini dalam 2 edisi Kenduri Cinta sebelumnya tidak hadir, dikarenakan ada jadwal mengisi pengajian. Nyatanya, Ustadz Noorshofa sendiri yang pada akhirnya tidak tahan untuk menahan kangen, sehingga sebelumnya menanyakan kepada salah satu pegiat Kenduri Cinta tentang jadwal Maiyahan bulan Mei ini.

BAHKAN, Cak Nun sekalipun selalu merasa kangen untuk datang di Kenduri Cinta. “Aku yo kangen rek karo awakmu kabeh!”, suatu kali Cak Nun pernah mengungkapkan itu di Kenduri Cinta. Ada nuansa yang berbeda di setiap Maiyahan berlangsung. Tak bisa dijelaskan secara rinci dengan teori ilmu apapun. Ribuan audien yang datang, mereka menyimak apa yang disampaikan dengan serius, bertahan untuk duduk ber jam-jam, bahkan ada yang berdiri dari awal hingga akhir acara. Dan peristiwa seperti ini tidak hanya terjadi di Kenduri Cinta. Dapat kita lihat pula di PadhangmBulan, Mocopat Syafaat, Gambang Syafaat, dan Bangbang Wetan serta di simpul-simpul Maiyah lain yang dalam beberapa tahun terakhir tumbuh dan berproses di berbagai daerah di Indonesia.

Ketika jamaah sedang serius mendengar paparan Ustadz Noorshofa, Cak Nun hadir di panggung. Beberapa saat kemudian, Syeikh Nursamad Kamba pun turut bergabung.

Syeikh Nursamad Kamba kemudian menyambung paparan Ustadz Noorshofa. “Sia-sialah orang yang berpuasa jika hanya menahan haus dan lapar, karena puasa harus tulus dan ikhlas”, Syeikh Kamba melambari. Seperti yang kita ketahui bersama, Syeikh Nursamad Kamba adalah salah satu Marja’ Maiyah yang memang menguasai ilmu Tasawuf. Beberapa kajian ilmu yang disampaikan di Maiyah, tidak pernah jauh dari Tasawuf.

Syeikh Kamba menambahkan, bahwa semangat yang dibangun oleh Islam adalah semangat kepasarahan. Yang diajarkan oleh Rasulullah Saw kepada umat manusia adalah kepasarahan total kepada Allah swt. Syeikh Kamba menjelaskan bahwa ketika kita bersyahadat itu bukan peristiwa ikrar. Syahadat bukan hanya persoalan mengucapkan kalimat syahadat yang kemudian kita anggap sebagai legitimasi menyematkan identitas Islam dalam diri kita. Tetapi lebih luas dari sekadar identitas saja. Syahadat adalah persaksian, bukan ikrar. Dan yang terjadi sekarang adalah rukun islam yang lima hanya menjadi formalistic belaka, karena para pelakunya tidak memperhatikan dimensi spiritualnya. Islam pada akhirnya tercerabut dari makna keikhlasan dan kepasrahan pelakunya.

“Dunia itu awal dari akhirat, dimana akhirat itu sangat tidak terbatas”, Cak Nun kemudian menyambung paparan Syeikh Nursamad Kamba. Dijelaskan oleh Cak Nun, bahwa kita tidak berhak mendikotomi antara dunia dengan akhirat, karena kehidupan kita ini tidak dibatasi oleh wilayah-wilayah ruang dan waktu yang kita pahami. Kesemuanya hanyalah Allah yang berhak untuk menentukan.

MEMASUKI TEMA, Cak Nun menjelaskan bahwa Jababiroh adalah zaman kemaksiatan yang sampai pada titik puncaknya. Keserampangan, kesemrawutan, kebohongan, kepalsuan dan penuh fitnah, itulah Jababiroh. Manusia dibuai dengan pencapaian-pencapaian berupa materi, sehingga pemahaman terhadap Tuhan dan agama pun hanya dipahami dengan pemahaman yang bersifat materi. Orang beribadah, yang dikejar adalah jumlah pahalanya, yang diharapkan adalah sampainya ia ke surga. Bukan substansi pertemuan dengan Tuhan yang telah menciptakan seluruh alam semesta.

“Saya tidak pernah menganjurkan Anda untuk berbuat baik. Tetapi, temukanlah kenikmatan dalam hidupmu. Temukan kenikmatan pada setiap perbuatan baikmu. Temukan kenikmatan dalam kebaikan yang Anda lakukan. Bahkan dalam penderitaanmu, temukanlah kenikmatan”, Cak Nun menjelaskan bahwa yang menjadi fokus utama di Maiyah bukan tentang hasil proses kebaikan yang kita lakukan, tetapi ketika kita berbuat baik, kita merasakan kenikmatan, kegembiraan, kebahagiaan.

Antara kebenaran, kebaikan, dan keindahan harus berdialektika satu sama lain. Tidak bisa hanya berdiri sendiri dari ketiganya. Sebuah kebenaran, tidak serta merta disampaikan begitu saja, harus dipertimbangkan kebaikan dan keindahan dari kebenaran itu. Di Maiyah, kita sudah belajar, bahwa kebenaran itu bukanlah sesuatu hal yang harus kita pamerkan. Kebenaran itu letaknya di dapur, bukan di etalase warung. Yang kita letakkan di etalase adalah kebaikan dan keindahan dari kebenaran yang kita yakini.

Jika sebuah kebenaran yang kita yakini ternyata tidak menghasilkan kebaikan dan keindahan, maka kita harus mengevaluasi bagaimana cara kita mengolah kebenaran itu. Di Maiyah ini kita berlatih untuk menemukan presisi yang tepat dalam mengolah kebenaran. Maiyah adalah forum yang sangat terbuka, semua orang dengan berbagai latar belakang dipersilakan datang. Konsep Tadabbur yang ditawarkan oleh Maiyah tidak mempersyaratkan apapun, karena yang diperjuangkan adalah kebaikan dan keindahan dari proses tadabbur terhadap sebuah kebenaran yang diyakini. Maka tidak masalah apakah jamaah Maiyah itu NU atau Muhammadiyah, mau berpaham liberal, sekuler atau radikal. Terserah saja mereka, tetapi di Maiyah, ruang-ruang sempit itu dengan sendirinya akan runtuh. Karena ketika kita datang ke Maiyah, kita melebur dan bersama-sama menyadari bahwa kita adalah manusia.

Ada banyak pendaran ilmu yang disampaikan oleh Ustadz Noorshofa, Syeikh Nursamad Kamba dan Cak Nun di Kenduri Cinta kali ini. Karena bertepatan dengan bulan Ramadhan, Kenduri Cinta pun harus disudahi menjelang pukul 3 dinihari agar memberi waktu bagi jamaah untuk makan sahur. Cak Nun memungkasi dengan memimpin ‘Indal Qiyam dan bermunajat bersama-sama.