Karena Rumusnya Innii Jaa’ilun Fi-l-Ardhli Khalifah

JIKA KITA membuka kamus bahasa arab, maka akan kita temukan perbedaan makna antara kata khaaliqun dengan jaa’ilun. Kata khaaliqun berasal dari kata yang kholaqo-yakhluqu-khaaliqun, sementara kata jaa’ilun berasal dari kata ja’ala-yaj’alu-jaa’ilun. Keduanya bermakna berbeda, jika kholaqo adalah menciptakan, ja’ala adalah memfungsikan, mendayagunakan, menjadikan.

Di Kenduri Cinta edisi Desember 2019, salah satu ayat yang digunakan oleh Cak Nun untuk landasan atau piajakan diskusi adalah surat Al Baqoroh ayat 30. Dalam ayat tersebut Allah berfirman;  wa idz qoola robbuka li-l-malaaikati innii jaa’ilun fi-l-ardhli kholifah. Allah menyatakan bahwa Adam akan dijadikan, difungsikan, didayagunakan potensinya untuk menjadi khalifah di muka bumi. Setidaknya, ada dua hal penting yang perlu kita catat. Pertama; Allah memfungsikan Adam sebagai khalifah. Kedua; Allah menentukan Bumi sebagai tempat untuk memfungsikan Adam sebagai Khalifah.

Pertanyaannya kemudian apakah anak turun Adam AS berhasil melaksanakan tugas yang diemban oleh Adam AS sebelumnya? Kalau kita mencerna lebih dalam, Allah tidak hanya menjadikan Adam AS sebagai khalifah, tetapi juga menjadikan seluruh manusia sebagai khalifah di muka bumi. Di Bumi, bukan Mars, bukan Jupiter, bukan Saturnus. Tetapi di Bumi.

Tema “Darurat Akal Tidak Sehat” ini sebenarnya hanyalah keterpaksaan dari Cak Nun untuk memberi peringatan kepada Jamaah Maiyah melalui Kenduri Cinta. Sejatinya, tidak ada akal yang tidak sehat, semua akal pasti sehat. Karena akal adalah potensi rohani yang dianugerahkan oleh Allah dengan kompatibilitas otak sebagai perangkatnya.

Yang memiliki kemungkinan untuk sakit adalah hati. Maka Rasulullah SAW pun mengingatkan bahwa manusia sangat mungkin terkena penyakit hati; iri, dengki, hasad, bohong, curang dan lain sebagainya. Kesemua penyakit tersebut dapat menjangkit hati, maka kita kemudian mengenal konsep Tombo Ati. Allah pun dalam surat Al Baqoroh ayat 10 berfirman; Fii quluubihim marodhlo fazaadahumullahu marodhlo. Sebuah bukti bahwa hati adalah salah satu unsur dalam diri manusia yang bisa terjangkit sebuah penyakit.

Suatu kali, Cak Nun pernah menjelaskan di Kenduri Cinta bahwa manusia adalah makhluk kemungkinan, berbeda dengan malaikat dan iblis yang merupakan makhluk kepastian. Kepastian malaikat adalah patuh dan taat kepada Allah Swt, sementara kepastian Iblis adalah ingkar kepada Allah Swt. Allah menciptakan malaikat diatas pijakan kepatuhan. Lain lagi dengan Jin, Allah menciptakan Jin dengan pijakan kemerdekaan. Sementara manusia adalah makhluk yang diciptakan oleh Allah dengan maksud menyeimbangkan semuanya, maka Allah mengkhususkan ayat Innii jaa’ilun fi-l-ardhli khalifah.

Di Kenduri Cinta edisi Desember 2019 ini, Cak Nun datang lebih awal dari biasanya. Alami saja beliau datang ke lokasi acara, bahkan mayoritas jamaah Maiyah yang memenuhi area Plaza Teater Besar Taman Ismail Marzuki malam itu tidak menyadari kalau Cak Nun memasuki area lokasi pelakasanaan Kenduri Cinta. Cak Nun membaur dengan jamaah, berjalan di sela-sela jamaah yang sedang duduk, kemudian menempati area transit di sebelah panggung. Kebetulan, ketika Cak Nun datang, diskusi sesi mukadimah masih berlangsung, menuju jeda hiburan sesi awal yang diisi oleh Citra dan Syifa. Cak Nun pun duduk sejenak di samping panggung, menikmati sajian teh hangat dan jajanan pasar yang sudah disiapkan oleh penggiat Kenduri Cinta. Beberapa jamaah sempat juga meminta tanda tangan Cak Nun di buku karya Cak Nun yang mereka bawa malam itu.

Peristiwa malam itu mengingatkan kenangan 6-7 tahun lalu, ketika Kenduri Cinta masih dilaksanakan di area depan Taman Ismail Marzuki. Kehadiran Cak Nun di lokasi Maiyahan di TIM terasa wajar-wajar saja, membaur dengan semua orang yang ada, tidak ada sekat. Sangat berbeda dengan Maiyahan hari ini, ketika Cak Nun datang dibutuhkan pengawalan agar tertib dan tidak semrawut. Dan itu juga yang sekarang kita alami di Kenduri Cinta, ketika Cak Nun datang ke lokasi atau hendak meninggalkan lokasi Maiyahan, jamaah berebut, menyerbu Cak Nun untuk mencium tangan, memeluk, meminta didoakan atau mungkin sekadar ingin berdekatan dengan Cak Nun meskipun hanya sebentar.

“I LOVE YOU, ALL!!”, setelah mengucap salam, Cak Nun mengucapkan sebuah kalimat yang sangat membahagiakan, melegakan sekaligus mengharukan. Jelas saja, kita semua mengetahui bagaimana kondisi kesehatan Cak Nun akhir-akhir ini. Jamaah pun merasakan kerinduan yang sangat, untuk sekadar melihat sosok Cak Nun, meskipun dari kejauhan. Dan malam itu di Kenduri Cinta, rasa kangen yang dirasakan oleh jamaah Maiyah di Kenduri Cinta, tuntas.

Setelah menyapa jamaah, bercengkrama, memberi alas diskusi, Cak Nun perlahan mengajak jamaah untuk memasuki penjelajahan ilmu dari tema yang dipantik malam itu. “Kalau fikir, kata kerjanya adalah berfikir. Kalau akal?”, Cak Nun melempar sebuah pertanyaan, yang sontak kemudian dijawab jamaah; “Ngakali!”.

Dari satu pertanyaan awal, Cak Nun sudah mengajak kita berfikir tentang kata akal. Apa kata kerja yang tepat untuk kata akal? Ngakali? Mengakali? Diakali? Dan ketika didetail, mayoritas dari kata kerja itu berkonotasi negatif. “Tapi, anak Maiyah, satu-dua kali datang ke Maiyahan, sepulang dari Maiyahan tidak mungkin dia akan mengakali orang lain dan tidak mungkin bisa diakali oleh orang lain”, ungkap Cak Nun.

Maiyahan seperti Kenduri Cinta ini adalah sebuah forum diskusi, majelis ilmu yang menitikberatkan pada konsep sinau bareng. Tidak ada yang merasa paling pintar, semua yang datang adalah pembelajar satu sama lain. Secara tidak langsung, setiap individu yang bersentuhan dengan Maiyah, melalui konsep sinau bareng ini menemukan kembali kesejatian cara berfikir, kejujuran sikap dan hati nurani, sesuatu yang dewasa ini sudah sangat jarang kita temukan dalam kehidupan sehari-hari.

Cak Nun menjelaskan bahwa di Al Qur`an tidak ada istilah pintar. Istilah pintar cenderung menjerumuskan manusia pada konsep yang feudal. Di dalam AL Qur`an yang ada adalah terminology mengetahui, mengerti, memahami. Maka yang menjadi tugas manusia adalah berusaha untuk memahami, mengerti, mengetahui, bukan menjadi pintar.

Cak Nun melempar beberapa pantikan dan lontaran pertanyaan yang membuat suasana Kenduri Cinta malam itu semakin dinamis diskusinya. “Kenduri Cinta ini forum apa?”, Cak Nun memancing jamaah untuk mendefinisikan forum Kenduri Cinta ini. Forum yang tidak bisa disebut begitu saja dengan istilah pengajian. Jika disebut pengajian, yang hadir sangat heterogen, lintas agama, lintas kepercayaan, lintas suku. Juga tidak ada sosok Kyai atau Ustadz di Kenduri Cinta. Disebut sebagai forum diskusi ilmiah, tidak ada persyaratan akademis bagi siapa saja yang hadir di Kenduri Cinta. Disebut sebagai forum pengumpulan dan mobilisasi massa, tidak ada kepentingan politik di Kenduri Cinta. Jadi sebenarnya ini forum apa?

Sebuah pertanyaan yang pada akhirnya setiap jamaah berhak untuk mendefinisikan apa itu Kenduri Cinta bagi dirinya. Sementara bagi penggiat Kenduri Cinta sendiri, forum besar di setiap Jumat kedua adalah forum Reboan yang skalanya diperbesar. Setiap minggu sekali, pada Rabu malam, penggiat Kenduri Cinta berkumpul di Teras Galeri Cipta II, Taman Ismail Marzuki. Pondasi-pondasi Maiyahan sudah berlangsung di forum Reboan. Maka, Maiyahan Kenduri Cinta hakikatnya adalah forum Reboan yang diperbesar skalanya. Sehingga, penggiat Kenduri Cinta pun tidak pernah menargetkan akan dihadiri oleh berapa banyak orang di majelis ini.

Juga ada konsep pelatihan tanggung jawab yang juga ditanamkan di forum Maiyahan, bahwa yang di panggung haus bertanggung jawab atas apa yang ia sampaikan, begitu juga audien yang mendengarkan, jika ada yang perlu dibantah ia berdaulat penuh dan memiliki kemerdekaan untuk membantah apa yang disampaikan oleh narasumber di panggung, tentu saja. Kemerdekaan yang bertanggung jawab, bukan atas dasar tidak setuju dengan satu pendapat saja. Yang juga memperkuat latihan tanggung jawab adalah tata letak panggung yang tidak berjarak dengan jamaah, tinggi panggung pun hanya sekadar untuk membedakan posisi mana yang sedang berbicara dan mana yang sedang menyimak. Tidak ada sekat pagar, tidak ada pemisahan, tidak ada jarak.

CAK NUN menekankan, kenapa tema “Darurat Akal Tidak Sehat” ini diangkat, karena kita sedang sering mengalami banyak sekali penyempitan, pendangkalan, serta manipulasi kata. Maka, memaknai kata harus diawali dari cara berifikir yang sehat terlebih dahulu. Bulan lalu, kita bersama-sama mengupas kata radikalitas. Pada akhirnya, kita kemudian menemukan kembali denotasi dari kata radikal, bahwa pada setiap lini kehidupan kita membutuhkan radikalitas. Tidak semua yang disebut radikalitas itu buruk, karena pada hakikatnya kita membutuhkan sikap radikalitas pada momen-momen tertentu.

Cak Nun malam itu kembali mencontohkan, bahwa ketika seorang laki-laki memutuskan untuk memilih seorang perempuan menjadi istrinya, itu merupakan peristiwa radikal. Dari sekian perempuan yang sangat bisa ia nikahi, ia memilih satu saja untuk dinikahi. Itu merupakan salah satu perilaku yang radikal, menurut Cak Nun.

Setelah Cak Nun menjelaskan beberapa prinsip dan poin-poin sebagai landasan awal, Cak Nun meminta beberapa perwakilan dari jamaah untuk terlibat dalam sebuah workshop singkat dengan beberapa pertanyaan-pertanyaan yang disusun oleh Cak Nun malam itu. Ada 3 kelompok yang kemudian terbagi dalam rentang kelompok usia; Kelompok pertama usia dibawah 20 tahun, kelompok kedua usia 20-30 tahun, kelompok ketiga 30-40 tahun.

Pertanyaan-pertanyaan yang didiskusikan oleh masing-masing kelompok adalah seputar istilah-istilah yang diharapkan oleh Cak Nun muncul pemahaman baru yang lahir dari pemikiran anak-anak Maiyah, termasuk di Kenduri Cinta ini.

Kelompok-kelompok yang workshop tadi diberi beberapa pertanyaan mengenai Islam, Radikalitas, Demokrasi, Pancasila, Khilafah, Rasisme, mengenai fenomenanya, perbedaannya, persamaannya dan persambungannya menurut mereka masing-masing. Setelah berdiskusi secar aterpisah, masing-masing kelompok diberi kesempatan untuk mempresentasikan hasil diskusi mereka.

Masing-masing mempresentasikan secara otentik, buah karya pemikiran mereka sendiri-sendiri, benar atau salah bukan satu persoalan, tetapi keberanian mereka untuk menyampaikan pendapat adalah sesuatu hal yang perlu diapresiasi. Cak Nun juga berpesan agar pertanyaan-pertanyaan itu dibawa pulang oleh jamaah yang lain, untuk kemudian menjadi bahan renungan atau dijawab sendiri-sendiri ketika ada waktu senggang di rumah.

Menjelang pukul 2 dinihari, Kenduri Cinta edisi Desember 2019 dipuncaki. Genap sudah 12 edisi Kenduri Cinta terlaksana di tahun 2019, dengan segala dinamika yang dijalani. Sebuah kesyukuran akhirnya kita semua, penggiat Kenduri Cinta dan juga jamaah Maiyah menggenapkan 12 penyelenggaraan edisi Kenduri Cinta di Taman Ismail Marzuki. Sampai jumpa lagi di Kenduri Cinta tahun 2020.