IKHTILAF ZAMAN

CATATAN dalam arsip Kenduri Cinta, terakhir kali KiaiKanjeng hadir di Jakarta adalah pada Kenduri Cinta edisi Desember 2018, yang saat itu mengangkat tema Waras-atul Anbiya. Jeda waktu yang cukup lama, hingga akhirnya pada bulan April ini Cak Nun bersama KiaiKanjeng berkesempatan hadir kembali di Kenduri Cinta, Sabtu 9 April 2022. Perjalanan KiaiKanjeng ke Jakarta kali ini adalah yang perdana ke Simpul Maiyah selain Mocopat Syafaat yang selama pandemi dilangsungkan di Rumah Maiyah Kadipiro.

Momen Maiyahan di Kenduri Cinta edisi April 2022 kali ini bisa dikatakan adalah momen berbuka puasa. Tidak berlebihan memang, karena Jamaah Maiyah di Kenduri Cinta menjalani jeda cukup lama tidak bertemu dengan KiaiKanjeng, terlebih dua tahun terakhir ini kita semua sama-sama mengalami masa pandemi covid-19 sehingga ruang gerak kita sangat terbatas.

Alhamdulillah, tentu saja kita bersyukur dengan situasi dan kondisi saat ini. Belum benar-benar bisa lepas dari situasi pandemi memang, namun dengan berbagai macam persiapan yang sudah dilakukan, setidaknya kita sudah lebih siap untuk menyelenggarakan Maiyahan di saat-saat sekarang ini. Maka dari itu, proses registrasi untuk jamaah pun tetap dilakukan oleh teman-teman penggiat Kenduri Cinta untuk tahap awal pendataan. Saat jamaah datang di lokasi pun, sebisa mungkin protokol kesehatan tetap diberlakukan.

Saking rindunya Cak Nun dengan jamaah Kenduri Cinta, sejak sesi awal bahkan Cak Nun sudah berada di panggung. Awalnya, Cak Nun ingin turut bergabung pada sesi check sound KiaiKanjeng, namun sesi check sound urung dilakukan karena waktu yang tidak memungkinkan. Cak Nun merasa tidak perlu untuk kembali ke ruang transit, kemudian memilih untuk tetap berada di panggung, dan mengajak jamaah yang sudah hadir di lokasi untuk melantunkan sholawat dan wirid.

Wa kafaa billahi ilaaha
Wa kafaa bilaahi robba
Wa kafaa billahi ‘aliimaa
Wa kafaa billahi khobiroo

Wa kafaa billahi syahidaa
Wa kafaa bilaahi waliyya
Wa kafaa billahi wakiilaa
Wa kafaa billahi nashiroo

Wa kafaa billahi hayya
Wa kafaa billahi qoyyuma

“Seluruh yang Anda ketahui mengenai Islam, Allah dan Rasulullah SAW, itu tidak sepadan dengan fakta utuhnya. Kita masih sangat sedikit mengetahuinya.“
Emha Ainun Nadjib, Kenduri Cinta (April, 2022)

SAAT Maiyahan belum dimulai, beberapa jamaah sudah tampak menempati area duduk di depan panggung, Cak Nun mengajak jamaah yang sudah hadir untuk rengeng-rengeng. Dibantu Mas Islamiyanto, Cak Nun menuntun salah satu wirid yang disusun dalam Wirid Tawassulan. Wirid tersebut ditulis oleh Cak Nun dalam rangka meneguhkan sikap ridla dalam diri kita masing-masing, karena sejatinya hanya Allah yang mampu menjamin kehidupan kita. “Saya itu bukan memberi ajaran, saya bukan seorang Maula, bukan seorang Syaikh, bukan seorang Ulama, bukan Habib, bukan Gus, saya itu sahabatmu sesama orang lemah dihadapan Allah Swt. Saya datang ke sini ini bukan menentukan agar Anda semua ikut saya, tetapi saya mengajak Anda semua untuk bareng-bareng ngikut Allah Swt bersama Rasulullah SAW”, tegas Cak Nun.

Menukil salah satu potongan wirid tadi, Cak Nun menyampaikan bahwa Allah itu Maha Mengabarkan. “Siapa yang memberimu kabar agar engkau datang ke Kenduri Cinta? Siapa yang menyalurkan energi dan gelombang kerinduan itu ke dalam hatimu? Tentu saja Allah”, tegas Cak Nun. Apa yang terjadi di alam semesta ini seluruhnya di bawah kendali Allah Swt, tidak ada satupun yang luput dari Al- Khobiir. Maka dalam salah satu kalimat wirid tadi Cak Nun menyematkan; Wa kafaa billahi khobiiro.

Kalimat Wa kafaa billahi ini sebenarnya masih satu nuansa dengan Hasbunallah. Maka yang ditekankan oleh Cak Nun melalui wirid tersebut adalah kesadaran mendasar dalam diri kita bahwa yang kita butuhkan sebenarnya adalah agar kita secara sadar terus menerus menghadirkan Allah dalam hidup kita, karena satu-satunya pihak yang sangat pantas untuk kita bersandar hanyalah Allah Swt. Tegas Cak Nun menyampaikan, tujuan dari wirid itu adalah menyatukan diri kita dengan Allah, dengan alam semesta, dan juga dengan sesama manusia. Itulah yang dinamakan Tauhid.

Cak Nun kemudian meminta Mas Helmi dari Redaksi Caknun.com untuk membacakan Surat Al A’raf ayat 172, sebuah ayat yang menyatakan dengan tegas bahwa sejatinya kita manusia sudah beriman kepada Allah sejak pertama kali diciptakan. Allah sendiri yang mengkonfirmasi kepada setiap ruh mengenai kesaksian tentang keimanan itu. Allah bertanya; “Apakah Aku Tuhanmu”, kemudian ruh manusia menjawab; “Iya, aku bersaksi bahwa Engkau adalah Tuhanku”.

Dijelaskan oleh Cak Nun bahwa yang saat itu bersaksi adalah ruh kita, bukan memori-memori artifisial dalam diri kita saat ini. Karena sudah pasti kesadaran memori artifisial diri kita saat ini tidak akan menyadari bahwa sebelumnya sudah ada kesaksian dari ruh kita mengenai keimanan kita. “Diri kita yang sebenarnya bukan yang kita sadari, tetapi lebih dalam dari itu”, lanjut Cak Nun.

Di awal, Cak Nun sudah menegaskan kembali bahwa Tauhid merupakan sesuatu yang mutlak di Maiyah, tidak bisa ditawar-tawar lagi. Sebelumnya Cak Nun juga sudah menekankan bahwa beliau adalah sahabat kita semua. Bagaimana Cak Nun menempatkan diri untuk menjadi sahabat kita adalah sebuah peristiwa egaliter dalam hubungan sosial kita di Maiyah. Cak Nun tidak ingin dirinya dinabikan, dipuja-puja, ditinggi-tinggikan. Maka Cak Nun sering manyatakan bahwa kita semua sesat dalam menilai Cak Nun, karena seringkali kita berlebihan dalam memposisikan Cak Nun. Ditambah, semua wawasan dan khasanah di Maiyah itu masih terus berproses dan belum selesai, sehingga masih akan terus berkembang.

“Allah itu tidak menciptakan kegelapan. Allah hanya menciptakan cahaya. Kegelapan itu terjadi ketika Anda menutupi cahaya (dari Allah). Jadi, kegelapan bukan lahir dari sumber yang otentik melainkan menjadi akibat dari negasi atau penolakan Anda terhadap cahaya”
Emha Ainun Nadjib, Kenduri Cinta (April, 2022)

Membaca ayat-ayat yang tidak difirmankan

BERBELOK sedikit, Cak Nun mengajak jamaah untuk berfikir secara logis dan ilmiah. Salah satu alasan Nabi Adam AS turun ke bumi adalah karena melanggar aturan di surga; memakan buah khuldi. Secara logis, menurut Cak Nun karena Nabi Adam memakan buah yang dilarang, maka struktur metabolisme dalam tubuhnya mengalami galat. Sehingga, ada unsur di dalam tubuhnya yang harus segera dibuang dengan cara BAB.

Sekali lagi, Cak Nun mengajak kita berfikir secara logika. Di surga, sudah semestinya semua yang ada di dalamnya adalah suci dan bersih, tidak mungkin ada kotoran di surga. Semua yang ada di surga akan mengalami proses daur ulang secara alami tanpa menyisakan residua tau kotoran, tidak seperti kita di dunia, apa yang kita minum dan apa yang kita makan, masih menyisakan kotoran sehingga kita harus melakukan proses buang air kecil dan proses buang air besar. Maka ketika ada penghuni surga yang melanggar aturan surga, akan mengalami seperti yang dialami oleh Nabi Adam, ia turun ke bumi untuk mengeluarkan kotoran dari dalam tubuhnya. Sekali lagi, khasanah ini disampaikan oleh Cak Nun dengan tujuan agar kita mau berfikir secara logika, bukan untuk dijadikan fatwa tentang sebuah kebenaran yang mutlak.

Selanjutnya, untuk melambari Kenduri Cinta malam itu, Cak Nun menukil satu ayat dalam Al Qur`an, dari surat Al Jahfi ayat 109; Qul lau kana-l-bahru midadal li kalimati robbi la nafida-l-bahru qobla an tanfada kalimatu robbi wa law ji’na bi mitslihi madada

“Katakanlah, ‘Kalau sekiranya laut menjadi tinta untuk kalimat-kalimat Tuhanku maka sungguh habislah laut itu sebelum habis kalimat-kalimat Tuhanku, meskipun Kami datangkan tambahan sebanyak itu pula.’”

Ayat tersebut ditadabburi kembali oleh Cak Nun untuk mengajak jamaah kembali muroja’ah mengenai ayat-ayat yang tidak difirmankan oleh Allah. Dari ayat tersebut, Cak Nun menyampaikan bahwa ada banyak sekali ayat-ayat Allah yang tidak difirmankan secara tekstual seperti di dalam Al Qur`an, yang bahkan apabila kita menulisnya dengan tinta sebanyak air laut, maka ayat-ayat tersebut belum selesai dituliskan semuanya, sekalipun didatangkan kembali tinta dengan jumlah yang sama banyaknya.

“Seluruh yang Anda ketahui mengenai Islam, Allah dan Rasulullah SAW, itu tidak sepadan dengan fakta utuhnya. Kita masih sangat sedikit mengetahuinya. Jadi jangan marah kalau kadang ada informasi yang aneh”, Cak Nun melanjutkan.

“Bulan depan Insya Allah akan kita pentaskan Mlungsungi di sini ya”, Cak Nun menyampaikan harapan agar Drama Mlungsungi ini bisa dipentaskan di Kenduri Cinta secara terbuka. Cak Nun menceritakan, jumlah orang yang terlibat dalam Drama Mlungsungi ini sebanyak 92 orang, yang terdiri dari 3 generasi para pemain teater di Yogyakarta.

Sedikit mengulas mengenai Drama Mlungsungi, Cak Nun menyampaikan bahwa naskah Drama tersebut disusun dalam rangka melahirkan kesadaran bersama untuk kita semua agar mampu lahir kembali. Selama ini kata Mlungsungi hanya digambarkan pada fenomena bergantinya kulit dari seekor ular. Bagi Cak Nun, Mlungsungi itu lebih luas dari hanya sekadar bergantinya kulit ular itu tadi.

Terlebih jika kita melihat permasalahan di Indonesia, Cak Nun menjelaskan bahwa ada banyak hal yang harus terlebih dahulu dibereskan dari sekadar mengganti Presiden. Jika kita hanya membicarakan mengenai proses pelengseran penguasa, itu bukan solusi yang efektif menurut Cak Nun. Cak Nun kembali menekankan pentingnya kita memahami apa perbedaan antara Negara dengan Pemerintah. Bagaimana seharusnya Pemerintah memposisikan dirinya di hadapan rakyatnya. Bagaimana seharusnya konstitusi ditegakkan dan dipatuhi oleh seluruh elemen bangsa. Sementara hari ini kita menyaksikan banyak sekali hal-hal yang mendasar itu justru terbolak-balik penempatannya.

“Drama Mlungsungi itu bukan pementasan teater, melainkan adalah doa saya dan teman-teman (Reriungan Teater) di Jogja”, ungkap Cak Nun. Dan memang sejak dulu, Cak Nun saat menulis sebuah naskah drama, selalu menitikberatkan bahwa naskah tersebut ditulis bukan atas tujuan utama untuk pementasan teater, melainkan sebagai salah satu media untuk berdoa.

Rencananya, setelah dipentaskan di Taman Budaya Yogyakarta akhir Maret lalu, bulan ini Drama Mlungsungi akan dipentaskan di Padhangmbulan pada 16 April 2022. Cak Nun pun menyampaikan rencana dan harapannya kepada Jamaah Maiyah di Kenduri Cinta bahwa naskah Mlungsungi itu juga akan dipentaskan di Kenduri Cinta dengan konsep reriungan seperti di Padhangmbulan.

Tentu saja, pementasan ini menjadi tanggung jawab kita bersama-sama untuk bareng-bareng nyengkuyung persiapannya. Cak Nun meminta kepada penggiat Kenduri Cinta untuk menyusun konsep yang lebih detail untuk bagaimana agar Jamaah Maiyah di Kenduri Cinta bisa ikut terlibat untuk bareng-bareng reriungan mempersiapkan segala sesuatunya agar naskah Drama Mlungsungi bisa dipentaskan di Kenduri Cinta. Karena, Cak Nun berharap pementasan Mlungsungi di Kenduri Cinta diselenggarakan di area terbuka dan tanpa harus membebani pembelian tiket.

Namun, tentu saja bukan kemudian kita abai untuk tidak memikirkan ubo rampe persiapan teknis dan non teknisnya. Bagaimana agar panggung, sound system, lighting hingga keperluan logistik para pemain teater bisa diupayakan, tentu tetap harus dipikirkan secara detail. Cak Nun pun mengajak Jamaah Maiyah Kenduri Cinta untuk bersinergi bersama teman-teman penggiat Kenduri Cinta untuk menyusun konsep yang penuh maslahat untuk kepentingan bersama ini.

Ditekankan oleh Cak Nun, semangat reriungan yang dilakukan oleh 3 generasi pemain teater di Yogyakarta dalam pementasan Drama Mlungsungi ini bukan hanya sekadar semangat untuk berkumpul lalu mementaskan sebuah naskah. Tetapi, ada nilai yang lebih inti yaitu silaturahmi. Maka Cak Nun menyematkan kata reriungan dalam pementasan Drama Mlungsungi ini.

Ning kowe yo ojo gratisan!”, Cak Nun berseloroh untuk memancing respons jamaah dan tentu saja direspons dengan gelak tawa. “Saya mohon kepada temen-temen Kenduri Cinta untuk menyusun konsep agar semua nyengkuyung Drama Mlungsungi ini agar supaya anak-anak ini tidak berdosa karena hanya menonton secara gratisan. Nonton thok gak bondo opo-opo lak duso? Ya? Ya urun-urun apa lah, bagaimana sistemnya akan diatur oleh teman-teman penggiat Kenduri Cinta”, lanjut Cak Nun disambut tawa jamaah.

“Ridla itu bukan hanya sikap hidup dan sikap batin. Ridla itu juga adalah sebuah ilmu juga, jadi Anda harus punya pemetaannya. Ridla itu pekerjaan ruh, bukan pekerjaan fikiran”
Emha Ainun Nadjib, Kenduri Cinta (April, 2022)

Sinau Ilmu Ridla

“ANDA semua sudah kangen dengan KiaiKanjeng kan?”, Cak Nun menyapa jamaah malam itu. Cak Nun sepertinya sudah tidak sanggup juga menahan kerinduan untuk bertemu dengan anak-cucu Jamaah Maiyah di Kenduri Cinta malam itu, sehingga forum yang biasanya diawali dengan sesi mukadimah oleh penggiat Kenduri Cinta pun tidak dilaksanakan, karena Cak Nun sudah langsung naik ke panggung, bahkan saat jamaah yang datang ke lokasi masih sedikit. “Aku yo wis kangen karo kowe!”, ungkap Cak Nun.

Saat personel KiaiKanjeng sudah berada di panggung secara lengkap, Cak Nun bersama KiaiKanjeng membawakan Sholawat Tarhim dengan nada dan irama seperti yang biasanya kita dengarkan dari rekaman Syaikh Mahmud Kholil Al Hussary yang kemudian diaransemen medley dengan nomor sholawat Yaa Imaamarusli Yaa Sanadi. Sedikit insight, sholawat tarhim versi original direkam di Solo, tepatnya di studio rekaman Lokananta.

Setelah nomor pertama itu, Cak Nun menyampaikan informasi bahwa silaturahmi KiaiKanjeng di Jakarta kali ini juga dalam rangka rangkaian Sinau Bareng yang pada hari berikutnya (10/04) Cak Nun bersama KiaiKanjeng diundang untuk mengisi acara di Masjid At Taufiq Lenteng Agung atas undangan khusus dari Ketua Umum PDI-P, Ibu Megawati Soekarnoputri.

Cak Nun menjelaskan mengapa akhirnya mengiyakan undangan Bu Mega tersebut setelah 3-4 tahun terakhir selalu menolak ketika diminta untuk datang ke Lenteng Agung. Cak Nun menyampaikan bahwa saat ini yang ditekankan adalah ilmu ridla. Mungkin ada satu-dua hal yang kita tidak setujui dengan orang lain, tetapi jangan sampai ketidaksetujuan itu kemudian membuat kita terpecah belah. Cak Nun mempertimbangkan bahwa ada hal yang lebih penting untuk dibicarakan bersama di atas kepentingan sempit sebagian golongan semata. “Ridla itu bukan hanya sikap hidup dan sikap batin. Ridla itu juga adalah sebuah ilmu juga, jadi Anda harus punya pemetaannya. Ridla itu pekerjaan ruh, bukan pekerjaan fikiran”, lanjut Cak Nun.

Ditambahkan oleh Cak Nun bahwa acara di Masjid At Taufiq itu jangan ditafsirkan macam-macam, karena Cak Nun sendiri memutuskan untuk mengiyakan undangan Ibu Megawati itu setelah mempertimbangkan banyak hal, bahwa memang ada yang harus segera dibicarakan agar persoalan-persoalan bangsa yang saat ini kita hadapi dapat segera kita temukan solusinya. “Insya Allah besok malam kita laksanakan dalam rangka doa bersama, untuk anak cucumu bangsa Indonesia di masa yang akan datang”, ungkap Cak Nun.

Cak Nun menambahkan, ridla itu tidak sama dengan tidak marah. Ada hal yang mungkin membuat kita marah, tetapi tetap pada akhirnya kita mampu untuk ridla. Satu hal kecil dicontohkan oleh Cak Nun, jika suatu hari di jalan mobil kita diserempet oleh pengendara yang lain. Pada momentum tersebut, Allah sangat dengan mudah untuk menghindarkan peristiwa tersebut, tetapi Allah tetap membiarkan terjadinya mobil berserempetan. Hal yang sama juga bisa dilakukan oleh Allah untuk mencegah gunung Meletus, tsunami, gempa bumi dan lain sebagainya. Tetapi faktanya Allah tidak menghalangi terjadi peristiwa tersebut. Maka selanjutnya adalah tentang bagaimana kita ridla dengan ketentuan yang sudah ditetapkan oleh Allah. “Jika kamu sudah ridla, maka Allah akan menjamin jalan keluarnya”, Cak Nun menambahkan.

“Apapun saja yang terjadi di dalam kehidupan ini, di seluruh dunia ini, aku ridla. Meskipun aku sedang mengalami kesakitan yang luar biasa, penderitaan yang sangat mendalam, saya ridla. Sebab ridla saya itu adalah kepada kehendak Allah”, tegas Cak Nun. Karena sejatinya, ridla kita itu adalah ridla terhadap kehendak Allah. Sederhananya, kenapa sebuah peristiwa tidak dicegah oleh Allah untuk tidak terjadi, maka kita harus meyakini bahwa peristiwa tersebut merupakan bagian dari ketentuan Allah, dan sikap kita adalah ridla. “Ridlaku  kepada ketentuan Allah”, tegas Cak Nun.

“Apakah saya setuju dengan semua yang terjadi di Indonesia? Ya ndak. Tetapi itu sudah terjadi dan Allah sudah mengizinkan itu terjadi, maka saya ridla”, Cak Nun melanjutkan. Seperti halnya tentang banyaknya video-video liar yang diedit sedemikian rupa dengan judul-judul mempertentangkan Cak Nun dengan tokoh-tokoh di Indonesia, Cak Nun sendiri sudah mengambil sikap untuk ridla terhadap fenomena sop buntut tersebut. Cak Nun menegaskan bahwa energi  serta potensi yang dimiliki lebih baik disalurkan untuk berbagi kegembiraan, mewujudkan kebahagiaan, menuju kemuliaan dan keindahan. “Saya ridla dan saya tidak mendoakan mereka kualat melainkan saya mendoakan mereka mendapat berkah”, ungkap Cak Nun.

Laa haula walaa quwwata illa billah. Cak Nun kembali menegaskan bahwa kita harus berani untuk merendahkan diri kita di hadapan Allah. Karena memang aslinya kita tidak memiliki apa-apa dihadapanNya. Semua kekuatan, semua kekuasaan dan semua kehebatan hanya milik Allah. Sekalipun Nabi Muhammad SAW pun tidak memilikinya, hanya Allah Swt yang memilikinya.

“Apapun saja yang terjadi di dalam kehidupan ini, di seluruh dunia ini, aku ridla. Meskipun aku sedang mengalami kesakitan yang luar biasa, penderitaan yang sangat mendalam, saya ridla. Sebab ridla saya itu adalah kepada kehendak Allah”
Emha Ainun Nadjib, Kenduri Cinta (April, 2022)

CAK NUN kemudian meminta Mas Helmi untuk membacakan Surat Ali Imran ayat 190:

إِنَّ فِي خَلۡقِ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلۡأَرۡضِ وَٱخۡتِلَٰفِ ٱلَّيۡلِ وَٱلنَّهَارِ لَأٓيَٰتٖ لِّأُوْلِي ٱلۡأَلۡبَٰبِ

Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal.

Dari ayat tersebut Cak Nun mengajak jamaah untuk lebih jeli memahami clue-clue dari Allah. Dalam ayat tersebut dijelaskan bahwa pada bergantinya siang dan malam terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal. Di awal, Cak Nun menjelaskan mengenai ayat-ayat yang tidak difirmankan, seolah ditegaskan melalui ayat 190 dari surat Ali Imron ini, Cak Nun menyampaikan bahwa di dalam Al Qur`an ada kode-kode spesifik yang sangat jelas. Seperti di awal surat Al Baqoroh misalnya; dzaalika-l-kitaabu laa roiba fiih hudan li-l-muttaqiin. Bahwa Al Qur`an menjadi petunjuk bagi mereka yang bertaqwa; li-l-muttaqiin. Maka, jika manusia tidak bertaqwa maka tidak mendapat hak untuk diberi petunjuk melalui Al Qur`an, dan itu merupakan hal yang sangat logis sesuai dengan apa yang difirmankan oleh Allah Swt.

“Oleh karena itu, ayo kita bangun kualitas intelektual dan ruhaniyah kita agar supaya tergolong menjadi yang Allah sebut menjadi Ulil Albaab”, lanjut Cak Nun. Ditambahkan oleh Cak Nun, Albaab itu berasal dari kata lubbun yang berarti satu lapisan dari hati manusia. Bagi Cak Nun, ayat ini memancing kita untuk dapat mengeksplorasi lebih dalam dari potensi yang kita miliki, dari ayat Ali Imron 190 ini saja kita mengetahui bahwa manusia juga bisa berfikir yang lebih dalam menggunakan hati, bukan hanya menggunakan akal saja.

Berbicara mengenai musik KiaiKanjeng, Cak Nun meminta Mas Jijit untuk menjelaskan konsep Ngeng dalam aransemen KiaiKanjeng. Kiita tahu bahwa Pak Nevi Budiyanto menciptakan Gamelan KiaiKanjeng ini salah satu fondasi utamanya adalah Sense of Ngeng. Dijelaskan oleh Mas Jijit, Ngeng itu semacam rasa. Saat memainkan alat musik atau saat menyusun aransemen baru untuk sebuah lagu, ada momentum yang turut mendukung terciptanya sebuah lagu sehingga menjadi alunan nada dan irama yang terstruktur dengan baik. Jika Ngeng-nya tidak tepat, maka hasil aransemen musiknya pun tidak sempurna.

Begitu juga dengan karya-karya KiaiKanjeng sendiri. Jika kita mencermati karya-karya KiaiKanjeng dalam belantika musik Indonesia sendiri, merupakan sebuah proses bermusik yang sangat revolusioner, karena benar-benar menabrak pakem yang ada dalam dunia musik di Indonesia sendiri. Nomor-nomor KiaiKanjeng tidak tercatat dalam tangga nada popular di stasiun radio maupun televisi, tetapi faktanya karya-karya KiaiKanjeng justru dikenal oleh masyarakat luas dalam segmen yang juga bermacam-macam.

Mas Jijit menambahkan, bahwa Gamelan KiaiKanjeng ini wujudnya ya alat music Gamelan pada umumnya. Kuncinya adalah pada pemainnya yang memainkan Gamelan itu sendiri. Karena Sense of Ngeng antar personel KiaiKanjeng itu sudah menyatu chemistry-nya, maka saat memainkan lagu-lagu Arab, Barat, Pop, Jazz hingga lagu Jawa, dapat dimainkan dengan apik. “Jadi sebenarnya itu bukan urusan materinya, melainkan ruhaninya”, lanjut Cak Nun.

Seperti halnya jika kita menanam tanaman, berjualan di warung, bekerja di kantor, secara materi yang tampil adalah wujud kita sebagai manusia, tetapi hakikat yang sejati adalah bagaimana Ngeng dalam diri kita yang murni dan suci itu yang kemudian mengejawantah pda personifikasi diri kita, sehingga kita bisa diterima oleh orang lain, sehingga tanaman yang kita tanam tumbuh subur, dagangan yang kita jual laris dibeli orang dan seterusnya. “Kowe ngingu Wedhus, kuwi tergantung atimu. Wedhuse cepet manak opo ora, kuwi tergantung atimu”, lanjut Cak Nun.

Cak Nun menambahkan, bahwa Ngeng dalam diri manusia itu adalah semacam dzauq, qalbun, ruh, sesuatu yang memang tidak bisa diilustrasikan secara fisik, namun ia memang ada. Gelombang dzauq itu harus dimiliki setiap manusia, agar ia mampu untuk tepat dalam menentukan keputusan dari setiap persoalan yang dihadapi. “Ada subjek yang lebih dalam, yang lebih sejati dari manusia, bukan tangannya, bukan kakinya, tetapi itu yang disebut dengan Ngeng itu tadi”, pungkas Cak Nun.

Cak Nun kembali menekankan bahwa Maiyah ini tidak dapat dikategorikan dalam bentuk padatan. Maiyah bukanlah Ormas, bukan juga Partai Politik, bukan juga Perusahaan atau Organisasi. Tetapi, yang ditumbuhkan di Maiyah adalah apa yang disebut Ngeng itu tadi. Cak Nun terus berupaya menyadarkan dan membongkar cara berfikir kita untuk menemukan hal-hal yang sejati dan mendasar dalam kehidupan ini.

Kembali ke ilmu ridla, Cak Nun kembali menegaskan bahwa yang terpenting adalah bagaimana agar kita diterima oleh Allah Swt. Di dalam Al Qur`an Allah menyebutkan; yaa ayyatuha-n-nafsu-l-muthmainnah irji’ii ila robbiki radliyatan mardliyah… Untuk bisa mencapai keridlaan Allah, maka seharusnya kita terlebih dahulu ridla terhadap ketentuan Allah. Merefleksikan ridla Allah tersebut, Cak Nun menyampaikan bahwa tidak masalah kita tidak dianggap di dunia oleh siapa-siapa, dan tidak dihitung sebagai siapa atau sebagai apa, karena yang paling penting adalah kita diterima oleh Allah Swt.

Cak Nun mengingatkan kembali kepada jamaah Kenduri Cinta agar mampu melihat dunia dengan kelucuan. Bukan maksudnya tidak serius, kita harus serius menjalani kehidupan. Tetapi, kita juga harus mampu melihat kelucuan-kelucuan dalam hidup kita ini agar tidak kaku dalam menjalani hidup. Ketika Allah memberikan kita rezeki yang begitu banyak, tetapi Allah juga yang mengingatkan kita untuk tidak rakus. Ketika Allah melarang kita untuk tidak tergoda dengan perempuan, tetapi Allah juga yang menciptakan perempuan yang membuat kita tergoda. Betapa lucunya hidup ini bukan?

“Memang banyak sekali hal yang kita cemaskan, kita gelisahkan, kita tidak setuju, kita ingin merubahnya, bahkan ingin memberontaknya, bahkan ingin melawannya. Tapi kan kamu ndak bisa berbuat apa-apa. Selama kamu ndak bisa berbuat apa-apa, senjatamu tinggal satu; ridla. Dengan Allah melihat bahwa kamu ridla, maka Allah akan bertanggung jawab kepada hidupmu, karena Allah yang menciptakanmu”
Emha Ainun Nadjib, Kenduri Cinta (April, 2022)

Mlungsungi sebagai filosofi hidup

KEGEMBIRAAN di Kenduri Cinta malam itu membuncah dengan nomor-nomor yang dibawakan oleh KiaiKanjeng. Setelah di awal nomor Ya Thoiybah dibawakan secara terbang dan aransemen modern ala KiaiKanjeng, nomor Menungso lalu medley One More Night-Beban Kasih Asmara pun dibawakan. Malam itu, Kenduri Cinta bergembira dan berbahagia atas kehadiran KiaiKanjeng.

Setelah penampilan beberapa nomor-nomor KiaiKanjeng, Cak Nun meminta beberapa jamaah untuk merespons apapun saja dari apa yang sudah dibahas dalam diskusi 3 jam terakhir di Kenduri Cinta. Beberapa jamaah kemudian naik ke panggung. Ada yang bertanya mengenai Kebangsaan, Politik, Negara, Pemerintah dan lain sebagainya.

Cak Nun merespons satu pertanyaan mengenai tema Kebangsaan dan Kenegaraan. Diulas kembali oleh Cak Nun mengenai perbedaan antara Negara dengan Pemerintah. Beda antara Pegawai Negara dengan Pegawai Pemerintah. Jika, ASN itu adalah pegawai yang sifatnya memiliki durasi jabatan yang lebih lama, tetapi pada faktanya kekuasaannya kalah oleh Pemerintah yang sebenarnya hanya menjabat lebih singkat dari ASN. Begitu juga dengan BUMN, jika memang itu milik Negara, maka seharusnya hasil usahanya masuk ke kas Negara bukan Pemerintah.

Jika memang harus membiayai Pemerintah, Cak Nun mengusulkan ada jenis-jenis yang lain, ada Perusahaan yang memang disebut BUMN (Badan Usaha Milik Negara), ada yang juga BUMP (Badan Usaha Milik Pemerintah) atau BUMR (Badan Usaha Milik Rakyat). Jika dari hal-hal mendasar seperti ini masih belum bisa dibedakan, maka jangan kaget jika pengelolaan Negara tidak dilakukan dengan baik oleh Pemerintah. “Tapi rakyat Indonesia pantang menyerah, rakyat Indonesia sangat tangguh, dan daya survive­­-nya nomor 1 di dunia”, Cak Nun menegaskan.

“Hidup itu tidak hanya linier di wilayah anda saja. Hidup itu begitu luasnya, kalau Anda melihatnya itu sawang sinawang. Kalau Anda melihat luas, Anda akan mendapatkan ilmu yang paling tinggi, yang akan membuat Anda tenang hidupnya, sumeleh, dan sejahtera”, tegas Cak Nun. Karena yang menyejahterakan kita semua adalah Allah, maka di dalam Al Qur`an ada ayat; yarzuqhu min haitsu laa yahtasib.

Merefleksikan dua tahun pandemi, Cak Nun menyampaikan bahwa sewajarnya situasi pandemi yang kita lalui kemarin akan menghasilkan kriminalitas yang tinggi dimana-mana, kerusuhan dimana-mana, karena rakyat kecil kesulitan untuk bertahan hidup, semua serba terbatas. Tetapi pada faktanya, rakyat Indonesia mampu untuk bertahan hidup, sebisa-bisanya, dengan segala upaya yang dimilikinya. “Ada kelenturan yang luar biasa pada mental manusia Indonesia. Jadi Anda harus mantap dan bersyukur karena Allah mentakdirkanmu menjadi rakyat dan bangsa Indonesia”, tegas Cak Nun.

“Kita itu punya Bahasa dicukup-cukupno”, lanjut Cak Nun. Mungkin, ucapan dicukup-cukupno itu hanya sebatas ucapan bagi sebagian orang, tetapi sebenarnya itu adalah sebuah konsep hidup yang qona’ah. Di alam bawah sadar rakyat Indonesia, yang mengucapkan dicukup-cukupno itu tumbuh daya bertahan hidup yang luar biasa. Tidak mempertimbangkan berapa jumlah uang yang ia miliki, tetapi mengusahakan dengan harta yang ada saat ini mampu untuk bertahan hidup dan memenuhi kebutuhan primer keluarganya. “Selama kamu ndak bisa berbuat apa-apa, senjatamu tinggal satu; ridla”, pungkas Cak Nun.

Selanjutnya, merespons Akbar dari Slipi, yang sepertinya baru pertama kali hadir di Kenduri Cinta, Cak Nun menyampaikan bahwa Allah yang menciptakan Indonesia, kemudian menciptakan kita semua lalu menjadikan kita lahir dan tinggal di Indonesia. Maka jangan dikira Allah tidak memahami apa yang kita ucapkan, meskipun dengan Bahasa daerah kita sendiri. Jangan dikira Allah hanya menciptakan bangsa Arab saja, tetapi kita juga tidak bisa melupakan begitu saja dengan khasanah Arab. Cak Nun mencontohkan misalnya, ada banyak kata dari Bahasa Arab yang kemudian diadopsi menjadi Bahasa Indonesia, seperti kata Rakyat, Musyawarah, Mufakat, Adil, Adab. “Jadi, jangan sinis kepada Arab dan juga Islam”, ungkap Cak Nun.

“Ini betul-betul doa kita untuk Indonesia. Serius! Sungguh-sungguh! Dengan segala ketulusan hati dan ridla dari ruh kita bersama-sama, insya Allah akan dikabulkan dalam bentuk yang Allah tentukan. Kita husnudhon, kita bukan ndisik’i kerso, kita bukan mendahului kehendak Allah, tapi kita bersangka baik kepada kehendak Allah dan Allah akan mengabulkannya dengan bentuk dan waktu yang tidak kita sangka-sangka”

Emha Ainun Nadjib, Kenduri Cinta (April, 2022)

DITAMBAHKAN oleh Cak Nun, SARA (Suku, Ras, Agama dan Golongan) itu ketika dibicarakan jangan dianggap sebagai sesuatu yang negatif, karena dari setiap Suku, Ras, Agama dan Golongan yang ada itu pasti memiliki potensi yang bisa dikolaborasikan satu sama lain. Di Indonesia semua Suku yang ada telah menyumbang banyak sekali untuk kebudayaan Indonesia. Maka, karena kita diciptakan oleh Allah untuk menjadi orang Indonesia maka syariat Allah untuk kita adalah mencintai Indonesia.

Lain lagi dengan Iqbal dari Cianjur yang juga mengaku baru pertama kali datang di Kenduri Cinta juga mengungkapkan kegembiraannya. Dia merasa mendapat keluarga baru, bertemu dengan saudara-saudara yang baru. Menemukan suasana yang sangat nyaman di Kenduri Cinta, nuansa diskusi yang serius namun juga diselingi musik dengan berbagai genre yang membuat suasana semakin gembira. Awalnya merasa hanya untuk mencoba datang, namun justru sudah langsung merasa betah dan kerasan.

Sementara itu, Immawati seorang dosen di sebuah kampus di Jakarta, ia cukup lama sudah mengikuti Kenduri Cinta sejak di Taman Ismail Marzuki, malam itu ia menemukan kunci dari Cak Nun berupa ilmu ridla. Saat ia melihat sekeliling di kehidupan sehari-hari, ia menemukan betapa bobroknya dunia Pendidikan di Indonesia, bagaimana para pemangku kebijakan juga tidak beres mengurusi Negara dan lain sebagainya, tetapi malam itu ia mendapat ilmu ridla yang diwedar oleh Cak Nun sebagai satu solusi agar ia mampu untuk lebih tenang menjalani kehidupan saat ini.

Kembali, Cak Nun menjelaskan mengenai Drama Mlungsungi untuk merespons jamaah mengenai kondisi di Indonesia. Cak Nun menyatakan bahwa naskah Drama Mlungsungi itu sebuah harapan agar Presiden Indonesia mau melakukan proses Mlungsungi. Maksudnya adalah melakukan gerakan revolusioner untuk memperbaiki dirinya, memperbaiki ucapannya, memperbaiki tindakaknnya, sehingga keputusan-keputusan yang diambil adalah keputusan yang penuh maslahat untuk seluruh rakyat Indonesia. Gerakan revolusioner itu bukan dalam rangka melengserkan Presiden dan para pejabat lainnya, melainkan gerakan revolusioner yang dipimpin sendiri oleh Presiden demi kemaslahatan bersama seluruh bangsa Indonesia.

“Jadi temen-temen sekalian, Mlungsungi itu doa saya dan teman-teman (reriungan) di Jogja. Kalau ndak kabul ya ndak apa-apa, sudah biasa. Tapi kalau nanti kabul, Anda jangan kaget”, lanjut Cak Nun.

Cak Nun mencontohkan bagaimana ketika naskah Lautan Jilbab difragmenkan oleh Sanggar Salahuddin UGM. Saat itu sangat sedikit perempuan di Indonesia yang mengenakan jilbab. Cak Nun menegaskan bahwa naskah Lautan Jilbab itu ditulis bukan dalam rangka tujuan menasionalisasikan jilbab di Indonesia, bahkan lebih inti dari itu, yang diperjuangkan oleh Cak Nun adalah hak para perempuan untuk memilih jenis pakaian seperti apa yang ingin ia kenakan. Dan hari ini kita justru benar-benar menyaksikan Lautan Jilbab di Indonesia.

Lautan Jilbab sendiri menjadi salah satu fenomena pementasan teater di Indonesia yang mampu menyedot perhatian masyarakat. Bahkan saat dipentaskan di Stadion Wilis, Madiun, jumlah penonton mencapai 35.000 yang hadir, angka tersebut berdasarkan jumlah tiket yang terjual dan kapasitas stadion itu sendiri. Yang juga kemudian dipentaskan di Gontor dan juga Go Skate Surabaya.

Suasana diskusi Kenduri Cinta malam itu semakin gayeng, karena memang semua merasakan kerinduan yang sama. Cak Nun dan KiaiKanjeng juga merasakan kerinduan untuk bertemu dengan jamaah Maiyah di Kenduri Cinta, jadi bukan hanya jamaah Maiyah saja yang kangen. KiaiKanjeng kemudian diminta oleh Cak Nun untuk membawakan satu nomor yang penuh kegembiraan; Medley Nusantara. Semua bernyanyi bersama, bergembira bersama, bersyukur bersama di Kenduri Cinta malam itu.

“Hidup itu tidak hanya linier di wilayah anda saja. Hidup itu begitu luasnya, kalau Anda melihatnya itu sawang sinawang. Kalau Anda melihat luas, Anda akan mendapatkan ilmu yang paling tinggi, yang akan membuat Anda tenang hidupnya, sumeleh, dan sejahtera”
Emha Ainun Nadjib, Kenduri Cinta (April, 2022)

Ikhtilaf Zaman dan Cahaya Allah

MEMBAHAS tema Ikhtilaf Zaman, Cak Nun menukil surat yang sebelumnya sudah dibaca di awal oleh Mas Helmi yaitu Surat Ali Imron ayat 190, Cak Nun menyampaikan bahwa simbolik siang dan malam dalam ayat tersebut bisa direfleksikan ke berbagai macam hal. Salah satunya hati dalam diri kita, Cak Nun mengajak jamaah untuk mengidentifikasi kondisi hati masing-masing, lebih banyak siang atau malam suasana hati kita?

Siang adalah cahaya, sementara malam adalah kegelapan. Ada cahaya yang sejati dari Allah yang tampak tidak oleh mata fisik, tetapi tampak oleh mata jiwa manusia. Cahaya fisik saja sebenarnya tidak bisa kita lihat secara langsung, kita membutuhkan media untuk memantulkan cahaya itu sehingga kita melihat pancaran cahaya tersebut. Cahaya lampu misalnya, kita membutuhkan media lain agar kita mampu melihat cahaya yang dipancarkan dari lampu yang berasal dari arus listrik. Cak Nun menyebut bahwa begitulah juga dengan cahaya ruhaniah dari Allah, setiap individu manusia memerlukan receiver yang benar-benar mumpuni agar mampu memantulkan cahaya Allah itu.

Cak Nun menukil kembali Surat An-Nuur ayat 35. Ada kondisi psikologi, kondisi mental, dimana manusia mampu bercahaya tanpa disulut, yakaadu zaituha yudhliiu walaw lam tamsashu naar. Ada manusia yang benar-benar matang proses ruhaninya, sehingga potensinya optimal menjadi maslahat bagi semua orang di sekitarnya, hadirnya menjadi manfaat bagi semua. “Cahaya Allah itu akan datang kepada hidupmu, engkau terima dengan ketulusan hidupmu, kejernihan hatimu, keadlian fikiranmu, dan kesadaran mendalamnya jiwamu”, lanjut Cak Nun.

“Allah itu tidak menciptakan kegelapan. Allah hanya menciptakan cahaya. Kegelapan itu terjadi ketika Anda menutupi cahaya (dari Allah). Jadi, kegelapan bukan lahir dari sumber yang otentik melainkan menjadi akibat dari negasi atau penolakan Anda terhadap cahaya”, Cak Nun menambahkan. Begitu juga dalam kehidupan sehari-hari, kita tidak akan mengalami kegelapan sepanjang kita mampu menerima cahaya Allah dan cahaya tertinggi adalah sikap ridla. “Mungkin hampir sama dengan kebencian. Kebencian itu tidak ada, kebencian adalah cinta yang tersakiti”, ungkap Cak Nun.

Cak Nun menambahkan, kita harus mampu membedakan antara pantulan dan cahaya itu sendiri. Bayangan dari benda yang dipantulkan cahaya itu tidak sama dengan cahaya itu sendiri. Bayang-bayang itu sendiri bukanlah cahaya yang sejati. Sementara kita sebagai manusia sering terjebak untuk mengejar bayang-bayang daripada menemukan cahaya yang sejati. Kita sibuk mengejar prestasi, karier, capaian-capaian yang sebenarnya hanyalah bayang-bayang dari cahaya yang sejati.

Semakin malam, Kenduri Cinta semakin syahdu. Cak Nun meminta KiaiKanjeng untuk melantunkan nomor Duh Gusti yang dikombinasikan dengan lantunan Adzan oleh Cak Nun. Benar-benar obat rindu yang lengkap di Kenduri Cinta malam itu. Tepat 2 tahun kita tidak bisa Maiyahan secara normal seperti biasanya karena suasana pandemi, Kenduri Cinta edisi April ini benar-benar menjadi obat mujarab membuncahnya rindu itu. Semakin lengkap dengan kehadiran Cak Nun dan KiaiKanjeng yang tidak hanya membawakan nomor-nomor gembira, namun juga nomor-nomor syahdu seperti Duh Gusti, Nothing Compare to You yang dikombinasikan dengan sholawat Madura, lalu juga wirid Ya Allah Ridla yang dilantunkan Mbak Nia.

Di Kenduri Cinta edisi April ini, Cak Nun mewedar ilmu mulai dari Agama, Sosial, Politik, Budaya, hingga Seni dan Musik. Semua dibahas dan diwedar oleh Cak Nun dalam suasana Sinau Bareng yang selalu mengasyikkan. Yang membuat kita betah untuk berlama-lama Maiyahan. Karena atmosfer kegembiraan di Maiyahan ini kita nyengkuyung bareng-bareng, sehingga kita pun bergembira bersama.

Sinau Bareng di Maiyah selalu melenakan kita tentang waktu. Tidak terasa, forum berlangsung selama 6 jam. Untuk menstabilkan kembali energi keberlangsungan Maiyahan malam itu, Cak Nun meminta KiaiKanjeng membawakan nomor Nothing Compare to You yang diaransemen secara apik dikombinasikan dengan sholawat Madura. Vokal khas Mas Donny berpadu dengan lengkingan sholawat Mbak Nia, yang kemudian ditutup dengan nomor Ya Allah ridla oleh Mbak Yuli. Lewat pukul 1 dinihari, nomor Takbir Akbar memuncaki Maiyahan di Kenduri Cinta.

Kenduri Cinta malam itu rasanya tidak ingin untuk segera disudahi. Tetapi, situasi dan kondisi memang belum memungkinkan untuk kita Maiyahan seperti sebelum situasi pandemi, dimana kita bisa Maiyahan sampai menjelang subuh. Apalagi saat ini kita sedang berada di bulan Ramadan, maka kita harus juga meluangkan waktu untuk sahur. Tentu saja, kerinduan yang sudah kita obati bersama di Kenduri Cinta kali ini sudah berubah menjadi kerinduan yang akan kita bawa kembali ke rumah masing-masing, dan akan kita tuntaskan kembali kerinduan itu pada Kenduri Cinta edisi Mei 2022 mendatang.