Harapan Utopis Tentang Kepemimpinan

SEBAGIAN DARI masyarakat Indonesia hari-hari ini sedang dibuat bingung. Beberapa bulan lagi Indonesia akan melangsungkan hajatan besar lima tahunan untuk memilih siapa yang paling pantas untuk menjadi Presiden di Indonesia. Dua kandidat sudah ditetapkan untuk dipilih. Namun, persoalannya tidak semudah yang dibayangkan sebelumnya.

Dulu, ketika Orde Baru berkuasa, hampir seluruh rakyat Indonesia menghendaki lengsernya Soeharto dan menuntut kebebasan berpendapat. Kehidupan demokrasi di Indonesia pun berubah pasca lengsernya Soeharto. Semangat reformasi menggebu-gebu digelorakan oleh banyak orang. Salah satu hal yang sampai hari ini kita dewa-dewakan adalah kebebasan berpendapat, dimana kita semua merasakan betapa bebasnya kita menyampaikan pendapat, bahkan saking bebasnya kita pun sudah tidak memiliki filter terhadap informasi itu sendiri.

Begitu juga dengan suasana kehidupan demokrasi di Indonesia hari ini. Dalam era post truth yang semakin bergaung, opini masyarakat semakin tidak bisa dikendalikan. Tak ada kebenaran absolut, kebenaran yang diyakini oleh banyak orang itulah kebenaran yang disepakati. Tak peduli ada berapa macam versi kebenaran, asalkan ada banyak orang yang meyakininya, maka itulah kebenaran bersama yang disepakati.

Berlangsungnya Negara hari ini sudah semakin terbiasa dengan mekanisme kekuasaan, kekuatan, dan kemenangan. Berlangsungnya kepemimpinan di Negara hari ini sudah benar-benar lepas dari konsep kepemimpinan, keseimbangan, apalagi kebersamaan. Dan yang terjadi hari ini adalah mekanisme konsep kemenangan, kekuasaan, dan kekuatan antar kelompok. Proyeksi pemilihan umum setiap lima tahun dilangsungkan tidak lebih sebagai media pertarungan untuk menentukan siapa yang mendapat giliran untuk menjadi penguasa, bukan menjadi pemimpin.

Suka atau tidak suka, setuju atau tidak setuju, itulah faktanya. Maka yang terjadi hari-hari ini pun, menjelang proses pergantian penguasa, yang kita lihat bukanlah pertukaran gagasan-gagasan, kontes penjabaran nilai-nilai, apalagi diskusi yang sehat tentang rencana perbaikan-perbaikan yang akan dilakukan. Debat Capres dan Cawapres cenderung hanya dibatasi dalam ruangan yang sempit. Tidak masuk akal bagaimana konsep kepemimpinan diadu dalam sebuah konsep debat yang hanya berlangsung 1-2 jam saja, itupun masih terpotong jeda iklan televisi.

Bahkan sejak awal, bangsa ini tidak menyadari kekeliruannya. Seorang calon pemimpin, jika hendak maju ke medan pertempuran untuk berduel dengan calon pemimpin lainnya, seharusnya melewati tahapan ujian internal terlebih dahulu. Justru seharusnya, sebelum mereka diputuskan untuk menjadi Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden, terlebih dahulu mereka melewati proses ujian yang terbuka di hadapan konstituen mereka. Yang terjadi hari ini bukan tentang siapa yang pantas secara kualitas untuk dicalonkan, melainkan hanya berdasarkan lobi politik atas dasar pertimbangan yang masuk akal secara kalkuasi politik namun tidak masuk akal dalam kacamata bernegara. Bagaimana kemudian kita bermimpi akan mendapat pemimpin yang berkualitas, jika proses dalam mencari pemimpin saja kita tidak serius?

Maka hari ini, rakyat yang tidak berposisi sebagai partisan salah satu kandidat, sedang merasa kebingungan. Mereka dihadapkan oleh dua pilihan yang sebenarnya juga tidak sama-sama baik untuk dipilih. Yang membahayakan adalah, bagaimana jika kemudian ternyata dari dua kandidat yang ada sama-sama tidak memberikan jaminan keamanan terhadap rakyat. Karena urusan keduanya hanya samata-mata pada perebutan kekuasaan itu sendiri, bukan dalam rangka perjuangan mewujudkan kesejahteraan rakyat.

Lihatlah yang terjadi akhir-akhir ini, yang sebelumnya sangat berani berjanji menuntaskan kasus-kasus pelanggaran HAM, pada akhirnya juga tidak mampu melaksanakannya. Semua kandidat bermain aman, sehingga kini tidak lagi membicarakan pelanggaran HAM masa lalu. Di sisi lain, masyarakat Islam menjadi konstituen yang sangat seksi untuk dijadikan komoditas politik yang dipertontonkan secara vulgar.

Pada akhirnya, rumus lama kembali berlaku; memilih yang terbaik diantara pilihan yang sama-sama tidak baik. Bangsa ini seolah-olah tidak pernah mau belajar bagaimana di setiap lima tahun pesta demokrasi, rakyat hanya menjadi komoditas politik untuk melanggengkan nafsu kekuasaan segelintir pihak.

Pun demikian, yang bisa dilakukan oleh rakyat hari ini adalah bertahan dengan kondisi yang ada. Memasrahkan sepenuhnya kepada Tuhan atas nasib masa depan bangsa. Rakyat hanya bisa berharap, semoga siapapun yang terpilih nantinya mampu memposisikan diri sebagai seorang pemimpin yang sejati. Pemimpin yang sejati adalah pemimpin yang sudah selesai dengan dirinya sendiri. Pemimpin yang terbaik adalah pemimpin yang mampu memiliki penguasaan atas dirinya sendiri. Cak Nun memberi idiom The Man of nothing to lose.

Rakyat hanya berharap semoga pemimpin bangsa Indonesia selanjutnya adalah pemimpin yang tak khawatir kehilangan apa-apa, jangankan harta benda miliknya, bahkan dirinya pun harus ia sadari bukan miliknya lagi, karena sudah ia serahkan kepada Tuhan dan rakyat.

Harapan ini mungkin hanya sebuah harapan yang utopis, fatamorgana, awang-awang. Apa mau dikata, semua itu sudah sangat nyata di hadapan mata kita bersama.