INDONESYARIAH

reportase kenduri cinta januari 2019

HUJAN juga merupakan syariat Allah. Hujan adalah rahmat dari Allah. Maka, hujan yang turun pun selalu kita syukuri bersama sabagai salah satu bentuk anugerah dari Allah kepada kita. Begitulah adanya, meskipun hujan turun begutu deras menjelang sore hari pada jum’at (21/1) lalu, tidak menyurutkan sedikitpun semangat para penggiat Kenduri Cinta untuk mempersiapkan ubo rampe Maiyahan rutin di Taman Ismail Marzuki itu.

Sebagai manusia, kita berkhusnudzon bahwa hujan yang turun saat itu adalah dalam rangka Allah menyapa kita penduduk bumi. Toh pada akhirnya tidak mengganggu persiapan teknis Kenduri Cinta saat itu, hanya kemudian penggiat memilih opsi untuk menunda sejenak menata panggung dan sound system, yang juga berkaitan dengan sambungan listrik. Menghindari hal-hal yang tidak diinginkan, lebih baik menunda sejenak persiapan teknisnya.

Menjelang senja, hujan pun reda. Matahari terbenam masih terlihat sinarnya, pemandangan langit senja Jakarta saat itu begitu indah. Penggiat Kenduri Cinta dan beberapa jamaah yang sudah datang di lokasi pun bergegas membersihkan genangan air di pelataran Taman Ismail Marzuki, sejenak kemudian setelah area sudah bebas dari genangan air, karpet pun digelar. Lampu di bawah tenda dinyalakan, sound system pun dibunyikan. Angin yang berhembus setelah hujan turun masih cukup kencang, namun awan di langit memperlihatkan tanda-tanda bahwa hujan tak akan turun lagi.

Lalu lalang jamaah mulai berdatangan, dan sudah menjadi sebuah tradisi, warung angkringan yang tersedia di pojok bagian utara pelataran TIM menjadi tempat favorit bagi mereka yang sudah datang lebih awal. Sajian kudapan ringan, serta minuman hangat yang disajikan khas menjadi daya tarik tersendiri memang. Para pedagang lain pun menggelar lapak mereka, Kenduri Cinta bukan hanya menjadi hari raya bagi jamaah Maiyah di Jakarta dan sekitarnya, namun juga bagi para pedagang kaki lima di sekitaran Taman Ismail Marzuki. Hajatan sebulan sekali menjadi berkah tersendiri bagi mereka, bukan hanya soal omzet penjualan yang meningkat, namun yang lebih utama adalah bagaimana tali silaturahmi terjalin antar mereka juga dengan para jamaah.

Maka, dalam skala Kenduri Cinta ini pun, syariat Allah sudah terbangun. Bagaimana hubungan antara manusia yang ada di dalamnya juga terdapat benang merahnya dengan hubungan mereka terhadap Allah. Forum Maiyahan seperti Kenduri Cinta ini bukan forum yang bersifat komersial, tidak ada undangan, apalagi pengumuman publikasi yang disebar di berbagai media massa. Hanya melalui sebaran media sosial, kemudian dari mulut ke mulut, getok tular, informasi disebarkan. Mereka pun datang ke Kenduri Cinta dengan dasar keputusan mereka masing-masing, tidak ada perintah, tidak ada paksaan, tidak ada syarat apa-apa.

Hadir, duduk bersama, menekun berjam-jam, menikmati sajian prasmanan ilmu yang sebenarnya ghaib bagi mereka. Bekal satu-satunya yang mereka bawa adalah naskah mukadimah yang dirilis oleh Komunitas Kenduri Cinta beberapa hari sebelumnya, itupun tidak semua dari mereka membacanya. Kenikmatan untuk menyelami keghaiban ilmu yang mereka dapatkan di Kenduri Cinta adalah puncak dari kerinduan untuk datang kembali di forum ini. Justru dengan berposisi seperti gelas kosong yang hendak diisi itulah mereka bergembira.

Malam mulai beranjak, forum pun segera dimulai. Beberapa penggiat Kenduri Cinta tampak berada di panggung, memandu sesi pembuka forum, mengajak jamaah bersama-sama untuk melantunkan wirid tahlukah. Yaa dzal wabal…. Yaa dzal ‘adli…. Yaa dzal qishthi… Yaa syadiidal iqaab…

“Karena setiap orang memiliki sistem logika masing-masing, maka setiap orang akan memiliki asumsi yang berbeda-beda”
Pramono Abadi, Kenduri Cinta (Januari, 2019)

DAN SEPERTI BIASANYA, usai lantunan wirid tahlukah, sesi diskusi pembuka pun digelar. Memantik respons-respons jamaah yang sudah hadir, untuk menyampaikan apa yang mereka tangkap dari tema besar yang diangkat. Maiyahan adalah panggung dengan seribu podium, setiap mereka yang hadir adalah orang-orang yang memiliki hak yang sama untuk menyampaikan apapun saja yang hendak mereka sampaikan. Asas tanggung jawab adalah landasan yang menjadi pijakan bersama, bahwa apapun yang disampaikan adalah informasi yang harus dipertanggungjawabkan. Nilai utama dari kebebasan berpendapat yang seharusnya dijadikan pijakan adalah tanggung jawab atas validitas informasi itu, bebas bukan berarti bebas sebebas-bebasnya untuk bersuara.

Jangan menghitung kapasitas orang yang berbicara, karena rahasia ilmu justru bisa jadi terkandung dalam orang-orang yang sangat tidak kita duga. Seringkali, kita salah sangka terhadap orang hanya karena penampilan yang terlihat saja. Kita masih sering terjebak pada penampilan. Sebuah buku tidak mungkin hanya dinilai karena sampul bukunya saja. Tidak semua orang yang kita kenal adalah orang yang berkualitas, sehingga seringkali kita enggan melihat orang lain yang belum kita kenal. Hari-hari ini, kita semakin terbiasa dengan penilaian sesaat, hanya karena berbeda pandangan politik, kita enggan untuk melihat sisi lain dari personalitasnya. Itulah fakta kita hari ini.

Sebelum berbicara lebih jauh, Donny yang memoderasi sesi prolog mengajak jamaah untuk menghitung kembali momentum penyampaian sebuah kata. Bahwa sebuah kata yang hendak disampaikan sudah seharusnya dipertimbangkan momentumnya, bahkan bukan hanya waktu yang tepat, namun juga tempat yang tepat untuk menyampaikannya.

Kenduri Cinta adalah sebuah laboratorium, maka Adi Pudjo pun menekankan di awal bahwa di forum ini kita bersama-sama mencari esensi dari sebuah ilmu, dan pada edisi kali ini bersama-sama kita akan menjelajahi makna dari kata syariah yang selama ini sering diucapkan oleh banyak orang. Pramono memiliki pendapat bahwa setiap kata akan sangat mungkin diasumsikan oleh banyak orang dengan pemahaman yang berbeda. Satu kata memiliki seribu tafsir. Satu kata bisa sangat mungkin dipahami berbeda oleh banyak orang. Dan satu kata itu salah satu contohnya adalah kata syariah ini. Adanya tafsir-tafsir itu kemudian melahirkan asumsi, yang juga kemudian berbuah opini. Pada setiap kebenaran informasi itu, setiap manusia seharusnya mencari validitasnya, bukan memperdebatkannya. “Karena setiap orang memiliki sistem logika masing-masing, maka setiap orang akan memiliki asumsi yang berbeda-beda”, ungkap Pramono.

Beberapa jamaah merespons, yang terlintas dalam benak mereka ketika kata syariah terdengar adalah soal kapitalisme. Lho kok bisa? Seorang jamaah menjelaskan, bahwa istilah syariah hari ini tak ubahnya dalam rangka perluasan pasar konsumen saja. Tidak benar-benar mengangkat nilai syariah itu sendiri. Produk-produk yang dicitrakan dengan istilah syariah hanya dalam rangka perluasan pasar saja, seakan-akan hanya membedakan konsumen muslim dan non muslim. Beberapa produk seperti hotel syariah, bank syariah, asuransi syariah dan lain sebagainya yang mengunakan label syariah tak ubahnya hanya sebagai media untuk meraup pasar masyarakat muslim saja.

Dan memang tidak bisa dipungkiri, narasi-narasi yang berasal dari Islam, hari-hari ini terdengar horor bagi sebagian orang. Ketika mendengar kata syariah, ada sebagian orang yang merasa bahwa itu adalah ancaman. Begitu juga ketika kalimat takbir “Allahu Akbar” diteriakkan, ada sebagian orang yang merasa bahwa teriakan itu adalah ancaman baginya. Stigma ini tentu muncul tidak dengan tiba-tiba. Umat Islam sendiri yang gagal membawa Islam yang damai, Islam yang menentramkan, Islam yang membahagiakan bagi semua orang. Esensi dari Islam tidak benar-benar tersampaikan dengan baik, sehingga banyak orang yang salah memahami Islam.

Kenapa orang-orang berdatangan ke forum Maiyahan seperti Kenduri Cinta ini? Karena pondasi utama yang ditanamkan di Maiyahan adalah saling menjaga kemanan satu sama lain setidaknya dalam 3 hal; nyawa, harta, dan martabat. Di Maiyahan tidak perlu ada doktrin ayat yang mengajarkan untuk berbuat baik. Di Maiyahan tidak perlu disampaikan hadits yang menjelaskan tentang larangan menghina martabat orang lain. Di Maiyahan tidak diperlukan undang-undang yang menegaskan bahwa membunuh orang itu salah. Karena kita semua datang ke Maiyahan sebagai manusia seutuhnya. Manusia yang sejati, manusia yang murni. Sementara di kehidupan kita sehari-hari, semakin banyak orang yang tidak benar-benar menjadi manusia. Ada orang yang lebih mengutamakan identitasnya daripada sisi personalitasnya, sehingga yang tampak adalah kulit yang bukan merupakan dirinya sendiri.

Dimas, salah satu jamaah kemudian juga menyampaikan respons, bahwa sebenarnya Indonesia ini juga bisa menjadi Indonesia yang bersyariah tanpa harus ada label syariah di belakangnya. Syarat utamanya mudah, bahwa seluruh elemen bangsa menjalankan dan mengamalkan Pancasila. Yang jika ditelaah hingga detail butir-butirnya, apa yang terkandung dalam Pancasila juga terkandung di dalam Al Qur’an.

Lain lagi dengan Puji, ia memiliki pandangan bahwa label syariah hari ini seharusnya tidak selalu dikonotasikan dengan Islam. Karena secara bahasa saja, arti dari kata syariah itu sendiri sudah sangat universal, tidak hanya dikhususkan untuk orang Islam saja. Karena, manusia yang berbuat baik, tanpa kita melihat apa agamanya, jika ia berbuat baik kepada orang lain, maka ia sudah menegakkan syariat Allah.

Semakin hangat, diskusi yang berlangsung semakin interaktif. Jamaah pun terlibat untuk saling menyampaikan pandangan. Egaliternya forum Kenduri Cinta ini memang menjadi salah satu daya tarik tersendiri, mengapa banyak orang yang betah untuk bertahan, dan bahkan rindu untuk ingin datang lagi. Mungkin, yang dirindukan bukanlah tentang ilmu yang dibahas, melainkan suasana yang terbangun indah di forum ini, dimana semua orang benar-benar berposisi setara. Tentu tidak melulu diskusi, ada jeda hiburan beberapa seniman musik yang juga diberi panggung untuk menampilkan karya musik mereka. Seperti malam itu, untuk mengisi sesi jeda pertama ada Ridlo Sorak dengan gitar akustiknya dengan apik memainkan karya musikalisasi puisi miliknya. Panggung Kenduri Cinta tidak hanya mengakomodir orang-orang untuk berbicara, namun juga untuk menampilkan karya seni mereka. Penampilan karya seni seperti musik ini juga salah satu instrument yang memperkuat orisinal forum Kenduri Cinta ini. Bagi sebagian orang, Maiyahan seperti Kenduri Cinta ini dianggap sebagai pengajian, dan akhirnya mereka kecelik, pengajian kok ada penampilan seniman dengan lagu-lagu yang genre-nya sangat beragam.

Selain Ridlo Sorak, malam itu tampil pula Amesh Ro Band, dengan peralatan musik yang lebih lengkap, full band. Tentu saja lebih atraktif dan membangkitkan adrenalin melalui musik reggae dan rock yang ia bawakan. Jamaah pun sangat menikmati penampilannya, tak sedikit pula jamaah yang dengan lantang berteriak “Lagi!!! Lagi!!”. Dan jangan dibayangkan apakah ketika penampilan band seperti ini jamaah akan berdiri kemudian berjingkrak-jingkrak? Tentu saja tidak, jamaah dengan tetap kondusif dan nyaman, mengamankan dirinya menikmati sajian musik yang dibawakan.

“Salah satu keistimewaan orang Maiyah adalah seperti seekor ikan yang telah berhasil keluar dari sebuah akuarium yang besar. Ia memiliki independensinya sendiri, ia menjadi dirinya sendiri”
Nursamad Kamba, Kenduri Cinta (Januari, 2019)

BERANJAK ke diskusi selanjutnya, Fahmi, Sigit dan Tri Mulyana momoderasi. Pada sesi ini sebenarnya sudah disusun dalam rundown acara untuk mengeksplorasi presentasi para peserta workshop yang terlibat dalam Kenduri Cinta edisi Desember 2018 lalu. Ternyata Cak Nun dan Syeikh Nursamad Kamba sudah tiba di Taman Ismail Marzuki dan langsung bergabung di panggung. Tanpa direncanakan tetapi justru berlangsung sangat harmonis. Cak Nun dan Syeikh Kamba pun menyimak paparan-paparan perwakilan peserta workshop menyampaikan poin-poin hasil diskusi dari pertanyaan-pertanyaan yang diberikan oleh Cak Nun kepada mereka.

Fahmi memberikan kesempatan pertama kepada Sam’un, jamaah asal Cilegon yang merespons tentang pertanyaan apa pengaruh Maiyah bagi individu, keluarga dan Negara. Ia menceritakan bahwa ada satu ayat Al Qur’an yang pernah diucapkan oleh Cak Nun, yang kemudian di suatu hari ia mencari sendiri makna ayat tersebut di dalam Al Qur’an. Ayat tersebut adalah; “Qul in dholaltu fainnama adhillu ‘ala nafsi, wa inihtadaitu fabima yuhiya ilayya Robbi”. Baginya, ayat tersebut merupakan salah satu “jimat”, yang dampaknya begitu besar dalam hidupnya. Dan ia bersyukur karena Cak Nun yang memperkenalkan ayat tersebut kepadanya. Ayat lain yang juga ia mengetahuinya setelah diucapkan oleh Cak Nun adalah; Laa ilaaha illa anta subhanaka inni kuntu mina dzalimiin.

Baginya, dua ayat ini sudah menjadi amalan yang sering ia baca. Tentu bukan dalam rangka mengkhususkan ayat-ayat tertentu, namun ia meyakini bahwa ayat inilah yang membuka pikirannya, sehingga ketika menghadapi persoalan sehari-hari, ia menemukan solusi kongkrit yang tentu saja ia yakini datang dari Allah.

Lain lagi dengan Ardi, ia merespons pertanyaan tentang apakah Maiyah ini sebuah mukjizat dari Allah atau bukan? Mungkin terbilang naif, atau utopis, namun Ardi mengalami sendiri bahwa Maiyah telah membuka cara berfikir dalam dirinya, sehingga kini ia tidak terkungkung dalam dogma-dogma yang mengurung pikirannya. Ia merasa lebih bebas berfikir, tentu saja bebas yang beraturan dan memahami rambu-rambunya. Suatu kali ia didatangi dalam mimpi oleh Cak Nun, singkat cerita Cak Nun adalah sosok yang lebih mendekatkannya kepada sosok Rasulullah Saw yang selama ini hanya ia dengar melalui kisah-kisah yang diceritakan oleh orang-orang. Baginya, peristiwa mimpi itu merupakan salah satu mukjizat dalam hidup yang ia alami, dan itu ia dapatkan setelah ia mengenal Maiyah.

Dari kelompok lain, Budi merespons bahwa Maiyah adalah mukjizat, setidaknya untuk dirinya sendiri. Baginya, Maiyah itu adalah yang menjadi media bagi dirinya untuk berubah menjadi manusia yang lebih baik. Berawal dari Youtube, yang kemudian pada suatu malam ia juga didatangi oleh Cak Nun melalui mimpi dan diajak sholat oleh Cak Nun di sebuah masjid. Iqbal, peserta dari kelompok yang sama menyampaikan bahwa salah satu kejaiaban Maiyah (jika memang tidak layak disebut sebagai mukjizat) adalah bagaimana banyak orang mampu duduk bertahan di Maiyah dalam waktu yang lama, 6-8 jam, tidak ingin beranjak, bahkan ketika hujan turun pun enggan untuk meninggalkan lokasi atau memilih untuk kembali ke rumah. Seperti ada sebuah magnet yang menahan sehingga orang yang sudah bersentuhan dengan Maiyah, akan merasa betah, aman, nyaman, dan selalu rindu untuk ingin bertemu kembali. Maiyahan yang diselenggarakan rutin setiap bulan seperti Kenduri Cinta menjadi media bagi orang-orang yang rindu untuk saling bertemu itu.

Syeikh Kamba kemudian merespons paparan-paparan peserta workshop tadi. “Saya sangat terkesan dengan respons-respons teman-teman tadi yang sangat jujur dan murni”, Syeikh bercerita apa yang dialami oleh Iqbal, Ardi, Budi dan lainnya tadi seperti kisah Sayyidina Umar yang sebelumnya sangat tidak suka dengan dakwah Islam yang dibawa oleh Rasulullah Saw, hingga akhirnya suatu hari ia bertatap muka dengan Rasulullah Saw, langsung luluh hatinya, dan berbalik 180 derajat kemudian sangat mencintai Islam. Memang demikianlah hidayah dari Allah, tidak ada satupun manusia yang mampu merancangnya, tidak ada satupun manusia yang mampu memastikannya. Innaka lan tahdii man ahbabta, walakinnallah yahdi man yasyaa’.

Cara Allah untuk membawa manusia kepada diri-Nya itu memang selalu unik, bahkan seringkali aneh, diluar dugaan kita. Berbicara tentang mimpi, Syeikh Kamba menjelaskan bahwa didatangi Cak Nun di dalam mimpi dalam ilmu tarekat adalah sesuatu yang biasa terjadi, bukan merupakan peristiwa yang aneh. Syeikh Kamba dalam bukunya Kids Zaman Now Menemukan Kembali Islam menjelaskan bahwa salah satu konsep tarekat adalah tarekat virtual, dimana antara mursyid dengan muridnya memiliki hubungan komunikasi yang melintas batas ruang dan waktu, bahkan bukan hanya di dalam mimpi. Bisa jadi suatu saat sang murid berhasrat sesuatu, mursyidnya tanpa diberitahu secara lisan sudah mengetahui kegundahan yang dirasakan oleh muridnya.

“Dari pengalaman spiritual seperti yang dijabarkan tadi, saya mengatakan bahwa Maiyah adalah salah satu jenis tarekat virtual. Salah satu unsur tarekat di Maiyah adalah kemursyidan Mbah Nun di Maiyah ini”, Syeikh Kamba menjelaskan. Maka hadirnya Cak Nun dalam mimpi, menurut Syeikh Kamba tak usah diragukan lagi, karena hanya orang-orang tertentu yang mampu mencapai tingkatan seperti Cak Nun, yang hampir setiap malam mendatangi orang-orang dalam mimpi. Dengan bercanda, Syeikh Kamba menyampaikan; “Ayo berlomba, siapa lebih banyak bertemu dengan Cak Nun dalam mimpi? Saya yakin saya yang akan menang”, jamaah pun tertawa mendengar candaan Syeikh Kamba tersebut.

Syeikh Kamba pun bercerita, pada suatu hari Ayah kandungnya sakit keras dan lama koma, Syeikh memohon kepada Allah agar Cak Nun berkesempatan untuk menjenguk Ayah kandung Syeik Kamba. Pada suatu malam, Cak Nun hadir dalam mimpi ketika Syeikh Kamba tidur, beberapa saat kemudian Ayah kandung Syeikh Kamba wafat. Tentu saja ada rahasia yang terkandung dalam sebuah mimpi orang-orang istimewa seperti Syeikh Kamba dan Cak Nun, namun bukan itu substansi yang harus diperdebatkan. Dalam Maiyah, pondasi yang selalu kita perkuat adalah pondasi aqidah, sehingga apapun yang kita alami di Maiyah harus selalu kita syukuri dalam bentuk salah satu kemesraan yang dihadirkan oleh Allah kepada kita. Peristiwa apapun yang dialami oleh manusia, jangan dihitung dulu musyrik atau tidak, bid’ah atau bukan. Apapun saja jika itu mengantarkan kita kepada kebaikan, maka itu adalah sesuatu yang datangnya dari Allah.

“Betapa banyak hal yang Anda tidak tahu dalam kehidupan, maka bagi setiap orang yang tahu bahwa dia tidak tahu, jalan satu-satunya adalah rendah hati dan selalu bijaksana kepada siapapun saja”
Emha Ainun Nadjib, Kenduri Cinta (Januari, 2019)

ILMU POHON PIONIR

“SAYA MERESPONS sekalian yaa, supaya Mbah Nun tidak menjadi Allah Swt”, Cak Nun menyambung paparan Syeikh Kamba disambut gelak tawa jamaah. Cak Nun tidak ingin dirinya menjadi sosok yang sangat dikultuskan, adapun peristiwa tentang mimpi yang dialami oleh beberapa jamaah, itu adalah peristiwa kemesraan. “Kita masih banyak yang gagal membedakan antara personalitas dengan identitas”, Cak Nun melanjutkan. Jika seoseorang menjadi Polisi, itu bukanlah personalitas melainkan identitas. Seseorang menjadi Guru, itu bukan personalitas, tetapi identitas.

Lebih meluas, Cak Nun menggambarkan sebuah keris yang dikenal dengan nama Kyai Sangkelat. Ini hanya amsal, Cak Nun menjelaskan bahwa nama “Sangkelat” itu bisa berganti menjadi siapa saja. Seperti halnya struktur Kesultanan dalam sebuah Keraton, Sultan atau Raja itu bisa siapa saja yang menjadi dan gelarnya bisa berubah-ubah. Misalnya di Kesultanan Yogyakarta saat ini gelar Sultannya adalah Hamengkubuwono, kemudian di Kesultana Surakarta gelarnya Pakubuwono. Dan seterusnya. “Ada banyak orang menjadi Raja namun ia buruk menjadi manusia”, Cak Nun memancing jamaah untuk berfikir bahwa antara gula dengan manis itu berbeda, begitu juga dengan antara cabai dan pedas.

Dalam sebuah sturktur sosial, ada item-item yang harus dipertahankan. Seperti keris tadi misalnya, Cak Nun menjelaskan bahwa nama kerisnya itu bisa berubah, namun benda Keris itu dan kerangka Keris itu sendiri harus tetap ada wujudnya. Dari penjelasan itu Cak Nun kemudian menyinggung masalah Pilpres, Cak Nun menyampaikan bahwa Pilpres ini hanya sementara, nanti 5 tahun lagi akan ada Pilpres lagi, maka tidak perlu terlalu benci kepada salah satu kandidat, juga jangan terlalu kagum kepada diantara keduanya. “Karena hanya Allah yang punya keabsahan untuk kita kagumi, secara ilmu, secara cinta serta apapun saja bersama-sama. Posisi Orang Maiyah adalah meruangi Indonesia”, ungkap Cak Nun.

Cak Nun menyarankan agar kita menyayangi Jokowi, kita menyayangi Prabowo, karena mungkin mereka sebenarnya tidak tahu tentang Indonesia sama sekali. Mereka tidak mengerti konstelasi dan permasalahan yang sebenarnya tentang Indonesia. Mereka juga mungkin belum tentu mengerti alinea kedua dari naskah Proklamasi 1945. Bagaimana sebenarnya konsep pemindahan kekuasaan yang dimaksud, ada dana revolusi dan lain sebagainya, mungkin mereka juga tidak mengetahuinya. Dan mereka sebenarnya juga memang tidak ingin mengerti itu semua karena urusannya adalah melampiaskan nafsu mereka untuk menjadi pejabat. “Dan itu sebenarnya sangat remeh bagi Anda semua. Karena jabatan yang tertinggi sebenarnya adalah engkau menjadi dirimu sendiri sesuai dengan kemauan Allah ketika Dia menciptakan Anda. That is the real Jabatan”, Cak Nun menegaskan.

“Anda ingat ilmu glepung di Maiyah ya? Kalau dalam ilmu biologi itu namanya Pohon Pionir”, Cak Nun melanjutkan dengan menjelaskan kembali salah satu khasanah ilmu Maiyah tentang konsep ilmu glepung (tepung). Pohon pionir adalah pohon yang belum berbentuk seperti pohon pada umumnya, ia masih berbentuk serbuk, partikel yang masih sangat kecil. Dan pohon pionir ini mensifati setiap partikel untuk kelak menjadi pohon tertentu. Jadi sebelum menjadi pohon mangga, ada serbuk-serbuk yang bergabung satu dengan yang lainnya sehingga ia menjadi pohon mangga. Bisa dikatakan, pohon pionir adalah sebuah potensi, dan setiap manusia memiliki pohon pionirnya masing-masing, dengan potensi yang berbeda-beda juga tentunya.

Cak Nun kembali mengelaborasi kalimat basmalah yang sering kita ucapkan sehari-hari, menurut Cak Nun kalimat basmalah itu merupakan salah satu pedoman ilmu kehidupan yang harus kita pegang dengan serius dan sungguh-sungguh. “Kalau Allah saja main icon-nya Arrhaman dan Arrahiim, maka perilaku kita juga harus mengutamakan kasih dan sayang kepada siapapun saja”, lanjut Cak Nun.

Merespons tentang peristiwa mimpi-mimpi jamaah, Cak Nun menjelaskan dengan meletakkan dasar bahwa Allah sendiri yang menyatakan bahwa Dia menciptakan segala makhluk yang ada dari diri-Nya sendiri. Allah memanifestasikan, mengejawantahkan diri-Nya melalui bentuk-bentuk yang baru, yaitu makluk yang Dia ciptakan.

Cak Nun kemudian bercerita, malam sebelumnya di Mocopat Syafaat, ada seorang penari bernama Mbak Nani, penari topeng dari Cirebon yang juga merupakan salah satu sahabat Pak Jujuk Prabowo, yang menyutradarai Sengkuni2019 lalu. Pergulatan hatinya adalah ketika suaminya dulu sempat bergabung dengan aliran Islam garis keras yang sangat radikal, sehingga kegemaran seni tari yang dilakukan oleh Mba Nani dianggap haram oleh suaminya, karena ia merasa istrinya mempertontonkan aurat di depan publik ketika menari. Singkat cerita, pernikahan mereka harus selesai, mereka pun bercerai.

Ketika tari topeng itu dipentaskan di Mocopat Syafaat, tidak ada jamaah yang menilai bahwa tarian itu memperontonkan aurat. Di Maiyah, kita melihat bahwa pementasan seni bukan soal pementasan materi. Ketika si penari memperlihatkan betis, itu tidak dipancdang sebagai peristiwa memamerkan aurat. Bahkan, sudah lazim difahami di Maiyahan, semua jamaah duduk berdampingan tanpa memikirkan gender masing-masing, akrena kita semua datang ke Maiyahan sebagai manusia yang berfikir secara manusia, bukan manusia yang masih mempertimbangkan laki-laki atau perempuan. “Karena yang Anda pakai adalah mata batin yang dalam, bukan mata wadag yang hanya mampu membedakan mana tai dan mana roti”, lanjut Cak Nun.

Peristiwa yang dialami oleh Mba Nanik juga merupakan fenomena yang masih banyak terjadi di masyarakat kita. Begitu mudah orang menjustifikasi orang lain mengharam-haramkan, menghukumi bid’ah, musyrik dan seterusnya tanpa mempertimbangkan aspek sosial dan kemanusiaan. Yang ditampilkan bukan manifestasi sifat Allah yang Rahman dan Rahiim, melainkan Allah yang syadiidu-l-iqaab, yang maha dahsyat hukumannya.

Selalu menjadi bias, karena pertimbangan yang digunakan adalah pertimbangan materi. Setiap orang akan memiliki referensi yang berbeda pada setiap memandang sesuatu. Orang yang memang memiliki referensi material, ketika melihat paha, betis, dan aurat lainnya akan berpedoman bahwa itu peristiwa orang menari adalah pornografi. Tapi orang yang memiliki kemampuan memandang secara ruhani, ketika ada orang menari, ia tidak melihat paha, tidak melihat betis dan sebagainya. Yang dilihat adalah karya seni.

Cak Nun menjelaskan tentang pementasan Sengkuni2019 minggu sebelumnya di Yogyakarta, dijelaskan oleh Cak Nun bahwa Sengkuni2019 itu bukan peristiwa drama atau teater, urusannya adalah hubungan manusia dengan zaman. Maka, bisa saja terjadi orang yang memahami teknik tentang teater atau drama akan berkomentar bahwa Sengkuni2019 itu bukan teater. Begitu juga dengan Maiyahan, masih banyak orang salah sangka dengan Maiyah. Ada yang mengira urusannya adalah politik praktis, Cak Nun dituduh mengumpulkan massa ribuan orang hampir tiap malam dalam rangka menggerakkan massa untuk kepentingan politik. Sementara yang lain juga salah sangka terhadap Maiyah dianggap sebagai ormas, pengajian dan lain sebagainya. Konsep ruang di Maiyah diimlementasikan secara nyata, bahwa Maiyah menjadi ruang bagi siapa saja, karena dengan format inilah Maiyah dapat diterima oleh banyak pihak.

“Maka kalau orang melihat Maiyah dengan mata mereka yang belum ber-Maiyah, mesti salah faham. Dan kita ndak apa-apa disalahfahami. Sayyidina Ali mengatakan jangan terlalu kagum atau bangga kepada orang yang memujimu karena dia belum tentu faham kepadamu. Dan kamu jangan menderita atau nelangsa kepada orang yang mengkritikmu atau yang membencimu, karena pasti dia tidak faham kepadamu. Jadi kita tenang-tenang saja, ndak masalah”, lanjut Cak Nun.

“Semua orang yang membenciku, itu adalah awal dari cintanya kepadaku”
Emha Ainun Nadjib, Kenduri Cinta (Januari, 2019)

APABILA organ tubuh manusia diurai satu persatu, dipisahkan, kemudian dikumupulkan dengan organ tubuh manusia yang lainnya yang sama, maka sudah tidak ada lagi identitas pada bagian-bagian itu. Itu semua akan menjadi partikel, pada akhirnya dalam skala paling detail itulah yang disebut dengan pohon pionir. Atas kehendak Allah, pohon pionir itu kemudian menjadi diri manusia dengan potensinya masing-masing. “Maka Anda tidak perlu bingung memikirkan siapa yang datang kepadamu ketika sedang bermimpi, apakah aku atau bukan, itu urusan Allah. Yang penting bukan sosok Mbah Nun atau bukan, yang penting adalah sesuatu yang sampai kepadamu itu apa? Bermanfaat apa tidak, membuat kamu terharu apa tidak? Membuat kamu memperbaiki hidupmu atau tidak? Mbah Nun itu hanya identitas, hanya sementara”, Cak Nun melanjutkan.

“Orang tidak menyembah mobil, pesawat, jabatan, serta harta benda yang ia miliki. Yang ia sembah adalah khayalan mereka sendiri di dalam hati dan fikirannya”, Cak Nun berbelok sedikit tentang konsep kerakusan yang juga tidak bisa dipahami dengan akal manusia. Rakus atau tidaknya manusia ternyata ditentukan oleh seberapa besar khayalan yang ada dalam fikiran manusia itu sendiri. Bisa dibayangkan, untuk apa orang menumpuk harta banyak-banyak, bagaimana mereka menikmatinya, bagaimana menghabiskannya. Apakah ketika kita mempunyai uang 1 milyar akan mengubah porsi makan kita dibanding ketika kita punya uang 10 juta? Mungkin berubah menu makanannya, tetapi porsinya kan tidak berubah. Dengan uang 1 trilyun, apakah orang akan sibuk membeli 100 tempat tidur, sehingga setiap malam ia sibuk memilih Kasur mana yang akan ia tiduri? Tentu tidak. Maka konsep rakus dalam diri manusia itu sebenarnya adalah peristiwa penyembahan terhadap khayalannya sendiri.

Cara pandang material seperti itu juga akan berakibat fatal manakala kita mengimplementasikannya dalam kehidupan sehari-hari. Orang yang memiliki pedoman hidup bahwa yang boleh menyentuh perempuan adalah yang merupakan muhrimnya secara islam, akan tidak bisa berbuat apa-apa manakala ketika di jalan ia mendapati seorang perempuan mengalami kecelakaan. Ia tidak boleh menolong, karena dengan menyentuh tubuh perempuan yang ia tolong, ia akan melanggar aturan hukum yang ia yakini. Lantas bagaimana? Apakah didiamkan saja? Tetapi orang yang memiliki cara pandang lebih luas, ia tidak akan melihat perempuan yang tergeletak itu adalah perempuan, ia akan melihat bahwa itu adalah manusia yang harus segera ditolong oleh manusia lainnya.

Tentang mukjizat, Cak Nun menjelaskan bahwa ada beberapa gradasi seperti ilham, karomah, hingga wahyu. Ilham adalah sesuatu yang bisa diakses oleh seluruh manusia. Bahkan wahyu sekalipun, di dalam Al Qur’an dijelaskan tidak hanya diperuntukkan para Nabi, bahkan lebah pun dijelaskan oleh Allah diberi wahyu. Maka, bisa difahami bahwa wahyu juga tidak hanya khusus untuk Nabi. Bahkan seluruh makhluk Allah berhak pula mendapatkan wahyu.

“Pokoknya Anda jangan berhenti, Anda harus sampai ke Allah. Semuanya terus dilarikan kepada Allah, bertawakkal terus kepada Allah. Dan nikmati hidup ini, jangan sampai tertekan oleh keadaan dunia kayak apapun, karena dunia tidak berlangsung dalam kendalimu. Dunia berlangsung dalam kendali Allah, dan Allah punya hak penuh terhadap dunia, dan kita tinggal ngikut saja sama Allah”, lanjut Cak Nun.

Cak Nun menegaskan bahwa salah satu rumus Allah adalah Laa ikroha fi-d-diin. Namun juga dalam ayat lain Allah menyatakan Faman syaa’a fa-l-yu’min, waman syaa’a fa-l-yakfur, semua manusia memiliki kedaulatan untuk memutuskan. Setiap keputusan itu ada risikonya masing-masing. Tentang syariat Allah, sebenarnya yang perlu kita pelajari adalah apa itu syariah, dan seperti apa mekanisme syariat Allah berlaku. Mengapa masih ada orang yang takut terhadap term syariat Allah, padahal nyata sekali bahwa kehadiran manusia di muka bumi merupakan salah satu syariat Allah, maka sangat aneh jika kemudian ada orang yang berani menolak syariat Allah. Cak Nun menyarankan untuk kita kembali mempelajari apa itu syariat Allah, kemudian apa yang difahami tentang syariat Islam, berdasarkan pemahaman dan penafsiran ulama seperti apa, ada berapa banyak versi penafsiran tentang syariat Islam yang kemudian dianggap sebagai syaraiat Allah, segala bentuk dan skalanya harus kita fahami bersama-sama.

“Di Maiyah tidak akan muncul feodalisme, tidak akan muncul kultus individu. Mbah Nun itu tidak penting-penting amat, karena itu hanya identitas sementara. Karena Mbah Nun bukan asal-usul, Allahu-l-awwal Allahu-l-aakhir, jadi Anda harus meneruskannya sampai ke Allah”
Emha Ainun Nadjib, Kenduri Cinta (Januari, 2019)

Romantisme Mandar

SEMAKIN MALAM, diskusi berlangsung semakin hangat. El Bams kemudian tampil di panggung membawakan beberapa nomor lagu. Kegembiraan Kenduri Cinta kali ini semakin lengkap dengan kehadiran salah satu saudara Maiyah dari Mandar, Tamalele, yang juga merupakan salah seorang sahabat Alm. Baharudin Loppa. Mandar bagi Cak Nun adalah kota yang memiliki tempat khusus di dalam hatinya. Cak Nun yang memiliki hubungan baik dengan Alm. Ali Syahbana, juga turut mengawal proses lahirnya Provinsi Sulawesi Barat.

“Saya menikmati paparan teman-teman tadi bercerita tentang perkenalan dengan Cak Nun. Apa yang kalian ceritakan tadi, sudah saya alami di tahun 1985”, Tamalele menyapa jamaah. Malam itu, Tamalele bercerita tentang kisah kedatangan Cak Nun pertama kali di tahun 1985, ketika saat itu turut membimbing dan memberikan workshop kepada Teater Flamboyant yang hingga hari ini sudah mencapai generasi ke-9. Selain itu, di Mandar juga ada Simpul Maiyah yang bernama Papperandang Ate, yang kurang lebih artinya adalah pertemuan yang menerangkan hati. Bisa dikatakan, kedatangan Cak Nun saat itu juga dalam rangka mendekatkan kembali hubungan anak-anak muda dengan para orang tua di Mandar.

Tamalele bercerita ketika Cak Nun mampu mendamaikan kelompok masyarakat Tinambung yang hendak menyerbu kelompok masyarakat lain di Majene, pertikaian bisa dihindarkan setelah didamaikan oleh Cak Nun. Sejumlah 60 orang yang hendak menyerbu itu bahkan menurut cerita Tamalele, dibuat pingsan oleh Cak Nun selama berjam-jam lamanya. Tamalele tidak bisa membayangkan seandainya saat itu tidak ada Cak Nun, mungkin pertikaian kedua kubu kelompok masyarakat itu tidak akan usai, hingga hari ini.

Cak Nun menyela cerita Tamalele, pada prosesnya Cak Nun kemudian mengumpulkan seuruh anak muda yang terlibat pertikaian itu di sebuah masjid. Ada seorang Raja di Mandar yang saat itu masih hidup, Mara’dia. Cak Nun mengajak Mara’dia untuk juga hadir di Masjid sehingga proses rekonsiliasi berjalan lebih aman. Dikisahkan oleh Cak Nun, peristiwa itu adalah peristiwa yang langka, bagaimana seorang Raja duduk bersama rakyatnya. Dan rakyatnya sangat patuh kepada Raja, bahkan sampai posisi duduk pun rakyat wajib sama dengan Raja, jika Raja tidak mengubah posisi duduknya, rakyat tidak akan juga mengubahnya. Dan itu adalah satu bentuk komitmen yang tidak kita miliki hari ini. “Kita hari ini begitu egaliter, liberal tetapi juga tidak mampu mengendalikan diri kita sendiri sehingga ketaatan tidak kita punyai, kreatifitas juga tidak kita miliki”, ungkap Cak Nun.

Ada juga kisah seorang pemuda yang hendak membunuh mertuanya, yang kemudian pemuda tersebut disadarkan oleh Cak Nun sehingga niatan untuk membunuh mertuanya itu tidak terlaksana. Kisah lain diceritakan oleh Tamalele, tentang seorang pemuda Mandar yang kuliah di Makassar, suatu hari pada sebuah demonstrasi, ia terjebak, sudah terkepung aparat, yang ia lakukan adalah berteriak dengan menyebut nama Cak Nun. Yang terjadi kemudian adalah, secara tiba-tiba ia justru berada di depan pintu asrama tempat ia tinggal, yang berjarak sekitar 15 KM dari lokasi demonstrasi. Kisah ini mirip dengan kisah-kisah tasawuf terdahulu, di Mandar pada tahun 1920-an, ketika masih ada Imam Lapeo, para nelayan ketika mencari ikan di laut dan bertemu badai besar, yang dilakukan kemudian adalah menyebut nama Imam Lapeo, hingga kemudian selamatlah mereka dari badai.

Cak Nun menjelaskan bahwa peristiwa seperti itu bukan tentang peristiwa syirik, bahwa peristiwa tersebut pada suatu momen memang dibutuhkan oleh orang-orang di suatu tempat. Apakah itu menandakan bahwa tidak ada kekuasaan Allah? Justru dengan adanya peristiwa tersebut, sebagai bukti bahwa kekuasaan Allah itu nyata adanya. Tentang kata yang diucapkan, itu terserah Allah mana yang akan disukai. Ada suatu cerita, ketika ada sekelompok anak-anak kecil, bermain di sebuah sumur, mereka bergantian terjun ke dalam sumur sembari meneriakkan nama ulama yang mereka kagumi, Al Habsy. Ketika nama itu diteriakkan saat menceburkan diri ke dalam sumur, maka mereka akan kembali terpental ke atas sumur, tidak tenggelam. Sampai suatu hari ada seorang yang iseng, ia menceburkan diri sembari meneriakkan takbir, yang terjadi kemudian ia benar-benar tenggelam di dasar sumur.

Peristiwa lain yang juga berkesan dari Tamalele ketika Cak Nun datang di Mandar pada tahun 1985 adalah, ketika di suatu siang, bersama pemuda-pemuda di Mandar, mereka mengadakan lomba menyelam di dasar sungai. Perlombaannya adalah siapa yang paling bisa tahan lama untuk berada di dasar sungai itu. Dan Cak Nun adalah orang terakhir yang muncul ke permukaan. Seluruh pemuda Mandar yang ikut perlombaan menyelam itu dikalahkan oleh Cak Nun. Cak Nun menjelaskan bahwa peristiwa itu bukan tentang adu kehebatan bertahan menyelam di dasar sungai, namun pada momentum itu Cak Nun menyadari bahwa pemuda-pemuda di Mandar membutuhkan sosok yang mampu membangkitkan semangat juang mereka, dan Cak Nun mengambil peran itu, atas perkenan Allah.

“Di Maiyah, Anda harus membuka cakrawala. Anda harus membuka mata batin Anda. Bahkan setiap partikel dalam diri Anda memiliki mata dan telinga”, Cak Nun menyampaikan bahwa peristiwa-peristiwa yang diceritakan oleh Tamalele bukan merupakan peristiwa yang sifatnya musyrik. Tetapi, yang dianjurkan oleh Cak Nun adalah jangan pernah menolak untuk percaya sesuatu hal yang sebenarnya belum kita ketahui kebenaran faktanya. Yang dibutuhkan oleh manusia dalam hidup ini adalah kewaspadaan, karena hidup tidak selalu, bahkan cenderung berlaku tidak sesuai dengan apa yang kita inginkan.

“Di Maiyah, Anda harus membuka cakrawala. Anda harus membuka mata batin Anda. Bahkan setiap partikel dalam diri Anda memiliki mata dan telinga”
Emha Ainun Nadjib, Kenduri Cinta (Januari, 2019)

MEMPELAJARI SYARIAH DARI TITIK 0

SETELAH JAMAAH mendengar cerita-cerita dari Mandar, Syeikh Kamba kemudian dipersilakan untuk mengulas tentang tema besar Kenduri Cinta kali ini; INDONESYARIAH. Dari judul yang tertulis, sudah bisa ditebk bahwa kata syariah adalah fokus utama pembahasan kali ini. “Sebenarnya kalau mau simple, kalian belajar sama Cak Nun aja sudah selesai pembahasan tentang syariah ini”, Syeikh Kamba mengawali. Karena menurut Syeikh Kamba, banyak sekali karya-karya Cak Nun yang sifatnya sangat kental nilai spiritualnya. Salah satu karya Cak Nun yang sangat berkesan bagi Syeikh Kamba adalah puisi “Muhammadkan hamba, Ya Rabbi”.

Syeikh Kamba menjelaskan bahwa pemahaman kita tentang syariah hari ini penuh dengan kesesatan. Hal ini dikarenakan terlalu banyak tafsir tentang syariah, sehingga tidak melahirkan satu kesimpulan yang baku tentang apa yang dimaksud dengan syariah itu sendiri. Jika seorang guide wisatawan yang sedang mengantar seseorang berkunjung di sebuah tempat wisata, kemudian ia tersesat, maka yang harus dilakukan adalah kembali ke titik awal mula ia berangkat. Maka, untuk belajar syariah ini, jika kita hari ini sudah tersesat, maka kita harus kembali ke titik 0 dari syariah itu, yaitu Al Qur’an.

Syeikh Kamba mengajak jamaah untuk kembali kepada Al Qur`an, yang merupakan sumber utama dari kata syariah. Syeikh Kamba kemudian menukil Surat Asyura ayat ke-13, yang di dalamnya terdapat penjelasan tentang syariah. Dari ayat tersebut, Syeikh Kamba menjelaskan bahwa kata syariah berasal dari kata syara’a. “Syara’a itu sebuah kata yang tidak bisa berdiri sendiri. Syara’a adalah kata yang muta’addi. Dalam khasanah ilmu bahasa arab, kata syara’a itu muta’addi bi lam dan juga muta’addi bi fii”, Syeikh Kamba menjelaskan secara epistimologi. Ada kata syara’a fii artinya dia memulai, sedangkan kata syara’a lahu artinya dia melegalkan, melegalisasikan.

Menurut Syeikh Kamba, syara’a lahu artinya adalah dia melegalkan, memberi legalisasi, melegalkan, melegalisasikan. Maka dalam ayat 13 surat Asy Syura itu Allah menyatakan bahwa agama yang dibawa oleh Nabi Nuh, Nabi Ibrahim, Nabi Musa, Nabi Isa dan Nabi Muhammad merupakan sebuah kesatuan. Dan dipesankan oleh Allah dalam ayat tersebut agar jangan berkelomok-kelompok dalam beragama. Maka, pertanyaan selanjutnya adalah apa itu agama? Sementara hari ini agama dipahami sebagai sebuah institusi.

Agama, menurut Syeikh Kamba bukanlah kumpulan aturan dan undang-undang dan sistem aturan hidup. Agama seharusnya difahami sebagai situasi keilahian yang menuntun orang-orang yang berakal kepada kesolehan, kepatutan, dan kepantasan sebagai hamba Allah. Sebagai hamba, maka harus memiliki sikap kesadaran untuk berbakti kepada Tuhan yang telah menciptakan. Situasi keilahian dalam diri manusia itulah yang disebut dengan Agama. Situasi keilahian yang dimaksud adalah bahwa dalam diri manusia ada konsep pengakuan terhadap Allah itu sendiri. Maka seharusnya, dalam sejarah kebudayaan manusia tidak ada istilah atheis, karena secara naluri manusia, kesadaran untuk mengakui keberadaan Tuhan itu sudah tertanam dalam diri manusia. Atheis itu muncul ketika pemahaman tentang Agama ini berubah dari yang semestinya. Atheis lahir karena ada orang-orang yang menafsirkan pengertian tentang agama itu sendiri. Ketika penafsiran itu tidak bisa diterima oleh seseorang, maka lahirlah istilah atheis.

“Tuhan tidak bisa dikonseptualkan, tidak bisa dipersepsikan”, Syeikh Kamba menambahkan. Maka ketika Agama dijadikan institusi, tidak mengherankan jika kemudian ada ungkapan bahwa ada orang yang beragama tetapi tidak bertuhan. Sementara Rasulullah Saw pernah berpesan, bahwa apapun yang terbesit dalam benak manusia tentang Tuhan, maka apa yang terbesit itu bukanlah Tuhan. Laisa kamitslihi syaiun. Dia adalah Sang Mutlak yang tidak bisa dipersepsikan juga tidak bisa dikonseptualkan. Yang isa dilakukan oleh manusia adalah merefleksikan sebagian dari sifat-sifat Tuhan dalam diri kita.

Ada satu konsep yang menurut Syeikh Kamba kurang tepat dalam penerapan konsep syariah, salah satunya dalam pembentukan Bank Syariah. Yang menjadi pertanyaan Syeikh Kamba adalah, kenapa masih harus ada Dewan Pengawas Syariah? Bukankah seharusnya, jika memang sebuah Bank sudah menerapkan syariah, maka tidak perlu ada Dewan Pengawas. Logika berfikirnya menjadi rancu, sehingga bisa disimpulkan bahwa Bank Syariah tidak sepenuhnya sudah syariah karena dia masih perlu diawasi oleh Dewan Pengawas Syariah. Belum lagi kita berbicara bagaimana menentukan orang-orang yang memang layak untuk duduk di kepengurusan Dewan Pengawas Syariah. Siapa yang berhak menentukan?

“Kalau ilmu di Maiyah, Anda tidak akan pernah bisa tulus kepada Allah kecuali Anda meniadakan diri. Engkau hanya bisa tulus kepada Allah, kalau engkau fana’. Fana’ itu meniadakan diri. Engkau meniada maka Allah ada, engkau mengada maka Allah meniada”
Nursamad Kamba, Kenduri Cinta (Januari, 2019)

SYEIKH KAMBA menjelaskan bahwa yang dilakukan oleh Nabi Muhammad Saw ketika datang ke Madinah, yang dibangun pertama kali bukanlah aturan hukum, melainkan persaudaraan. Dari satu peristiwa hijrahnya Nabi Muhammad Saw ini saja kita sudah menemukan fakta bahwa jika memang syariah dipahami sebagai sebuah aturan atau hukum Islam, Nabi Muhammad Saw saja tidak melakukan itu ketika datang ke Madinah. Namun, yang dilakukan adalah bagaimana membangun suasana persaudaraan antar sesama manusia yang ada di Madinah saat itu. Setelah kaum Anshor dan Muhajirin menjalin persaudaraan, baru kemudian disitulah landasan syariah hubungan sosial mereka, bahasa mudahnya adalah aturan main yang mereka sepakati itu berlandaskan persaudaraan. Yang dilakukan bukan mengawasi hidup masyarakat, namun karena persaudaraan sudah terbangun dengan baik, maka satu sama lain memahami bahwa setiap individu ada hal yang musti dilakukan, dan juga ada hal yang musti dihindari untuk tidak dilakukan.

“Dan apa yang kita lakukan di Maiyah ini adalah jalan kenabian”, Syeikh Kamba menerangkan. Jalan kenabian yang dimaksud adalah bahwa ada 5 pilar yang dibangun oleh Nabi Muhammad Saw ketika hijrah ke Madinah. Yang pertama dijelaskan oleh Syeikh Kamba yang dilakukan oleh Rasulullah Saw adalah membangun sikap kemandirian dalam diri setiap penduduk saat itu, Tentu saja kemandirian hidup, kemandirian berfikir, dan juga kemandirian ekonomi. Yang kedua adalah proses pembersihan jiwa, salah satu titik utamanya adalah menghilangkan rasa egois dalam diri manusia. Dan di Maiyah, kita juga menenamkan rasa untuk menghilangkan egoism dalam diri.

Yang ketiga dijelaskan oleh Syeikh Kamba yang ditanamkan oleh Rasulullah Saw adalah sikap bijaksana. Sepintar apapun, sekaya apapun, sepandai apapun orang jika tidak bijaksana maka tak ada gunanya, tak ada manfaatnya. Nilai yang keempat adalah kejujuran. Jujur dalam perilaku, jujur dalam berfikir, jujur dalam bersikap. Jujur kepada dirinya sendiri, jujur kepada Allah dan Rasulullah Saw, yang kemudian diejawantahkan menjadi sikap jujur kepada sesama manusia dan makhluk Allah. Dan nilai yang kelima adalah cinta. Menurut Syeikh Kamba, kelima prinsip nilai itu juga ada di Maiyah, maka tidak berlebihan kiranya untuk menyatakan bahwa Maiyah juga merupakan salah satu jalan kenabian.

Jika direfleksikan dengan salah satu misi Rasulullah Saw; Innama bu’istu liutammima makarima-l-akhlaq, maka bisa disimpulkan bahwa Agama adalah urusan tentang Akhlak. Dari konteks ini saja bisa difahami bahwa misi utama Rasulullah Saw adalah tentang akhlaq, bukan tentang kekuasaan. Namun, yang terjadi saat ini, dalam kehidupan beragama dijelaskan oleh Syeikh Kamba bahwa kita terkurung dalam sebuah akuarium besar yang disebut Ahlussunnah wal jama’ah. Bagi Syeikh Kamba, konsep seperti ini tidak jauh berbeda dengan dewan gerja di kalangan ummat nasrani. Agama menjadi kekuasaan bagi segelintir orang, yang kemudian orang yang tidak sepakat dengan konsep tersebut akan dianggap bukan bagian dari akuarium besar itu.

Pertanyaan besarnya menurut Syeikh Kamba adalah, mengapa terjadi perbedaan yang sangat besar sepanjang perjalananperadaban Islam selama 14 Abad ini dengan apa yang dialami oleh Rasulullah Saw ketika berada di Madinah, yang bahkan tidak lebih dari 15 tahun saat itu. Situasi saat itu justru sangat kondusif kehidupan beragamanya. TIdak ada madzhab, tidak ada ormas, tidak ada kubu-kubu yang berseberangan, keutuhan Islam masih sangat terjaga. Maka bisa jadi ada sesuatu hal yang memang tidak tersambung dengan baik antara informasi tentang Islam hari ini dengan Islam di era Rasulullah Saw.

Yang juga menjadi kesimpulan bagi Syeikh Kamba adalah bahwa syariah kemudian menjadi sebuah susunan aturan hukum yang disusun oleh segelintir orang, yang kemudian aturan itu dijadikan pedoman dalam beragama. Konsep inilah yang kemudian juga menjadikan syariah difahami seperti hari ini. Maka tidak mengherankan jika kemudian ada orang yang menolak syariah, karena syariah kemudian menjadi sesuatu yang eksklusif. Padahal yang membuat syariah itu adalah Allah sendiri. Bahkan Nabi sekalipun tidak boleh mengambil peran untuk menentukan mana yang halal dan mana yang haram bagi manusia.

“Seharusnya, sumber hukum dalam Islam itu hanya Al Qur’an”, Syeikh Kamba menambahkan. Sementara saat ini, ditambahkan menjadi Sunnah Nabi, kemudian Qiyas juga termasuk didalam sumber hukum Islam. Padahal ketika Rasulullah Saw masih hidup, tidak ada sumber hukum Islam selain Al Qur’an. Maka yang terjadi hari ini kemudian, adanya sertifikasi halal, kemudian hal-hal yang juga tentang haramnya sesuatu justru diputuskan oleh manusia. Maka, ketika syariat difahami sebagai kompilasi hukum Islam pasti akan bertentangan dengan kehidupan sosial masyarkat hari ini.

“Salah satu keistimewaan orang Maiyah adalah seperti seekor ikan yang telah berhasil keluar dari sebuah akuarium yang besar. Ia memiliki independensinya sendiri, ia menjadi dirinya sendiri”, Syeikh Kamba menambahkan. Pada akhirnya, konsep Islam hari ini terasa sangat jauh jika dibandingkan dengan era Rasulullah Saw. Maka konsep khilafah pun pada akhirnya disalahfahami oleh banyak orang, karena posisinya sama dengan kata syariah ini, sudah terlalu banyak tafsir, sehingga menjadi terlalu banyak perbedaan pemahaman.

“Untuk menjadi ahli Al Qur’an jalannya bukan ilmu, jalannya adalah kejujuran nuranimu kepada hidayah dari Allah”
Emha Ainun Nadjib, Kenduri Cinta (Januari, 2019)

SETELAH Syeikh Kamba menyampaikan paparan yang lugas dan jelas tentang syariah, forum kemudian memberikan kesempatan kepada jamaah untuk bertanya kepada Syeikh Kamba. Ada 3 pertanyaan yang ditanyakan malam itu; tentang fenomena hijrah di Indonesia hari ini, tentang waliyullah yang mengajarkan ajaran yang sesat, dan tentang reinkarnasi.

Syeikh Kamba menjelaskan, bahwa hijrah itu juga harus kita kembalikan kepada peahaman yang sebenarnya. Dalam sejarah Islam, hijrah yang paling dikenang adalah peristiwa hijrahnya Rasulullah Saw bersama para sahabat dari Mekkah ke Madinah. Sejalan dengan itu, Syeikh Kamba menyuplik salah satu hadits Rasulullah Saw; Innamal a’malu binniyaat, wa innama likullim ri’in ma nawaa. Fa man kaana hijrotuhu ilallahi warosulihi fahijrotuhu ilallohi wa rosulihi. Fa man kaana hijrotuhu liddunya aw imroatin yunkikhuha fahijrotuhu ila ma hajara ilaihi. Dari nukilan hadits tersebut jelas bahwa segala sesuatu akan dinilai berdasarkan niatnya, jika fenomena hijrah yang marak akhir-akhir ini benar-benar hijrah yang bertujuan untuk mencari kesejatian Islam, maka perlu diapresiasi.

Dijelaskan oleh Syeikh Kamba, jika manusia berperilaku dalam kehidupan sehari-hari lebih mengutamakan ego dalam diri, maka disitulah letak bahwa Allah tidak akan ada dalam diri manusia. Tetapi jika manusia mampu mendiakan dirinya, maka disitulah Allah menjadi ada. Ketulusan itu memerlukan fana’. Tidak bisa orang menyatakan dirinya tulus tetapi tidak meniadakan dirinya di hadapan Allah.

Tentang orang-orang yang disebut waliyullah namun ajaran-ajarannya justru melenceng dari Islam, Syeikh Kamba menjelaskan bahwa tidak mungkin waliyullah mengajarkan tentang syariat kepada murid-muridnya. Karena syariah bagi seorang waliyullah adalah sesuatu yang sudah selesai, yang sudah cukup kepada Al Qur’an manusia mencari informasi tentang syariat Allah itu sendiri.

Maka benarlah ungkapan, la ya’rifu-l-wali illa wali. Bahwa yang mengetahui dirinya wali adalah wali. Dan wali yang sesungguhnya juga tidak akan mengumum-umumkan dirinya adalah wali, karena segala perilaku dan tindak-tanduk hidupnya, ia serahkan sepenuhnya kepada Allah. Dan manusia tidak bisa meregulasi itu, sepenuhnya hak prerogatif Allah. Maka menurut Syeikh Kamba, jika ada wali yang lebih mementingkan eksistensi dirinya melalui keilmuan yang ia ajarkan kepada orang lain, maka itu bukan wali yang sesungguhnya. Tentang reinkarnasi, Syeikh Kamba merespons singkat bahwa reinkarnasi itu ada atau tidaknya kita tidak mampu membuktikan secara akademis. Reinkarnasi itu salah satu bagian dari rahasia Allah yang tidak mungkin manusia mampu membuktikannya.

Cak Nun kemudian menyambung paparan Syeikh Kamba. “Kita ini kan cuma berangkat dari prasangka ke prasangka berikutnya”, Cak Nun memulai. Melandasi penjelasan, Cak Nun menyampaikan bahwa tidak ada yang berhak memberikan aturan main terhadap sesuatu kecuali sang pemegang saham. Begitu juga dalam hidup kita, maka hanya sang pemegang saham utama yaitu Allah Swt yang paling berhak untuk menentukan aturan main dalam hidup kita. DItegaskan oleh Cak Nun bahkan Nabi sekalipun tidak berhak menentukan, karena tugas Nabi adalah pembawa berita, yang menyampaikan informasi, bukan penyusun undang-undang. Dan Nabi juga tidak pernah memaksakan hukum, karena Allah juga tidak pernah memaksakan.

Dan orang yang sholat itu inputnya adalah karena dia taat kepada Allah, bukan karena ada tuntutan kewajiban yang harus dilaksanakan. Cara berpikir seperti ini yang masih jamak di kalangan masyarakat kita, sehingga masih salah meletakkan posisi letak sebuah persoalan. Semakin banyak orang yang belajar tentang Islam, tetapi bukan memproduksi semakin banyak orang yang bijaksana justru melahirkan orang-orang yang dengan mudah menghukumi orang lain, mengatakan haram, bid’ah, kafir dan sebagainya.

“Selain Allah Swt dan Rasulullah Saw itu posisinya sama. Mau itu Umar bin Khattab, mau Ali bin Abi Thalib, mau Budi Tatto, mau Budi Surjan, mau siapa saja posisinya sama. Bahwa kemudian ada hirarki ada orang yang lebih peka, lebih pandai, lebih tajam (pandangannya) itu adalah dinamika kehidupan. Tetapi posisinya sama, yaitu sama-sama tidak punya hak untuk menghalaklkan atau mengharamkan”, Cak Nun menjelaskan.

Supremasi keulamaan seseorang hari ini hanya ditentukan dalam wilayah intelektual, tentang siapa yang paling banyak membaca buku, siapa yang paling banyak menulis buku, tentang siapa yang paling banyak melakukan penelitian dan seterusnya. Padahal, tolok ukurnya bukan hanya sekadar ilmu yang dipelajari, kebenaran akan ilmu yang mereka pelajari belum tentu adalah kebenaran yang sejati.

“Kalau Anda merasa dirimu pandai, itu adalah sebodoh-bodohnya orang. Karena kepandaian bukanlah yang tertinggi dalam keluhuran manusia”
Emha Ainun Nadjib, Kenduri Cinta (Januari, 2019)

JIKA ADA orang yang pandai karena dia lulusan sebuah universitas ternama, kemudian diakui kepandaiannya melalui ijazah dan gelar kesarjanaan, doktor, professor dan seterusnya, itu adalah kepandaian menurut rasio ukuran intelektual akademis, belum tentu pandai dalam rasio kehidupan. Karena hidup adalah sebuah bulatan yang sangat komperhensif, sementara dalam ukuran akademis, orang pandai dalam satu ilmu belum tentu cakap dalam ilmu yang lain.

Cak Nun menegaskan, meskipun hanya hafal satu ayat Al Qur’an, tetapi jika kita mampu mencerapnya dengan kesucian akal pikiran dan kejernihan serta kejujuran nurani, serta kesungguh-sungguhan mencintai Allah, maka kita akan mendapatkan hidayah yang tak ternilai harganya, sesuatu yang paling mulia dari segala kemuliaan. Sederhanya, dijelaskan oleh Cak Nun, salakan kita mampu mengejawantahkan sifat Rahman dan Rahim-nya Allah, itu saja sudah cukup sebagai pedoman hidup kita untuk menjadi manusia yang mulia. Manusia yang mampu mengimplementasikan kasih dan sayang kepada seluruh makhluk ciptaan Allah. Dengan menifestasikan sifat Rahman dan Rahim Allah, kita sayang kepada sesama manusia, kita sayang kepada tumbuh-tumbuhan, kita sayang kepada binatang, kita sayang kepada alam semesta, itu sudah lebih dari cukup untuk mencapai posisi sebagai manusia yang pandai dalam kehidupan.

Merespons tentang fenomena hijrah, Cak Nun menjelaskan bahwa tidak ada detik dalam hidup kita yang tidak melewati proses hijrah. Diri kita yang kemarin tidak sama dengan diri kita yang hari ini. Dalam peristiwa hijrah, ada pihak yang berhijrah, ada pihak yang dihijrahkan. Ketika kita membeli bakso, kita menghijrahkan uang kita kepada tukang bakso, kemudian tukang bakso menghijrahkan bakso ke dalam perut kita. Hijrah itu bukan hanya dihitung dalam simbol-simbol material. Bahkan suami istri yang berhubungan badan pun merupakan peristiwa hijrah, suami menghijrahkan sel sperma ke dalam rahim sang istri.

“Hijrah itu hakikat hidup, tolong jangan dipersempit menjadi istilah-istilah yang dilembagakan”, Cak Nun turut merespons tentang pertanyaan fenomena hijrah akhir-akhir ini. Kenapa masih ada saja orang yang membenci Islam, karena orang Islam sendiri membawa Islam dengan cara yang tidak tepat, dengan kesempitan, dengan manipulasi, dengan kebohongan-kebohongan.

Menyambung penjelasan tentang hijrah, Cak Nun menjelaskan bahwa hijrah itu adalah peristiwa yang harus selalu diusahakan. Seperti halnya keluarga mengusahakan untuk terus menuju sakinah, karena sakinah itu bukan sesuatu yang sifatnya statis. Orang berkeluarga tidak selamanya bahagia, ada gesekan-gesekan, ada konflik, ada pertengkaran-pertengkaran antar suami istri, maka sakinah adalah sesuatu yang harus selalu diusahakan. Begitu juga dengan hijrah, karena proses hijrah manusia tidak akan pernah berhenti hingga akhirnya nyawa sudah tercabut dari jasadnya.

“Anda itu dikasih rahmat oleh Allah tanpa batas, siapa saja diberi rahmat”, Cak Nun melanjutkan. Bahwa rahmat adalah sesuatu yang diberikan oleh Allah kepada seluruh makhluk, tanpa terkecuali. Begitu juga dengan mawaddah, rasa cinta, semua makhluk dianugerahi rasa cinta. Maka kemudian sepasang manusia mengikat cinta melalui sebuah perjanjian agung bernama pernikahan. Rahmat dan mawaddah tadi adalah bekal yang digunakan oleh suami dan istri untuk berjuang menuju sakinah. Maka di dalam Al Qur’an ayatnya adalah litaskunu ilaiha, bukan litaskunu fiiha. Ada perbedaan yang jelas antara ila  dan  fii. Ila digunakan untuk sesuatu yang sifatnya dinamis, sedangkan fii digunakan untuk sesuatu yang sifatnya statis.

Lebih mendalam, Cak Nun menegaskan bahwa untuk berhijrah sebagai orang Islam maka panduan utamanya adalah Al Qur’an, karena di surat Al Baqoroh pun sudah jelas disebutkan; dzalika-l-kitaabu laa raiba fiihi hudan li-l-muttaqiin. “Rumusnya jelas, ini petunjuk untuk orang yang bertaqwa, untuk orang yang selalu melakukan kewaspadaan. Bukan untuk sarjana, bukan untuk doktor, bukan untuk ulama, tetapi untuk siapa saja yang hatinya waspada untuk selalu menghadirkan Allah dalam setiap urusannya”, jelas Cak Nun.

Al Qur’an adalah sebuah buku pedoman yang tidak ada keraguan di dalamnya yang berfungsi sebagai petunjuk bagi orang yang bertaqwa. Cak Nun sendiri memiliki pemahaman tentang taqwa yaitu waspada. Maka orang-orang yang bertaqwa adalah orang-orang yang selalu waspada, waspada terhadap apa saja yang ada di sekitarnya. Waspada tidak sama dengan curiga, waspada adalah kondisi dimana kita jangan sampai lengah, sehingga apa yang kita lakukan, apa yang kita perbuat adalah perilaku yang benar-benar sudah kita perhitungkan.

Merespons pertanyaan tentang reinkarnasi, Cak Nun menyampaikan bahwa kita harus menyadari bahwa Allah is our main audience, Allah adalah audien utama kita. Maka kita tidak akan pusing dengan sikap orang-orang di sekitar kita terhadap kita. Dalam khasanah jawa, ada istilah sedulur papat limo pancer, bahwa dalam khasanah jawa setiap orang itu ada 5 sosok diri. Diri yang terlihat secara kasat mata, diri yang berada di belakang diri, diri yang berada di depan, diri yang melihat diri, dan yang terakhir adalah diri yang berada di atas diri, yang melihat sekeliling diri.

Kemurnian diri manusia yang sejati itu tidak membutuhkan undang-undang untuk mengetahui bahwa mencuri itu tidak baik. Manusia yang sejati tidak perlu membaca KUHP untuk tahu bahwa mencuri ayam tetangga itu tidak baik. Segala perilaku buruk itu tidak mungkin dilakukan oleh manusia yang sejati. Begitu juga untuk berbuat baik, manusia sejatinya tidak memerlukan ajaran untuk berbuat baik, bahkan hukum itu sendiri tidak bisa menjadi satu parameter untuk dijadikan patokan bahwa manusia mampu berbuat baik atau tidak. Jika digambarkan dalam sebuah kebun, maka hukum itu seperti pagar, jika tanaman yang ditanam sudah melewati pagar baru kemudian ditindak, bukan justru pagar menjadi pemimpin dari tanaman. Begitu pula seharusnya Islam disampaikan kepada khalayak masyarakat luas, segala sesuatu yang hari ini dipahami sebagai syariat Islam bukan dijadikan sebagai pedang untuk berdakwah, karena jika demikian adanya maka akan semakin banyak orang yang juga membenci Islam. Namun seharusnya, Islam dijadikan sebagai keris pusaka, sebagai pedoman, sehingga Islam bisa diterima oleh semua pihak.

“Waliyullah itu tidak ada yang ngomong tentang hukum Islam. Yang ada adalah ngomong tentang menjadi manusia yang baik”, Cak Nun melanjutkan. Cak Nun kemudian bercerita tentang Gus Ud, salah satu sosok yang dianggap oleh banyak orang sebagai salah satu waliyullah. Tidak pernah Cak Nun mendengar Gus Ud berbicara tentang hukum syariat Islam, tapi justru yang diperlihatkan oleh Gus Ud adalah perilaku yang menampilkan manusia yang sejati, yaitu manusia yang selalu berbuat baik.

Memuncaki Kenduri Cinta edisi Januari 2019, El Bams kemudian berduet dengan Beben Jazz membawakan nomor Fly me to the moon, kemudian ditutup dengan nomor Hasbunallah. Indal Qiyam, Syeikh Kamba memimpin doa bersama. Sampai berjumpa kembali di edisi Kenduri Cinta bulan Februari 2019 dengan hikmah-hikmah yang baru lagi.