Menjadi Diri Sendiri, Itulah Jabatan Tertinggi

TEMA KEDAULATAN di Kenduri Cinta, dan juga Maiyahan rutin lainnya bukanlah tema yang baru. Karena memang salah satu hal yang sudah mulai luntur dari diri manusia adalah tentang kedaulatan diri. Tak heran jika masih banyak orang yang masih ikut-ikutan dengan orang lain dalam sebuah hal. Karena memang ia tidak memiliki kedaulatan dalam dirinya. Mereka memilih untuk bermain aman, mengikuti arus yang ada, tanpa peduli apakah arus itu sesuai dengan isi hatinya atau tidak. Keberanian untuk menjadi diri sendiri menjadi barang langka akhir-akhir ini, menjadi diri sendiri adalah barang mewah, yang tidak semua orang mampu mencapainya. Banyak orang yang tidak siap untuk menjadi diri sendiri, karena ia takut tidak dianggap oleh orang-orang di sekitarnya.

Terhadap apapun, menyikapi peristiwa yang terjadi di sekitar kita akhir-akhir ini, masih banyak dari kita yang tidak berani mengambil keputusan yang sesuai dengan isi hati kita sendiri. Ada yang bersikap dengan landasan menyesuaikan pendapat kebanyakan orang, ada juga yang bersikap masa bodoh. Meskipun juga tetap ada yang berani mengambil sikap sesuai dengan hati nuraninya sendiri, meskipun akan berbenturan dengan pendapat kebanyakan orang. Setidaknya, mereka yang bersikap demikian adalah orang yang berani mengambil keputusan atas dasar kedaulatannya sendiri.

Namun demikian, berdaulat bukan berarti manusia bebas sebebas-bebasnya dalam berkehendak. Allah hanya memberikan kita sedikit hak untuk memilih dan menentukan langkah yang akan kita ambil. Tentu saja dengan segala risikonya. Faman syaa’a fa-l-yu’min, faman syaa’a fa-l-yakfur. Barang siapa beriman, berimanlah. Dan barang siapa kufur, silakan kufur.

Indonesyariah, sebuah tema yang secara diksi tidak akan ditemukan artinya di kamus manapun. Bukan pertama kali ini saja Kenduri Cinta mengangkat tema yang menggunakan kata-kata asing, yang belum pernah atau sangat jarang didengar oleh masyarakat pada umumnya. Dan memang, pada tema kali ini, Kenduri Cinta hendak membahas tentang kata syariah, istilah yang akhir-akhir ini masih saja disalahgunakan oleh beberapa pihak, sehingga mengakibatkan perbedaan pendapat di masyarakat, yang ujungnya adalah semakin memperuncing perpecahan yang ada.

Kenduri Cinta adalah sebuah forum yang egaliter, membebaskan siapa saja untuk datang, bahkan semua yang hadir memiliki hak yang sama untuk berbicara. Pada edisi Januari ini pun, di sesi awal banyak jamaah yang turut menyampaikan berbagai tanggapan atas tema yang diangkat ini. Ada yang menganggap bahwa kata syariah sekarang hanya digunakan sebagai alasan untuk meraup pangsa pasar, sehingga beberapa produk yang memang menjadi barang konsumsi masyarakat disematkan label syariah yang tujuan utamanya adalah agar barang tersebut dibeli oleh kalangan muslim.

Ada juga yang mempertanyakan, kenapa syariah dibenturkan dengan Pancasila, misalnya. Bukankah secara hakikat Negara ini seharusnya adalah bagian dari syariah itu sendiri? Sementara jamaah yang lain juga menyinggung, kenapa kata syariah begitu ekslusif hari ini, dianggap sebagai kata khusus yang hanya dimiliki oleh ummat Islam saja, belum lagi di dalam Islam sendiri kata syariah juga terdapat banyak penafsiran yang satu sama lain bahkan tidak sama. Sehingga, stigma yang muncul di tengah masyarakat adalah bahwa konsep syariah ini dimunculkan dalam rangka membentuk Negara Islam di Indonesia.

Begitulah ruang diskusi yang terbangun di Kenduri Cinta, forum ini hanya memantik beberapa hal, jamaah sendiri yang kemudian juga memilki hak untuk merespons, menyanggah, bahkan membantah. Karena memang tidak ada doktrin di forum ini. Tidak ada fatwa di forum ini. Semua merdeka untuk sepakat atau tidak sepakat. Semua memiliki tanggung jawab yang sama ketika menyampaikan sebuah informasi di forum ini. Semua tidak berhak merasa paling unggul dari yang lainnya.

Tentang Mimpi didatangi Cak Nun

SUASANA FORUM memasuki tengah malam semakin hangat. Padahal, sore hari menjelang persiapan acara hujan turun begitu deras, sehingga beberapa persiapan teknis terpaksa ditunda. Seperti penataan sound system, level (panggung mini), hingga penggelaran karpet baru bisa dilakukan menjelang maghrib. Sebagian jamaah yang sudah hadir sejak sore hari, bahu-membahu bersama penggiat Kenduri Cinta mempersiapkan semua itu. Ada yang membersihkan genangan air hujan, ada yang menggelar karpet, ada pula yang membantu teknisi sound system untuk menata peralatan. Setiap individu mengambil perannya masing-masing, tanpa ada komando. Bukankah ini merupakan sebuah implementasi syariah di Kenduri Cinta?

Malam semakin larut, jamaah yang datang pun semakin banyak. Di area belakang, tampak sebagian dari mereka memilih untuk berdiri. Suasanya guyub selalu terasa di forum-forum Maiyahan seperti Kenduri Cinta ini. Bukan sebuah hal yang direncanakan, dan memang tidak mungkin kita mampu merencanakan untuk menahan massa dengan jumlah banyak, bertahan hingga akhir acara, dalam sebuah forum diskusi yang berlangsung 6-8 jam.

Maka, di Kenduri Cinta edisi Desember 2018 lalu, Cak Nun sempat memberi pertanyaan kepada 15 peserta workshop yang malam itu sebagian dari mereka hadir dan diberi kesempatan untuk menyampaikan respons dari pertanyaan-pertanyaan yang diberikan oleh Cak Nun. Salah satu pertanyaan itu adalah; Apakah Maiyah itu mukjizat? Sebagian peserta itu pun menjawab bahwa Maiyah adalah mukjizat. Kalaupun kata mukjizat itu terlalu sakral bagi sebagian masyarakat kita, maka anggaplah Maiyah ini sebagai sebuah anugerah dan keajaiban dair Allah.

Tentu bukan soal gagah-gagahan. Karena memang Maiyah tidak dimaksudkan dalam rangka gagah-gagahan. Cak Nun selalu mengingatkan setiap kita untuk selalu rendah hati, meskipun ada banyak hal yang kita ketahui dan mungkin belum diketahui oleh banyak orang di luar Maiyah, kita tidak berhak untuk merasa paling gagah karena mengetahui banyak hal di Maiyah. Setiap ilmu yang kita dapatkan di Maiyah, harus menjadi bahan kontemplasi pemahaman diri, sebagai bahan untuk bercermin diri sendiri, untuk menyadari bahwa ternyata memang ada banyak hal yang tidak ketahui, bahkan lebih banyak hal yang tidak kita ketahui jika dibandingkan dengan hal yang kita ketahui.

Ada peserta workshop yang kemudian bercerita beberapa kali didatangi oleh Cak Nun dalam mimpi, bahkan ada yang dalam mimpinya diajak sholat berjamaah oleh Cak Nun. Syeikh Nursamad Kamba turut merespons, bahwa apa yang dialami oleh jamaah Maiyah ketika didatangi oleh Cak Nun dalam mimpi merupakan sebuah fenomena yang disebut oleh Syeikh Kamba sebagai Tarekat Virtual, penjelasan lebih lengkap tentang Tarekat Virtual diulas oleh Syeikh Kamba dalam buku “Kids Zaman Now Menemukan Kembali Islam”. Syeikh Kamba pun memiliki pengalaman didatangi Cak Nun dalam sebuah mimpi, suatu hari Ayah kandung Syeikh Kamba sakit keras dan sempat koma, dalam waktu yang lama, hingga suatu hari Syeikh Kamba didatangi oleh Cak Nun dalam mimpi, dan kemudian dalam mimpi itu Cak Nun membesuk Ayah kandung Syeikh Kamba. Beberapa saat kemudian, Ayah kandung Syeikh Kamba pun wafat.

“Saya perlu merespons  agar Cak Nun tidak menjadi Allah swt”, Cak Nun menanggapi cerita Syeikh Kamba dan beberapa jamaah sebelumnya agar tidak terjadi kultus individu terhadap Cak Nun. Cak Nun, dengan rendah hati menjelaskan bahwa itu semua rahasia Allah, bukan direncanakan sendiri, apalagi dibuat-buat. Peristiwa yang dialami oleh Syeikh Kamba dan teman-teman jamaah lain yang didatangi oleh Cak Nun dalam mimpi sederhananya adalah sebuah peristiwa kerinduan yang terobati melalui mimpi. Dan pada dasarnya eksistensi manusia itu sendiri sejatinya tidak ada, karena dari setiap bagian tubuh manusia sebenarnya adalah partikel-partikel yang asal-muasalnya dari Allah. Maka siapapun sosok yang datang ke dalam mimpi, tidak perlu dipersoalkan. Yang penting dari persitiwa itu sendiri apa pesan yang tersirat, bermanfaat atau tidak, membuat kita semua memperbaiki hidup kita atau tidak, itulah yang paling penting.

Cak Nun mengutip salah satu pesan Sayyidina Ali, “Jangan terlalu kagum kepada orang yang memujimu, karena dia belum tentu paham. Dan kamu jangan terlalu menderita, apalagi nelangsa oleh orang yang mengkritikmu, atau memaki-maki kamu, karena pasti dia tidak paham kepada kamu”.

Maka yang terpenting kemudian adalah jangan sampai kita terjebak pada bentuk materi dari setiap yang kita temui. Cak Nun mencontohkan, kata “gelas” itu merupakan hasil dari kesepakatan kita semua bahwa sebuah benda yang digunakan untuk menampung air minum disebut gelas. Begitu juga dengan identitas-identitas lainnya. Cak Nun menegaskan bahkan “Mbah Nun” sekalipun itu sebenarnya adalah identitas, karena substansi dari diri manusia itu sendiri bukan manusianya itu, melainkan Allah. Tugas kita sebagai manusia selanjutnya adalah memanifestasikan sifat-sifat Allah, maka salah satu rahasia yang terkandung dalam kalimat basmalah adalah disebutkannya dua sifat Rahman dan Rahim, yang menurut Cak Nun adalah sebagai ikon utama Allah. Maka manusia harus mampu memanifestasikan sifat pengasih dan penyayang, karena Allah sendiri selalu menghadirikan Diri-Nya dalam kedua sifat tersebut.

“Kita sebenarnya selalu tertipu kepada materialisme”, lanjut Cak Nun. Satu hal yang juga terkadang tidak bisa dipahami oleh akal manusia adalah mengapa manusia berusaha mati-matian untuk menumpuk harta. Harta sebanyak apapun, manusia tidak akan merasa puas. Menurut Cak Nun, kerakusan itu bukan sifat manusia. Namun, kerakusan itu diakibatkan karena manusia menyembah khayalannya tentang semua kebahagiaan-kebahagiaan yang menurutnya bisa dicapai dengan banyaknya harta yang dimiliki.

Cerita dari Mandar

SEMAKIN MALAM, diskusi berlangsung semakin akrab. El Bams kemudian tampil di panggung membawakan beberapa nomor lagu. Kegembiraan Kenduri Cinta kali ini semakin lengkap dengan kehadiran salah satu saudara Maiyah dari Mandar, Tamalele, yang juga merupakan salah seorang sahabat Alm. Baharudin Loppa. Malam itu, Tamalele bercerita tentang kisah kedatangan Cak Nun pertama kali di tahun 1985, ketika saat itu turut membimbing dan memberikan workshop kepada Teater Flamboyant yang hingga hari ini sudah mencapai generasi ke-9. Selain itu, di Mandar juga ada Simpul Maiyah yang bernama Papperandang Ate, yang kurang lebih artinya adalah hati yang terang.

Tamalele bercerita ketika Cak Nun mampu mendamaikan dua kelompok masyarakat yang hendak menyerbu kelompok masyarakat lain di Majene, pertikaian bisa dihindarkan setelah didamaikan oleh Cak Nun. Sejumlah 60 orang yang hendak menyerbu itu bahkan menurut cerita Tamalele, dibuat pingsan oleh Cak Nun selama berjam-jam lamanya. Tamalele tidak bisa membayangkan seandainya saat itu tidak ada Cak Nun, mungkin pertikaian kedua kubu kelompok masyarakat itu tidak akan usai, hingga hari ini. Ada juga kisah seorang pemuda yang hendak membunuh mertuanya, yang kemudian pemuda tersebut disadarkan oleh Cak Nun sehingga niatan untuk membunuh mertuanya itu tidak terlaksana.

Ada pula kisah tentang seorang pemuda Mandar yang kuliah di Makassar, suatu hari pada sebuah demonstrasi, ia terjebak, sudah terkepung aparat, yang ia lakukan adalah berteriak dengan menyebut nama Cak Nun. Yang terjadi kemudian adalah, secara tiba-tiba ia justru berada di depan pintu asrama tempat ia tinggal, yang berjarak sekitar 15 KM dari lokasi demonstrasi. Kisah ini mirip dengan kisah-kisah tasawuf terdahulu, di Mandar pada tahun 1920-an, ketika masih ada Imam Lapeo, para nelayan ketika mencari ikan di laut dan bertemu badai besar, yang dilakukan kemudian adalah menyebut nama Imam Lapeo, hingga kemudian selamatlah mereka dari badai.

Cak Nun menjelaskan bahwa peristiwa seperti itu bukan tentang peristiwa syirik, bahwa peristiwa tersebut pada suatu momen memang dibutuhkan oleh orang-orang di suatu tempat. Apakah itu menandakan bahwa tidak ada kekuasaan Allah? Justru dengan adanya peristiwa tersebut, sebagai bukti bahwa kekuasaan Allah itu nyata adanya. Tentang kata yang diucapkan, itu terserah Allah mana yang akan disukai. Ada suatu cerita, ketika ada sekelompok anak-anak kecil, bermain di sebuah sumur, mereka bergantian terjun ke dalam sumur sembari meneriakkan nama ulama yang mereka kagumi, Al Habsy. Ketika nama itu diteriakkan saat menceburkan diri ke dalam sumur, maka mereka akan kembali terpental ke atas sumur, tidak tenggelam. Sampai suatu hari ada seorang yang iseng, ia menceburkan diri sembari meneriakkan takbir, yang terjadi kemudian ia benar-benar tenggelam di dasar sumur.

Peristiwa lain yang juga berkesan dari Tamalele ketika Cak Nun datang di Mandar pada tahun 80-an adalah, ketika di suatu siang, bersama pemuda-pemuda di Mandar, mereka mengadakan lomba menyelam di dasar sungai. Perlombaannya adalah siapa yang paling bisa tahan lama untuk berada di dasar sungai itu. Dan Cak Nun adalah orang terakhir yang muncul ke permukaan. Seluruh pemuda Mandar yang ikut perlombaan menyelam itu dikalahkan oleh Cak Nun. Cak Nun menjelaskan bahwa peristiwa itu bukan tentang adu kehebatan bertahan menyelam di dasar sungai, namun pada momentum itu Cak Nun menyadari bahwa pemuda-pemuda di Mandar membutuhkan sosok yang mampu membangkitkan semangat juang mereka, dan Cak Nun mengambil peran itu, atas perkenan Allah.

“Di Maiyah, Anda harus membuka cakrawala. Anda harus membuka mata batin Anda. Bahkan setiap partikel dalam diri Anda memiliki mata dan telinga”, Cak Nun menyampaikan bahwa peristiwa-peristiwa yang diceritakan oleh Tamalele bukan merupakan peristiwa yang sifatnya musyrik. Tetapi, yang dianjurkan oleh Cak Nun adalah jangan pernah menolak untuk percaya sesuatu hal yang sebenarnya belum kita ketahui kebenaran faktanya. Yang dibutuhkan oleh manusia dalam hidup ini adalah kewaspadaan, karena hidup tidak selalu, bahkan cenderung berlaku tidak sesuai dengan apa yang kita inginkan.

Belajar makna syariah

MEMASUKI TEMA UTAMA Kenduri Cinta malam itu, Syeikh Kamba menjelaskan bahwa pemahaman kita tentang syariah hari ini penuh dengan kesesatan. Hal ini dikarenakan terlalu banyak tafsir tentang syariah, sehingga tidak melahirkan satu kesimpulan yang baku tentang apa yang dimaksud dengan syariah itu sendiri. Jika seorang guide wisatawan yang sedang mengantar seseorang berkunjung di sebuah tempat wisata, kemudian ia tersesat, maka yang harus dilakukan adalah kembali ke titik awal mula ia berangkat.

Syeikh Kamba mengajak jamaah untuk kembali kepada Al Qur`an, yang merupakan sumber utama dari kata syariah. Syeikh Kamba kemudian menukil Surat Asyura ayat ke-13, yang di dalamnya terdapat penjelasan tentang syariah. Dari ayat tersebut, Syeikh Kamba menjelaskan bahwa kata syariah berasal dari kata syara’a. “Syara’a itu sebuah kata yang tidak bisa berdiri sendiri. Syara’a adalah kata yang muta’addi. Dalam khasanah ilmu bahasa arab, kata syara’a itu muta’addi bi lam  dan juga muta’addi bi fii”, Syeikh Kamba menjelaskan secara epistimologi.

Menurut Syeikh Kamba, syara’a lahu artinya adalah dia melegalkan, memberi legalisasi, melegalkan, melegalisasikan. Maka dalam ayat 13 surat Asy Syura itu Allah menyatakan bahwa agama yang dibawa oleh Nabi Nuh, Nabi Ibrahim, Nabi Musa, Nabi Isa dan Nabi Muhammad merupakan sebuah kesatuan. Dan dipesankan oleh Allah dalam ayat tersebut agar jangan berkelomok-kelompok dalam beragama. Maka, pertanyaan selanjutnya adalah apa itu agama? Sementara hari ini agama dipahami sebagai sebuah institusi.

Syeikh Kamba menjelaskan bahwa yang dilakukan oleh Nabi Muhammad Saw ketika datang ke Madinah, yang dibangun pertama kali bukanlah aturan hukum, melainkan persaudaraan. Dari satu peristiwa hijrahnya Nabi Muhammad Saw ini saja kita sudah menemukan fakta bahwa jika memang syariah dipahami sebagai sebuah aturan atau hukum Islam, Nabi Muhammad Saw saja tidak melakukan itu ketika datang ke Madinah. Namun, yang dilakukan adalah bagaimana membangun suasana persaudaraan antar sesama manusia yang ada di Madinah saat itu. Setelah kaum Anshor dan Muhajirin menjalin persaudaraan, baru kemudian disitulah landasan syariah hubungan sosial mereka, bahasa mudahnya adalah aturan main yang mereka sepakati itu berlandaskan persaudaraan. Yang dilakukan bukan mengawasi hidup masyarakat, namun karena persaudaraan sudah terbangun dengan baik, maka satu sama lain memahami bahwa setiap individu ada hal yang musti dilakukan, dan juga ada hal yang musti dihindari untuk tidak dilakukan.

Pembahasan tema syariah malam itu di Kenduri Cinta begitu mendalam, juga meluas. Artinya, tidak hanya memahami satu jengkal, namun juga pada akhirnya tidak bisa menghindari untuk membahas persoalan-persoalan lainnya yang berkaitan dengan syariah. Seperti ketika sesi tanya jawab dibuka, ada yang bertanya tentang fenomena hijrah, fenomena waliyullah, dan tentang reinkarnasi.

Cak Nun menjelaskan bahwa tidak ada satu jengkal dalam hidup kita yang tidak terkait dengan peristiwa hijrah. Bahkan diri kita detik ini sudah berbeda dengan diri kita pada detik yang lalu. Hampir setiap detik dalam hidup kita sejatinya kita berhijrah. Ketika kita membeli bakso, maka kita menghijrahkan uang kita kepada tukang bakso, dan tukang bakso menghijrahkan bakso buatannya kepada kita. Begitu seterusnya.

Fenomena hijrah akhir-akhir ini, dimana banyak orang berbondong-bondong mempelajari Islam, mencari kesejatian Allah, dan lain sebagainya menurut Syeikh Kamba esensinya bukan eksistensi dari manusianya. “Jika kita mengada, maka Allah akan meniada. Dan jika kita meniada, maka Allah akan ada”, Syeikh Kamba menegaskan.

Tidak cukup rupanya forum Kenduri Cinta yang berlangsung selama kurang lebih 8 jam itu mengupas tema syariah ini. Tentu masih lebih banyak cakrawala ilmu tentang syariah yang belum terungkap, namun setidaknya melalui edisi kali ini, jamaah yang datang mendapatkan wawasan baru tentang apa makna syariah. Setiap yang hadir, memiliki kedaulatan akan ilmu tersebut, untuk kemudian mengolahnya, meneliti kembali, menelaah lebih dalam, sehingga menemukan hasil ijtihadnya masing-masing.

Lewat pukul 3 dinihari, Kenduri Cinta dipuncaki dengan indal qiyam dan doa bersama yang dipimpin oleh Syeikh Nursamad Kamba.