Festival Kebenaran Nasional

DALAM beberapa tahun terakhir, masyarakat kita begitu klimaks mengekspresikan kebebasan berpendapat. Harus diakui, ketika orde baru berkuasa salah satu kemewahan yang sangat mustahil kita rasakana dalah kebebasan dalam berpendapat. Pasca Soeharto lengser, runtuh sudah benteng kokoh kesempitan ruang gerak untuk mengungkapkan pendapat.

Pada zaman orde baru, tidak banyak orang yang berani mengunkapkan pendapat di depan publik. Hanya orang-orang yang bernyali yang memiliki keberanian untuk mengungkapkan kebenaran mengkritik penguasa, karena begitu besar ancaman yang ada di hadapan mereka jika mengungkapkan kebenaran berupa kritik kepada penguasa.

Pasca Soeharto lengser, tembok pengekang itu runtuh, setiap orang mulai berani mengungkapkan pendapat dengan sebebas-bebasnya. Persoalannya adalah apakah manusia benar-benar memiliki kebebasan dalam hidup? Jika kita berbicara bahwa kebebasan adalah salah satu hak asasi manusia, apakah setiap kita sudah pernah mempertimbangkan bahwa sebelum kita menuntut hak asasi manusia kita sudah menunaikan kewajiban asasi manusia? Kita terlalu sering menuntut bahwa hak asasi manusia adalah sesuatu hal yang absolut dan harus dirasakan oleh semua ummat manusia. Sementara sangat jarang kita bertanya apakah kita sudah menunaikan kewajiban asasi manusia kita?

Ketika kita mendengar kata kebebasan, salah satu hal yang kemudian terlintas dalam kepala kita adalah bahwa kita merdeka untuk melakukan apa saja. Mari kita ambil satu sudut pandang saja. Ketika orde baru berkuasa, masyarakat kita begitu dikekang untuk tidak sembarangan mengungkapkan pendapat, apalagi jika pendapat yang akan diungkapkan berupa kritik terhadap penguasa. Meskipun kita sepakat bahwa memang sudah sepatutnya kritik terhadap penguasa itu harus diungkapkan, tetapi yang mungkin kita lupa adalah bahwa orang-orang yang berani mengungkapkan pendapat di era orde baru adalah orang-orang yang dalam bahasa jawa memiliki kemampuan melihat sebuah persoalan dengan sangat titis.

Sehingga, apa yang akan mereka ungkapkan di depan publik adalah sebuah pendapat yang memang berkualitas, bermutu, bukan omong kosong. Pendapat berupa kritik kepada penguasa yang memang secara urgensi sangat layak untuk diungkapkan. Dan mereka, orang-orang yang berani mengungkapkan pendapat seperti itu adalah orang-orang yang sudah mampu mengukur kapabilitas dalam dirinya, sehingga mereka juga tidak sembarangan untuk mengungkapkan kebenaran yang memang pantas untuk disampaikan.

Sementara hari ini, ketika pintu kebebasan untuk mengungkapkan kebenaran terbuka lebar, ternyata kita tidak benar-benar memiliki pondasi yang kuat atas sebuah informasi. Sehingga tidak jarang sebuah pendapat yang diungkapkan di depan publik dengan sangat mudah dipatahkan, dibantah, dimentahkan bahkan sampai titik dimana pendapat itu diabaikan.

Kelemahan kita hari ini salah satunya adalah karena kita lebih mengutamakan hawa nafsu dan ego kita semata. Ketika kita menemukan sebuah kebenaran, kita dengan mudah menyimpulkan bahwa kebenaran itu adalah kebenaran yang absolut, kebenaran yang sejati. Padahal, belum tentu kebenaran itu juga diterima oleh orang lain, dan orang lain juga memiliki hak yang sama untuk menemukan kebenaran yang bisa saja sangat berbeda dengan apa yang kita yakini.

Merujuk pada sebuah tulisan Cak Nun di buku “Indonesia Bagian Dari Desa Saya”, ada 3 jenis kebenaran; benarnya sendiri, benarnya orang banyak, dan benar yang sejati. Orang yang hanya fokus pada ego dalam dirinya sendiri, akan merasa bahwa kebenaran yang ia yakini adalah kebenaran yang juga harus diyakini oleh banyak orang, padahal itu adalah benar menurut dirinya sendiri. Kita terkadang lupa, bahkan mungkin sering lupa bahwa hidup itu tidak selalu berjalan seperti yang kita inginkan. Tidak semua rencana, tidak semua harapan, tidak semua angan-angan dan cita-cita, dan tidak semua keinginan kita akan terwujud. Mungkin ada angan-angan kita yang kemudian menjadi kenyataan, dan bisa saja sering terjadi demikian, kemudian kita tidak menjadi waspada bahwa yang mewujudkan keinginan itu adalah kehendak Tuhan.

Dan Tuhan adalah Maha Pemilik atas segala sesuatu yang ada di alam semesta. Bahkan atas sehelai rambut yang tumbuh di tubuh kita saja kita sama sekali tidak memiliki hak apapun. Ketika setiap angan-angan kita terwujud, kita semakin tidak waspada bahwa ada Tuhan yang Maha Mewujudkan itu semua, sehingga kemudian yang terjadi adalah kita tidak menemukan presisi bahwa kebenaran yang kita yakini adalah kebenaran yang sebenarnya sifatnya sangat personal.

Mungkin ada cipratan dalam kebenaran yang kita yakini sendiri adalah salah satu embrio dari kebenaran yang sejati, tetapi dari secuil cipratan itu apakah kita juga mampu menelisik bahwa cipratan kebenaran itu juga merupakan bagian dari kebenaran orang banyak. Sementara yang sering kita pertahankan adalah absolutisme kebenaran yang kita yakini sendiri. Kita bahkan tidak terlatih untuk menerima kebenaran orang lain, sehingga kebenaran orang banyak yang kita yakini juga hanya sampai pada batas dimana kebenaran bersama itu adalah kebenaran yang sesuai dengan kebenaran yang kita yakini. Artinya, kebenaran orang banyak hanya sebagai kebenaran yang memperkuat kebenaran kita sendiri.

Dalam setidaknya 4 tahun terakhir ini kita semakin terbiasa untuk hanya menerima kebenaran yang sesuai dengan kebenaran yang kita yakini dalam diri kita sendiri. Ketika ada kebenaran yang bertentangan dengan apa yang kita yakini, sebisa mungkin kita berusaha untuk mencari celah agar kita bisa menghindar untuk tidak bersepakat dengan kebenaran yang bertentangan dengan kebenaran yang kita yakini. Karena kita lebih mengutamakan ego dalam diri kita sendiri.

Dan menyambut 2019 kita semakin meramaikan festival kebenaran nasional di negara ini. Kita akan semakin melanggengkan tradisi untuk mempertahankan kebenaran kita sendiri, dan kita akan semakin menjauhkan diri kita dari kebenaran yang sejati.