BELAJAR MEMILIH PRESEDEN

Reportase Kenduri Cinta edisi NOVEMBER 2018

Setelah pembacaan wirid Tahlukah, jamaah terdengar melantunkan Sholawat Nariyah. Malam itu bertepatan dengan maulid Muhammad bin Abdullah. Sebagaimana tradisi, bulan Rabiul Awwal adalah bulan maulid Nabi, acara-acara bertajuk maulidan atau mauludan banyak diadakan, dalam rangka memperingati maulid Muhammad bin Abdullah, Rasulullah SAW.

Tema Kenduri Cinta bulan November 2018, Belajar Memilih Preseden, banyak membuat kecelik, sebab kata “preseden” pada tema diselipkan huruf i mencoret huruf e, sepintas terbaca “presiden”,

“Secara umum, preseden adalah kejadian yang sudah berlalu yang bisa dijadikan semacam referensi untuk melakukan kegiatan berikutnya,” kata Adi Pudjo awali sesi prolog. Sederhananya, preseden adalah peristiwa masa lalu yang menjadi pelajaran atau contoh. Preseden lalu dijadikan pertimbangan untuk mengambil keputusan.

Pramono lalu melanjutkan tentang preseden dalam ketatanegaraan Indonesia. Indonesia yang telah mengalami beberapa kali pergantian bentuk negara, salah satunya berbentuk negara perserikatan bernama Republik Indonesia Serikat. Ia merasa hal-hal semacam itu kini kurang dipelajari.

Donny ikut menambahkan, ia menarik diskusi malam itu ke dalam lingkup internal dirinya sebagai orang Maiyah. Menurut Donny, ia sudah dibekali cukup ilmu oleh Cak Nun untuk memahami fenomena-fenomena, apalagi sekadar urusan Pilpres. Orang Maiyah menurutnya akan lebih bijak menyikapi perbedaan. Pilihan dan perbedaan yang semestinya rahasia, tidak perlu dipamer-pamerkan di ruang publik. Banyak orang berselisih, bertengkar, berdebat, sebab mereka merasa kelompoknya lah yang paling benar. Hal itu, menurut Donny, diakibatkan karena kita kita enggan belajar dari preseden.

Pada era keterbukaan, terutama dengan terbukanya akses internet, seringkali persoalan-persoalan yang dibicarakan di forum-forum Maiyah tidak sepenuhnya bisa dipahami masyarakat, apalagi bagi mereka yang tidak berinteraksi langsung dengan Maiyah. Donny mengkhawatirkan atas banyaknya kesalahpahaman yang disebabkan karena tidak utuhnya masyarakat dalam menerima informasi.

Mic lantas berpindah ke Ivan, seorang jamaah yang tinggal di Johor Baru. Malam itu ia mengaku bahagia bisa hadir di forum Kenduri Cinta. Forum Maiyah menjadi sumber inspirasinya. Ia berharap anak-anak Betawi mampu mengadakan forum-forum diskusi terbuka dan egaliter semacam Kenduri Cinta di kampung-kampung. Menurut Ivan, forum seperti Kenduri Cinta sangat dibutuhkan masyarakat, sebab sifatnya yang terbuka, membuka ruang bagi siapa saja untuk berbicara menyampaikan pandangan-pandangannya tanpa merasa terancam.

Berikutnya beralih ke Ali, jamaah asal Condet Jakarta Timur. “Tujuan seseorang menjadi presiden itu bukan membangun infrastruktur, bukan itu. Tujuan presiden adalah mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia,” katanya tegas. Ia lantas mengupas nilai-nilai filosofi Pancasila dalam aplikasinya di kehidupan berbangsa dan bernegara. Menurutnya, jika Pancasila konsekuen dijalankan, maka persoalan-persoalan kebangsaaan yang menghantui kita sehari-hari akan terselesaikan. Ia melihat Pancasila masih sebatas jargon, implementasinya masih jauh.

“Jika ada yang bertanya, apakah bangsa Indonesia bertuhan? Saya akan menjawab, tidak ada seorang pun di Indonesia hari ini yang bertuhan. Kenapa? Karena keadilan sosial belum terwujud,” ungkap Ali yang terlihat resah. Ali berpendapat, setiap calon presiden harus mampu mengukur dirinya sesuai sila-sila dalam Pancasila, pada sila keberapa ia sudah berpijak. “Seperti memilih imam ketika salat,” lanjutnya. Saat salat berjamaah, tidak ada orang yang merasa paling pantas menjadi imam. Maka terjadi saling tunjuk antara jamaah. Pada skala kepemimpinan terkecil, Islam sudah membangun tradisi tahu diri. Jika salat saja tak boleh sembarangan memilih imam, maka demikian juga seharusnya ketika bernegara.

“Jika Pancasila konsekuen dijalankan, maka persoalan-persoalan kebangsaaan yang menghantui kita sehari-hari akan terselesaikan
Ali, Kenduri Cinta (November, 2018)

Diskusi lantas diberi jeda sejenak untuk mengendapkan pikiran. Natasha dan Natalie, musisi Jazz dari Komunitas Jazz Kemayoran asuhan Beben Jazz, bergantian memasuki forum. Mereka memainkan musik-musik Jazz ringan, mewarnai forum Kenduri Cinta pada sisi kultural setelah sebelumnya forum dipenuhi dengan unsur intelektual. Tak lupa mereka memperkenalkan diri dan memberikan pendapat-pendapatnya tentang perjalanannya mengenal musik Jazz.

Setelahnya, Sigit dan Tri Mulyana kemudian memasuki forum. Mereka memoderasi diskusi sesi selanjutnya. Hadir malam itu Fahmi Agustian, Ali Hasbullah, dan Husein Ja’far. Sementara moderator sesi sebelumnya, Donny Kurniawan dan Pramono Abadi, juga masih berada di forum.

Husein Ja’far membuka, tema kali ini menurutnya relevan dengan surat Al Hasyr: Yaa ayyuhalladziina aamanu-t-taqullaha waltandzur nafsun maa qoddamat li ghodd. Allah telah mengingatkan kepada orang-orang yang beriman untuk senantiasa melihat, mempelajari serta mengambil hikmah dari peristiwa-peristiwa lampau untuk dijadikan pedoman, tolok ukur dan referensi menuju kehidupan yang akan datang. Itulah preseden.

Berangkat dari Sirah Nabawiyah, Husein Ja’far menjelaskan, semasa hidupnya Rasulullah Saw membangun preseden-preseden yang baik sebagai bekal bagi generasi selanjutnya. Salah satunya, seperti yang disampaikan kepada Muadz bin Jabal adalah sebuah pesan yang berbunyi: Sampaikanlah Islam dalam berita yang gembira, kemudian mudahkan jangan dipersulit. Rasulullah Saw memerintahkan kepada Muadz bin Jabal untuk menyampaikan Islam kepada khalayak luas dengan kegembiraan, dan juga agar Islam disampaikan dengan cara-cara yang memudahkan bukan mempersulit.

Begitu pun pada kehidupan bermasyarakat yang dibangun oleh Nabi Muhammad Saw, sebuah kehidupan yang dipenuhi kemesraan, penuh keakraban antara satu dan yang lainnya. Budaya kemesraan tidak dibangun instan.

Beberapa waktu lalu, Husein mencontohkan, tokoh-tokoh politik mengucapkan kata-kata yang menurutnya kurang baik dalam menyemai budaya kemesraan. Diksi-diksi seperti “sontoloyo”, “tampang boyolali” dan lainnya disampaikan pada momentum yang tidak tepat. Hal itu berbeda jika diksi-diksi itu diucapkan di maiyahan, kita tentu menanggapinya sebagai hal yang biasa. Hal itu, karena sebelumnya kita telah membangun budaya kemesraan bersama. ketika kita sudah akrab satu sama lain, maka tidak lagi ada ucapan kata-kata yang akan menyinggung.

Hussein juga mengingatkan, jangan sampai kita berislam hanya karena mendambakan surga dan pahala dari Allah, karena yang paling utama adalah bagaimana kita mendapat rida Allah. Seperti sebuah pesan dari Sayyidina Ali: Janganlah berislam seperti budak menyembah tuannya. Hussein juga mengingatkan kisah Rabiah Al Adawiyah, saat ia berkeliling kampung membawa obor, ingin membakar surga dan neraka, agar seluruh umat manusia mengabdi kepada Allah bukan karena surga-Nya dan menyembah Allah bukan karena takut pada neraka.

Fahmi ikut menyambung, “Kita semakin tidak terlatih untuk mampu membaca ayat-ayat Allah yang difirmankan. Terlebih lagi, kita sekarang hidup di era post-truth, dimana orang lebih meyakini kebenaran informasi berdasar opini dan pendapat orang daripada mencari fakta-fakta yang sebenarnya. Kita tidak terbiasa objektif, karena informasi yang kita serap hanya sesuai selera kita. Sementara, terkadang ada informasi yang mungkin tidak kita sukai, namun justru kita membutuhkannya.”

Fahmi lalu mengingatkan, Cak Nun telah memberi formula, bahwa hendaknya informasi, entah itu kebenaran, ilmu, hikmah atau apapun saja, musti disampaikan dengan berpijak awal pada kebijaksanaan. Mentadabburi ayat ud’u ilaa sabiili robbika bi-l-hikmah. Kepada orang yang baru pertama bertemu, sampaikanlah kebenaran dengan bijaksana. Ketika mulai akrab pijakan berikutnya adalah fastabiqu-l-khoirot, berlomba-lomba lah dalam kebaikan. Artinya, menyampaikan kebenaran dengan mencontohkannya. Baru ketika sudah sangat akrab, metode watawashau bi-l-haqqi wa tawashau bi-sh-shobri bisa mulai digunakan.

“Sampaikanlah kebenaran dengan bijaksana.”
Fahmi Agustian, Kenduri Cinta (November, 2018)

Melewati tengah malam, diskusi dan berbagai pendapat terus mengalir. Forum membahas tentang begitu banyaknya video-video maiyahan yang beredar luas di internet. Beragamnya pandangan masyarakat terhadap Cak Nun dan forum-forum maiyahan, baik di Kenduri Cinta, Padhangmbulan, Mocopat Syafaat dan forum-forum lainnya, tentu juga dipengaruhi oleh video-video maiyahan tersebut.

Pada sisi lain, fenomena beredarnya video-video maiyahan di internet itu, resmi dan tidak resmi, juga telah membentuk generasi jamaah Maiyah tersendiri. Berbeda dengan generasi era sebelumnya, seperti masa Padhang Bulan 80 dan 90-an yang mengenal Cak Nun melalui tulisan-tulisan di media cetak dan album-album musik Kiai Kanjeng, generasi saat ini lebih banyak datang ke forum karena sebelumnya telah menyimak maiyahan melalui media internet.

Pada titik ini, tidak bisa disangkal, Maiyah telah menjadi medium alternatif bagi masyarakat. Masyarakat mengenal ruang-ruang baru dalam mempelajari khasanah-khasanah ilmu.

Lontaran-lontaran Cak Nun dan pendapat-pendapat jamaah Maiyah yang terekam sekilas memang terasa frontal, namun itu semua tak lantas membuat sesuatu yang kontraproduktif. Sebab, di forum-forum maiyahan selalu ditekankan tentang kedaulatan setiap individu yang hadir dalam mengolah informasi, termasuk informasi yang didapatnya di forum maiyahan. Maiyah melatih kepekaan diri untuk selalu waspada terhadap setiap arus informasi, melatih untuk tidak mudah kaget, tidak gumunan, tidak mudah terbawa arus.

Keresahan atas arus informasi yang deras, ditanyakan malam itu oleh salah satu jamaah. Ia mengaku masih sekolah, kelas dua SMU. Ia resah pada media sosial yang menurutnya sudah mengkhawatirkan. Forum lantas memberikan berbagai pandangan, salah satunya adalah mengaplikasikan nilai-nilai yang dibangun di forum Maiyah, dimana meski terdapat berbagai perbedaan namun cuaca kebersamaan tetap terjaga. Maiyah menawarkan dialog dengan saling bertatap muka, saling bermuajjahah satu dengan yang lainnya.

Diskusi dan dialog-dialog tak hanya diadakan pada forum bulanan pada setiap minggu kedua, seperti malam itu, Komunitas Kenduri Cinta juga mengadakan forum diskusi mingguan, Reboan, dalam rangka melatih dan menjaga kewaspadaan antara satu pegiat dengan pegiat lainnya terjaga kesadaran sosialnya. Dengan menjaga suasana pertemuan secara langsung, berhadap-hadapan, setidaknya akan meminimalisir kecurigaan dan prasangka-prasangka tidak baik.

Atmosfer seperti itu tak ditemukan jika hanya mengandalkan media sosial. Berbeda dengan media konvensional yang dibatasi oleh regulasi, media internet dan media sosial digunakan untuk menebar informasi hampir tanpa batasan. Perilaku masyarakat akan konsumsi media yang telah berubah dimanfaatkan oleh kelompok-kelompok tertentu untuk membuat opini publik. Tak jarang, sentimen negatif dan provokatif juga turut tersebar, tak hanya meresahkan namun juga berpotensi membuat perpecahan di masyarakat.
Riuh dan makin derasnya informasi pada era digital, nyatanya justru membuat kita sulit menemukan kejernihan informasi. Saling komentar dan saling menghakimi lalu menjadi budaya. Disinilah peran komunitas diskusi seperti Kenduri Cinta menjadi semacam oase.

Forum kemudian begeser pada pembahasan suasana politik jelang Pilpres. Fahmi mengingatkan akan tujuan hakiki dari kegiatan elektoral lima tahunan itu, yaitu untuk menjalankan kehidupan berdemokrasi yang telah disepakati bersama. Seperti pandangan Sabrang pada bulan sebelumnya, memilih presiden itu ibarat memilih sopir. Tujuan perjalanan telah ditetapkan. Namun yang diributkan hari ini justru siapa supirnya. Hal itu menandakan bahwa kita belum tahu tujuan kita kemana, sehingga “siapa supirnya” menjadi hal yang substansial. Kita lupa bahwa tugas kita bersama yang lebih berat adalah mengawasi si supir untuk tetap pada tujuan, siapapun supirnya.

“Maiyah melatih kepekaan diri untuk selalu waspada terhadap setiap arus informasi”

Keunikan forum-forum maiyahan salah satunya adalah durasi acara yang sangat panjang. Acara Kenduri Cinta dimulai pada pukul delapan malam dan berakhir pada menjelang dini hari yaitu pada pukul 3 hingga 4 dini hari. Pendapat yang mengatakan bahwa forum maiyahan berlangsung sedemikian panjang dikarenakan faktor adanya sosok Cak Nun, tak sepenuhnya benar. Malam itu contohnya, Cak Nun tak hadir di forum, sebab pada saat sama Cak Nun sedang menjalani rangkaian acara di Australia. Namun hal itu tak lantas membuat durasi acara menjadi pendek atau terhenti.

Salah satu kuncinya adalah menjaga keseimbangan antara intelektual, kultural dan spiritual. Penggalian-penggalian tak hanya pada sesi diskusi yang menekankan intelektualitas, namun juga suguhan-suguhan kesenian berupa musik dan puisi juga turut berperan menjaga keseimbangan.

Malam itu, Komunitas Trotoar mengajak jamaah untuk mengarungi dunia musik dan puisi mereka dengan membawakan nomor-nomor lagunya. Sejenak jamaah merasa rileks. Mereka merapikan duduknya, sambil menikmati jajanan sekitarnya.

Setelah penampilan Komunitas Trotoar, Sigit kembali membuka ruang kepada jamaah untuk bertanya atau menyampaikan pendapatnya. Salah satu jamaah menanyakan tentang kepemimpinan. Bagaimana memilih dan menilai pemimpin mana yang terbaik.

Merespon itu, Fahmi mengutip esai Cak Nun, Episode Dari Drama Panjang di buku Kiai Sudrun Gugat: Kalau kita disuruh menggembalakan masyarakat lebah, ada tiga kemungkinan yang terjadi. Pertama, kita disengatnya dan kesakitan. Kedua, kita disengatnya, tak kesakitan, bahkan lebah menjadi mati. Ketiga, kita disengat, tak kesakitan, namun juga tidak membuat lebah mati. Yang ketiga itulah pemimpin.

Dapat kita pahami, seorang pemimpin adalah ia yang mampu mengayomi, bukan hanya mengayomi pendukungnya saja tetapi juga seluruh rakyatnya. Pada sistem demokrasi tidak mungkin presiden menjadi presiden karena dipilih 100% rakyat. Maka, pemimpin musti mampu mengayomi semua golongan, karena ia tak punya pilihan lain.

Pada kesempatan berikutnya, Ramdan, seorang jamaah asal Madura mengaku ia berhutang kepada Kenduri Cinta. Hal itu karena tiga bulan lalu ia dipertemukan dengan seorang perempuan yang kini sudah menjadi istrinya. Forum pun memberikan selamat kepadanya. Peristiwa seperti Ramdan, menemukan jodoh di forum maiyahan, banyak terjadi.

“Di era post-truth ini, kita berada di era yang lebih mengutamakan emosional dibanding rasional,” kata Husein yang dilanjutkan dengan paparannya tentang algoritma yang digunakan di media sosial, dimana pengelola mengelompokkan yang sepahaman saja. Dengan algoritma seperti itu, orang yang hanya mengkonsumsi media sosial semakin tidak terbiasa untuk menerima pendapat orang lain yang berbeda. Adanya forum seperti Kenduri Cinta, menurutnya, memberi pemahaman dan kewaspadaan, sehingga kita terlatih sabar mendengarkan pendapat orang lain, meskipun berbeda.

“Kalau anda berharap ada pemimpin yang diutus oleh Allah dari surga turun ke bumi, itu bukan pemimpin melainkan nabi,” kata Husein merespon pertanyaan tentang kepemimpinan. Pemimpin, menurutnya, bisa diciptakan dengan metode berkumpulnya orang-orang yang baik dalam sebuah majelis ilmu seperti maiyahan ini.

“Presiden musti mampu mengayomi semua golongan, karena ia tak punya pilihan lain.”

Menjelang dinihari, suasana sekitar Taman Ismail Marzuki masih dipenuhi jamaah. Kesempatan berikutnya, Rizka, salah seorang jamaah ikut memberikan pendapatnya. Ia juga menanyakan tentang bagaimana mengubah sistem yang ada, sementara jika berbicara tentang Pilpres kita tidak hanya membicarakan tentang satu orang saja.

Merespon itu, Fahmi mengingatkan bahwa mengubah sistem memerlukan cara-cara yang revolusioner dan waktu yang sangat panjang. Baik dan buruknya juga musti dipertimbangkan. Layaknya menemukan benih-benih baru, kita bisa memulainya dengan membuat rumah-rumah kaca. Mencari apa yang benar, kemudian kita pegang teguh, dan ketika menemukan kebenaran yang baru kita juga tidak menolaknya, bisa kita simpan lagi. Maraknya forum-forum maiyahan beberapa tahun terakhir, setidaknya telah mengindikasikan banyak “pasukan” yang siap menanam nilai-nilai Maiyah di ladangnya masing-masing. Tidak perlu juga kita pertanyakan kapan tanaman itu akan tumbuh dan berbuah, yang harus kita jaga adalah kesetiaan dalam berproses, untuk terus menanam dan menjaga.

Fahmi berpendapat, sistem yang ada saat ini sudah sedemikian rumit untuk diurai, sementara pilihan yang ada hanya melanjutkan apa yang sudah ada. “Hal itu karena cuaca yang dibangun hari ini memang tidak memungkinkan orang-orang yang berkualitas akan muncul untuk menjadi pemimpin,” ungkap Fahmi.
Ali Hasbullah turut memberikan pendapat, menurutnya kita sudah cukup bekal untuk memilih pemimpin. Khasanah-khasanah di Maiyah sudah mengakomodir itu semua. Menurut Ali, pada hari pencoblosan nanti, dengan bekal yang kita punya, kita akan masuk ke TPS, berdoa semoga Allah memberi hidayah bagi siapapun yang terpilih.

Ali yang sehari-hari bekerja di bidang teknologi informasi mengungkapkan bahwa dengan adanya single identity card yang kita punya saat ini, yaitu E-KTP, sebenarnya sudah memungkinkan untuk setiap warga negara mengusulkan siapa yang paling pantas menjadi pemimpin. Tinggal kita mau atau tidak, itu saja.

Husein Ja’far menambahkan, jika kita ingin mengubah sistem, langkah pertama adalah dari diri kita sendiri. Ia mengingatkan, terdapat sekitar 30-an kata jihad di Alquran dan jika diteliti, jihad selalu dimulai dari diri sendiri. Husein Ja’far juga tambahkan, pemimpin tidak identik dengan presiden. Presiden juga tidak harus pemimpin. Islam mengajarkan bahwa setiap kita adalah pemimpin. “Menjadi muslim adalah anda hidup di tengah masyarakat dan mewarnai mereka dalam kebaikan, tidak mesti mengajak mereka menjadi Islam tetapi memastikan mereka merasakan kesempurnaan Islam,” pungkas Husein Ja’far.

Kenduri Cinta edisi November 2018 diakhiri pukul 3 dinihari. Forum ditutup dengan penampilan musik Project Cinta dengan nomor medley sholawat. Jamaah melantunkan wirid Hasbunallah dan dipungkasi dengan doa bersama.